Humanisme dalam Sastra Perkembangan Seputar Humanisme

3. Humanisme dalam Sastra

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut. Dalam kisahnya tentang Gubug Paman Tom Harriet Beecher-Stow membuka mata masyarakat terhadap nasib budak belian di Amerika Serikat. Hal yang sama diperbuat Turgenyev di Rusia dengan Kisah-Kisah Pemburu. Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempengaruhi diskusi mengenai sistem kolonial Belanda. 63 Kecenderungan semacam ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antar manusia ditentukan untuk paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan, sikap dan nilai-nilai termasuk kebutuhan- kebutuhan seseorang, termasuk pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang harus ditulis orang, bagaimana menulisnya, dan untuk siapa karya sastra ditulis, dan apa tujuan atau maksudnya. 64 Hubungan antar manusia atau pun masyarakat yang tergambarkan dalam karya sastra, sangat mendorong perkembangan humanisme dalam sastra. Secara literal bidang kaji ini berarti suatu paham kemanusiaan dalam dunia 63 Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Gramedia, 1986, Cet. Ke 2, h. 23 64 Andre Hardjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1983, Cet. Ke 2, h. 70 kesusasteraan. Manusia menjadi tema sentrum dalam karya sastra, selain perbincangan mengenai formalisme agama dan religiositas. Sejenak kita melihat ke belakang, tepatnya dalam tradisi sastra Islam dan Kristen Barat kita sering menjumpai perpaduan menarik antara sastra religiositas dan keagamaan formal dalam bingkai kemanusiaan. Pada tradisi sastra Islam, tema yang sering kali dimunculkan adalah perjuangan pengakuan kembali terhadap hak-hak wanita. Tema ini muncul karena di ranah Arab tradisi patriakal begitu menggejala, maka sering terjadi diskriminasi terhadap wanita. Cerita tentang seorang perempuan yang baru dinikahi oleh kepala suku Morra, Harit bin Auf menolak untuk disentuh sebelum sang kepala suku menghentikan peperangan dan mengibarkan panji perdamaian, kiranya menarik untuk disimak. ….Datanglah malam. Maka Harit memerintahkan mengaso dan berkemah. Akan tetapi, ketika ingin mendekati isteri muda itu, ia ditolak. Apa? Masksudmu ingin menggarapku seperti budak belaka, yang dibeli, atau seperti tawanan perang? Demi Allah, kau tidak akan memelukku sebelum kau menyambutku di tengah sukumu dan perkawinan kita rayakan dengan onta-onta dan domba-domba yang disembelih untuk santapan perayaan. Perayaan yang dihadiri oleh undangan-undangan semua suku Arab. Mereka kemudian tiba di suku Harit. Tamu-tamu diundang, onta-onta dan domba-domba disembelih dan mulai lah pesta. Maka mendekat lah Harit kepada isterinya, tetapi masih ditolaknya. Bagaimana? Kau punya waktu untuk bercumbu-cumbuan dengan perempuan, padahal di luar semua orang Arab saling membunuh dalam dendam kesumat berdarah, dan menghancurkan kaum Dobyan dan Abs, suku ibuku Lekaslah pergi keluar, rujukkan kembali suku-suku, dan baru lah pulang kepada isterimu, yang akan menunggumu penuh cinta Harit keluar ke suku-suku musuh yang sudah empat puluh tahun saling melabrak dalam darah dendam kesumat. Berkat pengorbanan diri yang besar Harit mengadakan perdamaian antara mereka. Ia menyuruh menghitung jumlah korban-korban yang gugur di kedua belah pihak; dan menjamin bahwa suku yang kehilangan prajurit gugur lebih dari suku yang alin, dia Harit, akan memberi imbalan kelebihan pertumpahan darah, berupa tiga ribu unta dalam tiga tahun berikutnya. Berkat kemuliaan budi dan kedermawanannya demi karya perdamaian itu Harit pulang ke sukunya, terpuji oleh segala pihak. Istrinya, Bahisa menerimanya dengan kedua tangan terbuka, dan melahirkan banyak putra dan putri. 65 Makna yang terkandung dalam cerita di atas begitu dalam. Si gadis Bahisa merupakan wanita yang paling cocok dengan hati orang-orang Beduin padang Pasir. Harit, tokoh pria dalam cerita itu adalah orang yang bijak dan mau berkorban untuk kepentingan sesama. Berikutnya, dalam dunia sastra Barat alam Kristen, sastra yang langsung menyerang agama Kristen sudah mempunyai tradisi yang lama sekali. Sebenarnya yang diserang pertama-tama bukan isi agama Kristen itu, tetapi pejabat-pejabat Gereja, khususnya dari Gereja Katolik Roma yang sejak abad- abad Byzantium Konstantinopel terlalu mengindentifikasi kepentingan agama dan Gereja dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Seperti diceritakan dalam roman Albert Camus, Sampar La Peste, yang menggambarkan betapa Tuhan tak berdaya hanya diam saja terhadap wabah penyakit yang meresahkan masyarakat. …Situasi porak-poranda material spiritual suatu kota yang diserang wabah sampar. Hanya dua orang, dokter Rieux dan seorang pastor, Paneloux, yang dapat tabah dan mencoba menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan dari kota, yang justru melampiaskan kebejatan pada saat-saat menghadapi maut. Kedua orang itu mencoba memperkuat iman dan keteguhan para warga kota, yang sudah busuk fisik dan mental itu.tetapi orang-orang yang sudah busuk tinggal menanti mati itu tetap seperti sedia kala, busuk. Dan di dalam malapetaka serba memuakkan itu Tuhan diam saja. 66 Roman Camus ini menggambarkan situasi bangsa modern yang busuk dan serba serakah saling membunuh dan mengisap, juga masih tetap busuk pada saat sekian ribu bom nitrogen siap menghancurkan seluruh dunia. Hanya Rieux sang Dokter, sang tidak Dokter, yang tidak percaya pada akherat, masih mencoba untuk 65 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 68 66 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87 mengatasi dan membuat hidup di dunia ini sedapat mungkin cukup baik untuk dihuni. Rieux adalah personifikasi resi dan begawan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Manusia cendekiawan humanis yang a-religius, yang kebanyakan masih percaya kepada Tuhan dan kewajiban hidup bermoral, tetapi yang sudah tidak lagi dapat merasakan hubungan batin dengan agama formal atau dunia mistik yang tidak dapat mereka ukur secara ilmiah. 67 Jenis Dokter Rieux di masa kini semakin besar jumlahnya, dan di tanah air kita pun dapat menemukan tipe sarjana-sarjana dan kaum intelek humanis seperti Riuex itu; manusia-manusia budiman budiwati, yang tekun penuh pengorbanan menyumbang pertolongan dan pengembangan bangsanya, setia dan sepi pamrih; beragama hanya statis, bermoral cukup tinggi dan sukarelawan-sukarelawati dalam amal membangun dunia yang lebih baik. Orang-orang baik itu tidak anti Tuhan, tetapi formal beragama, namun praktis mereka a-religius, agnotikus. Agama mereka ilmu pengetahuan atau ideal politik, ekonomi, teknologi dan sebagainya. Mereka ibarat imam-imam rohis aam atau khatib-khatib baru gaya modern kontemporer, merasa diri relevan dan efisien, demi peri kemanusiaan. Peri kemanusiaan tanpa Tuhan. Sebab, meski Tuhan tidak mati, Tuhan hanya diam saja. Begitulah, baik dalam tradisi sastra Islam dan Kristen Barat, keduanya memiliki bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang sangat tinggi. Terlebih didalamnya, tak pernah kurang terpancar nilai-nilai religiositas. Semua sastra yang baik selalu religius, seperti dibilang Romo Mangun. 68 67 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87-88 68 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 11

4. Humanisme dalam Etika