a. Kedermawanan
Kedermawanan adalah akar dan substansi dari moralitas.
85
Kedermawanan dimulai dengan tindakan kemauan dan dilaksanakan sebagai sebuah kesadaran
spiritual yang murni, sebuah pengetahuan cinta unitif tentang esensi objeknya.
86
Dalam kebajikan sosial social virtue universal, kedermawanan menempati ranking tertinggi di antara kebajikan-kebajikan lain.
Berderma berarti melihat orang lain seperti diri sendiri. Kegiatan memberikan ataupun membagi apa yang menjadi miliknya, adalah bentuk
perwujudan cinta-kasih dan memiliki makna sosial yang tinggi, terlebih bagi yang menerima derma. Namun, bagi penderma pun, kebahagiaan yang tak terkira,
apabila dengan dorongan hati berupaya untuk mendapat orang yang benar-benar sangat membutuhkannya. Sampai-sampai Gibran menggambarkan bahwa
kebahagiaan itu melebihi nilai pemberiannya. Dan bagi si pemurah, mencari apa yang akan menerima,
Adalah bahagia, melebihi tindak pemberiannya.
87
Paling tidak, ada dua kebahagiaan yang terpancar dalam diri sang pemberi. Pertama
, kebahagiaan dalam pengertian sosial. Yaitu, rasa bahagia bagi si penderma yang sudah dapat meringankan beban hidup orang lain. Kedua,
kebahagiaan dalam pengertian spiritual. Yakni, konsep berbagi untuk sesama atas kemauan diri-tidak ada paksaan dan tanpa pamrih- dan dilakukan semata-mata
karena Ilahi.
85
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 140
86
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 130
87
Kahlil Gibran, Sang Nabi, terj. Sri Kusdyantinah, Jakarta: Pustaka Jaya, 2002, Cet. Ke 12, h. 22
Gibran pun memberi saran agar tidak berlarut-larut dalam memberikan derma. Karenanya ketika memiliki sesuatu yang lebih dan ada kesempatan untuk
berderma, maka lakukanlah dengan segera. Adakah sesuatu yang masih kau sembunyikan?
Sekali waktu segala yang kau punya akan terbagi jua, Karena itu berikanlah sekarang, selagi musim memberi belum lewat bagi
mu, belum beralih tangan pada pewarismu.
88
Gibran menganjurkan untuk tidak memilah-milah objek pemberian, karena memberi berderma adalah sebuah kebutuhan hakiki. Simak pesannya tentang
ini: Seringkali engkau berkata, Aku memberi, tetapi hanya pada mereka, yang
patut menerimanya Pohon-pohon di kebunmu tiada berkata demikian, begitu ternak di padang
rerumputan Mereka memberi demi kelanjutan hidup sendiri,
Sebab menahan pemberian berarti mati.
89
Pesan ini begitu dalam maknanya. Gibran menyarankan agar menghilangkan klasifikasi pengelompokan terhadap orang-orang yang harus
diberi,
90
terlebih hanya memberi kepada orang terdekat atau yang dikenal oleh mereka. Baginya, seluruh manusia adalah sama, tidak ada pembeda atasnya.
Bahkan, seperti perumpamaan di atas, menahan pemberian berarti mati. Hal itu mengandung pengertian bahwa pemberian adalah sebuah kebutuhan naluriah dan
wajib dimiliki seluruh makhluk.
88
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21-22
89
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 22
90
Dalam tradisi Hindu, kasta misalnya menjadi salah satu yang mengidentifikasi orang- orang yang yang diwajibkan untuk memberi dan orang-orang yang harus menerima. Ksatria dan
Vaisya dianjurkan untuk memberi, sedangkan kasta Barahmana diperintahkan untuk menerima. Lihat Leona Anderson Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan, dalam Filantropi di Berbagai
Tradisi di Dunia, editor Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij, Jakarta: CSRC, 2006, Cet. I
hal 70-71
Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma merupakan perwujudan keadilan dan kasih sayang antar sesama. Bila hal ini tidak dipelihara, maka akan
terjerumus dalam lubang keserakahan. Seperti ditutur berikut ini. Di dalam pertukaran hasil kekayaan bumi lah,
Maka manusia mendapatkan pangan yang melimpah ruah, Dan di situlah dia memperoleh kepuasan
Namun pabila pertukaran hasil bumi tak berdasarkan kasih sayang, Serta tak dijiwai oleh semangat keadilan yang paramarta,
Maka dia akan menggelincirkan sebagian umat kepada keserakahan
91
. Semangat keadilan yang terus menerus dipupuk Gibran adalah upaya
untuk menghindari sikap tamak dan serakah. Karena bagaimana pun, dampak sosialnya begitu besar, akan ada jurang si kaya-si miskin. Alih-alihnya seperti
ditulis Gibran:
Dan sebahagian lagi akan menderita kelaparan
92
Hal ini bukan perkara mudah, karena sudah menyangkut persoalan kemanusiaan. Apalagi, nyawa manusia yang harus menjadi taruhan
keserakahannya. Si korban kaum papa tidak hanya akan menderita kelaparan, tapi lebih tragis, dia akan mati kelaparan karena buah dari sikap serakah manusia.
Maka, untuk keluar dari persoalan ini, Gibran memberi pemahaman etis kepada segenap umat manusia bahwa kedermawanan adalah bentuk amaliah yang
mulia. Proses kesadaran diri untuk memelihara semangat kedermawanan ini merupakan tanggung jawab bersama. Terlebih, untuk terus saling mengingatkan
bahwa memberi dan menerima, lagi-lagi adalah sebuah kebutuhan.
Buah pohon tak mungkin berkata pada akarnya: Jadilah seperti aku, yang masak dan ranum ini,
Senantisa memberikan kelimpahan hasilnya. Sebab bagi sang buah, memberi adalah kebutuhannya,
91
Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39
92
Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39
Sedang bagi sang akar, menerima adalah kebutuhannya.
93
b. Ketulusan