Hambatan dan Cara Penanggulangan dalam Pelaksanaan Pembiayaan Modal Kerja dengan Akad Mudharabah

pada setiap bulannya. Sementara pada sistem RS sangat praktis, efektif, dan efisien. 4. Jika dilihat dari perolehan keuntungan mudharib, maka yang paling banyak memberikan keuntungan adalah sistem RS, sebab keuntungan tersebut akan menjadi milik mudharib sepenuhnya. Sedangkan dalam PLS, mudharib akan mendapatkan sedikit keuntungan sebab disamping adanya pemungutan biaya administrasi juga adanya pembagian hasil kerja mudharib. Dalam pembiayaan modal kerja ini, tetap terdapat batas maksimal pemberian pembiayaan atau yang lebih sering disebut plafon pembiayaan. Yang jumlahnya berbeda-beda setiap orang, namun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Statistik Perbankan Syariah Desember 2011, pembiayaan mudharabah BUS dan UUS mencapai 10,229 miliar rupiah dan BPRS sebesar 75,807 juta rupiah atau total sekitar 9,78 dari total pembiayaan bank syariah sejumlah 105,331 miliar rupiah.

C. Hambatan dan Cara Penanggulangan dalam Pelaksanaan Pembiayaan Modal Kerja dengan Akad Mudharabah

1. Hambatan dalam Pelaksanaan Pembiayaan Modal Kerja dengan Akad Mudharabah Dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk pelaksanaan pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah akan dijumpai masalah-masalah ataupun Universitas Sumatera Utara hambatan-hambatan. Hambatan tersebut ada yang datang dari nasabah, maupun dari internal BSM itu sendiri. Namun apabila diantisipasi dan diselesaikan dengan baik maka tidak akan menyebabkan suatu masalah yang berkelanjutan. Beberapa hambatan ataupun masalah yang biasa dihadapi atau timbul dalam pembiayaan modal kerja dengan akad mudharabah antara lain: 84 1. Laporan pendapatan yang seharusnya secara rutin diberikan kepada bank, jarang diberikan kepada bank. 2. Debitur tidak mempunyai itikad baik untuk membayar. 3. Dikarenakan akad mudharabah pembiayaan bank sebesar 100 kepada debitur, dan debitur hanya memiliki skill atau keahlian dalam mengelola keuangan tersebut. Sehingga apabila debitur memiliki itikad tidak baik maka pembiayaan tersebut rentan terhadap risiko macet. 4. Debitur jarang melaporkan pendapatan yang sebenar-benarnya atas usaha yang dikelola bersama bank. 5. Non Performing Finance NPF Apabila tingginya jumlah pembiayaan bermasalah yang diakibatkan oleh permasalahan-permasalahan diatas, akan berdampak kepada tingginya NPF Non Performing Finance. Beberapa kondisi yang meyebabkan karakter nasabah dan cash flow sebagai penyebab signifikan terjadinya NPF adalah sebagai berikut: 85 1. Analisis cash flow tidak mendalam dan komprehensif, cenderung over optimistic, serta tidak tajam di dalam melakukan sensitivitas sehingga dalam waktu singkat nasabah telah menjadi NPF. 84 Ibid 85 Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah: Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 117 Universitas Sumatera Utara 2. Kurangnya fungsi pengawasan dan pemantauan nasabah oleh pejabat bank syariah terkait. Kondisi ini menciptakan peluang bagi nasabah untuk melakukan sejumlah moral hazard seperti penyimpangan penggunaan dana dan atau kelebihan likuiditas side streaming. Salah satu penyebab lemahnya pengawasan dan pemantauan kredit adalah jumlah account yang dikelola oleh seorang account manager tergolong banyak rata-rata 20 sampai 30 account Bank perlu melakukan perhitungan secara tepat atas kebutuhan modal kerja yang diajukan oleh nasabah. Akurasi dalam perhitungan pembiayaan modal kerja merupakan antisipasi bagi bank agar pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak terjadi kelebihan atau kekurangan atas kebutuhan dana. Kelebihan atas pemberian pembiayaan modal kerja dapat menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah karena adanya kelebihan dana menganggur, akan tetapi harus dibayar oleh nasabah. Sebaliknya kekurangan pemberian pembiayaan modal kerja juga dapat menimbulkan masalah karena nasabah harus mencari dana tambahan untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya. Kekurangan modal kerja dapat menimbulkan terganggunya proses produksi, yang akhirnya akan mengganggu kelancaran aktifitas operasional perusahaan. 86 Bantuan kredit dan pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah merupakan prioritas utama dari program kerja BMT dan bank syariah. Sebab BMT dan bank syariah memiliki keyakinan bahwa usaha kecil dan menengah 86 Ismail, Op.Cit, hlm. 186 Universitas Sumatera Utara merupakan tulang pungung sistem dalam perekonomian nasional. Namun demikian problem serius dari program ini adalah terjadinya penyelewengan dana kredit dan pembiayaan yang dilakukan oleh “para debitur nakal”. Sebut saja kasus penyelewengan tersebut terjadi pada penggunaan dana kredit yang seharusnya bagi kepentingan produksi justru disalahgunakan untuk untuk kepentingan konsumtif. Pada gilirannya ini berimplikasi kepada terjadinya kredit macet, di mana beberapa pengusaha kecil dan menengah mengalami gulung tikar. 87 Secara internal, kalangan perbankan belum memahami secara baik tentang baik tentang konsep dan praktik produk mudharabah. Tampaknya pihak bank bersifat risk-averse atas pembiayaan mudharabah, dalam hal ini risk-averse yaitu menyadari akan rumitnya persoalan yang akan dihadapi, maka bank syariah cenderung menghindari pembiayaan dengan cara mudharabah dan sebagai gantinya digunakan skema musyarakah mutanaqisah. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kontrak pembiayaan mudharabah di dalamnya sarat risiko. Alasan ini dapat muncul disebabkan oleh faktor eksternal bank, yaitu kondisi masyarakat pengguna jasa pembiayaan bank syariah untuk jenis mudharabah. Kondisi masyarakat yang dimaksud adalah keadaan tingkat kejujuran dan amanah masyarakat dalam menjalankan produk mudharabah. Sebab pembiayaan mudharabah harus didukung dengan kondisi masyarakat yang jujur dan amanah. Dengan kata lain, di samping persyaratan teknik administratif, kontrak mudharabah akan berjalan jika terdapat keterbukaan transparansi. Hal ini tidak akan mungkin terwujud jika masyarakatnya memiliki kecenderungan melakukan tindakan-tindakan melanggar 87 Deni K. Yusup, dkk, BMT Bank Islam: Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2004, hlm. 147 Universitas Sumatera Utara hukum, seperti korupsi yang belakangan ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. 88 2. Cara Penanggulangan Masalah dalam Pelaksanaan Pembiayaan Penanggulangan masalah dalam pelaksanaan pembiayaan disebut juga dengan penyelamatan pembiayaan atau restrukturisasi pembiayaan, yaitu istilah teknis yang biasa dipergunakan di kalangan perbankan terhadap upaya dan langkah-langkah yang dilakukan bank dalam mengatasi pembiayaan bermasalah. Restrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui penjadwalan kembali rescheduling, persyaratan kembali reconditioning, dan penataan kembali restructuring. 89 BSM dalam menghadapi masalah yang timbul terlebih dahulu tetap akan menjalankan aktifitas yang seharusnya seperti penagihan, lalu apabila masih bermasalah akan melakukan analisa lanjutan terhadap nasabah tersebut, dicari sumber permasalahannya setelah itu melakukan musyawarah, dimana didiskusikan bagaimana kesanggupan nasabah untuk melanjutkan akad pembiayaan tersebut kedepannya, disitulah dijalankan proses retrukturisasi pembiayaan. Apabila masih bermasalah juga barulah dijalankan upaya terakhir yaitu eksekusi jaminan dari nasabah tersebut. 90 Bank Umum Syariah BUS dan UUS dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang mengalami penurunan kemampuan 88 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah, Op.Cit, hlm. 3 89 A. Wangsawidjaja Z., Op.Cit, hlm 447 90 Wawancara dengan marketing officer PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan Utama, Bapak Rifi Hamdani Lubis, pada tanggal 11 September 2013 Universitas Sumatera Utara pembayaran dan masih memiliki prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Dapat disimpulkan bahwa restrukturisasi adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah yang masih mempunyai prospek usaha agar dapat menjalankan kegiatan usahanya kembali sehingga dapat menyelesaikan kewajibannya kepada bank. 91 Pandangan mengenai penyelesaian konflik yang timbul dalam kegiatan ekonomi syariah cukup bervariasi, antara lain diarahkan penyelesaiannya secara amanah melalui musyawarah internal di antara para pihak, inilah yang terbanyak ditempuh saat ini. Umumnya para praktisi ekonomi syariah mengarahkan penyelesaiannya ke Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BAMUI, sekarang Penyelesaian konflik yang terjadi dalam praktik perbankan syariah umumnya antara pihak pengelola bank dengan nasabah yang berskala besar hampir belum pernah terjadi. Akan tetapi umumnya bisa diselesaikan secara internal melalui musyawarah di antara para pihak sehingga bisa selesai dengan cepat dan efektif. Seperti proses restrukturisasi. Penyelesaian sengketa secara internal melalui musyawarah merupakan penyelesaian berdasarkan prinsip amanah, kejujuran, dan keterbukaan. Inilah esensi ajaran Islam yang menjunjung tinggi musyawarah dalam menyelesaikan sesuatu. Prinsip amanah ini merupakan yang terpenting dalam pengelolaan perbankan Islam khususnya dan semua kegiatan bisnis Islami lainnya. Jika semua pihak yang terlibat didalamnya menjunjung tinggi prinsip ini, maka tidak ada satupun masalah yang tidak terselesaikan dengan baik dan memuaskan semua pihak. 91 A. Wangsawidjaja Z., Op.Cit, hlm. 448 Universitas Sumatera Utara diperbarui oleh Majelis Ulama Indonesia menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional BASYARNAS yang berkedudukan di Jakarta. Proses ini sebagai kelanjutan yang pertama jika tidak terjadi kesepakatan dalam penyelesaiannya. 92 Namun apabila dengan jalan musyawarah pun masih belum menemukan titik tengah sengketa, sekarang setelah diundangkannya Undang-undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah sesuai Pasal 55 ayat 1 Saat masih bernama BAMUI maupun dengan nama BASYARNAS sampai Tahun 2004, semuanya belum pernah menangani perkara ekonomi syariah yang diajukan kepadanya. Padahal seluruh kontrak-kontrak atau transaksi bisnis di institusi ekonomi syariah menyebutkan secara eksplisit bahwa jika ada terjadi sengketa atau semacamnya yang timbul akibat kontrak ini, akan diseselesaikan di BASYARNAS. 93 dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama. Pasal 2: Namun dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, penyelesaian sengketa dilakukan sesuai isi akad. Pasal 3 penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. 92 M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam Ekonomi Syariah di Indonesia: Aplikasi dan Prospektifnya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 149 93 Pasal 55 UU Perbankan Syariah Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN