Latar Belakang Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Pera

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kericuhan-kericuhan, hal mana timbul sebagai akibat adanya perbedaan kebutuhan antara sesama anggota masyarakat. Sebelum adanya peradaban manusia yang tinggi, maka yang kuatlah yang selalu menang dalam segala hal. Pada masa yang demikian itu, hukum belum lagi dikenal, karena itu masing-masing anggota masyarakat dapat menjadi hakim sendiri-sendiri. Dengan adanya kemajuan peradaban manusia, dirasakan pula perlunya dibuat ketentuan-ketentuan yang sama-sama mereka sepakati, ketentuan-ketentuan mana yang bersifat mengikat dan mengandung ancaman hukum bagi barangsiapa yang melanggarnya. Tujuan daripada dibuatnya peraturan-peraturan yang bersifat mengikat itu tidak lain ialah agar didalam kehidupan bermasyarakat terdapat ketertiban, dimana hak dari masing-masing anggota dilindungi, disamping menjadi kewajiban dari pihak-pihak lain untuk mentaati setiap ketentuan yang telah disepakati bersama itu. 1 Di dalam masyarakat kita sekarang ini, peraturan yang sifatnya mengikat dan ada sanksi hukumannya bagi barang siapa yang melanggarnya, kita dapat temukan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Undang-Undang KUHPidana dan peraturan-peraturan lainnya. 2 1 R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1983, hlm. 13. 2 Ibid. Tetapi hanya dengan KUHPidana dan Undang-Undang serta peraturan- peraturan pemerintah dan yang lainnya saja, belumlah cukup sebab masih timbul persoalan yaitu siapa yang melakukan tugas pemeriksaan terhadap pelanggaran Undang-Undang, siapa yang harus menuntut, bagaimana caranya melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dipergunakan dalam kejahatan, siapa yang berwenang menjatuhkan hukuman, bagaimana peradilan itu harus berjalan dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan adanya suatu ketentuan atau peraturan- peraturan yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan proses peradilan tersebut dan peraturan itulah yang kita kenal dengan nama Hukum Acara Pidana. Mengingat bahwa tujuan hukum itu ialah untuk menciptakan suatu masyarakat yang tenang dan tenteram, dimana setiap warganya berhak mendapat perlindungan hukum, maka sudah barang tentu di dalam melaksanakan peraturan- peraturanundang-undang itu harus pula dapat dilaksanakan secara adil. Jadi bilamana ada orang melanggar hukum, maka terhadap orang yang bersangkutan harus dijatuhkan hukuman sesuai dengan peraturan-peraturanundang-undang yang ada. Sedangkan berat ringannya hukuman yang dijatuhkan harus setimpal pula dengan kesalahan yang telah diperbuatnya. Kesimpulannya ialah bahwa Hukum Acara Pidana merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang proses peradilan dan di dalam Hukum Acara Pidana telah didapati ketentuan-ketentuan yang mengatur segala hal ihwal peradilan, mulai dari siapa yang mempunyai wewenang pemeriksaan, penggeledahan, penahanan, penjatuhan hukuman, pelaksanaan putusan peradilan executive, sampai pada Banding, Kasasi dan Grasi. Dengan perkataan lain Hukum Acara Pidana itu merupakan suatu sarana untuk menegakkan Hukum Pidana. Secara singkat dapat diterangkan bahwa arti daripada Hukum Acara Pidana adalah merupakan suatu peraturan yang mengatur tentang acara peradilan. Sedang tujuannya adalah untuk menegakkan Hukum Pidana serta peraturan-peraturan pemerintah yang lain yang ada ancaman pidananya, sehingga dengan demikian setiap peraturan dan undang-undang yang ada sanksi pidananya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. 3 Dari konsiderans tersebut, jelaslah bahwa yang menjadi landasan filosofis KUHAP adalah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam negara hukum Indonesia. Jika hal itu dikaitkan dengan teori-teori berlakunya hukum, maka secara tegas dikatakan bahwa KUHAP memiliki daya berlaku secara filosofis. Karena KUHAP telah dibentuk berdasarkan dan sesuai dengan nilai-nilai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam konsiderans UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP huruf a, telah ditegaskan: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 4 Salah satu jenis kejahatan yang membutuhkan perhatian ekstra untuk pemberantasannya adalah tindak pidana korupsi. Tidak hanya di Indonesia dan 3 Ibid. 4 Harun M. Hussein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 22. negara-negara berkembang lainnya, akan tetapi di negara-negara yang sudah majupun korupsi menjelma menjadi virus yang mampu merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataannya, korupsi yang selalu dilakukan secara sistematis dapat menimbulkan kerugian di bidang ekonomi karena mengacaukan kegiatan investasi, menilmbulkan kerugian di bidang politik yaitu telah meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan juga menimbulkan kerugian di bidang sosial yang ditandai dengan kekuasaan dan kekayaan jatuh ke tangan pihak-pihak yang tidak berhak . 5 Di Indonesia, masalah korupsi telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negeri ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia. 6 Mungkin penilaian seperti itu amat menyakitkan rasa kebangsaan, dan tidak dapat diterima begitu saja. Namun demikian, jauh sebelumnya Muhammad Hatta, salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan Indonesia, pernah melontarkan penilaian yang sama dengan mengatakan, bahwa korupsi cenderung sudah membudaya, atau sudah menjadi bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. 7 5 Tim Penyusun dibawah pimpinan Teguh Samudera, Analisis dan Evaluasi Hukum Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2008, hlm. 1. 6 Amien Rais, Pengantar dalam edy Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti ed., Menyikapi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 9. 7 Mubyarto, Ekonomi dan Keadilan Sosial, Aditya Media,Yogyakarta, 1995, hlm. 86. Secara legal formal, pemberantasan korupsi di Indonesia telah dimulai pada tahun 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 24 Tahun 1960. Sedangkan Undang-Undang terakhir yang diundangkan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi adalah Undang- Undang No.20 Tahun 2001 yang merubah beberapa ketentuan pasal dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 8 Seiring dengan kebutuhan tersebut, maka dibentuklah lembaga yang secara khusus menangani tindak pidana korupsi yakni Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Dasar hukum yang mengatur kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penuntutan tindak pidana korupsi adalah pasal 6 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 9 Pembentukan sebuah institusi khusus untuk menanggulangi masalah korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Akan tetapi, pembentukan sebuah badan khusus dengan kewenangan yang demikian luas, disamping melakukan penyidikan, sekaligus melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, patut dicatat sebagai suatu aspek pembaruan dalam hukum dan sistem peradilan pidana Indonesia. 10 8 Ibid. Hlm 2. 9 Ibid. 10 Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 219. Kemauan politik untuk membentuk badan khusus seperti itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran untuk mengatasi masalah pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Badan- badan penegak hukum yang ada, yang selama ini diserahi tugas dan kewenangan untuk menangani perkara tindak pidana korupsi, belum berfungsi secara efektif. Sementara tindak pidana korupsi itu sendiri telah sedemikian rupa berlangsung dalam masyarakat, dan telah dilakukan secara sistematis dan meluas, sehingga pada akhirnya dirasakan telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, sebagai bagian dai hak asasi manusia. 11 Akibat korupsi yang berlangsung sedemikian rupa, termasuk korupsi di kalangan penegak hukum sendiri, terdapat keragu-raguan, atau bahkan ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat terhadap efektivitas fungsi sistem peradilan pidana Indonesia dalam penanggulangan masalah korupsi. Di samping itu, adanya pragmentasi fungsional, sikap mandiri, dan instansi sentris yang cenderung dipertontonkan diantara sesama subsisten peradilan, semakin memperkuat argumentasi terhadap urgensi kehadiran sebuah institusi khusus untuk mengoptimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di masa depan. 12 Namun demikian dalam pelaksanaan tugasnya untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dibatasi hanya pada tindak pidana korupsi yang 13 11 Lihat Konsideran Draf ke-13 Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipersiapkan oleh Tim Departemen Kehakiman dan HAM. 12 Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 220. 13 Pasal 11 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. : a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danatau c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah. 14 Di samping itu, yang merupakan hal baru di dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia adalah “Pra-Peradilan”, yang maksudnya adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang: a. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka. b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. 15 Lembaga praperadilan ini tidak merupakan suatu badan tersendiri, tetapi hanya suatu wewenang saja dari pengadilan negeri. Pemberian wewenang ini bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan secara sederhana, cepat dan murah dalam rangka memulihkan harkatmartabat, kemampuankedudukan serta mengganti kerugian terhadap korban yang merasa dirugikan. Lembaga praperadilan juga merupakan lembaga baru yang tidak dijumpai dalam hukum acara pidana HIR. Dengan adanya praperadilan dijamin bahwa seseorang tidak 14 Tim dibawah pimpinan Teguh Samudera, Op. Cit, hlm. 15. 15 R. Atang Ranoemihardja, Op. Cit., hlm. 1. ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang kuat dengan landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan tentang bukti permulaan ini diserahkan penilaiannya kepada penyidik. Hal ini membuka kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan praperadilan. 16 Praperadilan dibentuk oleh KUHAP untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekwen. Dengan adanya lembaga praperadilan, KUHAP telah menciptakan mekanisme kontrol yang berfungsi sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan pidana. 17 Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa ordinary-crimes melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Sehingga dalam upaya pemberantasannya idak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara- cara yang luar biasa” extra-ordinary enforcement. Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, KPK merupakan lembaga yang berwenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka guna proses penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi. 18 16 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 322. 17 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, Akademika Pressindo, Jakarta, 1986, hlm. 3. 18 Ermansyah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 29. Selama hal tersebut merupakan niat baik demi terjaganya kondusivitas hukum di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Yang baru-baru ini menjadi sorotan publik adalah kasus Calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia yaitu Budi Gunawan. Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang diindikasi terlibat kasus korupsi dan rekening gendut. Tetapi proses pengangkatannya menjadi tersendat karena yang bersangkutan ditetapkan sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Budi Gunawan mengatakan bahwa KPK melakukan penggeledahan, penyitaan maupun penetapan sebagai Tersangka tanpa dasar hukum. Sehingga Budi Gunawan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di dalam gugatannya, Budi Gunawan memohon agar hakim menyatakan penetapan status tersangkanya tidak sah. Budi Gunawan juga merujuk pada putusan pengadilan pada kasus Chevron dengan nomor 38Pid.Prap2012PN.Jak.Sel, dimana hakim praperadilan membatalkan status Tersangka saudara Bachtiar yang merupakan Tersangka pada kasus Chevron. Sampai saat gugatannya diputus oleh Hakim Tunggal Praperadilan, kasus ini terus menuai kritik pengamat dan publik, karena dianggap mengobrak abrik hukum kita. Vonis hakim tunggal Sarpin Rizaldi dianggap sangat kontroversial, karena mengabulkan gugatan praperadilan Budi Gunawan dengan objek penetapan tersangka. Atas hal ini, penetapan status tersangka yang diajukan sebagai alasan praperadilan menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih dalam. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut menjadi sebuah skripsi yang berjudul “Sah-tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Yang Diajukan Sebagai Alasan Praperadilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana di Indonesia Studi Putusan Nomor: 04Pid.Prap2015PN.Jak.Sel – Praperadilan Budi Gunawan

B. Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

9 92 134

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

2 89 175

Pengajuan Praperadilan Oleh Pihak Tersangka Terhadap Sah Atau Tidaknya Penahanan Yang Dilakukan Penyidik Kejaksaan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor.01/PID/PRA.PER/2011/PN. STB.)

1 81 145

Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 82 190

Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi

0 25 146

Sah Tidaknya Penetapan Status Tersangka Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Yang Diajukan Sebagai Alasan Pra Peradilan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Terhadap Putusan Nomor: 04/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel – Pra Peradilan Budi Guna

2 61 130

Tinjauan Hukum Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Ditinjau Dari Udang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 7 1

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 2 13

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 44

Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia(Kajian Tentang Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan)

0 0 12