Kritik Mendunia Terhadap Peradilan

C. Kritik Mendunia Terhadap Peradilan

Yang dimaksud dengan kritik ”mendunia” adalah kritik yang merata di seluruh penjuru dunia. Memang benar, terutama sejak tahun 1960, muncul berbagai kritik yang ditujukan terhadap kedudukan dan keberadaan peradilan. Seluruh pelosok dunia melancarkan kritik atas peran peradilan. Oleh karena itu perlu diperingatkan, kritik yang muncul terhadap peradilan bukan gejala yang tumbuh di Indonesia saja. Tetapi menyeluruh dan merata di seluruh dunia. Apalagi setelah tahun 1980. Kritik yang dilontarkan semakin deras bertubi-tubi. Tidak hanya di negara-negara berkembang. Di Negara-negara industri maju, jauh lebih gencar kritik yang diajukan masyarakat pencari keadilan. Bahkan terutama dari kelompok ekonomi. Kalangan masyarakat Amerika menuding, hancurnya perekonomian nasional, disebabkan mahalnya biaya peradilan. Seperti yang ditulis Tony MC Adams ”Law has become a very big American business”. Pada tahun 1985, total pendapatan pengacara di Amerika, berjumlah 64,5 miliar. 34 1. Lambatnya penyelesaian sengketa. Kenyataan atas kritik yang menganggap bahwa mahalnya biaya berperkara ikut mempengaruhi kehidupan perekonomian bukan hanya terjadi di Amerika, melainkan terjadi di semua negara. Kritik tergantung dari berbagai negara terangkum dalam uraian sebagai berikut: Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umumnya adalah lambat waste of time. Proses pemeriksaan bersifat sangat formal formalistic dan teknis 34 . M.Yahya Harahap, Op.cit, hal 239 technically. Selain dari pada itu, arus perkara semakin deras, sehingga peradilan dijejali dengan beban yang terlampau banyak overloaded. Kenyataan tentang lambatnya penyelesaian perkara telah dikemukakan oleh J. David Reitzel ”the is a long wait for litigants to get trial”. Jangankan untuk memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Untuk memulai pemeriksaan saja, harus antri dan menunggu. Kenyataan itupun telah dikemukakan oleh Heteger Muller ”the advent of litigious society and the increasing case loads and delays that this generate are already matterr of public concern”. 2. Mahalnya biaya perkara. Para pihak menganggap bahwa biaya perkara sangat mahal, apalagi dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa. Semakin lama penyelesaian suatu perkara akan semakin besar biaya yang akan dikeluarkan. Orang berperkara di Pengadilan harus mengerahkan segala sumber daya, waktu dan pikiran litigation paralize people. 3. Peradilan tidak tanggap. Pengadilan sering dianggap kurang tanggap dan kurang responsif unresponsive dalam menyelesaikan perkara. Hal itu disebabkan karena pengadilan dianggap kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan suatu kebutuhan para pihak yang berperkara dan umum atau masyarakat menganggap pengadilan sering tidak berlaku adil unfair. 4. Putusan Pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah. Sering putusan pengadilan tidak mampu memberi penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak. Putusan pengadilan tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara. Yang muncul dari putusan pengadilan: - Tidak bersifat PROBLEM SOLVING di antara pihak yang bersengketa, - Tetapi menempatkan kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling berhadapan: 1. Menempatkan salah satu pihak pada posisi PEMEGANG the winner, 2. Dan menyudutkan pihak yang lain sebagai pihak yang KALAH the losser. - Selanjutnya, dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah, bukan kedamaian dan ketentraman yang timbul, tetapi pada diri pihak yang kalah, timbul dendam dan kebencian. Di samping itu ada pula putusan Pengadilan yang membingungkan dan tidak memberi kepastian hukum uncertanty serta sulit untuk diprediksikan unpredictable. 5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis. Para Hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya pengetahuan dibidang hukum saja, sehingga sangat mustahil akan bisa menyelesaikan sengketa atau perkara yang mengandung kompleksitas diberbagai bidang. Sebenarnya masih banyak kritik yang dapat dikemukakan akan tetapi dari deskripsi yang telah diuraikan di atas dapat memberikan gambaran betapa kompleknya permasalahan yang ada di lembaga peradilan tersebut. Meskipun kedudukannya dan kebenarannya sebagai pressure valve and the last ressort dalam mencari kebenaran dan keadilan, kritikan-kritikan tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesaian sengketa yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis, dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya murah serta bersifat informal procedure. Jika kecaman yang diarahkan ke Pengadilan dihubungkan dengan ungkapan – ungkapan yang melekat pada Pengadilan, masih pastaskah mempertahankan Pengadilan sebagai the first resort and the last ressort penyelesaian sengketa bisnis pada masa mendatang? Apakah tidak perlu dicari dan dikembangkan bentuk-bentuk penyelesaian baru sebagai alternatif seperti Alternatif Dispute Resolution ADR yang berada di luar Pengadilan, dimana prinsip dari ADR salah satunya adalah cepat dan biaya murah. Kritikan yang dilancarkan kepada lembaga Pengadilan memang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Negara-negara industri maju. Tetapi perkembangan masyarakat yang menuntut kecepatan, kerahasiaan, efisien dan efektif serta menjaga kelangsungan hubungan yang telah ada, tidak dapat memberikan win – win solution dan menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan pada keadilan seperti dalam konsep penyelesaian sengketa alternatif mendapat sambutan yang positif, terutama di dunia bisnis.

D. Mediasi di Berbagai Negara