Sekali lagi, Gibran amat membenci segala pekerjaan yang dibumbui sifat pamrih dan rasa enggan, karena bagi Gibran pekerjaan yang dilakukan akan
sia-sia dan tidak optimal. Simak syair Gibran tentang ini. …Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan,
Maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya…, Dan walau kau bernyanyi dengan suara bidadari,
Namun hatimu tidak menyukainya, Maka tertutuplah telinga manusia dari segala
Bunyi-bunyian siang dan suara malam hari.
101
Dari gambaran diatas, Gibran ingin menegaskan bahwa segala pekerjaan termasuk berderma harus didasari oleh ketulusan atau ke-tanpa-pamrihan dan
dilandasi dengan cinta.
c. Kerendahan hati
Dalam etika perenial, kerendahan hati merupakan suatu kondisi yang diperlukan bagi bentuk cinta yang tertinggi, dan bentuk cinta yang tertinggi
memungkinkan pelaksanaan kerendahan hati melalui peniadaan diri secara total.
102
Pada prinsipnya, kerendahan hati dapat dirumuskan sebagai kemampuan menerima dan menilai diri sesuai dengan kebenaran atau kenyataan yang
sesungguhnya, yang tidak lebih dan tidak kurang.
103
Gibran menyarankan agar setiap manusia bersikap rendah hati terhadap sesama, sekali pun ia telah menabur benih kebajikan. Perhatikan tulisan Gibran
tentang ini. Berusahalah dahulu hingga kau pantas jadi pemberi,
101
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 29
102
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 135
103
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992, Cet. I, h. 83
Dan sebuah alat untuk membagi Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan 23
Kerendahan hati adalah kapasitas untuk membuat jarak antara diri seseorang dengan urusan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihat
secara objektif dan akurat.
104
Gibran mewanti-wanti agar si pemberi tidak terjebak pada ego-personal dan si penerima tidak lah merasa utang budi secara berlebihan,
karena ini dapat merusak kebajikan yang telah diperbuat. Gibran dengan tegas menulis.
Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, Sebetulnya hanyalah seorang saksi
Dan kau, kaum penerima- ya engkau semuanya tergolong kaum penerima Jangan memberati diri dengan rasa utang budi,
Sebab kau akan membebani dirimu dan dan dia yang memberi…
105
Walaupun jauh dari kesombongan hati, kerendahan hati itu memuat juga kebesaran hati, yakni hati yang penuh syukur menerima diri sendiri apa adanya
dan sekaligus masih ingin untuk maju lebih jauh lagi.
106
Berikut catatan Gibran. Pabila kau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati,
Disanalah nanti engkau dapati, bahwa hanya yang pernah membuat derita, Berkemampuan memberimu bahagia.
pabila engkau berduka cita, mengacalah lagi ke lubuk hati, disanalah pula kau bakal menemui,
bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri
107
Tak syak, disinilah keindahan dari sikap rendah hati, ia tidak pernah
terbawa pada ego-personal yang hanya mementingkan pribadi, tapi sebaliknya, ia
104
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35
105
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 23
106
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, h. 83
107
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 30-31
berusaha senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Juga, selalu bersyukur atas nikmat yang didapatnya.
Dalam analisis konten atau analisa terhadap isi dari karya Gibran di atas, tersingkap pesan etis yang berisi tiga konsep kebajikan, yakni kedermawanan,
ketulusan dan kerendahan hati. Terlihat secara jelas dalam bait-puisinya, bagaimana Gibran memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk
solidaritas antar sesama; sebuah perwujudan sosial antar manusia.
2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran