dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku.
128
Kemudian, Gibran menggenapinya dengan menjelaskan hubungan antara manusia dan Tuhan melalui kekuatan cinta.
“ Kau dan aku, semuanya adalah anak-anak iman yang sama, karena
berbagai jalan agama yang beragam adalah jari-jari tangan cinta dari Wujud Agung yang satu juga, tangan yang merengkuh semuanya, mengulurkan
kesempurnaan hati kepada semuanya, dan dengan penuh cinta menerima semuanya…”
129
Konsepsi Gibran mengenai persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh
pengetahuan tentang Tuhan ini, dipertegas lagi oleh Gibran dengan mengatakan bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan. Semua agama
sama sebagai jalan menuju Tuhan yang sama pula. Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di
gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu. Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama
yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi, yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua
orang dengan harapan akan menerima semua orang..”
130
Kutipan bait-puisi Gibran di atas, semakin mengukuhkan Gibran sebagai seorang humanis religius yang ingin menyampaikan imbauan bagi manusia secara
universal.
3. Persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa sekat, tanpa batas
Kerangka nilai terakhir yang menjadi perwujudan humanisme universal Kahlil Gibran, dapat terlihat dari usaha Gibran dalam mengungkap konsepsinya
128
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 136-137
129
Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, h. 260
130
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 138
tentang persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa dibatasi suku, agama dan ras; tanpa ada jarak ataupun dikotomi Barat-Timur; tidak ada kekerasan ataupun
penjajahan; benar-benar merdeka, penuh dengan cinta-kasih. Dalam pengutaraan tentang dirinya, Gibran kentara sekali meyakini
kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimana-mana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat.
131
Maka kemanusiaan adalah satu.
132
Wujud kesatuan ini tak lain karena terbuat dari satu unsur yang sama. Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali
penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa.
133
Namun di balik ke-satu-an unsur itu, manusia sering kali merentang jarak antara satu dengan yang lain. Bagi Gibran, terbentangnya jarak antara sesama
manusia adalah hasil ciptaan benak manusia sendiri. Benar kah aku memisahkan diri dari kalian? Tidak kah kau ketahui, jarak
itu nyata, kecuali yang direntang oleh khayalan rasa? Dan bila pun jarak direntang oleh rasa, dia menjelma jadi irama dalam jiwa.
134
Terlebih, jikalau terbentang jarak dengan orang paling dekat tetangga. Gibran menyebut rentang jarak antar mereka laksana terhalang tujuh benua dan
tujuh lautan. Jarak yang terbentang antaramu dan tetangga dekat, yang tidak dipupuk
perasaan bersahabat, memang lebih dari yang terpancang, antaramu dan para tersayang, walau tujuh benua dan tujuh laut menghalang.
135
131
Ummat adalah suatu masyarakat dimana sejumlah individu yang mempunyai
keyakinan dan tujuan yang sama menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju ke arah tujuan bersama, Ali Syari’ati, on The Sociology Islam, terj. Saifullah
Mahyadi, Jogjakarta: Amanda, 1992, Cet. I, hal 159
132
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 52
133
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair ,Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003, Cet. I, h. 32
134
Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334
Gambaran di atas terlihat bahwa jarak yang terjadi dalam hubungan antara sesama manusia sebenarnya disebabkan oleh berbagai kerangka praduga yang
mengakibatkan kita tidak siap untuk menerima sesama manusia dalam kesejatian kehadirannya. Adanya prasangka, curiga, dengki, irihati dan berbagai praduga
lainnya menyebabkan manusia tidak lagi polos menghadapi sesamanya. Gibran melihat peperangan di masa lalu pun, tidak lepas karena adanya praduga itu.
Lewat kejahatan mereka kami dipecah-belah; dan untuk mempertahankan takhta mereka serta hidup nyaman, mereka dipersenjatai bangsa Druze untuk
melawan bangsa Arab, dan mengusik bangsa Shiite untuk menyerang bangsa Sunnite, dan mendorong bangsa Kurdi untuk membantai bangsa
Bedouin, dan menghasut pengikut Nabi Muhammad untuk bertikai dengan pengikut Kristus. Sampai kapankah saudara saling membunuh saudaranya
sendiri di dada ibunya? Sampai kapankah Salib dipisahkan dari Sabit di hadapan mata Allah? Ya, Kemerdekaan, dengarlah kami, dan berbicaralah
atas nama satu orang saja, sebab api yang besar dimulai dari persik yang kecil.
136
Kecenderungan manusia untuk membingkai sesamanya menimbulkan jarak dalam hubungan antar-manusia dan antar-masyarakat maupun antar-bangsa.
Bingkai-bingkai keturunan, kesukuan, kebangsaan, keagamaan, kedudukan sosial, dan lain sebagainya seringkali menentukan persepsi dan apresiasi manusia
terhadap sesamanya. Gibran tidak dapat membenarkan pemilahan umat manusia dalam dikotomi penjuru Timur-Barat. Secara lugas, Gibran mengingatkan hal ini.
...Tidak, saudaraku, Barat tidaklah lebih tinggi daripada Timur, juga Barat tidak lebih rendah dari Timur, dan perbedaan antara keduanya tidaklah lebih
besar dari pada perbedaan antara harimau dan singa...
137
Gibran tidak setuju dengan ungkapan Mark Twain yang terkenal, yaitu
“East is east and west is west, and never the twain shall meet”.
138
Pandangan
135
Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334
136
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 132
137
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, Cet. I, h. 32
demikian itu jelas tidak patut dipilih sebagai pedoman pergaulan antar-manusia. Dikotomi Timur-Barat itulah yang lama sekali menjadi sumber sengketa dalam
pergauln antar-bangsa. Satu pihak merasa superior terhadap pihak lainnya; celakanya, yang direndahkan mau pula menerima citra keunggulan pihak yang
menganggap dirinya inferior. Simak paparan Gibran tentang ini. Keegoisan, saudaraku, adalah penyebab superioritas buta dan superioritas
menciptakan kesukuan, lalu kesukuan menciptakan kekuasaan yang menuntun ketidakselarasan serta penaklukan.
139
Dengan menaruh iba, Gibran mengatakan: Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan
menganggapnya sebagai bangsa.
140
Keadilan, menurut Gibran, kiranya dapat menjadi asas untuk
menjembatani setiap perbedaan yang ada. Ada hukum yang adil dan sempurna dibalik masyarakat lahiriah tersebut,
yang menyamaratakan penderitaan, kesejahteraan, dan kebodohan; ia tidak melebihkan suatu bangsa di atas yang lainnya, juga tidak menindas satu
suku dan memakmurkan yang lainnya.
141
Dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia, Gibran terutama tergugah oleh berbagai bentuk penindasan dan kekejaman manusia terhadap
manusia sesamanya. Dia tidak tahan menyaksikan penderitaan manusia yang
138
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 48
139
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139
140
Ahmad Norma ed., Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, cet I, h. 185
141
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, h. 32
diakibatkan oleh tindakan manusia lain.
142
Gibran bertanya-tanya, mengapa masih saja manusia saling berperang untuk saling menaklukkan? Terhadap kekuatan
asing yang menjajah negerinya Gibran berkata:
Engkau adalah saudaraku, tetapi mengapa kah engkau bertengkar denganku? Mengapakah engkau menyerbu negaraku dan berusaha
menaklukan aku demi menyenangkan mereka yang mencari kemuliaan dan kekuasaan?
Mengapakah engkau tinggalkan isteri dan anak-anakmu dan mengikuti Maut ke negeri yang jauh demi mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu
dan kehormatan dengan air mata Ibumu? Apakah suatu kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri?
Kalau engkau menganggapnya kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan dirikanlah sebuah kuil bagi Qabil yang membunuh adiknya, Habil.
143
Begitu pun sebaliknya, Gibran amat membenci ketika negaranya sendiri harus menyerang negara lain, apa pun motifnya, karena akan menambah
kesengsaraan bagi mereka. Aku rindu akan negeriku yang indah dan mencintai bangsanya karena
kesengsaraan mereka. Tetapi kalau bangsaku bangkit, terdorong oleh apa yang mereka sebut semangat patriotik untuk membunuh dan menyerbu
tetangga, mereka atas setiap kejahatan kemanusiaan aku akan membenci bangsaku dan negaraku.
144
Dengan suara lantang Gibran mengumandangkan pekik kemerdekaan. Dengarlah kami ya Kemerdekaan;
Kasihanilah, ya Puteri Athena; Selamatkanlah kami, ya Suster Roma;
Nasihatilah kami, ya Sahabat Musa; Tolonglah kami, ya Muhammad Terkasih;
Ajarilah kami, ya Mempelai Yesus; Kuatkanlah hati kami agar kami boleh hidup,
Atau bereskanlah musuh-musuh kami
142
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 47
143
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139
144
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 134
Agar kami boleh binasa dan hidup dalam damai selamanya.
145
Universalisme Gibran tidak terbelah-belah dalam penjuru angin, tidak juga dalam perbedaan agama, atau batas-batas negara mau pun sekat-sekat antar-
budaya. Pergaulan antar manusia adalah pergaulan antar sesama, terlepas dari penjuru asal-usulnya, ranah budayanya maupun ajaran agamanya. Renungkan arti
pernyataan Gibran tentang ini. Manusia dibagi menjadi berbagai suku, menjadi milik negara dan kota-kota
namun kutemukan diriku bagi semua komunitas tanpa tempat menetap. Alam semesta adalah negara ku dan keluargaku manusia adalah suku ku.
146
Gibran tidak menyanggah kenyataan bahwa umat manusia terdiri atas berbagai suku-bangsa. Namun ini tidak berarti harus dilakukannya pemisahan
yang bersifat diskriminatif antar manusia, karena sebenarnya perbedaan suku atau ras justru akan memperkaya masyarakat.
147
Hubungan antar manusia dilukiskan Gibran sebagai pilihan antara hidup dalam keterasingan atau hidup dalam saling
keterjalinan. Perhatikan apa yang dituangkan dalam salah satu tulisannya, sebagai berikut.
“Sahabatku, kau dan aku akan tetap asing terhadap kehidupan, dan antara satu dan lainnya, dan masing-masing dengan dirinya, hingga pada suatu
ketika kau mau berbicara dan aku mau mendengarkan, menganggap suaramu suaraku sendiri: dan ketika aku berdiri di hadapanmu membayangkan diriku
berdiri di hadapan cermin.”
148
145
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 133
146
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 133
147
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Moral dan Masalahnya, Jogjakarta: Kanisius, 1990, Cet. I, h. 85
148
Fuad Hassan, Menapak Jejak Kahlil Gibran, h. 152
Jelaslah bahwa universalisme Gibran adalah pandangan universalis paripurna, tanpa pemisah dan tanpa pemilah dalam pergaulan manusia dan antar-
bangsa. Semangat yang menyertai pandangan ini sesuai dengan firman Allah yang termuat dalam al-Qur’an Qs. Al-Hujarat49:13:
”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal…” .
149
Begitulah, kata ‘saling kenal-mengenal’ kiranya memuat penugasan, yaitu agar manusia sanggup melakukan transendensi-diri melampaui perbedaan asal
kesukuan dan kebangsaannya, dan bersamanya itu juga ranah budayanya.
150
Konsep persaudaraan antar sesama, antar bangsa yang dikembangkan Gibran membuatnya semakin disegani dan diakui oleh khalayak, bahwa
sesungguhnya dalam pesan-pesan persaudaraan Gibran tersembul nilai-nilai universalitas, tanpa sekat dan tanpa batas.
B. Humanisme Universal Gibran: Sebuah Cita-Cita
Tiga kerangka nilai yang disebutkan di atas, yakni pesan etik, nilai-nilai religusitas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa, adalah sesuatu yang
berkaitan dan saling menunjang antara satu dan lainnya. Dari ketiga kerangka ini Gibran menjelma menjadi seorang yang humanis yang sarat dengan imbauan
149
Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1994
150
Fuad Hassan, dalam makalah Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur Humanisme Universal
, diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, pada tanggal 20 April 2001 di Regent Hotel Jakarta, h. 7