Humanisme universal Kahlil Gibran

(1)

HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN

SKRIPSI

Oleh

ASEP ROHMATULLAH NIM: 101033121736

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH

Skripsi yang berjudul "Humanisme Universal Kahlil Gibran" telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 31 Mei 2007 Sidang Munasaqah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fil. Drs. Ramlan Abdul Gani, MA.

NIP. 150 262 447 NIP. 150 254 185

Penguji I Penguji II

Drs. Fakhrudin, MA. Drs. Syamsuri, MA

NIP. 150 231 347 NIP. 150 240 089

Pembimbing

Dr. Fariz Fari, M. Fil.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Untaian puja-puji perlambang rasa syukur penulis panjatkan kehadirat

Ilahi Rabbi', Tuhan keseluruhan alam, karena berkat rahmat, hidayah serta inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat teriring salam, senantiasa tercurah kepada pembawa risalah kenabian,

Sang Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, seorang pribadi yang humanis, penuh dengan pekerti yang luhur, serta sabda-sabda yang memiliki muatan universal.

Skripsi yang berada di tangan pembaca berjudul Humanisme Universal Kahlil Gibran, kami menyusunnya sebagai syarat untuk memenuhi gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Aqidah Filsafat.

Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, tentu banyak kendala yang harus dihadapi, terutama terkait dengan pengkajian pustaka, karenanya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, dengan bimbingan Yang Kuasa dan juga bimbingan serta bantuan baik moril dan materil dari berbagai pihak, penulis menghaturkan banyak terima kasih. Dengan kerendahan hati, izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Dr. H. Amin Nurdin, MA., beserta jajarannya, yang telah mengizinkan penulis untuk membahas dan meneliti skripsi ini.


(4)

2. Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M. Fil dan Sekretaris Jurusan AF, Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani, MA. yang telah mempermudah dalam pengurusan akademik.

3. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bapak Dr. Fariz Pari, M. Fil., selaku pembimbing skripsi, yang dengan 'setia' dan tak kenal lelah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas-Nya, Amien.

4. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah menyumbangkan 'ilmu' nya selama penulis menempuh pendidikan di jurusan ini. Khususnya kepada Bapak Fakhrudin dan Bapak Syamsuri, terima kasih atas bimbingannya

5. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah meminjamkan buku-buku dan tentu sangatlah berguna dalam penelaahan skripsi ini. Ucapan terima kasih pula kami haturkan kepada Asep Sopyan Corner, Hudri Corner, Sohib Corner, Muslim

Corner, Nabil Corner yang telah banyak meminjamkan koleksi

buku/novel Gibran.

6. Rasa terima kasih dan takdzim kami haturkan kepada Bapa' M. Sobari dan

Ema Babay Suharsih atas untaian do'a restu diberikan dengan tulus kepada penulis. Tanpa motivasi dan do'a Ema-Bapa', sulit rasanya penulis menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan niatan untuk ziarah ke Tanah Suci tahun ini dapat terlaksana, Amien. Kepada Ende Hj. Nurnas, Mamang/Bibi terima kasih atas do'anya. Kemudian, kaka'/teteh kami, Ka Ence dan Teh Iroh, Teh Eyi dan Ka Khotib, Teh Nia dan A' Agus, Teh


(5)

Nunung, dan Adik-adik kami tercinta, "Yayang" Wulan Siti Maryam serta "si cerdas" Adi Imam Taufik, yang kekuatan cinta dan sayang tetap terasa, walau hanya bersua di Hari Fitri.

7. Secara khusus ucapan terima kasih kami haturkan kepada kokolot HMB Jakarta, Pak Amin Suma, Mang Embay sareung Teh Ita, Kandadr. Yandra Doni yang telah memberi arahan dan motivasi sejak kami menginjakkan kaki di Ciputat. Hatur nuhun oge ka Mamang sareung Teteh HMB Jakarta sadayana, atas do’a dan bimbingannya selama ini.

8. Rasa terima kasih patut kami sampaikan kepada sahabat kami, Kang Lili Nahriri, yang telah memberi tempat dan seluruh fasilitasnya, guna menunjang penyelesaian skripsi ini. Semoga dapat secepatnya merampung studi S2 nya, Amien.

9. Rekan-rekan kami di "Padepokan Ilmu Semanggi II No.20" yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Opan Ketum, Elban, Mansur Jr, Endang, Alay doc, Fahmi tea, Kang Iji, Aldo tea, Eko Kily, Iip Syahid, Mulyadi, Iin "ikhin" dan Muslim yang telah setia antar-jemput pada saat bimbingan ke Bogor, serta seluruh anggota HMB Jakarta. Semoga kita tetap Hangat Mesra dan Bahagia (HMB). 10.Wabil khusus untuk kawan abadi kami wa Kamal Mutamam, wa

Mutoharul Jannan serta Uus Badruzaman, hapunten abdi ti payun lulus na.

11.Segenap pengurus Banten Institute for Social Transformation (BaIST) Serang, tempat di mana penulis sekarang belajar mencari "arti kehidupan", Ka' Yandi, Ka' Icang, Kang Mimin, Kang Budi, wa Herdomz, wa Ubed, Aip, Nana, Andri dan Teh Fafa, terima kasih atas saran dan bantuannya.


(6)

12.Kawan-kawan eks Pengurus HMB Jakarta periode 2004-2005, HIMATA Jakarta Raya, BEM Aqidah Filsafat, HMI KOMFUF dan HMI Cabang Ciputat serta PARMA UIN Jakarta. Saatnya kita berpaling ke "dunia lain". 13.Teman-teman AF angkatan 2001, semoga kesuksesan senantiasa bersama

kita.

14. To One Unnamed someday shall be named is dedicated together with this little work the whole production of the outhor from the very beginning

(YE).

Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan. Akhirnya penulis hanya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya.

Ciputat, 22 Mei 2007


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

... i

DAFTAR ISI

... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4

D. Metode Penelitian 5

E. Tinjauan Pustaka 6

F. Sistematika Penyusunan 8

BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN

A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar dari Lebanon

10

B. Karya-karya Kahlil Gibran


(8)

BAB III HUMANISME

A. Pengertian Humanisme dan Universal

23

B. Perkembangan Seputar Humanisme

25

1. Humanisme dalam Filsafat

26

2. Humanisme dalam Religiositas

31

3. Humanisme dalam Sastra

37

4. Humanisme dalam Etika

41

C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika

... 44

BAB IV HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN

A. Tiga Kerangka Nilai

46

1. Pesan Etik Kahlil Gibran


(9)

a. Kedermawanan 48

b. Ketulusan 51

c. Kerendahan Hati

53

2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran

... 55

3. Persaudaraan Antar-Sesama, Antar-Bangsa; Tanpa Sekat, Tanpa Batas

... 62

B. Humanisme Universal Kahlil Gibran: Sebuah Cita-Cita 68

C. Tinjauan Kritis serta Relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 72 B. Saran 73


(10)

DAFTAR PUSTAKA ...

75


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di antara nama penyair dan pemikir menjelang akhir abad ini terukir nama Gibran Kahlil Gibran (1883-1931), seorang putera Lebanon yang sejak usia muda sudah menulis dan melukis. Karya Gibran dapat dinikmati dan dihayati oleh pembaca dari berbagai kalangan di semua negara.

Gibran berkembang dalam rentangan dua kutub ranah budaya, Timur dan Barat. Dalam rentangan itu terbentuk lah pribadinya yang merupakan ramuan antara kedua ranah budaya tersebut. Sebagai seorang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat yang multi-religius, Gibran tidak mengalami kesulitan untuk memahami berbagai pandangan hidup, dan pada gilirannya sangat menunjang perluasan wawasannya terhadap peri kehidupan manusia pada umumnya.

Dalam bait puisi Gibran banyak sekali ungkapan-ungkapan yang sarat dengan imbauan universal, terutama pada persoalan manusia dan kemanusiaan. Gibran memandang kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimana-mana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat, tidak ada perbedaan atasnya. Simak penuturan Gibran tentang ini.

"Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa."1

1


(12)

Pandangan Gibran mengenai kemanusiaan tersebut, membawa kita pada konsepsi Gibran tentang persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh pengetahuan tentang Tuhan. Gibran mengatakan bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan.

"Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu. Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi, yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua orang dengan harapan akan menerima semua orang”2

Tertarik dengan konsepsi Gibran tentang persoalan kemanusiaan yang dibungkus nilai-nilai religiositas di atas, penulis melakukan penelusuran terhadap rekam-jejak Gibran yang ditulis oleh Prof. Fuad Hassan yakni Menapak Jejak Kahlil Gibran. Dalam buku tersebut, terdapat sub-bab yang mengangkat Gibran sebagai penganjur humanisme universal. Prof. Fuad Hassan menyebut bahwa humanisme universal yang dikembangkan Kahlil Gibran adalah konsep persaudaraan antar sesama. Menurutnya, pandangan ini merupakan sebuah konsep mapan untuk melihat kemanusiaan universal, sebagai sesuatu yang paripurna.3 Namun, cukup disayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang makna keuniversalan manusia dan terkesan seperti sebuah 'project' yang belum selesai. Paling tidak, hal itu cukup dimengerti karena banyaknya bahasan yang diungkap dalam buku tersebut.

Sejatinya, pada penulisan skripsi ini kami melakukan penelitian dengan menggunakan analisa isi (analisis konten)4 terhadap karya Kahlil Gibran. Hal ini

2

Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, diterjemahkan dari The Treasured Writings of Kahlil

Gibran, terj. Anton Kurnia ,h. 138

3


(13)

tidak terlepas karena karya-karya Kahlil Gibran secara jelas menyingkap pesan atau pun nilai yang mengandung makna universal terhadap manusia dan kemanusiaan.

Berangkat dari analisis konten tersebut kami merumuskan 3 (tiga) kerangka nilai sebagai sebuah pendekatan ilmiah untuk masuk ke dalam humanisme universal. Tiga kerangka nilai yang dimaksud adalah pesan etik, nilai-nilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain, dan seterusnya akan terlihat Gibran sebagai seorang pribadi humanis5 yang memiliki kematangan sebagai seorang penganjur humanisme universal. Sekaligus akan terungkap Gibran sebagai seorang sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan. Keseluruhannya adalah bagian integral dari penulisan skripsi berjudul:

"HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

4

Analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup banyak, antara lain meliputi: (1) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (3) nilai filosofis, (4) nilai religius, (5) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004), Cet. Ke 2, h. 160

5

Ciri-ciri pribadi yang humanis menurut Franz Magnis Suseno, yaitu 1). Ia bersifat positif terhadap sesama, sebagai manusia, tidak terhadang oleh kepicikan primordialisme suku, agama, etnik, warna kulit dan lain-lain; 2). Ia bijaksana; bertolak dari keterbatasannya, maka ia mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat pelbagai kemungkinan; 3). Tahu diri (bahwa ia tidak tahu); 4). Mutlak anti-kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, ia tidak mengutuk pandangan orang lain; 5). Sebaliknya, Ia terbuka, toleran, mampu menghormati pelbagai keyakinan dan sikap, mampu melihat yang positif di belakang perbedaan. Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan, (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 11-12


(14)

Dalam berbagai karyanya, Gibran sering mengungkap konsepsi tentang cinta, keindahan atau bahkan sayatan-sayatan hatinya yang menandakan “sayap-sayap" kehidupannya telah patah.

Pada penulisan skripsi ini penulis membatasi penelitian dengan hanya membahas persoalan seputar humanisme universal Kahlil Gibran, yang kami rumuskan dalam 3 (tiga) kerangka nilai, diantaranya pesan etik, nilai religiositas dan persaudaran antar sesama, antar bangsa.

Beranjak dari pembatasan masalah tersebut, ada beberapa hal yang dijadikan rumusan masalah oleh penulis untuk mengangkat tema skripsi ini. Rumusan masalah skripsi ini adalah:

1. Bagaimana kah bentuk imbauan Kahlil Gibran dalam menyuarakan tiga kerangka nilai, yakni pesan etik, nilai religius dan persaudaraan antara-sesama? Adakah hubungan antara ketiga kerangka nilai itu?

2. Apakah ketiga kerangka nilai, seperti yang dirumuskan penulis, adalah cita-cita luhur dalam menggapai humanisme universal?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penulisan skripsi initujuan yang ingin dicapai penulis adalah untuk memperkaya khazanah intelektual, karena bagaimana pun tulisan-tulisan di seputar pemikiran Kahlil Gibran masih sedikit dan sekaligus merupakan menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan perkuliahan di Strata Satu (S1) Jurusan Aqidah Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang manfaatnya adalah untuk menyediakan ‘ruang baca’ bagi pembaca Gibran atau pun diluarnya, untuk dapat melihat sisi lain dari Gibran, sebagai seorang penyair yang tidak hanya memuji


(15)

keindahan dengan cinta, namun ternyata konsepsi Gibran tentang kehidupan yang

humanis layak menjadi bahan ‘bacaan’ kemudian.

D. Metode Penelitian

Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai penulis adalah penelitian kepustakaan (library research). Penulis melakukan penelaahan terhadap buku Gibran yang sudah diterjemahkan, diantaranya Sang Nabi, Nyanyian Cinta, Roh Pemberontak atau buku kumpulan puisinya: Trilogi Hikmah Abadi; Cinta, Keindahan dan Kesunyian; Tetralogi Masterpiece dan God of Lost Soul. Selain itu kami menelaah buku Menapak Jejak Khalil Gibran (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), Cet. ke 2, karya Prof. Fuad Hassan. Serta beberapa literatur lain seperti majalah, jurnal, surat kabar, buletin, dokumentasi, dan sebagainya yang relevan.

Data-data dan informasi yang dikumpulkan tersebut, kemudian disusun dan dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yakni analisis konten (analisa terhadap isi) dan kritis. Pendekatan analisis konten digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap pesan karya sastra.6 Sedang pendekatan kritis adalah bagian dari upaya untuk memperlihatkan kritik relevansi dan hubungan karya dengan kehidupan dewasa ini.

6

Pendekatan analisis konten dalam bidang sastra berangkat dari aksioma bahwa penulis ingin menyampaikan pesan secara tersembunyi kepada pembaca. Pesan itu merupakan isi (makna) yang harus dilacak. Penelitian ini merupakan cara strategis untuk mengungkap dan memahami fenomena sastra, terutama untuk membuka tabir-tabir yang berupa simbol. Hal ini cukup beralasan, karena setiap pemanfaatan bahasa oleh sastrawan sebenarnya memuat simbol-simbol dan makna. Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, h. 161


(16)

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada

Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.

E. Tinjauan Pustaka

Seperti telah dijelaskan dalam metode penelitian, bahwa dalam upaya memperoleh data, kami melakukan penelitian kepustakaan (library research), yakni kami menelusuri sumber-sumber pustaka yang dapat menunjang terealisasinya penulisan skripsi ini.

Sejatinya, kami dapat menampilkan dan melakukan penelaahan terhadap sumber primer, dalam hal ini buku-buku Gibran yang ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Namun, dengan keterbatasan yang ada, kami hanya dapat melakukan penelaahan terhadap sumber sekunder, yakni buku-buku hasil terjemahan dari karya atau kumpulan karya Gibran, serta buku mengenai perjalanan hidup Gibran. Sedangkan dari karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi), kami tidak menemukan sumber yang kami anggap relevan sebagai sebuah perbandingan, karena beberapa karya ilmiah tersebut tidak ada yang secara langsung terkait dengan tema yang kami angkat. Harapan kami, mudah-mudahan sumber-sumber yang kami baca, tidak mengurangi 'bobot' dari penulisan skripsi ini.

Buku yang pertama kami telaah adalah Sang Nabi diterjemahkan dari The Prophet oleh Sri Kusdyantinah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. Ke 12, tebal buku 107 halaman. Dalam buku ini, terkandung pesan etis Gibran yang memuat ajaran Gibran tentang moralitas dalam hubungan antar sesama manusia, apa pun peran dan kedudukannya; bagaimana pandangan orang tua terhadap anaknya,


(17)

bagaimana sikap seorang guru, tentang cinta, kebebasan, keindahan, persahabatan, bahkan tentang makan-minum, pakaian serta pemberian; pendeknya, tentang ihwal eksistensi manusiawi yang patut menjadi renungan tentang kebijakan dan kebajikan.

Buku lainnya adalah Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", oleh Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), 159 halaman. Karya ini pernah dibakar di negara asal Gibran, Lebanon, karena berisi kecaman terhadap dominasi Gereja dan otoritas pemerintah pada masa itu. Terlepas dari pandangan yang penuh dengan kontroversi itu, buku ini layak dibaca keseluruhannya, karena mengandung nilai-nilai religiositas yang tinggi.

Berikutnya, kami menelaah buku Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran”, oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), 158 halaman. Karya ini menghadirkan 'warna' lain dari corak yang sebelumnya, karena lebih banyak dibahas seputar nilai-nilai persaudaraan universal yang dilandasi Religiositas.

Kemudian, bacaan kami selanjutnya adalah kumpulan karya Gibran, diantaranya Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2001), Cet. II, tebal buku 370 halaman. Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, 266 halaman

Dalam penelusuran jejak kehidupan Gibran, kami membaca Menapak Jejak Khalil Gibran, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet. Ke-2, tebal buku 171 halaman, karya Prof. Fuad Hassan. Tulisan kami, Humanisme Universal Kahlil


(18)

Gibran, sesungguhnya terinspirasi oleh tulisan Fuad Hassan dalam Menapak Jejak Khalil Gibran, sub bab Gibran sebagai Penganjur Humanisme Universal. Dalam buku tersebut, Fuad Hassan tidak menjelaskan secara rigid maksud dari humanisme universal. Dari 11 halaman yang Fuad Hassan tulis terkait tema ini (halaman 45-54), Fuad Hassan hanya memberikan pengertian bahwa humanisme universal yang dia maksud adalah kemanusiaan universal, tanpa disertai 'turunan' penjelas setelahnya. Dalam buku ini pun, kami hanya mendapat sedikit pembahasan seputar konsep persaudaraan antar sesama yang dibarengi nilai-nilai religiositas.

Pada penelusuran terhadap karya ilmiah lainnya, utamanya skripsi, tesis dan disertasi, kami tidak menemukan tema yang sama dengan tema yang kami angkat. Di Fakultas Ushuludin dan Filsafat, hanya ada skripsi tentang Air Mata Cinta Kahlil Gibran oleh A. Syaeful (skripsi tidak ditemukan di Perpustakaan Ushuludin, sumber katalog). Selanjutnya, skripsi Tiga Puisi Prosa Khalil Gibran

yang ditulis Tb. Adli Hakim (Fakultas Sastra UI tahun 1990), memaparkan analisis struktural dan semiotik pada tiga puisi Khalil Gibran. Begitu pun dalam tesis dan disertasi PPS UIN Jakarta, dari tiga tulisan yang kami dapat hanya menjelaskan macam ragam puisi Gibran. Singkatnya, baik dalam skripsi, tesis maupun disertasi tidak ditemukan kesamaan tema. Hal ini mengandung pengertian bahwa secara keseluruhan, karya ilmiah kami merupakan sesuatu yang baru.

Sumber-sumber di atas yang kami telaah dan pelajari secara seksama, dikombinasikan dengan buku-buku lain, baik dalam nuansa filsafat, sastra atau pun etika.


(19)

E. Sistematika Penyusunan

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:

BAB I Berisi pendahuluan yang secara umum dan khusus meliputi latar belakang masalah sampai sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II Akan dikemukakan secara singkat latar belakang historis Kahlil Gibran sejak masa kecilnya hingga ia terkenal dalam karir intelektualnya sebagai seorang seniman-filsuf dan juga sebagai mistiskus terkemuka dewasa ini, berikut karya-karya yang pernah ditulis dewasa ini.

BAB III Memaparkan pengertian humanisme dan universal, kemudian perkembangan diseputarnya, terlebih dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika. Selanjutnya akan dilihat hubungan antara humanisme dengan dengan keempatnya itu.

BAB IV Merupakan inti dari skripsi ini, berisi rumusan tiga kerangka nilai Kahlil Gibran, meliputi tiga pesan etik Kahlil Gibran, yaitu kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati. Kemudian nilai-nilai religiositas Gibran serta konsepsi Gibran tentang persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Kami akan menampilkan ketiga kerangka nilai ini secara utuh dalam humanisme universal: sebuah


(20)

cita-cita Gibran. Selanjutnya, kami menyertakan tinjauan kritis dan relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini.

BAB V Adalah penutup sekaligus saran dan kesimpulan dari keseluruhan


(21)

BAB II

BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN7

A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar8 dari Lebanon

Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha (Lembah Kudus atau Lembah Suci), kota Beshari, Lebanon.9 Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran. Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama kakeknya. Pemberian nama dengan nama kakeknya semacam ini adalah merupakan tradisi orang Lebanon pada waktu itu.10

Keluarga Gibran hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah depresi ekonomi yang tengah melanda Lebanon. Sang ayah, Kahlil Gibran (nama yang kemudian disandingkan dengan namanya ketika bermukim di Amerika), adalah seorang yang tegar tapi berpenghasilan terbatas dan tingkat pendidikannya pun tak

7

Salah satu perubahan yang dialami Gibran sejak merantau ke Amerika adalah cara penulisan nama. Sejak Sekolah Dasar di Boston, ditanggalkannyalah nama pertama yang sebenarnya ialah nama dirinya (Gibran), selanjutnya namanya dikenal dengan Khalil Gibran saja. Dan berikutnya masyarakat Amerika suka sekali mengucapkan huruf kah dan nama Khalil yang dalam ejaan Arab ditulis “خليل” kemudian dituliskannya Kahlil. Danbahwa ucapan nama Gibran dalam ejaan bahasa Indonesia ialah Jibran, yaitu transliterasi dari ejaan bahasa Arab “جبران”. Beberapa buku tentang dirinya dalam bahasa Perancis menuliskan namanya “Djibran Khalil Djibran”. Tapi ejaan Gibran tidak terlalu keliru, karena di Mesir umpamanya, namanya diucapkan “Gibran” walaupun ejaannya “جبران”, karena di sana biasanya huruf jim diucapkan gim. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 23-24. Sedikit berbeda dengan Fuad Hassan yang menggunakan kata Khalil Gibran dalam tulisannya, penulisan skripsi ini sepenuhnya memakai nama Kahlil Gibran.

8

Gibran terlahir di wilayah pegunungan Cedar (Cedar Mountain) atau dalam bahasa aslinya Jabal al-Arz. Hingga kini pohon Cedar (Arz, jamak Arzah) digunakan sebagai lambang Lebanon dan dicantumkan pada bendera nasional Lebanon. Pohon Arz termasuk golongan pepohonan yang selalu hijau di segala musim (evergreen), sehingga seolah-olah mengesankan ketegaran dan keabadian.

9

Kahlîl Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlîl Gibrân oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), h. 5

10


(22)

berarti. Ia bekerja sebagai penagih pajak. Penampilannya yang gagah dan tegar, tapi kecanduannya pada arak dan judi mengakibatkan keluarganya hidup dalam kesempitan. Ia sering mabuk, suka berkelahi, dan berlaku kasar terhadap isteri dan anak-anaknya. Gibran hampir tidak memperoleh pengaruh psikologis apapun dari ayahnya. Beruntung Gibran punya Kamila, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat.

Walaupun keadaan ayahnya demikian, Gibran sendiri-secara terselubung- menggambarkan kekerasan watak ayahnya sebagai seorang yang tetap dikaguminya.

I admired him for his power-his honesty and integrity. It was his daring to be himself, his outspokenness and refusal to yield, that got him into trouble eventually, if hundreds, were about him, he command them with a word.”

“Aku mengaguminya karena kekuatannya-kejujurannya dan integritasnya. Keberaniannya untuk tampil dengan kesejatian dirinya, keterusterangannya dan sifatnya yang pantang mengalah itulah yang sering menjerumuskannya kedalam berbagai kesulitan. Jika beratus-ratus orang mengelilinginya, maka dengan sepatah kata saja mereka dapat ditundukkan olehnya.”11

Beruntung Gibran punya Kamila Rahmi, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Beliau anak seorang pendeta gereja Maronit12 di kota kecilnya, yaitu pendeta Istifan Rahmi. Kamila digambarkan sebagai wanita, kurus dengan pipi agak kemerah-meraham dan bayangan melankolis dalam matanya. Kamila mempunyai suara yang merdu dan amat taat beribadah. Ketika mencapai usia kawin, ia menikah dengan salah seorang sepupunya sendiri, Hanna ‘Abd-Salam Rahmeh. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon pada masa itu, Abd’ Salam dan keluarganya berimigrasi ke Brazilia untuk mengadu nasib, tetapi

11

Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 35

12

Golongan gereja Maronit merupakan mayoritas dari denominasi agama Kristen. Lainnya terdapat golongan penganut Katolik Roma, Katolik Syria, Ortodox Yunani, Nestoria, Chaeldea, Armenia dan sejumlah sekte lainnya. Hingga kini di Lebanon ada 3 (tiga) agama monotheis yang diakui oleh pemerintah Lebanon, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.


(23)

meninggal disana dan meninggalkan Kamila seorang putra bernama Boutros (Peter). Sepeninggal suaminya, Kamila kehilangan sumber nafkah dan tidak mungkin lagi baginya untuk bertahan hidup di Brazil sambil mengasuh anak tunggalnya, maka Kamila memutuskan untuk pulang kembali ke Lebanon. Dan setelah beberapa lama kemudian, janda muda ini menikah lagi dengan seorang pria yang bernama Khalil Gibran. Dari buah perkawinannya yang kedua ini, maka terlahirlah Gibran (1883), Marianna (1885) dan Sultanah (1887).13

Kamila terkenal dengan sebagai wanita yang berkemauan keras tapi lemah lembut tutur katanya, ia juga tergolong wanita cerdas dan sangat mahir berbahasa. Kepada anaknya, ia mengajarkan bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Pada waktu-waktu senggang diceritakan kepadanya berbagai legenda dari dunia Arab, termasuk cerita Seribu Satu Malam. Ayahnya sering mengajak berkunjung ke beberapa kota kuno dengan banyak sekali peninggalan purbakalanya seperti

Balbeek, Homs dan Hamah. Adakalanya mereka bermalam di ketinggian Gunung Cedar dan menginap di tenda pengembala sambil menikmati suasana kedamaian dibawah cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan dan amat mempesona. Segala pengalamannya ini kelak nyata berpengaruh pada dirinya manakala sedang kebingungan menghadapi peri-kehidupan di kota New York yang serba bising; kedamaian di desanya itu sering membangkitkan kerinduannya pada tanah airnya.14

Karena sulitnya kehidupan di Lebanon, maka Peter mohon izin kepada ibunya untuk pindah ke Amerika. Karena ayahnya dianggap sudah tidak lagi bisa

13

Suheil Bushuri dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 2

14


(24)

dijadikan sandaran keluarga karena sering mabuk dan sehari-hari menganggur saja. Kamila menyetujui gagasan Peter untuk pindah ke Boston sebagai pangkalan pertama karena di kota itu ada beberapa temannya. Tapi Kamila juga minta Peter berjanji untuk berusaha agar ibu dan ketiga adiknya bisa selekasnya dapat menyusul ke Amerika. Maka pada tahun 1894, Kamila dan semua anaknya tiba di Boston. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di daerah China-Town, suatu daerah dengan rumah sewaan berhimpitan yang padat penghuninya serta lorong-lorong yang dikotori sampah; jauh berbeda dengan suasana kedamaian dan kebersihan dalam lingkungan alam desa kecil mereka di lereng Gunung Cedar dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas.15

Di tempat barunya ini, Gibran masuk sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak imigran. Di sekolah ini Gibran dengan cepat dikenal teman-temannya karena kemampuannya yang sangat menonjol dalam hal menggambar. Kemahiran yang dimiliki inilah yang menghantarkan Gibran dalam dunia seni di Boston dan juga menarik perhatian para pekerja sosial di Denison House, sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang pendampingan para imigran dan anak-anak jalanan. Melalui lembaga inilah Gibran berhubungan dengan seorang seniman bernama Fred Holland Day. Day yang melihat bakat luar biasa pada diri Gibran, kemudian mendorongnya untuk mengembangkan bakat seninya, khususnya dalam menggambar. Maka semakin intens lah keterlibatan Gibran dalam dunia seniman di Boston.

Pada tahun 1896 Gibran tidak dapat menahan kerinduan pada Lebanon. Ia merasa perlu untuk kembali ke tanah airnya guna menambah pengetahuan tentang

15


(25)

Bahasa dan Sastera Arab.16 Kali ini dia masuk Madrasah Al-Hikmah17 di Beirut, sekolah yang diselenggarakan oleh gereja Maronit.

Di Lebanon, Gibran bertemu dengan Salim Dahir. Beliau adalah seorang dokter, penyair sekaligus guru bagi Gibran. Sang guru pun banyak bercerita tentang berbagai legenda dan dongeng lokal kepada sang penulis muda yang berbakat ini. Karena terpesona oleh anak muda yang lembut dan sopan ini, maka Salim Dahir mengijinkan Gibran membantu tugas-tugas kedua puterinya, Sai’di dan Halla. Seiring dengan waktu yang berjalan, maka tumbuhlah benih cinta diantara Gibran dan Halla. Namun hubungan mereka harus pupus dan kandas di tengah jalan manakala keluarga Halla tidak merestui hubungan mereka. Konon salah satu karya Gibran yang berjudul Al-Ajnihah al-Mutakassirah adalah merupakan roman yang kisahnya diilhami oleh pengalaman pahitnya itu.18

Pada tahun 1901 Gibran lulus dari Madrasah Al-Hikmah dengan pujian tinggi. Maka mulailah dia mengembara untuk belajar seni ke Yunani, Italia, Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. Di Paris inilah saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat megejutkan masyarakatnya di Lebanon, khususnya kalangan penguasa dan serta gereja dan pendetanya, yaitu

Spirits Rebellious19. Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan

16

Namun John Walbridge dalam Hidup dan Karya Gibran, memberi komentar lain. Menurut dia, kekhawatiran Ibu dan keluarganya akan pengaruh buruk dari pergaulan Gibran lah yang menjadi motif mengirim Gibran kembali ke Lebanon. Lihat John Walbridge dan Adel Beshara, Hidup dan Karya Gibran, Terj. (Yogyakarta: Nirwana, 2003), cet 1, h. 46

17

Hingga kini Madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut, hanya berubah namanya menjadi College de la Sagesse. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39

18

Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 52

19

Istilah ini lebih tepat diterjamahkan ‘Jiwa yang memberontak’ atau ‘Semangat memberontak’, Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 31. Namun, tak jarang Spirits Rebellious diartikan ‘Roh Pemberontak’ seperti halnya judul buku terjemahan L. Saputra. Buku Roh Pemberontak ini memuat 3 rangkai judul diantaranya, Ibu Rose Hanie, Tangisan Kubur dan


(26)

dalam buku, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas terhadap gereja.20

Pada tahun 1902 Gibran terpaksa meninggalkan Paris untuk pulang ke Boston karena ibunya sakit keras. Selama mendampingi ibunya yang semakin parah penyakitnya, terjadilah peristiwa yang sangat menghancurkan jiwanya, yakni pada tanggal 4 April, adik yang sangat dicintainya, Sulthana, meninggal dunia karena menderita Tuberkulosis (TBC). Namun, beruntung kesedihan Gibran atas meninggalnya Sulthana bisa sedikit terobati oleh perkenalannya dengan seorang seniman wanita yang bernama Josephine Preston Peabody. Josephine ini akhirnya menjadi teman dekat Gibran dan banyak mendorong Gibran untuk mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk memperkenalkan Gibran dengan seniman-seniman Boston yang terkenal. Ia adalah seorang yang memahami watak dan jiwa Gibran, di samping sebagai salah seorang yang sangat mengagumi lukisan-lukisan Gibran. Sayangnya, Gibran harus kembali menelan kesedihan karena Josephine harus menikah dengan orang lain dan terpaksa meninggalkannya.21 Kesedihan Gibran makin berlipat karena hampir setahun kemudian, tepat tanggal 12 maret 1903, Peter, kakaknya yang menjadi andalan nafkah mereka sekeluarga meninggal karena penyakit yang sama. Disusul empat bulan kemudian, tanggal 28 juni 1903, oleh kematian ibunya, diduga karena TBC juga.

Khalil Si Klenik Lihat dalam Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj. Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), h. 1

20

Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40

21


(27)

Dalam puncak rasa sedih saat ibunya meninggal itu-menurut Marianna, adiknya-justeru Gibran tidak menangis, namun tiba-tiba saja darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Gibran merasakan kepedihan ini, karena bagi Gibran pengaruh ibunya sangat kuat dalam membentuk kepribadiannya. Di dalam karangannya, berjudul Broken Wings (Sayap-Sayap Patah), Gibran menulis:

“Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the fountain-head of compassion, for bearance, and forgiveness. He who loses his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that blesses, and eyes which watch over him.

“Ibu adalah segalanya dalam hidup ini; dia adalah pelipur disaat kesedihan dan pemberi harapan disaat kedukaan serta kekuatan disaat kelemahan. Ia adalah pancaran kasih-sayang, ketangguhan, dan ampunan. Orang yang kehilangan ibunya berarti kehilangan dada tempat menyandarkan kepalanya, tangan yang memberkati, dan mata yang menjaga dirinya.”22

Dan dalam suratnya kepada sahabat penanya, May Ziadah, Gibran menulis:

Had it not been for the mother, the sister, and the woman-friend, I would have been sleeping among those who disturb the serenity of the world with their snoring.”

“Kalau bukan karena ibu-perempuan, saudara-perempuan, teman-perempuan, maka mungkin aku masih tertidur diantara mereka yang menggangu ketenangan alam dengannya.”23

Itu sebabnya Gibran merasa sangat bersalah karena telah membujuk ibu dan adik-adiknya untuk bermukim di Amerika, lalu tinggal di kawasan China-Town yang begitu tercemar lingkungannya. Gibran lagi-lagi berkata, andaikata mereka sekeluarga menetap di Lebanon, khususnya di Bisharri yang bertengger pada lereng Gunung Cedar dengan udaranya yang bersih dan segar, maka tidak mungkin mereka dihinggapi penyakit yang mematikan itu. Dan hampir bersamaan

22

Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 42

23


(28)

dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya itu, seluruh lukisan yang kebetulan sedang ditampilkan dalam sebuah pameran dimakan api bersama terbakarnya gedung pameran tersebut; Gibran sangat terpukul oleh musnahnya sekumpulan lukisannya dalam sekejap saja.

Namun Gibran tidak larut dalam kesedihan. Jiwa dan semangatnya berkobar untuk menuangkan segala gagasan dan ide yang terkumpul kepadanya, membuatnya segera bangkit dan mulai berkarya, baik dengan tulisan maupun lukisan. Karyanya yang sudah mulai dirancang penulisannya ketika Gibran masih bersekolah di Madrasah al-Hikmah dan baru berusia lima belas tahun, yaitu The Prophet, kembali ditulis ulang.24

Tahun 1904, Gibran bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Yang pertama adalah perkenalannya dengan Mary Elizabeth Haskell, seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap bidang seni dan pendidikan. Ia menjadi seorang pendorong dan penuntun bagi Gibran; bahkan ia yang mengirim dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Atas jasa-jasanya ini, pada hamper semua buku karya Gibran, nama Mary Elizabeth Haskell yang biasa disingkat M.E.H. selalu tercantum pada halaman persembahan. Yang kedua adalah Amin Ghuraib, pemilik majalah al-Muhajir. Perkenalannya dengan Gibran dan ketertarikannya akan potensi pemuda itu, membuat Gibran dipercaya sebagai pengelola majalah tersebut. Mulanya Gibran diberi wewenang untuk mengurusi tata artistik, namun setelah melihat potensi Gibran dalam menulis, ia pun lalu menyediakan kolom khusus bagi tulisan-tulisan Gibran di majalahnya. Melalui majalah inilah Gibran mulai memperkanalkan ide-ide dan pemikirannya,

24


(29)

baik dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Nama Gibran pun mulai terkenal. Gibran menjulang namanya, menggeser nama-nama lain yang sudah lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan mahjar.25

Kesuksesan Gibran semakin memuncak setelah diterbitkannya The Prophet dan kesibukan-kesibukan yang dijalaninya, justeru mengundang “penyakit” yang sejak lama telah diidapnya, yakni kesepian dan kesunyian. Orang yang selama ini sangat dekat dengan Gibran, Mary Elizabeth Haskell, mulai menjauh dari Gibran karena M.E.H. beranggapan bahwa Gibran sudah tidak membutuhkannya lagi. Kemudian ia menikah dengan sahabat Gibran. Adiknya yang tinggal satu, Mariana, menjadi seorang yang introvert kelas berat yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah dengan orang lain.

Pada saat kesepian di tengah gemilang kariernya, Gibran berkenalan dan menjalin cinta dengan seorang sastrawan dan kritikus asal Mesir yang bernama May Ziadah. Perkenalan mereka berawal dari kritik May atas buku Gibran yang berjudul (al-Ajinah al-Muatakssirah), di dalam buku ini Gibran terkesan membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Salma Karami26. Ini lah salah satu kritik yang dilontarkan oleh May tentang karya Gibran:

25

Mahjar adalah ungkapan berbahasa Arab yang berarti tempat pindah atau tempat perantauan. Lihat dalam Ahmad Wasrun Munawir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: KP Al-Munawwir, 1984), h. 1590. Fuad Hassan secara lugas mendefinisikan mahjar, yakni sastra Arab yang dikembangkan oleh mereka yang memilih untuk merantau sebagai muhajir, karena peri kehidupan di negerinya yang sarat dengan penderitaan akibat pemerintah jajahan yang sangat otoriter. Daerah perantauan yang menjadi tujuan ialah terutama Amerika, baik Utara maupun Selatan. Di Amerika Utara terdapat masyarakat muhajir yang bermukim di Boston dan New York. (Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 30)

26

Salma Karami ialah tokoh dalam satu periwayatan Gibran dalam The Broken Wings; Dia adalah seorang gadis cantik dari Beirut yang oleh orang tuanya yang kaya raya dipaksa kawin dengan anak seorang pendeta, sehingga antara kedua pihak orang tua saling memetik keuntungan. Padahal Salma sudah mencurahkan cintanya yang sejati pada seorang pemuda lain, dan sama


(30)

“I am in full accord with you on the fundamental principles that advocates the freedom of woman. The woman should be free, like the man, the choose her own spouse guided not by the advice and aid of neighbors and acquaintances, but by her own personal inclinations.”

“Aku sepenuhnya setuju dengan kau mengenai asas-asas yang mendasari perjuangan kebebasan bagi kaum wanita. Wanita harus bebas seperti pria, untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, bukan karena diarahkan oleh nasehat atau bantuan para tetangga dan sahabatnya, melainkan oleh selera pribadinya sendiri.”

Kendati demikian, dengan panjang lebar May menjelaskan bahwa dia tidak mungkin membenarkan perselingkuhan Salma, apapun dan bagaimana pun penyebabnya.

Suppose wet let Salma Karami, the heroine of your novel. And very woman that resembles her in affections and intelligence, meet secretly with an honest man of noble character; would not this condone any woman’s selecting herself a friend, other than her husband, to meet with secretly? This would not work, even if the purpose of their secret meeting was ti pray together before the shrine of the Crucified.”

“Seandainya kita benarkan Salma Karami, tokoh utama ceritamu itu, dan setiap wanita yang mirip dirinya dalam hal perasaan dan kecerdasannya, bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki yang jujur dan berwatak mulia. Bukankah itu berarti dibenarkannya setiap wanita memilih bagi dirinya sendiri seorang teman, lain suaminya, untuk bertemu secara rahasia? Ini tidak mungkin dibenarkan, sekalipun tujuannya pertemuan rahasia mereka adalah berdoa bersama di hadapan kuil sang tersalib.”27

Demikian lah jalinan cinta yang berkembang antara Gibran dan May, sekalipun hubungan diantara keduanya hanya berlangsung melalui saling kirim surat belaka, sejak tahun 1912 sampai 1931; surat-surat itu lebih dari sekedar pengungkap rasa cinta melainkan juga mencerminkan kemampuan sastera yang tersimpan dalam diri mereka masing-masing. Sayang cita-cita Gibran untuk sempat bertemu dambaan hatinya ini tidak juga tidak kesampaian karena penyakit

sekali tidak mencintai laki-laki yang dipaksakan menjadi suaminya. Akhirnya Salma diketahui berselingkuh dengan pemuda pujaan hatinya, dari periwatannya terkesan bahwa Gibran tidak menyalahkan perbuatan Salma, karena memandang perilau Salma sebagai akibat dari dipaksakannya Salma menikah dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya tetapi ‘apa boleh buat’ diterimanya sekedar untuk menuruti kehendak orangtua. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 80

27


(31)

jantung dan liver terlebih dahulu merenggutnya dari alam fana ini. May Ziadah sendiri tak lama setelah itu tutup usia.

Pada tanggal 10 April tahun 1931 pukul 22.50, Kahlil Gibran menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis “cirrchois of the liver and incipient in one of the lungs”. Jenazah Gibran disemayamkan di rumah duka Universal Funeral Parlor di New York, dalam peti di bawah timbunan bunga yang melimpah. Baru pada 23 Juli tahun itu juga jenazah Gibran diangkut dengan kapal ke Lebanon, dan sebulan kemudian, 21 Agustus, Jenazah Gibran tiba di Beirut. Iring-iringan pengantar jenazah menuju Katedral S.t. George diikuti oleh pejabat-pejabat tinggi Negara dan wakil-wakil komisariat Negara asing; juga ikut serta kaum muslimin baik Sunni, Shi’i, Druze, golongan penganut gereja Ortodox Yunani, Katolik, Maronit, Yahudi, Armenia, pendeknya semua golongan dan segala lapisan masyarakat tanpa kecuali menyertai prosesi yang mengatar jenazah Gibran yang terakhir di Gua Mar Sarkis.

Pengabdiannya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan dunia pengetahuan dan sastera Arab, membuatnya mendapat penghargaan ‘Bintang Seni’ dari pemerintah Lebanon.

B. Karya-karya Kahlil Gibran

Martin L. Wolf dalam bukunya yang berjudul “The Treasured Writing of Kahlil Gibran”- sebagaimana dikutip oleh Fahrudin Faiz- berasumsi bahwa ada maksud tertentu dari Gibran saat menulis karyanya dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris (non Arab).28 Kalau dia menulis dalam bahasa Arab, biasanya

28


(32)

berisi ajakan atau menggugah bangsa-bangsa Arab agar sadar akan kondisi mereka dan turut membantu menghapuskan penjajahan yang terjadi di negeri-negeri mereka, termasuk Lebanon. Adapun apabila tulisan tersebut dalam bahasa Inggris (non Arab) tujuannya adalah menyadarkan bangsa Barat akan pentingnya perdamaian dan persaudaraan Di antara karya-karya sang penyair ini adalah sebagai berikut29:

1905 Nubdah fi Fan al-Musiqa, New York: Al-Muhajir 1906 ‘Ara’is al-Muruj, New York: Al-Muhajor.

Nymphs of Valley, terj. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948

1908 Al-Arwah al-Mutamarridah, New York: Al-Muhajir. Spirit Rebellious, ter. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948

1912 Al-Ajnihah al-Mutakassirah, New York: Miratul Gharb. The Broken Wings, dalam A Second Treasury of Kahlil Gibran

1914 Kitab Dam’ah wa al-Ibtisamah, New York: Atlantic. A Tear and A Smile,

atau dikenal juga dengan Tears and Laughter, terj. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1950

1918 The Mad Man: His Parables and Poems, New York: Knopf. Al-Majnun,

terj. Antonius Bashir, Kairo: al-Hilal, 1924

1919 Al-Mawakib, New York: Miratul Gharb. The Procession, terj. George Khaerullah, New York: Arab-America Press, 1947

Twenty Drawings, New York: Knopf

1920 Al-Awasif, Kairo: Al-Hilal. The Tempest, dalam A Treasury of Kahlil Gibran.

29

Ahmad Norma (ed.), Kahlîl Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), cet I, h. 369-371


(33)

The Forerunner: His Parables and Poems, New York: Knopf. As-Sabi, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani, 1925

1923 Al-Bada’i wa al-Thara’if, Kairo: Yusuf Bustani. Best Things and Masterpiece, dalam A Treasury of Kahlil Gibran

The Prophet, New York: Knopf. An-Nabi, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani, 1926

1926 Sand and Foam, New York: Knopf. Ramal wa Zabat, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusf Bustani, 1927

1927 Kalimat Jubran, ed. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani. Spiritual Saying of Kahlil Gibran, terj. Anthony R. Ferris, New York: Citadel, 1964 1928 Jesus, The Son of Man, New York: Knopf.. Yasu’ Ibn al-Insan, terj.

Antonius Bashir, Kairo: Elias Modern Press, 1932 1929 Al-Sanabil, New York: As-Sa’ih.

1931 The Earth Gods, New York: Knopf. Alihat al-Arrd, terj. Antonius Bashir, Kairo: Elias Modern Press, 1932

1932 The Wanderer: His Parables and His Sayings, New York:Knopf. 1933 The Garden of The Prophet, New York:Knopf.

1934 Prose Poems, ed. Andrew Gharib, New York:Knopf.

1951 A Treasury of Kahlil Gibran, ed. Martin L. Wolf, terj. Anthony R. Ferris, New York: Citadel

Al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat Jubran Khalil Jubran, ed. Mikhail Naimy, Beirut: Dar Beirut

1962 A Second Treasury of Kahlil Gibran, ed. Anthony R. Ferris, New York: Citadel


(34)

BAB III HUMANISME

A. Pengertian Humanisme dan Universal

Humanisme memiliki pengertian sebagai gerakan pemikiran yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa acuan pada konsep-konsep yang bersifat adi kodrati.30

Dalam Encyclopedia Britania, humanisme diartikan sebagai paham kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia.31 Nilai-nilai yang terdapat dalam humanisme, seperti ditulis Muhammad Ali, adalah paradigma nilai, sikap, norma dan praktek keagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai.32

Salah seorang tokoh humanisme, Pico, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Oleh karena itu, manusia bebas memandang dan memilih yang terbaik.33

30

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), Cet. III, h. 295

31

Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, (Inggris, 2003, dictionary 2), h. 1

32

Muhammad Ali, Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002

33

Nicola Abbagnano, “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, (New York: Macmillan Publishers, 1967), h. 70


(35)

Dengan lugas, Franz Magnis Suseno memberi pengertian terhadap humanisme dan kemanusiaan. Bagi Romo Magnis, humanisme adalah sikap prinsipil dan terurai (eksplisit) yang menempatkan manusia di pusat perhatian dan sebagai titik tolak penilaian tentang kehidupan masyarakat yang baik; tuntutan intinya adalah manusia harus dihormati dalam martabatnya. Sedangkan, kemanusiaan (Jerman: Humanitat, Inggris: Humanness) merupakan sikap yang diharapkan oleh gerakan humanisme tersebut, yakni: cita-cita pengembangan kemanusiaan dan bakat-bakatnya hati dan jiwa manusia secara selaras dan seimbang; mengembangkan budaya dan keluhuran pikiran; cita-cita itu terungkap dalam sikap yang terbaik dan berbesar hati terhadap sesama manusia.34

Begitu pun seperti tertera dalam satu (dari sepuluh) kategori yang ditawarkan Carliss Lamont dalam The Philosophy of Humanism, disebutkan bahwa humanisme mencirikan sebagai sesuatu yang meyakini dan menjunjung tinggi adanya sebuah etik atau moralitas yang melandasi semua nilai kemanusiaan. Etik dan moralitas ini menunjuk pada adanya persaudaraan kemanusiaan yang adalah dasar kebahagiaan paling hakiki dalam konsep kebersamaan tersebut.35

Dari beberapa definisi dan gambaran yang ada di atas, dapat dipahami bahwa humanisme berada dalam pemaknaan yang beragam; kiranya ada tiga hal yang mungkin dapat penulis ungkap, pertama humanisme sekuler yakni humanisme sebagai yang memiliki daya tolak kuat terhadap daya campur tangan unsur Ilahiah ketuhanan, kedua humanisme yang mengacu pada nilai-nilai

34

Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", dalam

Masa Depan Kemanusiaan, (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 7

35


(36)

religiositas, dan ketiga humanisme dalam pemahaman komunikasi inter-subyektifitas, yang lebih menekan fokus pada ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak asasi manusia dan lainnya.

Sementara istilah universal (Inggris: universals, Latin universalis) dikaitkan dengan konsep-konsep spesies, genus, dan klas, yang berlawanan dengan istilah-istilah "particular" dan "individual". Problem universalia timbul apabila orang mempertanyakan statusnya dalam realitas atau status ontologisnya.36

Secara mudah, 'universal' artinya umum. Sebagai contoh, konsep kemanusiaan adalah konsep yang dipercaya berlaku universal, sebab konsep ini dipercaya dimiliki oleh setiap manusia tanpa membedakan apakah manusia tersebut berkulit hitam, berkulit putih, baragama Islam atau beragama Kristen, apakah ia orang Tionghoa atau orang Amerika. Lawan kata dari universal bisa

khusus, bisa pula diskriminatif, dan sebagainya, tergantung pada konteks kalimat yang memuat kata universal.37

B. Perkembangan Seputar Humanisme

Pada perkembangannya, pengaruh humanisme merambah bidang-bidang kehidupan: filsafat, ekonomi, politik, Islam, religiositas, sastra, etika dan yang lainnya. Mengingat banyaknya aliran seperti yang disebutkan di atas, dan mempertimbangkan keterkaitan dengan tema yang penulis angkat, maka kami

36

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 714

37


(37)

akan membatasi proses perkembangan humanisme ke dalam empat pokok pembahasan, yakni humanisme dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika. Berikut ini kami paparkan secara singkat bidang kaji humanisme.

1. Humanisme dalam Filsafat

Dalam filsafat, tempat persemaian wacana humanisme, cikal bakal humanisme dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.M.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah Protagoras) dalam mengenakan ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak pada akal manusia.38 Dia juga mengungkap hakekat yang-baik sebagai sarana penting dan bersifat hakiki untuk dapat mengenal manusia.39 Plato (428-347 s.M.) dan Aristoteles (348-322 s.M.), masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme (mikrokosmos), walaupun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka (makrokosmos). Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics (Etika Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia.40

Ketiga orang di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Yunani-Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan

38

Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), h. 95

39

Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. IX, h. 317

40


(38)

prinsip-prinsip bagi tindak-tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia). Masa inilah yang disebut sebagai Humanisme Klasik.41

Keterbukaan dan keduniawian humanisme menjadi rangsangan untuk suatu perkembangan pendalaman religiositas, yang di satu pihak terdorong memformasikan gereja dari dalam, di lain pihak mencari kedalaman hidup batin. Maka, pada abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, kita dapat menyaksikan suatu gerak pembaharuan religius luar biasa di Eropa. Di Eropa Utara "Devotia Moderne" mengusahakan pendalaman pengalaman mereka dan mistik, kita misalnya dapat menyaksikan kelompok-kelompok yang bersama-sama melakukan tapa.

Kehidupan rohani Katolik abad ke-16 ditandai oleh tokoh-tokoh mistik dan hidup rohani Santa Theresia dari Avila, Santo Johannes da Cruz dan Santo Ignasius dari Layola. Nama terakhir mendirikan orde Serikat Yesus (Orde Yesuit) yang akan menjadi pembawa pembaruan katolik di semua front. Sedang peristiwa yang paling dahsyat adalah Reformasi Protestan oleh Martin Luther (1483-1546), Jean Calvin dan Ulrich Zwingli. melakukan gerakan Reformasi Gereja.42

Gerakan Humanisme kemudian mendapat hawa segar pada saat Revolusi Perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian

41

Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, (Jakarta: STF Drijarkara, 1998), h. 6

42


(39)

menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas.43

Humanisme modern berkembang dalam dua bentuk, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama.44 Humanisme seimbang, menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada seni, universalisme (di mana nilai-nilai budaya Timur dijunjung tinggi), religiositas yang merasa dekat dengan alam, penolakan fanatisme dan toleransi positif. Tokoh-tokohnya adalah antara lain, dua penyair Jerman terbesar, Goethe dan Schiller, serta Wilhelm von Humbold.

Namun, humanisme muncul juga dalam bentuk anti-agama. Dalam bentuk ini agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas, sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila ia membebaskan diri dari agama. Pelopor dan inspirator humanisme ateis adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872 M) yang memahami agama sebagai keterasingan manusia.45

Dalam tradisi filsafat Barat, perkembangan humanisme berada di ranah filsafat eksistensial. Soren Kierkegaard (S.K.), seorang eksistensialis, mengatakan bahwa manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna. Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa buruk.

43

Hendra Puranto, Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism, http://filsafatkita.f2g.net/str7.html, data diakses 24 Januari 2007, h. 5

44

Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 10

45


(40)

Kalau seseorang telah menetapkan baik dan buruk, tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada.46

Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksistensi (sphers existence) atau tahap jalan hidup (stages on life's way), yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the religious).47 Tahap estetis (the aesthetic) dapat digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan.48

Wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis (the ethical), orang mulai memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat (evil) dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan refleksi tentu saja, mulai memainkan peranan yang penting dalam tahap ini. Dengan meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat integrasi apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima tanggung jawab yang memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya di dunia.49

Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap religius(the religious), orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk

46

Fuad Hassan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005), Cet. ke-9, h. 29

47

Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: KPG, 2004), h. 87

48

Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 88

49


(41)

hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukan miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuskan dirinya.50 Penjabaran dari Kierkegaard ini, paling tidak menjadi keterwakilan dari seorang filsuf yang memiliki ragam humanisme, terutama dalam penghayatan nilai-nilai religiositas.

Pada pemaparan di atas, bisa terlihat perkembangan humanisme dalam ranah filsafat (atau berarti juga faham kemanusiaan dalam bidang-kaji filsafat) diwakili enam periode yakni zaman klasik yang lebih berorientasi pada Akal Budi; Abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, terekam suatu gerak pembaharuan religius sampai pada reformasi gereja; pada Revolusi Perancis (k.l. 1789-1799), kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité); Masa Modern yang membelah bentuk humanisme menjadi dua, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama; dan filsafat eksistensial sebagai 'kubang' perkembangan humanisme dalam tradisi filsafat Barat, diwakili oleh Kierkegaard yang memperkenalkan tiga wilayah eksistensi, yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the religious).

Kelima masa tersebut, paling tidak menjadi pembuka bagi masa depan humanisme berikutnya. Pada bahasan selanjutnya kami paparkan perkembangan humanisme dalam religiositas.

50


(42)

2. Humanisme dalam Religiositas

Humanisme dalam religiositas berarti juga faham kemanusiaan pada ranah religiositas. Pada perkembangannya, bidang-kaji ini sedikit banyak mengungkap kedudukan (posisi) antara formalisme keagamaan dan nilai-nilai religiositas. Terlihat misalnya, sebuah bentuk religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi.

Dalam Sastra dan Religiositas, Y. B. Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun, tertarik untuk memberi pengertian lain pada agama dan religiositas. Baginya, agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Geseltschaft, bahasa Jerman). 51

Sedangkan religiositas lebih melihat aspek “yang didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinscahft) yang cirinya lebih intim. 52

51

Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Cet. III, h. 12

52


(43)

Jauh sebelum itu, seorang filsuf Paul-Tillich melontarkan pandangan tentang agama dan religiositas. Menurutnya, sebagaimana dikutip Arif Budiman, religi mempunyai pengertian yang lebih luas dari agama. Seorang yang religius tidak selalu harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam atau Hindu. Seorang yang religius menurutnya adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari pada batas-batas yang lahiriah saja. Dia adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal dari kehidupan ini, dia berusaha mentransendir hidup ini.53

Erich Fromm dalam To Have or To Be-seperti dikutip Mashuri- pernah menegaskan, religiositas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubungan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada individu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian.54

Sekali pun religiositas sering dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan, namun pada satu sisi religiositas berbeda dengan sistem religi. Religiositas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama

53

Arif Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), Cet. I, h. 27

54

Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007


(44)

formal. Religiositas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.55

Secara halus, Romo Mangun menghidangkan definisi abstrak tentang perbedaan ataupun titik-titik singgung antara agama dan religiositas. Romo mengambil contoh dalam sastra. Seperti yang ia kutip dalam resensi Umar Junus di majalah Horison, buah karya A.A. Navis, Datangnya dan perginya (Bukittinggi, 1956):56

"Seorang ayah runtuh hati karena istri pertamanya meninggal, sehingga ia menghanyutkan diri dalam hidup serba maksiat dan mengabaikan anaknya Masri. Pernah sang Ayah tertangkap basah oleh Masri dalam suatu tempat pelacuran. Lalu pergi. Salah seorang dari sekian banyak isteri yang dikawini dan dicerainya, melahirkan anak, Arni, yang (tanpa diketahui asal-usulnya oleh sang Ayah dan Masri), menikah dengan Masri itu sendiri.

Timbul lah dilema bagi sang Ayah: Apakah ia harus mencegah sesuatu yang menurut hukum agama adalah dosa (yaitu perkawinan antara dua insan yang seayah sekandung), dengan memberitahukan kenyataan hubungan kakak beradik, kepada Masri dan Arni; tentunya dengan akibat keluarga Masri (yang sudah berbahagia itu) berantakan? Atau kah membiarkan kedua orang tak bersalah itu tetap tidak tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya dalam keadaan bonafide (penganggapan baik, menurut istilah moral), demi keutuhan keluarga Masri, tetapi dengan pelanggaran hukum agama terus menerus?

Sang ayah memilih alternatif terakhir demi peri kemanusiaan".

Jelaslah ini suatu kasus yang cukup menarik; namun juga menyangkut pertanyaan yang tergolong paling dalam pada hidup konkret kita semua. Umar Junus-seperti dikutip Romo Mangun- menyebut dilema itu persoalan "antara agama dan kemanusiaan". Romo Mangun menambahkan bahwa persoalan itu

55

Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007

56


(45)

adalah antara hukum agama dan peri kemanusiaan. Bahkan lebih jauh lagi, antara formalisme hukum agama dan religiositas otentik.57

Pada bagian ini tersentuhlah persoalan eksistensial dalam segala bidang yang menjadi pertanyaan dasar manusia modern dan bangsa ini khususnya. Bahkan dapat dikatakan, inilah tantangan yang dipikul semakin serius kepada semua agama besar di masa kini dan hari depan: apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Dengan kata lain: apa arti agama tanpa religiositas, tanpa "penuntun manusia ke arah segala makna yang baik".

Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi. “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman”, begitulah dari sekian banyak varian yang kita dengar. Bagi manusia “religius” ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci, kudus dan adi kodrati. Atau dalam bahasa Aldous Huxley-seperti dikutip Emanuel Wora-, manusia tersebut sudah masuk ke dalam apa yang disebut 'metafisika'. Huxley mendefinisikan metafisika ini sebagai usaha untuk mengenal realitas Ilahi sebagai dasar dari dunia bendawi, hayati maupun akali. Realitas Ilahi bersifat substansial bagi dunia.58

Dambaan manusia religius hidup untuk hidup dalam kekudusan adalah hasrat untuk hidup dalam realitas objektif, tidak cuma terkurung didalam kejadian-kejadian subjektif, suatu kenisbian tiada hentinya.59 Pada dasarnya,

57

Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14

58

Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 2006), h. 28-29

59


(46)

religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Beberapa lagu yang berkualitas religius, seperti “Tuhan” ciptaan Trio Bimbo, “Surgamu” yang dilantunkan oleh Band Ungu, atau pun lagu "Perdamaian" yang dinyanyikan personel Gigi dengan penuh haru dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristiani. Begitu juga, sikap-sikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri penuh pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu

solah-bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga.

Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikian, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious

juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ada orang yang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain dari dia punya, atau biasa karena tidak ada pilihan lain; cukup beragama “statistik” belaka.

Sebaliknya, ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakekatnya religius. Dalam suatu wawancara dengan majalah Time, pengarang roman dan cerpen Inggris terkenal Graham Greene-seperti dikutip Romo Mangun- pernah mengatakan, There is far more religious faith in (communist) Russia than in (Christian) England.60 Demikian pula di negeri kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama; tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek

60


(47)

keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Maha Baik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap religius otentik.

Jika kita menelusuri jejak doktrin filsafat perenial di dalam berbagai tradisi agama dunia, kita akan menemukan ajaran tentang kejatuhan (the fall). Dalam tradisi Yahudi-Kristen misalnya, kejatuhan terjadi sesudah penciptaan. Kejatuhan

ini secara ekslusif disebabkan karena penggunaan kehendak bebas secara egosentris, padahal kehendak bebas itu harus tetap terpusat pada dasar Ilahi, dan bukan pada kedirian (self hood) yang terpisah. Dengan kata lain kejatuhan ini merusak kesadaran atau pengetahuan manusia akan dasar imanen dan transenden segala sesuatu, termasuk hidup dan dirinya sendiri. Kesadaran atau pengetahuan ini hanya bisa diraih kembali melalui usaha kebajikan, terutama ketulusan, kerendahan hati dan kedermawanan.61

Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan di atas seperti apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Atau apa arti agama tanpa religiositas, tanpa penuntun manusia ke arah segala makna yang baik? Haruslah menjadi pelajaran yang berarti terutama bagaimana upaya untuk menciptakan kehidupan yang humanis dengan suasana religius seperti. Religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi.62 Bahkan religiositas akan menjelma ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.

61

Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 36

62


(48)

3. Humanisme dalam Sastra

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut. Dalam kisahnya tentang Gubug Paman Tom Harriet Beecher-Stow membuka mata masyarakat terhadap nasib budak belian di Amerika Serikat. Hal yang sama diperbuat Turgenyev di Rusia dengan Kisah-Kisah Pemburu. Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempengaruhi diskusi mengenai sistem kolonial Belanda.63

Kecenderungan semacam ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antar manusia ditentukan untuk paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan, sikap dan nilai-nilai termasuk kebutuhan-kebutuhan seseorang, termasuk pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang harus ditulis orang, bagaimana menulisnya, dan untuksiapa karya sastra ditulis, dan apa tujuan atau maksudnya.64

Hubungan antar manusia atau pun masyarakat yang tergambarkan dalam karya sastra, sangat mendorong perkembangan humanisme dalam sastra. Secara literal bidang kaji ini berarti suatu paham kemanusiaan dalam dunia

63

Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), Cet. Ke 2, h. 23

64

Andre Hardjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), Cet. Ke 2, h. 70


(49)

kesusasteraan. Manusia menjadi tema sentrum dalam karya sastra, selain perbincangan mengenai formalisme agama dan religiositas.

Sejenak kita melihat ke belakang, tepatnya dalam tradisi sastra Islam dan Kristen (Barat) kita sering menjumpai perpaduan menarik antara sastra religiositas dan keagamaan formal dalam bingkai kemanusiaan. Pada tradisi sastra Islam, tema yang sering kali dimunculkan adalah perjuangan pengakuan kembali terhadap hak-hak wanita. Tema ini muncul karena di ranah Arab tradisi patriakal begitu menggejala, maka sering terjadi diskriminasi terhadap wanita.

Cerita tentang seorang perempuan yang baru dinikahi oleh kepala suku Morra, Harit bin Auf menolak untuk 'disentuh' sebelum sang kepala suku menghentikan peperangan dan mengibarkan panji perdamaian, kiranya menarik untuk disimak.

"….Datanglah malam. Maka Harit memerintahkan mengaso dan berkemah. Akan tetapi, ketika ingin mendekati isteri muda itu, ia ditolak. "Apa? Masksudmu ingin menggarapku seperti budak belaka, yang dibeli, atau seperti tawanan perang? Demi Allah, kau tidak akan memelukku sebelum kau menyambutku di tengah sukumu dan perkawinan kita rayakan dengan onta-onta dan domba-domba yang disembelih untuk santapan perayaan. Perayaan yang dihadiri oleh undangan-undangan semua suku Arab.

Mereka kemudian tiba di suku Harit. Tamu-tamu diundang, onta-onta dan domba-domba disembelih dan mulai lah pesta. Maka mendekat lah Harit kepada isterinya, tetapi masih ditolaknya. "Bagaimana? Kau punya waktu untuk bercumbu-cumbuan dengan perempuan, padahal di luar semua orang Arab saling membunuh dalam dendam kesumat berdarah, dan menghancurkan kaum Dobyan dan Abs, suku ibuku! Lekaslah pergi keluar, rujukkan kembali suku-suku, dan baru lah pulang kepada isterimu, yang akan menunggumu penuh cinta!"

Harit keluar ke suku-suku musuh yang sudah empat puluh tahun saling melabrak dalam darah dendam kesumat. Berkat pengorbanan diri yang besar Harit mengadakan perdamaian antara mereka. Ia menyuruh menghitung jumlah korban-korban yang gugur di kedua belah pihak; dan menjamin bahwa suku yang kehilangan prajurit gugur lebih dari suku yang alin, dia Harit, akan memberi imbalan kelebihan pertumpahan darah, berupa tiga ribu unta dalam tiga tahun berikutnya. Berkat kemuliaan budi dan kedermawanannya demi karya perdamaian itu Harit pulang ke sukunya,


(50)

terpuji oleh segala pihak. Istrinya, Bahisa menerimanya dengan kedua tangan terbuka, dan melahirkan banyak putra dan putri." 65

Makna yang terkandung dalam cerita di atas begitu dalam. Si gadis Bahisa merupakan wanita yang paling cocok dengan hati orang-orang Beduin padang Pasir. Harit, tokoh pria dalam cerita itu adalah orang yang bijak dan mau berkorban untuk kepentingan sesama.

Berikutnya, dalam dunia sastra Barat (alam Kristen), sastra yang langsung menyerang agama Kristen sudah mempunyai "tradisi" yang lama sekali. Sebenarnya yang diserang pertama-tama bukan isi agama Kristen itu, tetapi pejabat-pejabat Gereja, khususnya dari Gereja Katolik Roma yang sejak abad-abad Byzantium Konstantinopel terlalu mengindentifikasi kepentingan agama dan Gereja dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.

Seperti diceritakan dalam roman Albert Camus, Sampar (La Peste), yang menggambarkan betapa Tuhan tak berdaya (hanya diam saja) terhadap wabah penyakit yang meresahkan masyarakat.

"…Situasi porak-poranda material spiritual suatu kota yang diserang wabah sampar. Hanya dua orang, dokter Rieux dan seorang pastor, Paneloux, yang dapat tabah dan mencoba menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan dari kota, yang justru melampiaskan kebejatan pada saat-saat menghadapi maut. Kedua orang itu mencoba memperkuat iman dan keteguhan para warga kota, yang sudah busuk fisik dan mental itu.tetapi orang-orang yang sudah busuk tinggal menanti mati itu tetap seperti sedia kala, busuk. Dan di dalam malapetaka serba memuakkan itu Tuhan diam saja."66

Roman Camus ini menggambarkan situasi bangsa modern yang busuk dan serba serakah saling membunuh dan mengisap, juga masih tetap busuk pada saat sekian ribu bom nitrogen siap menghancurkan seluruh dunia. Hanya Rieux sang Dokter, sang tidak Dokter, yang tidak percaya pada akherat, masih mencoba untuk

65

Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 68

66


(51)

mengatasi dan membuat hidup di dunia ini sedapat mungkin cukup baik untuk dihuni. Rieux adalah personifikasi resi dan begawan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Manusia cendekiawan humanis yang a-religius, yang kebanyakan masih percaya kepada Tuhan dan kewajiban hidup bermoral, tetapi yang sudah tidak lagi dapat merasakan hubungan batin dengan agama formal atau dunia mistik yang tidak dapat mereka ukur secara ilmiah.67

Jenis Dokter Rieux di masa kini semakin besar jumlahnya, dan di tanah air kita pun dapat menemukan tipe sarjana-sarjana dan kaum intelek humanis seperti Riuex itu; manusia-manusia budiman budiwati, yang tekun penuh pengorbanan menyumbang pertolongan dan pengembangan bangsanya, setia dan sepi pamrih; beragama hanya statis, bermoral cukup tinggi dan sukarelawan-sukarelawati dalam amal membangun dunia yang lebih baik. Orang-orang baik itu tidak anti Tuhan, tetapi formal beragama, namun praktis mereka a-religius, agnotikus. Agama mereka ilmu pengetahuan atau ideal politik, ekonomi, teknologi dan sebagainya. Mereka ibarat imam-imam rohis 'aam atau khatib-khatib baru gaya modern kontemporer, merasa diri relevan dan efisien, demi peri kemanusiaan. Peri kemanusiaan tanpa Tuhan. Sebab, meski Tuhan tidak mati, Tuhan hanya diam saja.

Begitulah, baik dalam tradisi sastra Islam dan Kristen (Barat), keduanya memiliki bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang sangat tinggi. Terlebih didalamnya, tak pernah kurang terpancar nilai-nilai religiositas. Semua sastra yang baik selalu religius, seperti dibilang Romo Mangun.68

67

Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87-88

68


(52)

4. Humanisme dalam Etika

Seperti halnya dalam filsafat, cikal bakal humanisme dalam etika atau paham kemanusiaan pada ranah etika dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.M.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah Protagoras) dalam mengenakan ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak pada akal manusia.69 Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics (Etika Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia.70

Cita-cita humanisme dalam etika berkembang pesat pada masa Stoa dengan tokoh-tokoh Seneca dan Marcus Aurelius. Stoa adalah etika filosofis pertama di dunia yang secara konsekuen mengakui dan meminati kesamaan derajat semua orang. Stoa mengajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya bersikap baik hati. Perempuan berhak atas perlakuan sama dengan laki-laki (sesuatu yang sudah menjadi anggapan Plato), budak harus dihormati hak-haknya (sesuatu yang sama sekali baru), dan musuh berhak atas belas kasihan serta pengampunan. Etika Stoa bersifat kosmopolitis; ia mengatasi segala batasan dan merangkul seluruh umat manusia. Pada Stoa, kita untuk kali pertama dalam sejarah moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap

69

Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), h. 95

70


(1)

dari sekedar pembangkit minat untuk berkenalan lebih lanjut dengan Gibran sebagai perasa dan pemikir; Gibran sebagai warisan kehidupan yang fana dan kini menyepi di alam baka dalam sebuah gua di Mar Sarkis

B. Saran

Sebagai sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan, Gibran terlihat begitu sempurna. Sosok seperti Gibran mungkin tiada duanya, terutama ketika Gibran mengungkap kemanusiaan universal.

Namun, kami melihat keseluruhan Gibran bukan tanpa celah kekurangan, baik dalam karya atau pun pada sosok Gibran sendiri. Pandangan Gibran terhadap persoalan yang melanda Lebanon di masa itu misalnya, tak lebih dari pandangan seorang kritikus dan tentu tidak bisa lepas dari unsur subjektivitas. Harus diingat bahwa Gibran bukan seorang yang bergulat secara langsung dalam kehidupan Lebanon. Gibran melihat alam kehidupan Lebanon dari jauh dan penuh dengan gejolak perasaan, sebagai seorang perasa.

Maka, untuk lepas dari pandangan subjektif, sebaiknya sastrawan atau filsuf sekali pun, paling tidak harus turut berkecimpung menyelami dunia yang ada. Selamilah dalamnya puisi (karya sastra) dengan kehidupan dan menyelami kehidupan dengan puisi (karya sastra). Tentu hal ini bukan perkara mudah, seperti hal nya penulis, namun untuk mendapatkan sesuatu yang maksimal dan jauh dari kesan subjektif, kenapa tidak dicoba? Menurut kami, keseriusan dalam pengkajian dan penelaahan sebuah karya sastra, dengan sendirinya akan tersembul nilai-nilai yang utuh.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abbagnano, Nicola. “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, New York: Macmillan Publishers, 1967

Anderson, Leona. "Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan", dalam Filantropi di Berbagai Tradisi di Dunia, Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij (ed.), Jakarta: CSRC, 2006, Cet. I

Ali, Muhammad. Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, cet. III

Bertens, K. Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-6

Budiman, Arif. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976,

Cet. I

Bushuri, Suheil dan Jenkins, Joe. Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. Jakarta: Grasindo, 2000

Departemen Agama RI, Al-Quran Karim

Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, Inggris, 2003 Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Yogjakarta: Pustaka

Widyatama, 2004, Cet. Ke 2

Faiz, Fahrudin. Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta: CV. Qalam, 2004 Gibran, Kahlil. Elegi Sang Penyair, Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003, Cet. I


(3)

____________.God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, (Jogjakarta:

Tarawang Press, 2002, Cet. I

____________. Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran ” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002 ____________.Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj.

Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003

____________.Sang Nabi, diterjemahkan dari The Prophet oleh Sri Kusdiyantinah, Jakarta: Pustaka Jaya, 2002, Cet. ke xv

____________. Surat-Surat Cinta Kepada May Ziadah, diterjemahkan dari Blue Flame: the Love Letters of Khalil Gibran to May Ziadah, terj. Sugiarta Sriwibawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, Cet. V

_____________.Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, Jogjakarta: Tarawang Press, 2001, Cet. II ____________.Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang

Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I

Hassan, Fuad. Berkenalan Dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya, 2005, Cet. ke-9

___________. Menapak Jejak Kahlil Gibran , Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet. Ke-2

___________. Makalah "Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur Humanisme Universal", diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, pada tanggal 20 April 2001


(4)

Hadiwardaya,. Al. Purwa, Dr, MSF. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992, Cet. I

_____________________________. Moral dan Masalahnya, Jogjakarta: Kanisius, 1990, Cet. I

Hardjana, Andre. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1983, Cet. Ke 2

Hidya Tjaya, Thomas. Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG, 2004

Huxley, Aldous. Filsafat Perennial, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001, Cet. I

Lamont, Carlis. The Philosophy of Humanism, London: Routledge, 1978

Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad 19, Jogjakarta: Kanisius, 2003, Cet. ke 7

____________________. Etika Politik, Jakarta: Pt. Grameia Pustaka Utama, Cet. Ke-7

____________________. "Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan, Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003 Mangunwijaya, Y. B. Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1994,

Cet. III

Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index pada 27 Januari 2007

Norma, Ahmad (ed.). Kahlil Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, cet I


(5)

O. Kattsoff Louis. Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004, Cet. IX

Purtanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994

Petrus L. Tjahjadi, Simon. Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF Drijarkara, 1998

Puranto, Hendra. Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism, http://filsafatkita.f2g.net/str7.html. Data diakses 24 Januari 2007 Solomon, Robeth C. dan Katheleen M. Higgins. Sejarah Filsafat, terjemahan dari

“A Short Hostory of Philoshopy” oleh Saut Pasaribu, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002

Syari’ati, Ali. On The Sociology Islam, terj. Saifullah Mahyadi, Jogjakarta: Amanda, 1992, Cet. I

Van Luxemburg, Jan dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Gramedia, 1986, Cet. Ke 2

Walbridge, John dan Beshara, Adel. Hidup dan Karya Gibran, Terj. Yogyakarta: Nirwana, 2003, Cet. I

Wasrun Munawir, Ahmad. Al-Munawwir, Yogyakarta: KP Al-Munawwir, 1984 Wora, Emanuel. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme,

Yogyakarta: Kanisius, 2006 http://id.wikipedia.org/wiki/Universal


(6)