34
BAB II MEKANISME PENETAPAN STATUS TERSANGKA
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI KPK
A. Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan kepada pembuat
undang-undang untuk membuat sebuah komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi yang diserahi tugas dan kewenangan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pembentukan sebuah komisi atau
badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, sebenarnya bukanlah suatu yang baru sama sekali. Pada awal pemerintahan Orde Baru,
dengan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 dibentuklah sebuah Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai oleh Jaksa Agung Sugih Arto. Kemudian
pada tahun 1970, dibentuk pula tim pemberantas korupsi yang dinamakan Komisi Empat yang dipimpin oleh Wilopo. Pada tahun 1977 dibentuk lagi sebuah tim
untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang dinamakan Operasi Tertib Opstib berdasarkan Instuksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977.
Akan tetapi, tim khusus pemberantasan tindak pidana korupsi yang dibentuk pada masa lalu itu, jauh berbeda dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Di samping dasar hukum pembentukannya yang lebih kuat, juga kewenangannya
lebih luas daripada hanya sekedar melakukan penyidikan, melainkan juga melakukan penyidikan, penuntutan yang sama sekali tidak dimiliki oleh tim-tim
yang ada pada masa lalu. Kehadiran sebuah badan khusus untuk memberantas tindak pidana korupsi
merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah melembaga di seluruh lapisan masyarakat dan
kelembagaan negara. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan sudah merupakan “extra
ordinary crime”. Atas dasar itu pula maka pemberantasannya tidak dapat lagi dilakukan dengan cara-cara biasaa, dan melalui instansi penegak hukum yang ada
selama ini, melainkan mesti dilakukan dengan cara-cara luar biasa. Artinya, metode penegakan hukum secara konvensional sudah terbukti mengalami
kegagalan dan kemandulan, sehingga dengan demikian diperlukan adanya sebuah badan khusus yang independen untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
53
Kehadiran sebuah badan khusus atau komisi khusus itu dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan yang mendesak di tengah-tengah suasana yang
mencerminkan adanya ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum yang ada. Institusi penegak hukum yang ada seperti polisi dan jaksa dinilai
masyarakat telah mengalami kegagalan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, fungsi kedua lembaga penegak hukum tersebut
53
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 239-240.
dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi perlu digantikan oleh sebuah badan yang independen.
54
Ada beberapa model komisi anti korupsi yang diterapkan oleh beberapa negara yang telah berhasil membangun suatu komisi yang disegani, yaitu:
55
1. Model yang memberikan kepada badan anti korupsi monopoli kewenangan
untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. 2.
Model yang menempatkan badan anti korupsi sebagai suatu institusi yang memiliki kewenangan koordinatif dan supervisi, termasuk kewenangan untuk
melakukan penyelidikan, penyidikan dan sekaligus kewenangan penuntutan. 3.
Model badan anti korupsi yang hanya memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan, sementara kewenangan penuntutan tetap berada pada
kejaksaan. Dasar hukum pembentukan sebuah komisi independen untuk melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tertuang dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berbunyi:
1 Dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak undang-undang ini mulai
berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi; 2
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
54
Masyarakat Transparansi Indonesia, Ringkasan Pokok Badan Independen Anti Korupsi, tidak dipublikasikan, hlm. 2.
55
Romli Atmasasmita, Perang Melawan Korupsi, dalam Kompas 4 Januari 2001
3 Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas unsur
pemerintah dan unsur masyarakat; 4
Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan undang-undang.
Sebagaimana halnya Masyarakat Transparansi Indonesia, kita mengharapkan komisi yang akan dibentuk itu adalah sebuah badan khusus yang
independen, sama seperti badan-badan antikorupsi yang terdapat di beberapa negara lain, seperti “Independent Commission Against Corruption ICAC” di
Hongkong. Komisi Pemberantasan Korupsi di Hongkong ICAC merupakan sebuah badan khusus yang independen.
ICAC merupakan sebuah badan anti korupsi yang ternyata paling ampuh dalam menumpas tindak pidana korupsi di suatu negara berkembang seperti Hong
Kong. Oleh karena itu, ICAC selalu dijadikan sebagai acuan dan dianggap prestisius.
56
Dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, dapat dicatat bahwa komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Komisi
Pemberantas Korupsi disingkat KPK tidaklah semata-mata dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberi kewenangan melakukan sebagai institusi yang diberi
kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan saja, melainkan juga melakukan penuntutan tindak pidana korupsi. Di samping itu, KPK juga diberi
56
Antonius Sujata, Reformasi Dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm.153.
kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi terhadap semua instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ketentuan Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan penyidikan kepada KPK dan sekaligus melakukan
koordinasi dan supervisi terhadap instansi lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, memberikan gambaran tentang tidak adanya ketegasan dan
keberanian pembuat undang-undang untuk menempatkan kewenangan penyidikan hanya pada satu institusi. Pembuat undang-undang terkesan ragu-ragu dan tidak
memiliki keberanian untuk meletakkan kewenangan penyidikan sepenuhnya hanya pada KPK.
Dengan kewenangan seperti dimaksud Pasal 43 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, maka itu berarti KPK bukanlah merupakan satu-satunya
lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Di samping komisi anti korupsi itu, secara implisit pasal tersebut masih
tetap mengakui adanya kewenangan penyidikan dalam perkara tindak pidana korupsi pada kepolisian dan kejaksaan sebagaimana yang berlaku sebelumnya.
Dengan demikian, di dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada tiga institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan dalam perkara tindak
pidana korupsi, yaitu KPK, kepolisian dan kejaksaan. Hanya saja, memang KPK diberi kedudukan dan kewenangan yang lebih, yakni untuk melakukan koordinasi
dan supervisi terhadap penyidik kepolisian dan kejaksaan, dan bahkan dapat mengambil alih penyidikan yang sedang dilakukan baik oleh kepolisian maupun
oleh kejaksaan. Namun masalahnya, apakah kewenangan dalam kerangka
koordinasi dan supervisi itu maupun dilaksanakan oleh KPK ditengah masih dominannya pengaruh kedua lembaga tadidalam proses penegakan hukum.
Untuk menindaklanjuti maksud ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah melalui Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia menyiapkan sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah melalui proses pembahasan di
badan legislatif, akhirnya pada tanggal 27 Desember 2002 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137.
Tidak efektifnya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui institusi penegak hukum yang ada selama ini kepolisian dan kejaksaan
merupakan salah satu dasar pemikiran untuk membentuk komisi pemberantas korupsi. Latar belakang pemikiran seperti itu dapat dilihat dan tergambar dalam
salah satu konsideran Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menegaskan, bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum
berfungsi secara efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Semangat yang dapat ditangkap dari bunyi konsideran ini adalah, adanya suatu pengakuan
tentang ketidakmampuan institusi penegak hukum yang ada selama ini dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
57
57
Elwi Danil, Op. Cit., hlm. 243-247.
B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Kpk Dalam