4. Humanisme dalam Etika
Seperti halnya dalam filsafat, cikal bakal humanisme dalam etika atau paham kemanusiaan pada ranah etika dimulai dari lahirnya pemikiran yang
menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates 470-399 s.M. membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas setelah
Protagoras dalam mengenakan ukuran kebajikan virtue dan kebenaran terletak pada akal manusia.
69
Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics Etika Nichomacus mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan
secara penuh kemampuannya sebagai manusia.
70
Cita-cita humanisme dalam etika berkembang pesat pada masa Stoa dengan tokoh-tokoh Seneca dan Marcus Aurelius. Stoa adalah etika filosofis
pertama di dunia yang secara konsekuen mengakui dan meminati kesamaan derajat semua orang. Stoa mengajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya
bersikap baik hati. Perempuan berhak atas perlakuan sama dengan laki-laki sesuatu yang sudah menjadi anggapan Plato, budak harus dihormati hak-haknya
sesuatu yang sama sekali baru, dan musuh berhak atas belas kasihan serta pengampunan. Etika Stoa bersifat kosmopolitis; ia mengatasi segala batasan dan
merangkul seluruh umat manusia. Pada Stoa, kita untuk kali pertama dalam sejarah moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap
69
Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002,
h. 95
70
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357
sebagai manusia. Untuk pertama kalinya Stoa merumuskan negara sedunia dan persaudaraan universal.
71
Secara bahasa, etika Yunani: ethikos, ethos berarti adat, kebiasaan, praktek.
72
Pengertian lain dari etika adalah pengkajian sosial moralitas atau terhadap tindakan moral.
73
Istilah etika oleh Aristoteles 385-322 s.M sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
74
Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.
75
Selanjutnya, perkembangan humanisme dalam etika diteruskan oleh filsuf sosial, seorang psikoanalisis, Erich Fromm. Dalam buku Manusia Bagi Dirinya,
Erich Fromm menunjukkan bahwa struktur watak character personalitas yang matang dan terpadu, karakter produktif, merupakan sumber dan basis dari
kebaikan dan bahwa sifat buruk, pada hakekatnya adalah pengabdian terhadap dirinya sendiri dan perusakan diri. Bukan penolakan diri atau bukan keadaan
mementingkan diri sendiri, melainkan cinta diri, bukan peniadaan terhadap individu, melainkan penegasan diri kemanusiaan yang sebenarnya, adalah nilai-
nilai yang paling tinggi dari etika humanistis. Jika manusia harus mempunyai
71
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad 19, Jogjakarta: Kanisius, 2003, Cet. ke 7, h. 60
72
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, Cet. III, h. 217
73
Pius A. Purtanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994, h. 161
74
K. Bertens, Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-6, h. 141
75
Franz Magins Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003, Cet. Ke-7 h. 13
keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan kapasitas dasarnya bagi kebaikan dan keproduktifan.
76
Erich Fromm menyebut secara terbalik humanisme dalam etika, sebagai etika humanistik. Baginya, etika humanistik adalah antroporsentris; tentu saja
bukan dalam pengertian bahwa manusia adalah pusat alam semesta melainkan dalam pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan nilai mengakar dalam
kekhususan eksistensinya dan bermakna jika berhubungan dengannya; manusia sesungguhnya adalah ukuran semua benda.
77
Salah satu karakteristik sifat dasar manusia adalah bahwa manusia mendapatkan pemenuhan dan kebahagiaannya hanya dalam keterkaitan pada
solidaritas sesamanya. Bagaimana pun, mencintai tetangga bukan lah sebuah fenomena yang lebih penting dari pada manusia; ia adalah sesuatu yang inheren
dan memancar darinya. Cinta adalah bukan sebuah kekuatan yang lebih tinggi yang turun ke manusia, juga bukan sebuah kewajiban yang dipikulkan di atas
pundaknya. Ia adalah kekuatannya sendiri yang dengannya dia menghubungkan diri pada dunia dan membuat benar-benar menjadi miliknya.
78
Selanjutnya, Erich Fromm mengungkapkan jika etika merupakan kumpulan norma-norma untuk mencapai keunggulan dalam menampilkan seni
hidup, maka prinsipnya yang paling umum harus diturunkan dari sifat dasar kehidupan pada umumnya dan dari sifat dasar eksistensi manusia pada khususnya.
Dalam syarat-syaratnya yang paling umum, sifat dasar semua kehidupan harus
76
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya; Suatu Telaah Psikologis-Filosofis Tentang Tingkah Laku Manusia Modern,
diterjemahkan dari Man for Himself oleh Eno Syarifudien, Jakarta: AKADEMIKA, 1988, Cet. I, h. 6
77
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13
78
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13
memelihara dan memperkokoh eksistensinya sendiri. Semua organisme mempunyai sebuah tendensi inhern untuk memelihara eksistensi mereka.
79
Perkembangan humanisme dalam etika agaknya tidak akan surut, karena hubungan kemanusiaan dan konsep etis senantiasa seiring-sejalan. Jika manusia
harus mempunyai keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan kapasitas dasarnya bagi kebaikan.
C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika