BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu ingin berhubungan satu sama lain untuk membentuk kerukunan, kedamaian satu sama lain saling
membutuhkan dan mempunyai kebutuhan masing-masing zoon politicon kesemuaannya ini membentuk suatu hukum, dimana ada masyarakat disitu ada
hukum Ibi Ius Ibi Societas , lambat laun hukum itu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan membentuk perubahan sesuai dengan kebutuhan
sosialnya dapat terpenuhi secara maksimal. Hukum adalah seperangkat peraturan tertulis dan tidak tertulis apabila
dilanggar akan mendapat sanksi. Oleh sebab itu dengan adanya hukum akan melindungi hak dan kewajiban setiap subjek hukum secara damai, sedangkan
kedamaian itu sendiri adalah merupakan keserasian antar ketertiban order dengan ketentraman.
1
Tidak selalu membawa perkara perdata dan bisnis ke Pengadilan bernilai negatif sebagaimana yang diissukan akhir-akhir ini, bahkan sebaliknya
Namun tidak jarang pula dalam kehidupan manusia terjadi kesalah fahaman sehingga dapat menimbulkan terganggu hak nya dan menimbulkan
konflik. Konflik-konflik tersebut kadang dapat diselesaikan lewat Pengadilan Litigation maupun diluar Pengadilan Non Litigation .
1
Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta : Rajawali Press, 1987, hal. 65
mengajukan perkara kedepan pengadilan akan membentuk substansi dan pelaksanaan negosiasi penyelesaian.
2
Gary Goodpaster menyatakan Sebab dengan mengajukan gugatan
kepengadilan, salah satu fungsi tugas dari hakim yang berperan sebagai mediator akan memperoleh informasi yang nyata dan tatap muka langsung dengan para
pihak. Proses perkara perdata dipengadilan merupakan proses pencarian fakta dan
informasi dari kedua belah pihak, sebagai hakim yang berperan sebagai mediator atau pihak ketiga yang netral, akan menuntun memperhatikan dan menilai secara
wajar terhadap pendapat-pendapat dari kedua belah pihak dan apabila terjadi kesepakatan akan dituangkan dalam satu putusan yang isinya menegaskan secara
hukum tentang hak dan kewajiban para pihak.
3
Oleh sebab itu pengajuan perkara perdata dan bisnis kepengadilan tidak harus diakibatkan karena buntunya atau gagalnya mencari solusi problem yang
dinegosiasikan, malah terkadang dengan prediksi yang akurat pihak penggugat , Proses litigasi memberi cara-cara spesifik
membuktikan dan menemukan fakta-fakta. Banyak diantara persiapan sidang pengadilan, terutama temuan-temuan bertujuan untuk pembuktian fakta-fakta.
Dalam banyak kasus, dekat menjelang sidang pengadilan, penyelesaian temuan akan mengklarifikasi fakta-fakta yang dapat dijadikan bukti didepan sidang.
Proses temuan dapat mengatur para pihak untuk memilih antara melakukan negosiasi atau berperkara menyangkut kasus itu.
2
. Gary Goodpaster, 1999, “Panduan Negosiasi Dan Mediasi”, Edisi Pertama, Jakarta :
Proyek ELIPS, hal. 218.
3
. Ibid, hal. 220.
menempuh jalan melalui gugatan kepengadilan. Keadaan semacam ini banyak dilakukan pihak penggugat kapada tergugat dan hasilnya ternyata juga baik,
karena isi gugatan tersebut untuk membangkitkan shock therapy kepada diri tergugat untuk bernegosiasi.
4
Salah satu fungsi hakim sebagai mediator wajib memanggil kedua belah pihak, baik secara pribadi in person atau melalui kuasanya duduk mendengar
bersama kompromi menyelesaikan masalah dengan baik dan menuangkan pendapat masing-masing dalam kesepakatan.
5
Walaupun ada anggapan dari masyarakat perkotaan berperkara kepengadilan membuat orang kecewa, karena
hakim selalu jauh dari masyarakat miskin dalam menerapkan keadilan dan hukum selalu dekat pada orang-orang kuat dan berduit.
6
Kritikan tersebut diatas sudah mendunia dimana hal ini muncul karena sistem peradilan tidak sitematik, tidak efisien, tidak efektif, dan tidak dirancang
Lontaran dan kritikan kepada lembaga peradilan cukup banyak antara lain beracara di pengadilan sangat formalistik, lambat, biaya mahal, peradilan pada
umumnya tidak responsif, putusan pengadilan tidak menyelesaian masalah dan kemampuan para hakim bersifat umum, ditambah lagi litigasi sangat melelahkan
bahkan belum tentu orang mendapat keadilan.
4
. Runtung, 2002, “Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe Dan Brastagi”, Disertasi, USU
Medan, hal. 16.
5
. M. Yahya Harahap, 1977, “Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan
Penyelesaian Sengketa”, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal. 243.
6
. H.P.Pangabean, 2001, “Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari – Hari”,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 2.
untuk menyelesaikan sengketa bahkan terasa hanya memberikan putusan abstrak yang biasanya menjurus tidak adil.
Dalam peradilan terdapat dua sudut pandang yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah apakah hakim akan melakukan hukum acara secara penuh sampai
memutus dengan putusan akhir eind vonis, dan yang kedua adalah hakim menjadi juru damai sebagai mediator melalui acara penyelesaian sengketa
alternatif PSA. Dengan kata lain apakah hakim akan memeriksa dan mengadili perkara
perdata berdasarkan persidangan menurut hukum acara perdata civil law process, atau sebaliknya hakim akan menempatkan jalan sebagai juru damai yang
berarti melaksanakan non formal, menempuh penyelesaian sengketa alternatif di pengadilan court- connected ADR.
Ada proses penyelesaian perkara yang lain melalui jalur perdamaian yang diatur dalam hukum acara perdata vide Pasal 154 Rbg, peraturannya hukum
acara perdata untuk pengadilan luar Jawa dan Madura berlaku Rbg rechtsreglement buitengewesten.
7
7
. Henry Lee a Weng, 1987, Peraturan Peradilan didaerah luar jawa dan Madura
Rechtsreglement Buitengewesten, Fakultas Hukum USU Medan, hal. 54.
Putusan perdamaian nilainya paling tinggi tidak ada upaya hukum lagi. Penyelesaian sengketa melalui lembaga damai ini tidak berjalan dipengadilan
negeri dan pengadilan tinggi yudex factie. Seharusnya majelis hakim dan Advokat sebagai praktisi harus mendukunga lembaga damai ini.
Banyak peran advokat kurang mendukung lembaga perdamaian ini, bahkan menginginkan sekali perkara berjalan sesuai dengan proses hukum secara
semaksimal mungkin sampai kepada peninjauan kembali. Advokat sebagai pihak eksternal seharusnya dapat memahami
penyelesaian sengketa alternatif, walaupun dengan lembaga perdamaian ini kemungkinan akan berkurang penghasilannya, namun secara profesionalisme
telah menunjukkan wibawanya, karena dapat mendamaikan para pihak yang bersengketa dan disisi lain hakimpun bekerja tidak begitu berat.
8
Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengatakan ”Lambatnya proses sengketa di pengadilan oleh karena kurangnya mendapat perhatian dari hakim dan
advokat terhadap lembaga perdamaian dan lebih lanjut dikatakan bahwa advokat juga ternyata enggan untuk menjalankan lembaga perdamaian karena apabila
dilaksanakan akan mengganggu pendapatannya”.
9
Hakim yang telah menggunakan penyelesaian sengketa alternatif melalui lembaga perdamaian secara langsung sudah melakukan pembinaan penyelesaian
sengketa alternatif melalui pengadilan Court-Connected ADR dan manfaatnya sangat besar bagi kedua belah pihak untuk rukun damai dan harmonis.
Selanjutnya adalah bagaimana realisasi pelaksanaan isi dari perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut In kracht.
10
8
. Victor M. Situmorang, 1993, Perdamaian Dan Perwasitan Dalam Hukum Acara
Perdata, Yakarta: PT Rineke Cipta, hal. 25.
9
. Bagir Manan, Pidato dihadapan peserta MUNAS Ikatan Pengacara Hukum Indonesia
IPHI, tanggal 20-23 Agustus, Hotel Danau Toba Medan.
10
. Retnowulan Sutantio, 2003, Mediasi dan Dading, dalam Proceedings Arbitrase dan
Mediasi
Dengan berakhirnya sengketa lewat penyelesaian sengketa alternatif dan perdamaian dading adalah suatu cara penyelesaian yang jauh lebih baik dan
lebih bijaksana, karena tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang win-win dari pada vonis hakim dengan putusan kalah dan menang win-lose, karena
dipandang dari segi hubungan kekeluargaan sudah tidak baik lagi, demikian juga dari segi waktu dan biaya.
11
Arah politik hukum pemerintah Indonesia untuk mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu strategi penyelesaian sengketa
sudah jelas. Beberapa Undang-Undang dan Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung RI, telah memberikan tempat penyelesaian sengketa alternatif
sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di Indonesia.
12
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pengaturannya bersifat parsial untuk penyelesaian
Untuk penerapan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif, kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 1 tahun 2002 tanggal 30 januari 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan tingkat
pertama menerapkan lembaga damai, dan Peraturan Mahkamah Agung PERMA No. 2 tahun 2003 Tentang Proses Mediasi Menyelesaikan Perkara Perdata di
Pengadilan Court-Connented ADR yang telah direvisi oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
11
. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum,
Jakarta: Pustaka Kartini, hal. 49.
12
. Runtung, op.cit, hal. 18.
sengketa alternatif, hanya terlihat dalam Pasal 1 dan Pasal 6, untuk Pasal selebihnya mengatur tentang arbitrase, sehingga menimbulkan beda pendapat
dikalangan akademis dan praktisi terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 ini.
Penyelesaian sengketa alternatif ini sudah lama berkembang dibeberapa negara. Hanya saja di Indonesia berjalan sangat lambat namun bukan merupakan
suatu hal yang baru dalam perkara perdata dan bisnis, dan penggunaannya juga sangat efektif dibandingakan dengan litigasi kepengadilan yang dianggap terlalu
formalistik dan berbiaya mahal. Penyelesaian sengketa alternatif disajikan untuk mencoba mengemukakan
cara penyelesaian sengketa yang efisien dan efektif, paling tidak untuk mengembangkan suasana harmonis menjaga untuk masa yang akan datang dan
sesuai dengan keinginan para pihak dalam kesepakatan. Peraturan Mahkamah Agung PERMA Nomor 1 Tahun 2008, tertanggal
31 Juli 2008, yang salah satu pasal nya menyatakan: ”Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang
diatur dalam peraturan ini”. Berbagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang berkembang di tiap
negara dapat saja berbeda karena sistem hukum dan budaya masyarakat negara itu sendiri turut menentukan.
Seperti disebutkan diatas mekanisme penyelesaian sengketa alternatif dilakukan dengan negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbritase mungkin sampai ke
litigasi.
13
dan berlandaskan kepada ”Iktikad baik”. Mediasi sendiri merupakan perundingan antara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak untuk mencapai sepakat
14
Perbandingan secara empiris perbedaan antara mediasi dan konsiliasi sangat tipis, bahkan dalam praktek disebut interchangeable. Dengan pengertian
dalam mediasi, mediator tidak terlalu aktif, dia hanya mengiring para pihak untuk sampai pada keputusan yang diambil dalam hal ini para pihak itu sendiri,
sedangkan dalam konsiliasi, konsiliasi lebih proaktif, dia bisa menyodorkan atau menawarkan solusi-solusi tertentu kepada pihak-pihak. Sehingga dalam praktek
antara mediasi dan konsiliasi itu disebut dengan jalan senafas. Hasil mediasi tersebut, berupa kesepakatan dalam arti perjanjian perdata
mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang, seperti yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi: ”Persetujuan-persetujuan harus
dilaksanakan dengan itikad baik”. Dan sebaiknya persetujuan tersebut dibuat dengan akta otentik untuk menjaga gugatan dari pihak yang tidak beriktikad baik.
15
13
. M. Husseyn Umar, 2003, “Beberapa Catatan Tentang Latar Belakang Dan Prinsip
Dasar Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999”, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, hal. 8-9.
14
. Prayatna Abdurrasyid, 2002, “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Sebuah
Pengantar”, Jakarta: PT Fikahati Aneska, hal. 34
15
. Husseyn Umar, op-cit
Oleh karena atas dasar pemikiran – pemikiran tersebut di atas, judul skripsi ini menyangkut tentang hal-hal yang berkaitan dengan peranan hakim
mediator dan bagaimana cara pelaksanaan mediasi di pengadilan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Adapun judul skripsi ini adalah “PERAN HAKIM MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERDATA MENURUT PERMA NOMOR 1
TAHUN 2008”.
B. Perumusan Masalah