Keorisinalan Originality Keterjangkauan Affordability Penyelesaian Sengketa dan Sanksi a. Berdasarkan Franchisee XX

6. Keorisinalan Originality

Keorisinalan suatu produk barang atau layanan jasa sangat penting, karena sistem pelayanan dan penyajian yang unik dapat memberikan nilai tambah terhadap keberhasilan pemasaran barang atau jasa yang bersangkutan melalui pola franchising.

7. Keterjangkauan Affordability

Persyaratan ini merupakan perhitungan finansial apakah franchisee dapat memperoleh daya laba, berapa lama akan mencapai titik impas. Hal ini harus sangat diperhatikan oleh UKM selaku franchisee karena franchisee harus memperhitungkan sampai berapa lama ia mampu mengembalikan investasinya.

8. Anak Perusahaan Branch OfficeCompany Owned Unit

Persyaratan lainnya yang juga penting sebagai salah satu kriteria untuk menjadi franchisor pewaralaba adalah perusahaan tersebut. Sebaiknya memiliki minimal 1 satu anak cabang perusahaan sendiri. Hal ini selain membantu franchisor pewaralaba untuk lebih memahami seluk beluk bisnisnya juga dapat membantu UKM selaku franchisee dalam menghadapi persoalan operasional. Kedelapan hal tersebut di atas, bukan saja penting untuk franchisor di dalam mempersiapkan suatu sistem franchise waralaba, tapi juga penting bagi UKM selaku franchisee terwaralaba sebagai dasar untuk menilai apakah franchisor pewaralaba dan sistem franchise waralaba yang ditawarkan memang memberikan keuntungan yang baik. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Dalam Surat Keputusan Menteri yang akan dibuat untuk pengaturan lebih teknis dari bisnis franchise waralaba di Indonesia sebaiknya juga mengatur mengenai hal di atas. Hal ini penting diatur karena selain persyaratan yang diwajibkan dalam Pasal 3 ayat 1 PP Waralaba, maka kedelapan hal yang telah dikemukakan di atas dapat membantu franchisee terwaralaba apabila akan memasuki bisnis franchise waralaba tertentu. Format bisnis franchise waralaba tersebut memaparkan pula mengenai persyaratan ideal yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian franchise waralaba, sebagai berikut: bagian pendahuluan yang berisikan mengenai objek yang di-franchise-kan, kemandirian dalam arti para pihak keduanya bersifat independen dalam arti berdiri sendiri, biaya franchise waralaba, bantuan yang diberikan franchisor pewaralaba, nama usaha franchisee terwaralaba, lokasi usaha franchisee terwaralaba, tahap pra operasi, tahap operasi, waktu kerja, penggantian dan pembayaran biaya, pajak-pajak, modifikasi sistem, tanda dan merek, asuransi, pemeriksaan usaha dan tempat usaha, pindah lokasi, laporan operasional dan biaya administrasi, perpanjangan franchise waralaba, biaya perpanjangan franchise waralaba, sanksi apabila beroperasi tanpa memperpanjang perjanjian, rahasia sistem, penghentian perjanjian, prosedur setelah penghentian, perubahan perjanjian, integritas perjanjian, milik eksklusif, serta domisili hukum. 76 76 Ibid Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Keseluruhan unsur yang tercantum sebagai pokok-pokok dalam perjanjian franchise waralaba di atas telah memenuhi syarat minimal dari segi hukum dan memenuhi kriteria sebagai perjanjian yang cukup baik dan memberikan perlindungan yang cukup seimbang bagi kedua belah pihak. Usaha positif yang dilakukan oleh Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil ini secara minimal telah memenuhi syarat untuk dipakai oleh para pihak yang berkepentingan dengan bisnis franchise. Format bisnis yang dijadikan percontohan telah disusun cukup baik dan menyentuh segenap aspek, sebagai bahan masukan di dalam menyusun pengaturan lebih lanjut yang berupa Surat Keputusan Menteri agar format bisnis yang disusun ini dapat membantu usaha pengembangan franchise di Indonesia. Pengaturan mengenai isi minimum dari perjanjian franchise waralaba yang akan ditandatangani sebaiknya diatur pula dalam PP Waralaba atau dalam suatu peraturan khusus yang dibuat untuk menyempurnakan PP Waralaba dan bukan dengan produk hukum yang merupakan Surat Keputusan. Pengaturannya lebih baik berupa peraturan pemerintah karena bentuk pengaturan ini lebih menjamin unsur kepastian hukum sehingga dapat menjadi daya tarik bagi calon-calon franchisor pewaralaba asing maupun franchisor pewaralaba lokal untuk mengembangkan sektor UKM yang terdapat di Indonesia. 77 77 D. Sudradjat Rasyid selaku Menteri Koperasi dan UKM, di acara Franchise Action COACH Indonesia, Jakarta, 23 Februari 2009, lihat www.google.co.idactioncoach-indonesia.htm., diakses tanggal 24 Mei 2009. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Pengaturan hal ini akan sangat berarti dalam upaya mencapai suatu hubungan bisnis antara franchisor pewaralaba dengan franchisee terwaralaba yang seimbang dan adil. E. Perlindungan Hukum Bagi Pengusaha Kecil dan Menengah Berdasarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil Indonesia pada dekade terakhir ini mengalami perkembangan ekonomi yang sangat pesat. Akan tetapi di balik itu timbul pula rasa cemas, bahwa perkembangan ekonomi yang begitu pesat hanya menguntungkan pihak dalam kalangan tertentu saja, sedangkan mereka yang berada di luar kalangan tersebut akan terdesak sehingga semakin tidak dapat bersaing bahkan tidak mempunyai daya untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu, perangkat hukum ekonomi Indonesia harus berupaya untuk menyiapkan diri guna menghadapi praktek-praktek bisnis yang tidak sehat yang biasanya tersembunyi di belakang klausula-klausula kontrak bisnis. Sunaryati Hartono 78 menyatakan bahwa dalam ilmu hukum himbauan seperti tersebut di atas dinamakan sebagai droit de l’Economie, yaitu pengaturan dan pranata hukum yang berisi kebijaksanaan untuk mengarahkan kehidupan ekonomi ke suatu arah yang tertentu, dalam hal di atas yang dimaksud dengan arah tertentu yakni ke arah pemerataan dan keadilan. 78 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991, hal. 119. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Sejarah perekonomian menunjukkan bahwa pada awalnya perhatian pemerintah di banyak negara di dunia lebih tertuju pada usaha besar dan usaha menengah. Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mulai mengakui keberadaan industri kecil sebagai salah satu penopang perekonomian di suatu negara. Atih Suryati 79 mengemukakan bahwa aspek mendasar yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan usaha kecil adalah: 1 Dimilikinya keunggulan kompetitif, karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan melalui industri kecil bahan-bahan dapat diolah sehingga menghasilkan nilai tambah; 2 Industri kecil memberikan lapangan kerja; 3 Industri kecil menyalurkan keterampilan penduduk yang telah terbina secara turun-temurun terutama untuk daerah tertentu; 4 Produk industri kecil ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terutama lapisan masyarakat berpendapatan rendah; 5 Jenis produk industri kecil beraneka ragam; 6 Industri kecil merupakan sumber wiraswasta dan bibit pengusaha menengah dan besar. Keenam hal di atas telah mendasari pemerintah Indonesia khususnya untuk memelihara industri kecil sebagai basis dari perekonomian nasional. 79 Atih Suryati, “Pembinaan dan Pengembangan Industri Kecil di Indonesia”, dalam Internasional Seminar dengan Topik “Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Bandung, 23 April 2004. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Sebagai wujud nyata dari perhatian pemerintah untuk berusaha meningkatkan keberadaan usaha kecil di Indonesia disusunlah suatu produk hukum yaitu UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang berusaha untuk melindungi kepentingan usaha kecil di Indonesia. Penciptaan produk hukum ini diharapkan dapat melindungi segenap kehidupan dan kepentingan dari seluruh rakyat Indonesia termasuk usaha kecil. Hal yang perlu digarisbawahi dari UU Usaha Kecil, kemitraan ialah kerjasama usaha antara pengusaha kecil dan koperasi dan pengusaha menengah serta pengusaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh pengusaha menengah atau pengusaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungan. Adapun prinsip dari kemitraan menurut Tim IKOPIN 80 dapat dijabarkan sebagai berikut: 1 Kesalingtergantungan; 2 Saling memperkuat dan saling menguntungkan; 3 Proporsional artinya bidang garapannya disesuaikan dengan karakteristik bidang usaha yang selaras untuk masing-masing pelaku ekonomi; 4 Proaktif dalam menjalankan kegiatan, yaitu pihak-pihak terkait memiliki inisiatif serta tanggung-jawab; 5 Sinergi, yaitu keseluruhannya lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. 80 Tim IKOPIN, “Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Koperasi, BUMN, Dan BUMS Dalam Era Globalisasi”, dalam Seminar Aspek-Aspek Hukum dalam Kerjasama Bidang Usaha Koperasi, BUMN, dan Swasta, di Jakarta, 26-28 September 1997. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Program kemitraan yang dicanangkan oleh pemerintah diharapkan dapat membantu pengusaha kecil dalam menghadapi era persaingan bebas. Tujuan dari UU Usaha Kecil adalah pemberdayaan usaha kecil yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka menumbuhkan serta meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah, serta meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur perekonomian nasional. 81 Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka mendukung terlaksananya pemberdayaan bagi usaha kecil dan usaha menengah di Indonesia, hal ini meliputi: 82 penciptaan iklim usaha yang kondusif untuk bertumbuhnya usaha kecil, pembinaan dan pengembangan, pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, perlindungan terhadap penyalahgunaan. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha dalam aspek pendanaan dengan cara memperluas sumber pendanaan, meningkatkan akses terhadap sumber pendanaan, memberikan kemudahan dalam pendanaan. 83 81 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 2, 3, dan 4. 82 Soeharto Prawirokusumo, “Usaha Kecil dalam Pembangunan Ekonomi Mengantisipasi Globalisasi Pasar Bebas dalam Internasional Seminar dengan Topik: Small Scale and Micro Enterprises in Economic Development Anticipating Globalization and Free Trade”, di Jakarta, 20 Mei 2001. 83 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 7. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Peningkatan iklim usaha dalam aspek persaingan dilakukan dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan serta kebijaksanaan yang dapat meningkatkan kerjasama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil; mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar; serta mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh kelompok tertentu. 84 Penumbuhan iklim usaha dalam aspek prasarana dan informasi dilakukan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk mengadakan prasarana umum yang dapat mendorong dan mengembangkan pertumbuhan usaha kecil; memberikan keringanan tarif prasarana tertentu bagi usaha kecil; membentuk dan memanfaatkan bank data dan jaringan informasi bisnis; mengadakan dan menyebarkan informasi mengenai pasar, teknologi, desain, dan mutu. 85 Diusahakan pula penumbuhan iklim usaha dalam aspek kemitraan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk: mewujudkan kemitraan, dan mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan usaha kecil dalam pelaksanaan transaksi usaha dengan usaha menengah. 86 Ditumbuhkan pula iklim usaha dalam aspek perijinan dengan cara menetapkan kebijaksanaan untuk menyederhanakan tata cara dan jenis perijinan 84 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 8. 85 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 9. 86 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 11. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 dengan mengupayakan terwujudnya sistem pelayanan satu atap serta memberikan kemudahan persyaratan utnuk memperoleh perijinan. 87 Aspek perlindungan juga merupakan salah satu upaya yang dilakukan demi menumbuhkan iklim usaha yaitu dengan menetapkan peraturan perundang- undangan dan kebijaksanaan untuk menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi pertanian rakyat, lokasi pertambangan rakyat, dan lokasi yang wajar bagi pedagang kaki lima, serta lokasi lainnya; mencadangkan bidang dan jenis kegiatan usaha yang memiliki kekhususan proses, bersifat padat karya, serta mempunyai nilai seni budaya yang bersifat khusus dan turun temurun; mengutamakan penggunaan produk yang dihasilkan usaha kecil melalui pengadaan secara langsung dari usaha kecil; mengatur pengadaan barang atau jasa dan pemborongan kerja pemerintah; serta memberikan bantuan konsultasi hukum dan pembelaan. 88 Keseluruhan upaya yang telah dilakukan, apabila dikaitkan dengan masalah kemitraan melalui pola franchise, telah diusahakan berbagai upaya seperti pelatihan, klinik konsultasi bisnis, pembinaan, perlindungan dalam rangka menumbuhkembangkan usaha franchise ini. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan merupakan cara yang efektif untuk menumbuhkembangkan usaha 87 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 12. 88 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 13. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 kecil dan menengah di Indonesia. Kemitraan usaha dapat dicapai dengan pola- pola tertentu salah satunya adalah kemitraan usaha dengan pola franchise. Kemitraan usaha dengan pola franchise tentu dapat meningkatkan keberadaan usaha kecil dan menengah di Indonesia, hal ini didasarkan pada: 1 Pola ini akan memberikan peluang bagi pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan sumber dana yang memadai karena dengan mereka bermitra dengan pengusaha besar maka akan otomatis kepercayaan dari para pemberi sumber dana bahwa dana yang dipinjam akan dapat dikembalikan; 2 Kemampuan usaha kecil dan menengah meningkat diakibatkan dukungan dari kemitraan dengan usaha besar sehingga posisi tawar mereka meningkat dalam persaingan bisnis; 3 Kemitraan dengan pola franchise memungkinkan pengusaha kecil dan menengah mendapatkan informasi yang benar dan terkini sehingga dapat mengantisipasi permintaan pasar dengan cepat dan terarah; 4 Pola ini memungkinkan pula pengusaha kecil dan menengah memperoleh pengetahuan sesuai dengan teknologi yang canggih sehingga mereka dapat bersaing; dan 5 Membuka kemungkinan bagi pengusaha kecil dan menengah untuk dapat mengelola bisnisnya secara lebih baik karena didukung oleh standar operasi, standar pelayanan, sistem manajemen perusahaan yang biasanya didukung oleh pelatihan yang diberikan oleh perusahaan besar mitranya. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Upaya-upaya nyata yang telah dilakukan diharapkan dapat mengangkat franchisee yang sering kali berada dalam posisi yang lebih lemah, melalui pengaturan dari UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil sehingga dapat terlindungi keberadaannya. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009

BAB III KEDUDUKAN FRANCHISEE TERWARALABA UKM DALAM

KONTRAK-KONTRAK STANDAR BAKU FRANCHISE WARALABA

A. Perjanjian Franchise

Franchising sistem waralaba adalah sistem pemasaran barang dan atau jasa dan atau teknologi, yang didasarkan pada kerjasama tertutup antara franchisor pewaralaba dan franchisee terwaralaba dan terpisah baik secara hukum dan keuangan, dimana franchisor pewaralaba memberikan hak kepada para franchisee terwaralaba, dan membebankan kewajiban untuk melaksanakan bisnisnya sesuai dengan konsep dari franchisor pewaralaba. 89 Suatu paket franchise waralaba pada dasarnya merupakan satu paket yang terdiri dari beberapa jenis perjanjian. Perjanjian yang dimaksud biasanya terdiri dari perjanjian lisensi, perjanjian merek, perjanjian paten, perjanjian bantuan teknis dan mengenai perjanjian yang menyangkut kerahasiaan. 90 Franchise merupakan kerjasama bisnis dan secara teknis dapat dipahami sebagai suatu metode perluasan pasar yang digunakan oleh sebuah perusahaan yang dianggap sukses dan berkehendak meluaskan distribusi barang atau jasa melalui unit-unit bisnis eceran yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha independen dengan menggunakan merek dagang atau merek jasa, teknik 89 Madayuti Damayanti, Sistem Bisnis Waralaba di Indonesia. www.formatnews.com. Diakses tanggal 11 Juni 2009. 90 Ibid. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 pemasaran dan berada di bawah pengawasan dari perusahaan yang hendak meluaskan pasarnya dengan imbalan pembayaran fees dan royalties. Para pihak franchisor dan franchisee yang bersepakat dalam suatu transaksi franchise mempermasalahkan persoalan-persoalan yuridis, juga mengutamakan hal lain yang lebih penting yaitu adanya jaminan bahwa baik franchisor maupun franchisee adalah pihak-pihak yang secara bisnis dapat diandalkan kerjasamanya, kemampuan manajerialnya dan bonafiditasnya untuk bersama-sama membangun kerjasama bisnis. Tuntutan-tuntutan di atas sebenarnya menjadi ukuran dalam menentukan unsur-unsur pokok kesepakatan, persyaratan, hak dan kewajiban para pihak yang pada akhirnya dituangkan di dalam klausula-klausula suatu perjanjian franchise. Karena itu, perjanjian franchise harus disusun dengan sangat cermat agar kerjasama bisnis yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak secara seimbang. Martin Mendelsohn menyatakan bahwa prinsip-prinsip fundamental harus tetap ada sebagaimana halnya dalam semua transaksi franchise. Sekali lagi, penting untuk menekankan bahwa dalam menyusun pengaturan tersebut ciri-ciri fundamental, karakteristik serta syarat-syarat suatu transaksi franchise harus tetap dijaga. Sekali keutuhan konsep dan sistem yang telah di-franchise-kan dirusak maka masa depan pengembangan franchise penuh dengan resiko. 91 91 Martin Mendelsohn, Franchising : Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, alih bahasa oleh Fauzi Bustami dan Hari Wahyudi, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressido, hal. 205. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Dari sudut yang terkandung dalam suatu perjanjian franchise yang umumnya terdiri dari pasal-pasal, jika dilakukan suatu identifikasi terhadap pokok-pokok materi yang terpenting di dalam perjanjian tersebut, maka minimal terdapat klausula-klausula utama, sebagai berikut: 92 1. Objek yang di-franchise-kan Objek yang di-franchise-kan biasanya dikemukakan di awal perjanjian franchise. Objek yang di-franchise-kan harus menjelaskan secara cermat mengenai bisnis barang jasa apa yang termasuk dalam franchise. 2. Tempat berbisnis Tempat berbisnis dan penampilan yang baik dan membawa ciri franchisor dibutuhkan dalam usaha franchise. Tempat yang akan dijadikan lokasi berbisnis harus diperhatikan dengan baik agar kerjasama yang dijalankan menghasilkan keuntungan yang layak. Bagian ini memuat persyaratan tempat berbisnis yang layak untuk memasarkan barang jasa milik franchisor. Franchisor biasanya turut menentukan dan atau memberikan persetujuan kepada franchisee mengenai tempat yang akan dipakai dalam menjalankan bisnis franchise. 3. Wilayah franchise Bagian ini meliputi pemberian wilayah oleh franchisor kepada franchisee, dimana dalam pertimbangan pemberian wilayah ini harus didasarkan pada strategi pemasaran. Idealnya wilayah ini yang diberikan merupakan 92 Ibid Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 wilayah yang tidak terlampau luas ataupun terlampau sempit, sehingga dapat dieksploitasi secara maksimal. Pemberian wilayah ini didasarkan agar pemberian suatu wilayah tertentu dapat menjamin tidak ada persaingan usaha sejenis baik yang dilakukan oleh sesama franchisee ataupun oleh franchisor sendiri. 4. Sewa guna Sewa guna ini dilakukan apabila lokasi usaha franchise didapat dengan suatu sewa. Jangka waktu sewa ini paling tidak harus sama dengan jangka waktu berlakunya perjanjian franchise. Seringkali franchisee menggunakan tempat untuk berbisnis yang bukan miliknya, ia menyewa suatu tempat untuk melakukan aktivitas franchise. Dalam hal tempat tersebut diperoleh berdasarkan perjanjian sewa menyewa maka secara bijaksana lamanya waktu menyewa tempat tidak lebih singkat dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian franchise. Contoh, A seorang franchisor dan B seorang franchisee yang telah sepakat melakukan kerjasama bisnis dengan pola franchise. Jangka waktu perjanjian yang disepakati adalah 5 lima tahun. B memilih tempat di Jalan X untuk tempat melakukan aktivitasnya dengan cara menyewa, maka perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh B seyogyanya disepakati untuk jangka waktu yang lebih dari 5 lima tahun. Selain masalah jangka waktu, franchisee harus memperhatikan pula campur tangan franchisor dalam menetapkan perjanjian sewa menyewa antara Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 franchisee dengan pihak ketiga. Apalagi bila ternyata hal-hal yang harus disewa oleh franchisee ternyata masih berasal dari franchisor atau afiliasinya. Masalah sewa guna ini harus dicermati dengan seksama oleh franchisee agar hal tersebut tidak memberatkan dalam pelaksanaannya. 5. Pelatihan dan bantuan teknik dari franchisor Pelatihan merupakan hal mutlak yang harus dijalankan oleh calon franchisee ataupun para franchisor. Franchisor merasa bahwa pelatihan terutama untuk tahap awal merupakan hal yang terpenting, franchisor harus mendapatkan kepastian bahwa para franchisee beserta staf mereka telah mendapatkan pelatihan yang baik. Pelatihan dan bantuan teknik merupakan hal yang penting karena suatu bisnis dengan pola franchise mengandalkan kualitas produk baik barang jasa dan kualitas pelayanan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Kualitas yang baik hanya dapat diperoleh dengan cara pemberian pelatihan yang baik, mantap, berkualitas, serta pemberian bantuan teknik yang diberikan secara berkala oleh franchisor kepada franchisee. Franchisee harus menilai kelayakan dari pelatihan serta bantuan teknik yang berkaitan oleh franchisor kepadanya. Kelayakan ini penting karena sangat berguna bagi franchisee di dalam menjalankan bisnisnya, karena apabila franchisee tidak mendapatkan bantuan teknik serta pelatihan yang cukup maka akan mendapat kesulitan di dalam menjalankan roda bisnisnya. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 6. Standar operasional Standar operasional yang diterapkan dalam franchise biasanya tertuang dalam buku petunjuk operasional operation manuals. Petunjuk tersebut mengandung metode, dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise. Menurut Martin Mendelsohn, dalam buku pedoman yang berisikan standar bisnis ini terbagi dalam beberapa bagian, yaitu: 93 a. Pendahuluan yang memuat uraian pendahuluan yang menguraikan hakikat dasar dari sistem kerja serta falsafah bisnis jasa personal yang mendasarinya; b. Sistem operasional yang menguraikan bagaimana sistem operasi dibentuk dan bagaimana serta mengapa berbagai unsur-unsur pokok saling bersesuaian; c. Metode operasional yang mendetail menguraikan mengenai perlengkapan apa yang diperlukan, apa fungsinya, dan bagaimana mengoperasikannya; d. Serta instruksi pengopereasian yang meliputi: 1 Buka jam hari; 2 Pola-pola perdagangan; 3 Jadwal dan pergantian staf; 4 Penggunaan bentuk dan prosedur yang standar. e. Persyaratan yang berkaitan dengan penampilan staf; f. Prosedur pelatihan staf; 93 Ibid. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 g. Prosedur mempekerjakan staf dan peraturan perundang-undangannya; h. Prosedur untuk mendisiplinkan staf serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh franchisee selaku pemakai; i. Kebijakan penetapan harga; j. Kebijakan pembelian; k. Standar produk termasuk prosedur menangani keluhan pelanggan; l. Standar layanan; m. Tugas-tugas staf; n. Pembayaran uang franchise; o. Akuntansi; p. Kontrol kas dan prosedur perbankan; q. Termasuk prosedur yang berhubungan dengan cek, kartu cek dan kartu kredit; r. Periklanan dan pemasaran; s. Persyaratan yang berkenaan dengan presentasi gaya gedung yang dimiliki franchisor; t. Juga persyaratan mengenai cara untuk mempergunakan merek dagang dan atau merek jasa, asuransi, prosedur pengendalian sediaan. Standar operasional yang telah ditetapkan oleh franchisor akan berguna untuk membantu pihak franchisee di dalam pelaksanaan operasional bisnis franchisee. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 7. Pertimbangan-pertimbangan keuangan Pertimbangan-pertimbangan keuangan merupakan hal yang paling sensitif dalam perjanjian franchise. Besarnya uang yang harus dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor pada hakekatnya merupakan pengganti atas pemberian hak-haknya dari franchisor kepada franchisee. Terdapat beberapa jenis pembayaran yang menjadi kewajiban dari franchisee kepada franchisor, yaitu: initial fee, royalty, serta biaya-biaya lain yang telah disepakati yang berguna di dalam memelihara kelanjutan hubungan franchisee. Initial fee merupakan imbalan kepada franchisor atas semua jasa awal yang disediakan, seperti beberapa franchisor pada tahap awal memberikan paket jasa barang-barang dan perlengkapan. Continuing fee merupakan pembayaran jasa atas jasa terus menerus yang diberikan oleh franchisor. Dalam praktek, biasanya biaya tersebut dihitung dalam bentuk persentase dari pendapatan kotor franchisee. Royalty merupakan imbalan atas pemakaian merek barang jasa, logo, hak cipta dan sebagainya yang merupakan milik dari franchisor. Biaya lain yang dibutuhkan selain biaya di atas, antara lain: biaya pelatihan-pelatihan training yang tidak termasuk ke dalam initial fee, biaya tambahan untuk akunting, jasa komputer, periklanan dan promosi untuk pembukaan. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Hal yang harus mendapat perhatian dari franchisee sehubungan dengan biaya yang dibayarkan di atas yang terdapat dalam suatu perjanjian atau pembaharuannya yakni masalah jenis-jenis biaya yang harus dikeluarkan untuk masing-masing jenis, cara perhitungan dari jenis-jenis biaya, serta waktu pembayaran dari setiap jenis biaya yang ada. 8. Klausula-klausula kerahasiaan Perjanjian franchise selalu memuat klausula yang melarang para pihak franchisor maupun franchisee untuk memberitahukan rahasia dagang kepada pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan dengan bisnis. Klausula kerahasiaan ini amat penting dalam suatu perjanjian franchise karena bila rahasia dagang diketahui oleh pihak lain maka akan menimbulkan kompetitor pesaing baru dalam bidang bisnis jasa yang sama. Idealnya masalah yang diatur di dalam klausula kerahasiaan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian franchise diwajibkan menjaga dengan baik setiap informasi yang bersifat rahasia dengan penjatuhan sanksi yang berat apabila salah satu pihak melanggarnya. 9. Klausula-klausula yang membatasi persaingan Selain itu, biasanya pula bahwa setelah berakhirnya perjanjian maka pihak franchisee dibatasi untuk tidak berusaha dalam bisnis yang sejenis dengan usaha franchise yang sebelumnya telah dijalani selama periode tertentu. Klausula ini penting dicantumkan untuk menjaga agar bisnis franchisor dapat berjalan dengan lancar dalam arti menjaga agar tidak menimbulkan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 persaingan baru dengan mantan franchisee dalam bidang bisnis barang jasa walaupun kerjasama dengan franchisee tertentu telah berakhir. 10. Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban merupakan hal yang penting, karena memuat mengenai sampai sejauh mana tanggung jawab yang dipikul baik oleh franchisor maupun franchisee. Pertanggungjawaban para pihak harus dirumuskan secara jelas dan terperinci agar masing-masing pihak mengetahui dengan tepat hal apa saja yang menjadi dan merupakan tanggung jawabnya. Perumusan secara jelas dan terperinci akan memudahkan untuk menentukan bahwa suatu aktifitas merupakan tanggung jawab dari pihak yang mana. Contoh: dalam suatu perjanjian franchise disepakati bahwa franchisee diwajibkan untuk membeli semua bahan baku dari franchisor dengan jaminan bahwa apabila terdapat keluhan dari konsumen yang berhubungan dengan bahan baku maka pihak franchisor bertanggung jawab sepenuhnya atas keluhan tersebut. 11. Pengiklanan dan strategi pemasaran Iklan untuk jaman modern ini memegang peranan yang sangat penting, iklan yang baik tidak hanya menjual barang jasa saja akan tetapi juga menjual suatu gaya hidup terutama gaya hidup orang barat. Hal itu memang sedang digemari oleh sebagian orang-orang Indonesia yang senang meniru kehidupan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 ala asing. Akan tetapi, iklan pun harus memperhatikan pula tata krama dari masyarakat Indonesia. Masalah iklan yang perlu diperhatikan dalam perjanjian franchise ini dalam hal siapa yang berhak memasang iklan, serta siapa membiayai pemasangan iklan itu, iklan itu bersifat lokal, regional, atau bahkan internasional, berapa banyak frekuensi pengiklanannya untuk setiap bulan tahun, serta apakah franchisee dikenakan semacam iuran wajib untuk semua hal tersebut di atas. Pengiklan merupakan bagian yang penting dari strategi pemasaran, oleh karena itu dalam suatu perjanjian franchise untuk kebijaksanaan pengiklanan ini biasanya ditetapkan secara terpusat oleh franchisor. Hal yang menjadi permasalahan dalam perjanjian adalah sampai sejauh mana franchisee memiliki kebebasan dalam pengiklanan produk-produk bisnis franchise yang bersangkutan. 12. Penetapan harga dan pembelian-pembelian Penetapan harga dalam bisnis franchise ini sangat penting, apakah kewenangan penetapan harga berada di tangan franchisor sepenuhnya atau franchisee mempunyai andil pula dalam penentuan harga. Biasanya penetapan harga ditetapkan oleh franchisor dengan mempertimbangkan masukan dari franchisee. Contoh: dalam suatu kerjasama bisnis franchise ditetapkan bahwa harga jual nasi adalah sebesar Rp. X, akan tetapi franchisee memperhatikan bahwa Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 untuk daerah tersebut harga jual senilai itu terlalu tinggi karena daerah tersebut terkenal sebagai penghasil beras terbanyak, hal ini mengakibatkan harga beras murah dan otomatis maka harga nasi di daerah tersebut sangat murah. Franchisee mengusulkan khusus untuk daerah tersebut harga nasi yang ditetapkan untuk ditinjau kembali. Jadi masalah-masalah khusus yang timbul sehubungan dengan penetapan harga nerupakan hal yang perlu dinegosiasikan secara khusus oleh para pihak agar harga yang ditetapkan untuk suatu produk merupakan harga yang kompetitif serta realistis untuk suatu wilayah. Pembelian-pembelian di sini berhubungan dengan masalah bahan baku ataupun peralatan lain yang dipergunakan untuk menjual barang jasa dalam bisnis franchise. Seringkali franchisor mensyaratkan bahwa pembelian bahan baku disyaratkan untuk membeli pada pihak franchisor atau pihak yang telah ditunjuk franchisor. Untuk hal ini harus diperhatikan agar pihak franchisee tidak dirugikan serta dapat berkompetisi dengan sehat kepada para kompetitor lain. Selain itu harus memperhatikan pula hukum yang berlaku apakah syarat pembelian yang dimonopoli oleh franchisor atau perusahaan yang ditunjuk franchisor tidak menyimpang dari hukum yang berlaku. Contoh: dalam perjanjian franchise internasional disepakati bahwa bahan baku harus diimpor dari negara franchisor, sedangkan hukum negara franchisee Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 mengatur bahwa untuk bahan baku tertentu tidak diperbolehkan diimpor dari luar negeri. 13. Status badan usaha perusahaan Status perusahaan ini berkaitan erat dengan pertanggungjawaban baik dari pihak franchisor maupun franchisee. Hingga saat ini perusahaan Indonesia yang hendak melibatkan diri dalam perjanjian franchise tidak disyaratkan status badan usaha perusahaannya. Hal ini harus diperhatikan karena memberikan dampak terhadap perancangan perjanjian franchise. Menurut hukum yang berlaku di Indonesia apabila perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas PT maka pertanggungjawaban hanya sebatas saham yang dimilikinya saja. Hal ini menimbulkan dampak terhadap perjanjian franchise, bahwa harus disebutkan dalam perjanjian mengenai status badan usaha perusahaan pihak-pihak yang terikat. Status badan usaha perusahaan akan menentukan seberapa besar tanggung jawab yang dapat dituntut dari suatu pihak. 14. Hak untuk menggunakan nama dan merek dagang Dalam kerjasama franchise, tidak akan terlepas dari merek dagang atau logo serta desain dari perusahaan yang bersangkutan. Merek dagang, logo, dan desain perusahaan itu merupakan identitas dan ciri khas dari franchise itu. Franchisor akan memberikan hak penggunaan logo desain merek perusahaan kepada franchisee sehingga identitas serta penampilan bisnis franchisee akan sama dengan bisnis milik franchisor. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Masalah logo desain merek ini di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 94 Logo merupakan karya cipta yang dilindungi berdasarkan pada Undang- Undang Hak cipta Indonesia apabila dimiliki suatu perusahaan atau suatu badan hukum mendapat perlindungan hukum selama 50 lima puluh tahun sejak pertama kali logo diumumkan. Jadi suatu logo yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau suatu badan hukum yang telah didaftarkan akan mendapatkan perlindungan. Lain halnya dengan merek, jangka waktu perlindungan hukumnya diberikan selama 10 sepuluh tahun berlaku surut sejak tanggal penerimaan permintaan pendaftaran merek. Jangka waktu perlindungan hukum atas merek dapat diperpanjang. Perjanjian franchise harus memuat pula mengenai pihak yang bertanggung jawab atas pendaftaran tersebut, biasanya kewajiban mendaftarkan serta pembiayaannya ditanggung oleh pihak franchisee sesuai kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian. Hal-hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dalam menegosiasikan perjanjian franchise. 15. Masa berlaku dan kemungkinan pembaharuan perpanjangan perjanjian Prinsip dasar dalam mengatur jangka waktu perjanjian ini adalah bahwa hubungan franchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang cukup lama. 94 Lihat UU No.12 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Hubungan franchise ini merupakan hubungan bisnis yang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat mencapai hasil yang memadai. Jangka waktu perjanjian yang pendek akan memberatkan bagi pihak franchisee karena kesempatan untuk memaksimalkan fungsi operasional sangat singkat, sebaliknya apabila jangka waktu perjanjian cukup panjang maka kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari operasi franchise cukup dimungkinkan. Kesuksesan bisnis franchise bukan merupakan hal yang mudah didapat melainkan membutuhkan waktu untuk mencapainya. Waktu yang dapat dikategorikan ideal untuk sebuah perjanjian franchise adalah 5 samapai dengan 10 tahun. Jangka waktu perjanjian tersebut biasanya dapat diperpanjang kembali. Franchisee harus berhati-hati apabila dalam perjanjian dikemukakan bahwa tidak ada kesempatan untuk memperpanjang perjanjian. Franchisee harus memperhatikan serta mempertimbangkan dengan seksama syarat-syarat apa saja yang ditetapkan oleh franchisor agar ia dapat ditunjuk kembali menjadi franchisee. Contoh: biasanya franchisor dalam perjanjian Area franchise akan menetapkan bahwa franchisee diharuskan membuka 3 tiga outlet untuk tahun pertama pengoperasian, apabila target tersebut tidak terlampaui maka franchisor mempunyai hak untuk memindahkan hak franchise kepada pihak lain. Franchisee harus melihat apakah terdapat indikasi bahwa tidak terbukanya peluang untuk pembaharuan perjanjian diakibatkan upaya franchisor untuk mendapatkan biaya franchise yang tinggi. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 16. Pengakhiran perjanjian Seperti telah dikemukakan di atas, kerjasama di bidang bisnis franchise biasanya berlaku 5 sampai 10 tahun. Apabila jangka waktu itu telah terlampaui franchisor akan meninjau kembali hubungan kerjasama itu dan juga franchise seringkali berkeinginan untuk dapat terus memelihara serta memperbaharui hubungan kerjasama bisnis franchise tersebut. Hingga saat ini belum ditemukan peraturan tentang pengakhiran perjanjian franchise, namun dapat pula dilakukan penerapan bahwa pengaturannya terangkum pula dalam buku III KUH Perdata, seandainya para pihak tidak mengaturnya secara khusus dalam perjanjian. Pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena: 95 a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Contoh: pihak dalam perjanjian franchise menentukan bahwa perjanjian disepakati berlangsung selama 7 tujuh tahun, maka setelah waktu 7 tujuh tahun perjanjian akan berakhir; b. Undang-undang menentukan batas berlaku suatu perjanjian. Contoh: A franchisor dan B franchisee sepakat menjalankan bisnis franchise dalam bidang makanan. Selama masa perjanjian yang disepakati selama 10 sepuluh tahun, tiba-tiba B sebagai franchisee meninggal dunia. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian agar dilakukan 95 Martin Mendelsohn Op cit. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 pemenuhan kewajiban oleh ahli waris sebelum jangka waktu berakhirnya perjanjian yang ditetapkan oleh undang-undang; c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian menjadi hapus. Contoh: persetujuan franchise akan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia; d. Pernyataan menghentikan perjanjian oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Contoh: A franchisor menyatakan bahwa perjanjian franchise dengan B franchisee dihentikan karena B dianggap tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh A dalam perjanjian yang telah disepakati bersama; e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. Contoh: hakim memutuskan hapusnya suatu perjanjian franchise karena diminta oleh salah satu pihak; f. Tujuan perjanjian telah tercapai. Contoh: para pihak sepakat bahwa perjanjian franchisee akan dilangsungkan selama 15 lima belas tahun, setelah waktu tersebut maka dianggap tujuan dari bisnis tercapai sehingga terjadi pengakhiran perjanjian; g. Dengan persetujuan para pihak. Contoh: franchisee merasa tidak dapat memenuhi target pembukaan outlet yang ditargetkan lalu franchisee dengan persetujuan franchisor mengakhiri perjanjian franchise. 17. Penafsiran terhadap perjanjian Para pihak dapat menyepakati masalah penafsiran ini, terutama apabila dalam bisnis franchise terlibat 2 dua pihak yang berlainan bangsa, Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 kewarganegaraan. Biasanya franchisee bertanggung jawab dalam masalah penerjemahan dan pengadaptasian dari semua material dan informasi yang digunakan secara lokal dan informasi lain yang disediakan oleh franchisor, akan tetapi semua terjemahan harus sesuai dan disetujui oleh franchisor. 18. Pilihan hukum dan pilihan forum Pilihan hukum ini merupakan hal yang penting dalam hal terjadi perjanjian franchise internasional. Semua perjanjian harus benar-benar memperhatikan penetapan hukum mana yang akan diterapkan dalam perjanjian, serta tempat hukum mana yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan- perselisihan yang timbul. Pilihan hukum dalam praktek seringkali ditetapkan oleh franchisor, dalam hal ini franchisee harus mengetahui dengan jelas hukum negara apa yang dipakai agar dapat memahaminya dengan baik. Kedudukan franchisee dalam hal pilihan hukum seringkali dalam posisi yang lemah karena pihak franchisor yang biasa menetapkan pilihan hukum yang dipilih sedangkan franchisee hanya menyetujuinya saja. Selain pilihan hukum terdapat pula pemilihan forum, hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan forum apakah dimungkinkan pula untuk menyelesaikan perselisihan dengan arbitrase ataukah penyelesaian hanya berdasarkan proses yudisial biasa yakni melalui pengadilan. Elemen-elemen perjanjian yang telah dikemukakan di atas merupakan hal-hal yang dapat ditemukan dalam perjanjian franchisee pada umumnya. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Prinsip yang dapat dijadikan pedoman untuk menyetujui sebuah perjanjian franchise, yakni: 96 “Any Provision in any contract can be negotiated and change with the mutual agreement of the involved parties” Seperti yang dikemukakan di atas bahwa setiap ketentuan dalam sebuah perjanjian dapat dinegosiasikan agar menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh pihak-pihak sebelum penandatanganan perjanjian yakni: 97 “Discuss with them attorney and accountant its provisions and the obligations its places on you to perform certain functions, and determine areas for negotiation in which you can make changes to your benefit” Maksudnya adalah para pihak harus memikirkan dengan cermat dan seksama termasuk konsultasi dengan pengacara dan akuntan, mengenai isi dari ketentuan serta kewajiban yang tercantum dalam perjanjian sehingga ketika penandatanganan dilakukan, pihak-pihak telah memiliki persiapan dan pemahamam yang jelas akan isi dari perjanjian serta akibat yang ditimbulkan dari perjanjian franchise tersebut. 96 Bryce Webster, The Insider’s Guide to Franchising, Amerika: American Management Association, 1991, hal. 95. 97 Ibid. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009

B. Analisis Mengenai Perjanjian Franchise

Perjanjian atau sering disebut juga dengan kontrak pada prinsipnya merupakan hubungan hukum antara beberapa pihak yang sepakat untuk melakukan perbuatan hukum tertentu. Di samping itu pula kontrak sebagai suatu perjanjian akan mengikat para pihak dan dapat dipaksakan secara hukum. 98 Dalam hal ini perjanjian waralaba franchise yang terjadi antara Tuan A selaku business owner dan seseorang.Kontrak tersebut diberi judul “Perjanjian Kemitraan”, dalam kontrak tersebut terdapat kekeliruan yaitu posisi Tuan A selaku business owner di identitas para pihak, sementara dalam Pasal 1 angka 3 perjanjian tersebut menyebutkan bahwa owner adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan usaha yang dimilikinya kepada penerima kemitraan, dalam hal ini adalah Tuan B. Jadi disini tidak jelas apakah Tuan B sebagai owner atau penerima kemitraan. Dan Pada perjanjian kemitraan Franchise XX tersebut tidak terdapat Pasal 17. Dari pasal 16 langsung ke Pasal 18 Ketentuan yang menjadi landasan hukum dalam hukum positif di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian terhadap pelaksanaan franchise sendiri berpijak dari Pasal 1338 KUHPerdata berkenaan dengan kebebasan berkontrak. Apalagi hukum kontrak di Indonesia 98 Catherine Tay Swee Kian dan Tang See Chim, Contract Law: A Layman’s Guide, Times Books International, Singapore 1987, hal. 19-20. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 menganut suatu “sistem terbuka” open system yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk membuat kontrak terutama menyangkut materinya. Sebagaimana dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dilahirkan dari: 1. Perjanjian 2. Undang-Undang Maka demikian pula halnya dengan perjanjian franchise dengan nomor: 032MOU62009 tentang Perjanjian Kemitraan waralaba Franchise XX dan Perjanjian Kerjasama waralaba YY yang lahir karena diperjanjikan menjadi hukum bagi franchisee dan franchisor dalam suatu sistem bisnis franchise yang dijalankan. Dengan kata lain, semua perjanjian termasuk perjanjian franchise tersebut, demi tujuan kepastian hukum maka menjadi undang-undang bagi para pihak. 99 Tentu saja ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan di dalam franchise agreement tersebut dapat dipaksakan bagi para pihak yang terikat di dalamnya, yaitu franchisor Tuan A yang di satu sisi sebagai pemberi lisensi, dan franchisee di pihak lain sebagai pengguna penyewa lisensi milik franchisor. Oleh karenanya, dalam pembuatan perjanjian franchisee franchisee agremeement para pihak harus memahami materi dalam perjanjian tersebut terutama berkaitan dengan kedudukan baik terhadap hak dan kewajiban yang 99 Lihat dalam Buku Ketiga Bab Kedua Bagian Ketiga, Pasal 1340 KUH Perdata yang menyangkut Asas pacta Sunt Servanda. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 ada padanya. Pentingnya memahami materi dalam perjanjian franchisee terlihat dalam kasus Hurley Carlock v Pillsbury Company, 791 F. supp 791 D. Minn, 1989, di mana pihak franchisee dipandang melanggar perjanjian franchise yaitu menambah penjualan produk franchise di beberapa negara bagian di luar wilayah yang diperjanjikan, sehingga adanya tuntutan dari franchisee lainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam perjanjian franchise, franchisor memberikan izin hak kepada franchisee Pillsbury bahwa selain melalui Häagen Daz Shoppes juga dapat melalui metode distribusi lainnya through not only Häagen Daz Shoppes, but through any other distribution method, which way from time to time be estabilished. 100 Van Cise mensyaratkan adanya 3 tiga prinsip umum yang harus dipersiapkan dalam membuat perjanjian franchise, yaitu: 101 1. Kontrak seharusnya terbuka frank disclosure 2. Penetapan aturan-aturan di dalamnya harus seimbang fair 3. Isi dari perjanjiannya harus dapat dipaksakan kepada masing-masing pihak enforceable Perjanjian franchise biasanya menyatakan bahwa kedudukan franchisee adalah pihak yang independent dalam kontrak tersebut dan bukan merupakan agen atau pekerja bagi franchisor. 102 Dengan demikian, pengawasan yang 100 Henry R. Cheeseman, Op,cit,hal.722-723. 101 Charles L. Vaughn, Op, cit, hal. 55 102 Sebagaimana ditegaskan pula oleh Ronald A. Anderson dkk, bahwa secara teoritis, hubungan antara franchisor dan franchisee merupakan hubungan antara dua pihak yang bebas. Lihat Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 dilakukan oleh franchisor tersebut dalam beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisor tersebut dalam beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisee bukanlah pihak yang bebas dalam kontrak tersebut. 103 Hal tersebut tidak terlepas dari materi yang terdapat dalam franchise agreement dimana memberikan prioritas lebih kepada franchisor baik dalam manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa c.q. pilihan hukumgoverning law. Umumnya franchise agreement memberikan hak bagi franchisor untuk “memutuskan hubungan franchise”, bangkrut atau pailit, gagal dalam memenuhi pembayaran, atau tidak memenuhi target penjualan sales target. 104 Dalam perjanjian kerjasama Franchise XX dan Franchise YY tersebut kedudukan ftranchisor juga kuat dan menentukan dalam hal manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa c.q. pilihan hukumgoverning law, kesemuanya itu ditentukan oleh franchisor, walaupun perjanjian tersebut akan ditandatangani oleh kedua belah pihak tetapi materi dan muatan perjanjian dibuat oleh franchisor, sehingga isi Ronald A. Anderson, Ivan Fox, dan David P. Twomey, Bussiness Law, South Western Publishing Co., USA, 1984, h.596. pemahaman tersebut beranjak pula dari arti franchise sendiri yang dalam bahasa Perancis berarti bebas dari perhambaan free from servitude. Lihat pula Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996, hal. 72. 103 Lihat John D. Donnel, A. James Barnes, dan Michael B. Metzger, Law for Bussiness, Richard D. Irwin, Inc, USA, 1983, hal.366. 104 Ronald A. Anderson, Ian Fox, dan David P. Twomey, Op,cit,h.596. lihat pula dalam Henry R. Cheeseman, Op,cit, h.730. meskipun demikian franchisee dapat pula menuntut franchisor atas pemutusan perjanjian tanpa dasar wrongful termination, Ibid, hal.733. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 dari perjanjian franchise XX dan YY tersebut mencerminkan keinginan dari franchisor dalam hal ini Tuan A selaku pemilik bisnis usaha. Oleh karenanya, Dov Izraeli selanjutnya mensyaratkan adanya 6 enam hal pokok yang harus tertuang dalam perjanjian franchise, meliputi: 105 hak-hak yang dimiliki oleh franchisee antara lain seperti menggunakan merek dagang, logo, dan reputasi franchisor, menggunakan lay out, desain, paten, metode kerja, peralatan, pengembangan produk oleh franchisor, kewajiban franchisee, kewajiban franchisor, pembagian keuntungan serta sumber-sumber pemasukan franchisor, pengawasan terhadap bisnis franchisee tersebut, sehingga sistem bisnis franchise dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh Cheeseman bahwa dalam franchise agreement biasanya memuat antara lain, standar pengawasan kualitas, persyaratan pelatihan, pelarangan atas persaingan covenant not to compete oleh franchise, dan klausula arbitrase. 106 Dalam Bab ini akan dibahas mengenai analisis kontrak franchise yang ada, berdasarkan data yang ada penulis mendapatkan 2 dua contoh kontrak waralaba franchise, yaitu : dua bentuk franchise yang bergerak dalam usaha makanan, dan tergolong dalam jenis franchise untuk UKM karena dalam pemilikannya digunakan biaya yang relatif murah sesuai dengan standar modal UKM dimana untuk kontrak, disebut sebagai perjanjian kemitraan dan kontrak- 105 Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution System, Longman Group Limited, Bristol London, Cetakan Pertama, 1972, hal.33. 106 Henry R. Cheeseman, Op,cit,h.720-722. disamping itu pula, biasanya perjanjian franchise membatasi masa franchising dan memuat alternatuf tindakan untuk pembaharuan perjanjian setelah berakhirnya masa perjanjian franchise. Lihat dalam Daniel V. Davidson, dkk, Comprehensive Business Law; Principles and Cases, Kent Publishing Company, Boston- Massachusetts USA, 1987,hal.965. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 kontrak disebut sebagai perjanjian kerjasama. Dalam hal ini akan dibahas franchise XX dan franchise YY, untuk menjamin kerahasiaan bisnis franchise ini.Adapun bahan yang menjadi objek analisis adalah

1. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi a. Berdasarkan Franchisee XX

Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Pasal 22 Perjanjian tersebut dengan judul Penyelesaian Perselisihan, adapun bunyi Pasal 22 sebagai berikut: Pasal 22 PENYELESAIAN PERSELISIHAN 1. Segala perselisihan yang timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian ini diselesaikan dengan penyelesaian secara musyawarah. 2. Para pihak sepakat bahwa semua bisnis memiliki resiko. Oleh karena itu pihak sepakat untuk tidak saling menuntut menyalahkan apabila outlet kemitraan tidak berhasil dalam operasionalnya, setelah semua ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini dilakukan secara sungguh- sungguh dan maksimal. 3. Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 di atas tidak tercapai, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Negeri. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki resiko dan jika ada perselisihan diupayakan melalui jalan Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan ditempuh jalur hukum litigasi melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat, didalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase.

b. Berdasarkan Franchisee YY

Penyelesaian sengketa berdasarkan kontrak dicantumkan dalam Bab Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 dan 2 dalam Perjanjian tersebut, adapun bunyi Pasal 1 dan 2 sebagai berikut Sanksi dan Perselisihan Pasal 1 Apabila pihak kedua melanggar isi perjanjian kerjasama ini maka pihak pertama dapat menjatuhkan sanksi denda pemutusan kerjasama secara sepihak. Pasal 2 1. Segala perselisihan, pertentangan atau perbedaan yang mungkin timbul di kemudian hari sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah. 2. Apabila penyelesaian secara musyawarah tidak dapat tercapai kesepakatan, para pihak setuju untuk memilih tempat tinggal yang umum dan tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Medan. Inti dari klausula tersebut yaitu bahwa keduanya sepakat bisnis memiliki resiko dan jika ada perselisihan diupayakan melalui jalan musyawarah tetapi jika tidak tercapai maka akan ditempuh jalur hukum Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 litigasi melalui pengadilan yaitu Pengadilan Negeri setempat. Di dalam perjanjian ini tidak diatur mengenai Arbitrase.

2. Pelatihan