Penyelesaian Sengketa UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH UKM SEBAGAI

BAB IV UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH UKM SEBAGAI

FRANCHISEE DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA YANG LAHIR DARI PELAKSANAAN KONTRAK FRANCHISE WARALABA

A. Penyelesaian Sengketa

Salah satu materi yang termuat dalam perjanjian franchise adalah berkaitan dengan penyelesaian sengketa dispute resolution. Hal-hal yang menyangkut persoalan sengketa sendiri sebenarnya erat kaitannya dengan suatu keadaan yang terjadi di luar kesepakatan sebagaimana tertuang dalam perjanjian franchise tersebut penyimpangan ketentuan dalam franchise agreement. 128 Selain itu pula, mungkin saja disebabkan adanya pengakhiran pemutusan hubungan bisnis termination secara sepihak yang selanjutnya akan memunculkan sengketa. Namun demikian umumnya dalam suatu perjanjian memberikan hak pada salah satu pihak untuk melakukan pengakhiran perjanjian dalam hal pihak lain melanggar komitmen dalam perjanjian. 129 Persoalan penyelesaian sengketa ini juga tidak terlepas dari pembahasan yang menyangkut pilihan hukum governing law choice of law dalam materi perjanjian franchise tersebut maupun pilihan forum choice of forum. Hal tersebut dapat dipahami bahwa dalam perjanjian franchise akan memuat 128 Menurut Nicholas Rose ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya sengketa, yaitu antara lain tidak memenuhi pembayaran, tidak dipenuhinya standar pengawasan keuangan yang layak, tidak dipenuhinya standar pengawasan kualitas yang memadai, buruknya pelatihan staf dan pelayanan, pelanggaran syarat-syarat kerahasiaan, tidak dipenuhinya persyaratan tentang non kompetisi. Lihat Nicholas Rose, Resolving International Franchise, Yanos Gramatidis, dan Dennis Campbell, op.cit., hal. 113-114. 129 A.G.J. Berg, Drafting Commercial Agreement, Kerry Press Ltd, Luton, Bedfordshire, Great Britain, 1992, hal. 135-136. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 alternatif penyelesaian sengketa yang terjadi dalam hubungan franchise tersebut diikuti dengan pilihan hukum yang akan diterapkan terhadap penyelesaian sengketa yang terjadi. Meskipun dalam yurisprudensi diakui choice of yurisdiction dan choice of forum, namun berdasarkan ketentuan Pasal 436 Rv, putusan pada pengadilan di negeri asing tidak dapat dieksekusi di negara Indonesia kecuali diatur perjanjian antar negara terhadap sengketa tersebut. Berkenaan dengan masalah pilihan hukum choice of law, beberapa franchisor umumnya lebih menghendaki hukum negara mereka daripada menggunakan hukum negara franchisee. Namun demikian seandainya muncul masalah hukum dan franchisor mengharapkan pemaksaan atas ketentuan dalam perjanjian maka akan ditempuh melaui jalur pengadilan enforcement of a judgement tempat kedudukan franchisor berada. 130 Adapun yang menyangkut pilihan forum choice of law maka terhadap franchisee yang berasal dari negara-negara yang memiliki hukum dagang atau kebijaksanaan pemerintah atau peradilan yang masih berkembang, pada umumnya franchisor akan menerapkan hukum atau pengadilan negaranya atau pada arbitrase internasional dalam hal terjadinya sengketa, seperti The International Chamber of Commerce ICC, The United Nations Commisions on International Arbitration UNCITRAL, serta The American Arbitration Association 130 Yanos Gramatidis and Campbell, op.cit, hal. 49. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 AAA. 131 Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Antony W. Dnes, dalam hal terjadinya pengakhiran perjanjian, dari 15 franchisor yang diteliti di Amerika Serikat, maka dalam beberapa hal terjadinya pemutusan pengakhiran suatu perjanjian terlihat ada 7 franchisor yang menggunakan jalur arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa. 132 Selanjutnya dalam suatu agreement terhadap penyelesaian sengketa sebelum melalui jalur hukum maka ditempuh upaya perdamaian terlebih dahulu. Sebagaimana dalam perjanjian franchise Oxford Course Indonesiam, pengertian penyelesaian sengketa disebutkan sebagai “perbedaan pendapat” di mana dalam hal terjadinya perbedaan pendapat maka akan ditempuh melalui musyawarah kekeluargaan, namun jika tidak berhasil akan ditempuh melalui Pengadilan Negeri tempat domisili franchisor. Upaya musyawarah atau yang dikenal dengan negoisasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang umumnya terjadi. Lain halnya dengan perjanjian franchise yang dilakukan oleh Chicken Delight Inc., dalam hal terjadinya pengakhiran perjanjian franchise akan digunakan melalui lembaga arbitrase, yaitu AAA. Pengaturan tentang penggunaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dalam perjanjian franchise biasanya ditentukan sebelum sengketa 131 Ibid, hal. 49-50. 132 Antony W. Dnes, op.cit. hal. 388-390. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 terjadi. Hal semacam ini dikenal sebagai pactum de compromittendo sebagaimana dalam Pasal 615 ayat 3 Rv. 133 Negoisasi sendiri menyangkut hubungan tawar menawar bargaining antara dua atau lebih pihak yang mempunyai konflik kepentingan yang sudah terjadi atau musyawarah tersebut mungkin bisa sangat kolaboratif jika dalam pemecahan masalah digunakan pendekatan bargaining yang didasarkan pada kepentingan, atau mungkin akan lebih adversarial jika pihak-pihak yang terlibat dalam memutuskan untuk menggunakan bargaining untuk mempertahankan kepentingan yang berbeda tersebut. Oleh karenanya pihak- pihak yang terlibat mempunyai kontrol terhadap hasil-hasil konflik sengketa, merupakan variasi dari atau perluasan dari proses negoisasi. 134 Selanjutnya, jika kita perhatikan pada perjanjian franchise yang ada tersebut, terhadap kewenangan franchisor dalam menentukan penggunaan suatu alternatif penyelesaian sengketa baik dalam pilihan hukum governing law choice of law maupun pilihan forum choice of forum menunjukkan bahwa kedudukan franchisor sangat dominan. Terlihat pula eksistensi tawar menawar dalam franchising dimiliki oleh franchisor. 133 Meskipun arbitrase atau peradilan wasit bukan merupakan peradilan resmi namun dalam hal putusan dalam arbitrase tidak ditepati oleh para pihak maka eksekusi dapat dimintakan melalui pengadilan negeri dalam wilayah hokum putusan wasit diambil Pasal 637 bsd 634 ayat 1 Rv. Lihat R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I Bagian I, Dian Rakyat, Jakarta, 1983, hal. 206-214. 134 Jerome Delli, Prosedur Penyelesaian Sengketa: Rangkaian Kesatuan, artikel dalam Alternative Dispute Resolution ADR, CDR Associates, didokumentasikan oleh Pustadok LKBH UII, tanpa tahun, Yogyakarta, h. 16.Terhadap penggunaan klausula arbitrase , tidak ada keberatan dalam suatu kontrak sebagai penyelesaian sengketa. Klausula tersebut sah dan mengikat bagi para pihak. Lihat A.G. Guest, op.cit, hal. 358. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 Memang jika dikaitkan dengan persoalan ketentuan materi pilihan hukum dan pilihan forum yang dibuat dalam franchisee agreement merupakan bentuk kebebasan berkontrak dari masing-masing pihak. Hal tersebut tidak menjadi persoalan hukum sepanjang tidak melanggar beberapa pembatasan terhadap pilihan hukum atau pilihan forum itu sendiri, seperti melanggar ketentuan ketertiban atau kepentingan umum. Meskipun persoalan ketertiban atau kepentingan umum sendiri masih merupakan perdebatan namun dapat dipergunakan ibaratnya sebagai “rem darurat pada kereta api” jika diperlukan. 135 Selanjutnya jika dikaitkan dengan Teori The Most Characteristic Connection, penentuan pilihan hukum dan forum dalam penyelesaian sengketa baik terhadap perjanjian franchise Oxford Course Indonesia maupun Chicken Delight Inc. jika dipandang dari aspek keberadaan franchisor merupakan pihak yang karakteristik kepemilikan nama logo maupun teknologi dipandang sah saja, akan tetapi dilihat secara keseluruhan materi yang termuat dalam perjanjian franchise yang memberikan lebih menguntungkan franchisor maka dalam pandangan perlindungan hukum franchisee justru patut dipertimbangkan penggunaan pilihan hukum dan pilihan forum dari jurisdiksi franchisee. Bahkan terhadap bentuk franchise asing yang beroperasinya di Indonesia esesensinya merupakan PMDN maka karakteristiknya melekat pada 135 Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II Bagian Ketiga buku keempat, Alumni, Bandung, 1989, hal. 8. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 franchisee, mengingat modal maupun tempat bisnis yang dijalankan ada di wilayah atau negara franchisee. Sebagaimana terlihat dalam pembahasan tentang manajemen maupun royalti diatas bahwa ketentuan-ketentuan yang termuat dalam franchise agreement selama ini tampaknya kurang akomodatif bagi perlindungan kepentingan franchisee. Franchisor mempunyai kebebasan untuk memutuskan franchising dengan franchiseenya, yang biasanya demi alasan bisnis. Tapi kadangkala terjadi bahwa franchisor harus memutuskan franchisee mereka dengan alasan berbenturan dengan ketentuan anti trust sebagai bagian dalam perjanjian dengan franchisee lainnya, sebagai contoh, pembagian wilayah, peningkatan harga dan sebagainya. 136 Beberapa kasus yang dapat menjadi contoh antara lain adalah kasus Pizza Hut PT. Sarimelati Kencana v PT. Habaputra Primanusa, maupun yang berkaitan dengan anti trust, yaitu kasus Monsanto Co. v Spray Rite Service Corp. 137 Secara umum analisis terhadap materi perjanjian franchise yang menyangkut manajemen, royalti, maupun penyelesaian sengketa menunjukkan bahwa kekuatan bisnis franchise baik bargaining position, akumulasi atas keuntungan bisnis franchise, maupun kedudukan dalam hal terjadi suatu 136 Jethro K. Lieberman dan George J. Siedel, op.cit, hal. 615-616. 137 Dengan alasan franchisee Spray Rite gagal dalam pelatihan sales dan gagal dalam meningkatkan penjualan, franchisor Monsanto melakukan pemutusan hubungan termination. Sebenarnya franchisor berdasarkan keputusan para juri di pengadilan dinyatakan telah melanggar Section 1 of The Sherman Act, berkonspirasi dengan distributor lainnya menetukan harga penjualan yang mengakibatkan monopoli lainnya menetukan harga penjualan yang mengakibatkan monopoli maupun kerugian franchisee distributor lainnya. Ibid, hal. 616-618. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 dispute masih berfokus pada franchisor sebagai pemegang lisensi bisnis franchise. Hal tersebut mengingat bahwa sebagai suatu bentuk lisensi, franchising dalam praktiknya tidak dilakukan pendaftaran registration maupun keterbukaan disclosure dalam memberikan informasi tentang usaha yang bersangkutan. Dengan kata lain, perjanjian franchise sebagai suatu perjanjian lisensi khusus specific lisence agreement merupakan bentuk perjanjian di bawah tangan 138 maka dalam hal terjadi sengketa keberadaan perjanjian tersebut dalam hal pembuktian tetap sah sepanjang memenuhi persyaratan sebagai alat bukti. Oleh karena itu, kemungkinan untuk kerjasama bisnis franchise dengan materi perjanjian yang ditentukan oleh franchisor tanpa proses bargaining menjadikan satu perhatian khusus bagi perlindungan hukum franchisee. Tentu saja perlindungan hukum yang dimaksudkan agar adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban serta praktik-praktik bisnis yang fair. Oleh karenanya, jika dikaitkan dengan kriteria yang diajukan oleh Michael Y. Yushino dan U. Srinavasa Rangan berkaitan dengan kemitraan atau aliansi strategik di muka 139 , berdasarkan analisis dari materi perjanjian 138 Dalam konteks hukum positif Indonesia, perjanjian di bawah tangan yang dapat dikatakan sebagai suatu akta tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam Stb. 1867 No. 29 untuk Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 286 s.d. 305 Rbg vide Pasal 1874-1880 BW. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 125-126. 139 Micheal Y. Yushino dan U. Srinavasa Rangan”seminar dengan topik Franchisee dan Franchisor Jakarta 22 Juni 2000. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 franchisee yang ada, beberapa hal yang bisa dikemukakan sebagai berikut, meskipun secara hukum kedudukan franchisor maupun franchisee adalah independen namun dengan adanya pembatasan tindakan franchisee harus sepengetahuan dan seijin franchisor atau prinsipalnya menjadikan keberadaan franchisee adalah tidak sepenuhnya independen. Demikian pula dalam hal “manfaat” dan “pengendalian” maka meskipun franchisor memperoleh franchise fee dan royalti sedangkan franchisee memperoleh nama dan pelanggan tetap dalam hal pengendalian franchisor yang berperan terhadap hasil kegiatan karena kedudukannya sebagai pemimpin sistem bisnis. Kontribusi strategik yang kontinu pun harus berfokus pada pihak franchisor saja. Contoh Kasus Waralaba dan Analisisnya pada kasus Dunkin Donuts of America, Inc. v Middletown Donut Corp., dimana Gerald Smothergill sebagai franchisee c.q. Middletown Donut Corp mengadakan perjanjian penyewaan dan franchise dengan Dunkin’ Donuts. Pada perkembangannya, dengan alasan secara sengaja tidak melaporkan penjualan bruto gross sales secara tertulis, serta tidak segera berusaha membayar kewajiban franchise fee dan advertising fee ditambah lagi menolak menyerahkan Dunkin’ Donuts stores, maka Dunkin’ Donuts memutuskan perjanjian franchise. Bahkan pemutusan tersebut dapat saja merupakan wrongful termination, seperti pada kasus yang muncul di Pengadilan Chicago Tahun 1982, ketika Mc Donald’s Corporation menggugat pengusaha 14 restoran Mc Donald’s di Paris yang menerima franchise-nya, Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 dengan alasan burger yang disajikan terlalu panas dan pelayanan servicenya lambat. Hakim yang menangani ternyata memerintahkan pengusaha Paris itu menyerahkan kembali franchise-nya. Padahal pengusaha tersebut mengklaim bahwa bisnisnya berjalan sukses, dan balik menuding Mc Donald’s Corporation hanya ingin mengambil kembali franchise-nya untuk diserahkan pada pengusaha lain dengan syarat-syarat yang lebih menguntungkan. 140 Selanjutnya dalam perjanjian franchise c.q. Yayasan Pendidikan Oxford Cource Indonesia, meskipun adanya kerjasama franchise antara franchisor dan franchisee, akan tetapi bukan berarti kepemilikan franchise berpindah kepada franchisee tetap dimiliki oleh franchisor. Hal tersebut dapat dilihat pula dalam perjanjian franchise Chicken Delight, Inc, yang juga tidak menyatakan bahwa dengan franchising akan beralih hak kepemilikan franchise. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam franchise bukan berarti jual beli perusahaan, produkjasa atau merek dagang, melainkan merupakan suatu bentuk lisensi dengan batas waktu yang ditentukan dengan adanya kompensasi yang harus diberikan kepada franchisor. Persoalan kepemilikan tersebut bukan hanya terhadap franchise atau sistem bisnis saja, namun dalam hal berakhirnya kerjasama franchise akan terjadi kepemilikan pula terhadap seluruh elemen- elemen yang menyangkut dalam pelaksanaan bisnis tersebut antara lain meliputi: keberadaan peserta kursus, materi pelajaran, promosi dan peralatan 140 Anonim, Aspek Hukum dari “Franchise”, Artikel dalam Kliping Perpustakaan IPPM, tanggal 21 Januari 1996. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 administrasi lainnya yang berkaitan dengan eksistensi usaha yang dimiliki franchisor. Berbeda halnya dengan perjanjian franchise Chicken Delight, Inc., dalam keadaan berakhirnya perjanjian franchise, maka pihak franchisor mempunyai hak opsi untuk membeli seluruh asset. Ketentuan yang memuat hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan franchisor secara dominant memiliki keuntungan bisnis dalam hal berakhirnya perjanjian. Hal ini juga bias dilihat dengan adanya pengalihan asset ataupun peserta kursus beserta barang cetakan, yang ada hubungannya dengan administrasi dan bahan produksi yaitu pada perjanjian franchise Oxford Course Indonesia akan dimiliki oleh franchisor. Pada Kasus Oliver, meskipun terkadang franchisor harus membeli sewa yang belum selesai dan franchisor harus membeli asset sesuai dengan skala depresiasi dan pengembalian sebagaimana initial investment franchise sebagai contoh, 70 dari initial investment harus dikembalikan jika pemutusan dalam jangka waktu 1 tahun permulaan. Setidak-tidaknya hal tersebut merupakan perlindungan terhadap keberadaan franchise akibat kesalahan yang dilakukan oleh franchisor. 141 Umumnya franchisee ingin melakukan perluasan bisnis franchise dengan men-subfranchise-kan akan tetapi dalam perjanjian franchise yang ada selama ini tidak mengatur hak bagi franchisee mengelola manajemennya dalam hal men-subfranchise-kan. Dengan kata lain tidak diberikan hak untuk men- 141 Antony W. Dnes, A Case- Study Analysis of Franchise Contracts, Journal of Legal Studies, Vol. XXII June 1993, University of Chicago, hal.372. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 subfranchise-kan kembali bisnis tersebut sebagai alat franchisor untuk mengatur hubungan bisnis antar franchisee satu dengan yang lainnya dalam kendali tangannya. Kasus menarik yang muncul berkaitan dengan hal tersebut adalah PT. Sarimelati Kencana selaku master franchise Pizza Hut di Indonesia melawan PT. Habaputra Primanusa, yang mana PT. Sarimelati Kencana melakukan perjanjian franchise secara di bawah tangan dengan PT. Habaputra Primanusa, yang sebenarnya master franchise tersebut tidak diberikan hak untuk men-subfranchise-kan hak yang dimilikinya kepada pihak lain. Tanpa adanya pelatihan, maka dimungkinkan sekali franchisee ketika akan mengangkat karyawan, misalnya seperti manajer baru justru akan menjadi problem tersendiri seandainya kedudukan franchisor sebenarnya adalah master franchise subfranchise atau perusahaannya dibeli oleh perusahaan lain yang selanjutnya akan menjadi franchisor baru dan akan menggunakan alasan ketidakmampuan franchisee dalam mengelola bisnisnya untuk melakukan pemutusan hubungan bisnis. Sebagaimana dalam kasus Seven Up Bottling Company Bangkok Ltd., yang disebut sebagai the bottler v Pepsico, Inc., di mana saat itu the bottler mengangkat direktur manajer baru ternyata mempengaruhi produktivitas dan kinerja perusahaan, sehingga kondisi bisnis semakin buruk. Kemudian dilakukan renegoisasi dengan the company untuk penyelesaian masalah internal the bottler. Namun beberapa tahun kemudian sebelum perjanjian berakhir Seven-Up the company dibeli oleh Pepsico Inc., Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 memutuskan hubungan franchisee the bottler. 142 Dalam operating license agreement yang merupakan perjanjian assecoir pada perjanjian franchise Mc Donald’s dengan master franchise di Indonesia, Bambang N. Rachmadi, dalam hal pelatihan sudah menerapkan standar tersendiri. Pelatihan dilakukan di Hamburger University dalam rangka informasi akan berarti pentingnya kualitas menjalankan bisnis yang menggunakan sistem Mc Donald’s. oleh karenanya baik karyawan terlebih lagi manajer restoran harus melengkapi kursus aplikasi bisnis utama the advanced operations course pada Hamburger University. Berbeda halnya dengan perjanjian franchise yang dilakukan antara Alaska Pancake House, Inc., selaku franchisor dengan Pancake Syrup, Inc., selaku franchisee pada tanggal 2 Januari 1992 143 yang bergerak di bidang restaurant tampak lebih jelas dalam menentukan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh franchisee. Franchisor dalam hal ini memberikan program pelatihan dalam kaitannya untuk mengoperasikan restauran, bentuk bisnis dan kebijaksanaan-kebijaksanaan bisnis yang ditempuh. Disamping itu pula, ditambah dengan pemberian konsultasi secara periodik yang inherent dengan program pelatihan tersebut. Meskipun demikian keseluruhan biaya-biaya atas pelaksanaan program pelatihan tersebut adalah menjadi beban franchisee. Namun demikian, setidak-tidaknya dengan adanya konsultasi yang dilakukan 142 Carolyn Hotchkiss, International Law for Business, Mc Graw-Hill Inc., New York, 1994, hal. 268. 143 Henry R. Cheesman, op.cit, hal. 74. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009 secara periodik selain menjadi wahana untuk meningkatkan kualitas operasional bisnis, juga sebagai bentuk pengawasan, serta bantuan teknis. Selajutnya persoalan penentuan wilayah bisnis kaitannya dengan persaingan bisnis yang seharusnya diatur secara khusus dalam materi perjanjian franchise, namun dalam perjanjian Franchise Chicken Delight Inc., tidak termuat. Hal ini justru akan memungkinkan terciptanya praktik bisnis yang tidak sehat unfair business. Sebagai contoh untuk melakukan pemutusan hubungan pihak franchisor mendirikan atau memberikan hak franchise kepada franchisee lainnya. Hal ini tidak terlepas dari “monopoly power” dalam perjanjian franchise. Dimungkinkannya konspirasi antar franchisor dengan franchisee lainnya untuk memutuskan hubungan franchising franchisee yang bersangkutan. Praktik semacam ini bisa dikategorikan pelanggaran terhadap Section 5 Federal Trade Commission Act berkaitan dengan “unfair methods of competition”. 144 Dengan demikian jelas bahwa pengaturan atau manajemen pembagian wilayah bisnis menjadi hal yang sangat penting untuk diatur dalam perjanjian franchisee. 144 Gary A. Moore, Arthur M. Magaldi, and John A. Gray, The Legal Environment of Business: A Contextual Approach, South Western Publishing Co., Ohio-USA, hal. 365-433. Dupa Andhyka S.Kembaren : Kedudukan Hukum Ukm Selaku Franchisee Terwaralaba Dalam Pengaturan Franchise Waralaba Di Indonesia, 2009

B. Proses Penyelesaian Sengketa berdasarkan kontrak