B. Analisis Mengenai Perjanjian Franchise
Perjanjian atau sering disebut juga dengan kontrak pada prinsipnya merupakan hubungan hukum antara beberapa pihak yang sepakat untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu. Di samping itu pula kontrak sebagai suatu perjanjian akan mengikat para pihak dan dapat dipaksakan secara
hukum.
98
Dalam hal ini perjanjian waralaba franchise yang terjadi antara Tuan A selaku business owner dan seseorang.Kontrak tersebut diberi judul
“Perjanjian Kemitraan”, dalam kontrak tersebut terdapat kekeliruan yaitu posisi Tuan A selaku business owner di identitas para pihak, sementara dalam
Pasal 1 angka 3 perjanjian tersebut menyebutkan bahwa owner adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan usaha yang dimilikinya kepada penerima kemitraan, dalam hal ini adalah Tuan B. Jadi disini tidak jelas apakah Tuan B sebagai owner atau
penerima kemitraan. Dan Pada perjanjian kemitraan Franchise XX tersebut tidak terdapat Pasal 17. Dari pasal 16 langsung ke Pasal 18
Ketentuan yang menjadi landasan hukum dalam hukum positif di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian
terhadap pelaksanaan franchise sendiri berpijak dari Pasal 1338 KUHPerdata berkenaan dengan kebebasan berkontrak. Apalagi hukum kontrak di Indonesia
98
Catherine Tay Swee Kian dan Tang See Chim, Contract Law: A Layman’s Guide, Times Books International, Singapore 1987, hal. 19-20.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
menganut suatu “sistem terbuka” open system yang memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk membuat kontrak terutama menyangkut materinya.
Sebagaimana dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dilahirkan dari:
1. Perjanjian
2. Undang-Undang
Maka demikian pula halnya dengan perjanjian franchise dengan nomor: 032MOU62009 tentang Perjanjian Kemitraan waralaba Franchise XX dan
Perjanjian Kerjasama waralaba YY yang lahir karena diperjanjikan menjadi hukum bagi franchisee dan franchisor dalam suatu sistem bisnis franchise yang
dijalankan. Dengan kata lain, semua perjanjian termasuk perjanjian franchise tersebut, demi tujuan kepastian hukum maka menjadi undang-undang bagi
para pihak.
99
Tentu saja ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan di dalam franchise agreement tersebut dapat dipaksakan bagi para pihak yang terikat di
dalamnya, yaitu franchisor Tuan A yang di satu sisi sebagai pemberi lisensi, dan franchisee di pihak lain sebagai pengguna penyewa lisensi milik
franchisor. Oleh karenanya, dalam pembuatan perjanjian franchisee franchisee
agremeement para pihak harus memahami materi dalam perjanjian tersebut terutama berkaitan dengan kedudukan baik terhadap hak dan kewajiban yang
99
Lihat dalam Buku Ketiga Bab Kedua Bagian Ketiga, Pasal 1340 KUH Perdata yang menyangkut Asas pacta Sunt Servanda.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
ada padanya. Pentingnya memahami materi dalam perjanjian franchisee terlihat dalam kasus Hurley Carlock v Pillsbury Company, 791 F. supp 791 D. Minn,
1989, di mana pihak franchisee dipandang melanggar perjanjian franchise yaitu menambah penjualan produk franchise di beberapa negara bagian di luar
wilayah yang diperjanjikan, sehingga adanya tuntutan dari franchisee lainnya. Hal tersebut dikarenakan dalam perjanjian franchise, franchisor memberikan
izin hak kepada franchisee Pillsbury bahwa selain melalui Häagen Daz Shoppes juga dapat melalui metode distribusi lainnya through not only
Häagen Daz Shoppes, but through any other distribution method, which way from time to time be estabilished.
100
Van Cise mensyaratkan adanya 3 tiga
prinsip umum yang harus dipersiapkan dalam membuat perjanjian franchise, yaitu:
101
1. Kontrak seharusnya terbuka frank disclosure
2. Penetapan aturan-aturan di dalamnya harus seimbang fair
3. Isi dari perjanjiannya harus dapat dipaksakan kepada masing-masing
pihak enforceable Perjanjian franchise biasanya menyatakan bahwa kedudukan franchisee
adalah pihak yang independent dalam kontrak tersebut dan bukan merupakan agen atau pekerja bagi franchisor.
102
Dengan demikian, pengawasan yang
100
Henry R. Cheeseman, Op,cit,hal.722-723.
101
Charles L. Vaughn, Op, cit, hal. 55
102
Sebagaimana ditegaskan pula oleh Ronald A. Anderson dkk, bahwa secara teoritis, hubungan antara franchisor dan franchisee merupakan hubungan antara dua pihak yang bebas. Lihat
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
dilakukan oleh franchisor tersebut dalam beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisor tersebut dalam
beberapa kasus yang terjadi selama ini menimbulkan anggapan bagi pengadilan bahwa franchisee bukanlah pihak yang bebas dalam kontrak tersebut.
103
Hal tersebut tidak terlepas dari materi yang terdapat dalam franchise agreement dimana memberikan prioritas lebih kepada franchisor baik dalam
manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa c.q. pilihan hukumgoverning law. Umumnya franchise agreement
memberikan hak bagi franchisor untuk “memutuskan hubungan franchise”, bangkrut atau pailit, gagal dalam memenuhi pembayaran, atau tidak memenuhi
target penjualan sales target.
104
Dalam perjanjian kerjasama Franchise XX dan Franchise YY tersebut kedudukan ftranchisor juga kuat dan menentukan
dalam hal manajemen, penetuan royalty bahkan pada persoalan penyelesaian sengketa c.q. pilihan hukumgoverning law, kesemuanya itu ditentukan oleh
franchisor, walaupun perjanjian tersebut akan ditandatangani oleh kedua belah pihak tetapi materi dan muatan perjanjian dibuat oleh franchisor, sehingga isi
Ronald A. Anderson, Ivan Fox, dan David P. Twomey, Bussiness Law, South Western Publishing Co., USA, 1984, h.596. pemahaman tersebut beranjak pula dari arti franchise sendiri yang dalam bahasa
Perancis berarti bebas dari perhambaan free from servitude. Lihat pula Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Pertama, 1996, hal. 72.
103
Lihat John D. Donnel, A. James Barnes, dan Michael B. Metzger, Law for Bussiness, Richard D. Irwin, Inc, USA, 1983, hal.366.
104
Ronald A. Anderson, Ian Fox, dan David P. Twomey, Op,cit,h.596. lihat pula dalam Henry R. Cheeseman, Op,cit, h.730. meskipun demikian franchisee dapat pula menuntut franchisor
atas pemutusan perjanjian tanpa dasar wrongful termination, Ibid, hal.733.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
dari perjanjian franchise XX dan YY tersebut mencerminkan keinginan dari franchisor dalam hal ini Tuan A selaku pemilik bisnis usaha.
Oleh karenanya, Dov Izraeli selanjutnya mensyaratkan adanya 6 enam hal pokok yang harus tertuang dalam perjanjian franchise, meliputi:
105
hak-hak yang dimiliki oleh franchisee antara lain seperti menggunakan merek dagang,
logo, dan reputasi franchisor, menggunakan lay out, desain, paten, metode kerja, peralatan, pengembangan produk oleh franchisor, kewajiban franchisee,
kewajiban franchisor, pembagian keuntungan serta sumber-sumber pemasukan franchisor, pengawasan terhadap bisnis franchisee tersebut, sehingga sistem
bisnis franchise dapat berjalan dengan baik. Sebagaimana dikemukakan oleh
Cheeseman bahwa dalam franchise agreement biasanya memuat antara lain,
standar pengawasan kualitas, persyaratan pelatihan, pelarangan atas persaingan covenant not to compete oleh franchise, dan klausula arbitrase.
106
Dalam Bab ini akan dibahas mengenai analisis kontrak franchise yang ada, berdasarkan data yang ada penulis mendapatkan 2 dua contoh kontrak
waralaba franchise, yaitu : dua bentuk franchise yang bergerak dalam usaha makanan, dan tergolong dalam jenis franchise untuk UKM karena dalam
pemilikannya digunakan biaya yang relatif murah sesuai dengan standar modal UKM dimana untuk kontrak, disebut sebagai perjanjian kemitraan dan kontrak-
105
Dov Izraeli, Franchising and The Total Distribution System, Longman Group Limited, Bristol London, Cetakan Pertama, 1972, hal.33.
106
Henry R. Cheeseman, Op,cit,h.720-722. disamping itu pula, biasanya perjanjian franchise membatasi masa franchising dan memuat alternatuf tindakan untuk pembaharuan perjanjian setelah
berakhirnya masa perjanjian franchise. Lihat dalam Daniel V. Davidson, dkk, Comprehensive Business Law; Principles and Cases, Kent Publishing Company, Boston- Massachusetts USA, 1987,hal.965.
Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009
kontrak disebut sebagai perjanjian kerjasama. Dalam hal ini akan dibahas franchise XX dan franchise YY, untuk menjamin kerahasiaan bisnis franchise
ini.Adapun bahan yang menjadi objek analisis adalah
1. Penyelesaian Sengketa dan Sanksi a. Berdasarkan Franchisee XX