Namun setelah pada tanggal 18 Juni 1997 Presiden telah mengatur secara positif hukum yang berlaku bagi bisnis franchise di Indonesia dengan
menetapkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Isi
PP No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba bersifat terlalu umum dan kurang menyeluruh sehingga hal-hal yang tercantum di dalamnya diatur dengan sangat
singkat dan kurang memadai untuk dapat digunakan sebagai peraturan dasar atau sumber hukum utama untuk menata kegiatan franchise di Indonesia, tetapi
kemudian lahirlah PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang memberikan penyempurnaan dari PP No. 16 Tahun 1997.
D. Pengaturan Hukum Mengenai Franchise Di Indonesia
1. Aspek Kontraktual
Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun berdasarkan undang-undang.
Perjanjian merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka masing-masing untuk melaksanakan isi
perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Untuk pembahasan selanjutnya dari penulisan ini akan dipergunakan
sebutan “perjanjian” untuk istilah persetujuan.Perjanjian menurut R. Setiawan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
71
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan dari perjanjian sebagai suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Mariam Darus Badrulzaman
72
yang menyatakan bahwa definisi dari perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1233 dan 1313 KUH Perdata
adalah tidak lengkap, dan juga tidak terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan hanya mengenai perjanjian sepihak. Dikatakan luas karena dapat
mencakup hal-hal yang mengenai perbuatan dalam lapangan hukum keluarga. Karena itu, sebagai pedoman definisi perjanjian yang dipakai dalam tulisan ini
adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Hal-hal yang berkaitan dengan perjanjian di dalam KUH Perdata diatur dalam buku III, yang menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak.
Hal ini berarti bahwa buku III KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian untuk menentukan isi perjanjian dengan
syarat tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, norma kesusilaan dan juga ketertiban umum.
73
71
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal.49.
72
Mariam Darus Badrulzaman, Loc. Cit.
73
Ibid.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
Syarat sahnya suatu perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya
perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah: a
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c
Suatu hal tertentu; d
Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua di atas dinamakan syarat subjektif, apabila
salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dipenuhi akan mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yakni jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi
batal karena hukum. Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata telah terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu
undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menegaskan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Berdasarkan hal di atas bahwa berdasarkan buku III KUH Perdata, para
pihak diberikan kebebasan dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
bertentangan dengan perundang-undangan, norma kesusilaan, dan ketertiban umum, dan juga telah memenuhi syarat sahnya perjanjian tersebut.
2. Aspek Teknis Prosedural
Pada tahun 1995 selain Undang-undang tentang Usaha Kecil, diterbitkan
pula Suatu Pedoman Pelaksanaan Keterkaitan
kemitraan di Bidang Industri Kecil yang isinya memuat mengenai pedoman kemitraan yang dapat dilaksanakan dengan berbagai cara salah satunya dengan
pola franchise. Secara singkat dapat diuraikan bahwa pedoman tersebut memuat mengenai pengertian franchise, tipe franchise, syarat dan kewajiban sebagai
franchisor dan UKM selaku franchisee, serta bidang usaha yang potensial dikembangkan dengan sistem franchise. Hal ini merupakan langkah yang cukup
positif dalam rangka pembinaan usaha kecil dan usaha menengah UKM selaku franchisee.
Sebagai tindak lanjut dari usaha pertama di atas, dalam rangka melakukan pembinaan terhadap pemahaman pengusaha kecil di Indonesia khususnya dalam
hal bisnis dengan menggunakan pola franchise telah menerbitkan dua format bisnis franchise dalam bidang makanan dan bidang distribusi keagenan produk
pakaian di Indonesia.
74
Hal ini dilaksanakan dalam rangka untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan usaha menengah UKM untuk
menerapkan sistem franchise.
74
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengusaha Kecil dan Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Pedoman Pelaksanaan Keterkaitan Kemitraan di Bidang Industri Kecil, tahun 1995.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
Kedua format bisnis yang disusun tersebut secara garis besar akan diuraikan dalam pembahasan berikut ini. Format bisnis franchise pada dasarnya
adalah suatu sistem untuk mempersiapkan suatu bisnis apakah memenuhi syarat untuk di-franchise-kan, serta prosedur-prosedur apakah yang harus ditempuh
UKM dan peralatan-peralatan apakah yang dibutuhkan UKM termasuk aspek landasan hukum.
Persyaratan dan prosedur yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang diperlukan oleh franchisee untuk menguji apakah suatu perusahaan dapat
menjadi franchisor, adalah:
75
1. Pengalaman Bisnis Business Experience
Perusahan yang memenuhi syarat sebagai franchisor harus memiliki pengalaman bisnis minimal 3 tiga tahun secara terus menerus. Hal ini penting
karena pengalaman bisnis yang cukup akan membantu franchisor memahami secara baik mengenai seluk-beluk bisnisnya. Selain itu, hal ini diperlukan untuk
melindungi para UKM selaku franchisee dari praktek penjualan franchise oleh para franchisor-nya secara tidak bertanggung jawab.
2. Kemampulabaan Profitability
Persyaratan selanjutnya adalah perusahaan yang akan di- franchise-kan harus terbukti memiliki daya untuk mendatangkan laba yang cukup tinggi. Hal
ini penting karena UKM selaku franchisee terwaralaba dapat terjebak dalam
75
Disarikan dari Hasil wawancara dengan Departemen Hukum dan HAM di Jakarta pada tanggal 22-24 Juni 2009
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009