Pengaturan Franchise Waralaba di Eropa

antara kedua belah pihak, seringkali menginginkan penyelesaian dengan menggunakan hukum franchisor. Padahal penggunaan hukum franchisor seringkali merugikan bagi franchisee. Sehingga asas kesamaan ini seringkali menjadi masalah terutama dalam perjanjian franchise internasional. 6. Asas Kebebasan Berkontrak Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Mariam Darus Badrulzaman 62 , semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang. Perjanjian franchise merupakan perjanjian yang namanya tidak dikenal oleh undang-undang namun diatur sesuai Pasal 1338 KUH Perdata.

B. Pengaturan Franchise Waralaba di Eropa

Bisnis waralaba di Eropa terdapat pengaturan yang dimuat dalam European Code Of Ethics For Franchising. 63 Pengaturan ini berlaku sebagai kode etik dan dijunjung tinggi dalam membina hubungan franchise di negara- negara Eropa dan negara lainnya yang menundukkan diri terhadap pengaturan ini. 62 Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 109-110. 63 Lihat European Code Of Ethics For Franchising, tahun 1992. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Secara garis besar isi dari pengaturan franchise ini memuat hal-hal mengenai: definition of franchising, guiding principles, recruitments, advertising and disclosure, selection of individual franchisees, the franchise agreement, the code of ethics and the master franchise system. Hal yang patut mendapat perhatian dari pengaturan franchise ini yakni dimuatnya hal-hal yang menjadi syarat minimum yang harus ada dalam suatu perjanjian franchise. Syarat-syarat minimum yang harus ada, sebagai berikut: 64 1 The rights granted to the franchisor; 2 The rights granted to the individual franchisee; 3 The goods andor service to be provided to the individual franchisee; 4 The obligations of franchisor; 5 The obligations of individual franchisee; 6 The duration of agreement which should be long enough to allow individual franchisees to amortize their initial investments specific to the franchise; 7 The basis for any renewal of the agreement; 8 The term upon which the individual franchisee may seel of transfer the franchised business and the franchisor’s possible preemption rights in this respect; 9 Provisions relevant to the use by the individual franchisee of the franchisor’s distinctive signs, trade name, trade mark, service mark, store sign, logo, or other distinguishing identification; 64 Ibid Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 10 The franchisor’s right to adapt the franchise system to new or change methods; 11 Provisions for termination pf the agreement; 12 Provisions for surrendering promptly upon termination of the franchise agreement any tangible and intangible property belonging to franchisor or other owner thereof. Pencantuman syarat minimum yang harus tercantum dalam suatu perjanjian franchise tentu saja akan memberikan perlindungan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian itu, dan akan memperkecil kemungkinan bagi salah satu pihak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya akibat perjanjian yang tidak seimbang dan tidak adil. Hal tersebut telah diupayakan pembentukannya melalui organisasi atau badan internasional pengendali perdagangan internasional, yang menunjukkan hasil dengan terbentuknya World Trade Organization WTO. WTO merupakan organisasi perdagangan internasional. Pembentukan WTO didasari oleh General Agreement on Tariffs and Trade GATT yaitu persetujuan internasional multilateral mengenai tarif dan perdagangan yang disahkan pada tahun 1947. 65 WTO merupakan forum bagi negara-negara anggota untuk saling berinteraksi mengenai perdagangan internasional, termasuk di dalamnya perdagangan sektor jasa, investasi dalam pengembangan usaha franchise dan 65 Huala Adolf, dkk., Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1995, hal. 79. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 saham serta hak-hak milik intelektual yang berkaitan dengan perdagangan dengan sistem franchise. Selain itu berfungsi pula sebagai forum penyelesaian sengketa perdagangan internasional yang terjadi antara negara anggota, misalnya sengketa dalam franchise internasional. Kawasan perdagangan bebas sebagai wujud liberalisasi perdagangan menurut WTO, bagi negara berkembang seperti Indonesia baru akan diwujudkan pada tahun 2020. Liberalisasi perdagangan tingkat regional untuk kawasan ASEAN dan Asia Psifik sudah mulai dipersiapkan dengan disepakatinya ASEAN Free Trade Area AFTA dan Asia-Pacific Economic Cooperation APEC. AFTA atau kawasan perdagangan bebas ASEAN, bertujuan untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia Tenggara yang harus diwujudkan pada tahun 2003. Sedangkan tujuan jangka panjang APEC adalah menciptakan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik, yang pelaksanaannya dibagi dalam dua tahap yaitu tahun 2010 untuk negara-negara industri serta tahun 2020 untuk negara-negara berkembang. 66 Sebagai salah satu negara anggota AFTA, APEC, dan WTO, maka sudah dipastikan bahwa Indonesia terikat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh ketiga organisasi internasional tersebut, terlebih lagi karena Indonesia telah menyatakan kesiapannya sebagai anggota WTO berdasarkan UU 66 Ibid. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 No. 7 tahun 1994 tentang Ratifikasi Agreement on Establishing the World Trade Organization 67

C. Prospek Pengaturan Hukum Franchise Dalam Kerangka Hukum