Kahlil Gibran: Tunas Cedar

BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN

7

A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar

8 dari Lebanon Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha Lembah Kudus atau Lembah Suci, kota Beshari, Lebanon. 9 Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran. Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama kakeknya. Pemberian nama dengan nama kakeknya semacam ini adalah merupakan tradisi orang Lebanon pada waktu itu. 10 Keluarga Gibran hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah depresi ekonomi yang tengah melanda Lebanon. Sang ayah, Kahlil Gibran nama yang kemudian disandingkan dengan namanya ketika bermukim di Amerika, adalah seorang yang tegar tapi berpenghasilan terbatas dan tingkat pendidikannya pun tak 7 Salah satu perubahan yang dialami Gibran sejak merantau ke Amerika adalah cara penulisan nama. Sejak Sekolah Dasar di Boston, ditanggalkannyalah nama pertama yang sebenarnya ialah nama dirinya Gibran, selanjutnya namanya dikenal dengan Khalil Gibran saja. Dan berikutnya masyarakat Amerika suka sekali mengucapkan huruf kah dan nama Khalil yang dalam ejaan Arab ditulis “ خليل” kemudian dituliskannya Kahlil. Dan bahwa ucapan nama Gibran dalam ejaan bahasa Indonesia ialah Jibran, yaitu transliterasi dari ejaan bahasa Arab “ جبران”. Beberapa buku tentang dirinya dalam bahasa Perancis menuliskan namanya “Djibran Khalil Djibran”. Tapi ejaan Gibran tidak terlalu keliru, karena di Mesir umpamanya, namanya diucapkan “Gibran” walaupun ejaannya “ جبران”, karena di sana biasanya huruf jim diucapkan gim. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001, h. 23-24. Sedikit berbeda dengan Fuad Hassan yang menggunakan kata Khalil Gibran dalam tulisannya, penulisan skripsi ini sepenuhnya memakai nama Kahlil Gibran. 8 Gibran terlahir di wilayah pegunungan Cedar Cedar Mountain atau dalam bahasa aslinya Jabal al-Arz. Hingga kini pohon Cedar Arz, jamak Arzah digunakan sebagai lambang Lebanon dan dicantumkan pada bendera nasional Lebanon. Pohon Arz termasuk golongan pepohonan yang selalu hijau di segala musim evergreen, sehingga seolah-olah mengesankan ketegaran dan keabadian. 9 Kahlîl Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlîl Gibrân” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002, h. 5 10 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta: CV. Qalam, 2004, h. 48 berarti. Ia bekerja sebagai penagih pajak. Penampilannya yang gagah dan tegar, tapi kecanduannya pada arak dan judi mengakibatkan keluarganya hidup dalam kesempitan. Ia sering mabuk, suka berkelahi, dan berlaku kasar terhadap isteri dan anak-anaknya. Gibran hampir tidak memperoleh pengaruh psikologis apapun dari ayahnya. Beruntung Gibran punya Kamila, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Walaupun keadaan ayahnya demikian, Gibran sendiri-secara terselubung- menggambarkan kekerasan watak ayahnya sebagai seorang yang tetap dikaguminya. “I admired him for his power-his honesty and integrity. It was his daring to be himself, his outspokenness and refusal to yield, that got him into trouble eventually, if hundreds, were about him, he command them with a word.” “Aku mengaguminya karena kekuatannya-kejujurannya dan integritasnya. Keberaniannya untuk tampil dengan kesejatian dirinya, keterusterangannya dan sifatnya yang pantang mengalah itulah yang sering menjerumuskannya kedalam berbagai kesulitan. Jika beratus-ratus orang mengelilinginya, maka dengan sepatah kata saja mereka dapat ditundukkan olehnya.” 11 Beruntung Gibran punya Kamila Rahmi, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Beliau anak seorang pendeta gereja Maronit 12 di kota kecilnya, yaitu pendeta Istifan Rahmi. Kamila digambarkan sebagai wanita, kurus dengan pipi agak kemerah-meraham dan bayangan melankolis dalam matanya. Kamila mempunyai suara yang merdu dan amat taat beribadah. Ketika mencapai usia kawin, ia menikah dengan salah seorang sepupunya sendiri, Hanna ‘Abd- Salam Rahmeh. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon pada masa itu, Abd’ Salam dan keluarganya berimigrasi ke Brazilia untuk mengadu nasib, tetapi 11 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 35 12 Golongan gereja Maronit merupakan mayoritas dari denominasi agama Kristen. Lainnya terdapat golongan penganut Katolik Roma, Katolik Syria, Ortodox Yunani, Nestoria, Chaeldea, Armenia dan sejumlah sekte lainnya. Hingga kini di Lebanon ada 3 tiga agama monotheis yang diakui oleh pemerintah Lebanon, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. meninggal disana dan meninggalkan Kamila seorang putra bernama Boutros Peter. Sepeninggal suaminya, Kamila kehilangan sumber nafkah dan tidak mungkin lagi baginya untuk bertahan hidup di Brazil sambil mengasuh anak tunggalnya, maka Kamila memutuskan untuk pulang kembali ke Lebanon. Dan setelah beberapa lama kemudian, janda muda ini menikah lagi dengan seorang pria yang bernama Khalil Gibran. Dari buah perkawinannya yang kedua ini, maka terlahirlah Gibran 1883, Marianna 1885 dan Sultanah 1887. 13 Kamila terkenal dengan sebagai wanita yang berkemauan keras tapi lemah lembut tutur katanya, ia juga tergolong wanita cerdas dan sangat mahir berbahasa. Kepada anaknya, ia mengajarkan bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Pada waktu- waktu senggang diceritakan kepadanya berbagai legenda dari dunia Arab, termasuk cerita Seribu Satu Malam. Ayahnya sering mengajak berkunjung ke beberapa kota kuno dengan banyak sekali peninggalan purbakalanya seperti Balbeek, Homs dan Hamah. Adakalanya mereka bermalam di ketinggian Gunung Cedar dan menginap di tenda pengembala sambil menikmati suasana kedamaian dibawah cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan dan amat mempesona. Segala pengalamannya ini kelak nyata berpengaruh pada dirinya manakala sedang kebingungan menghadapi peri-kehidupan di kota New York yang serba bising; kedamaian di desanya itu sering membangkitkan kerinduannya pada tanah airnya. 14 Karena sulitnya kehidupan di Lebanon, maka Peter mohon izin kepada ibunya untuk pindah ke Amerika. Karena ayahnya dianggap sudah tidak lagi bisa 13 Suheil Bushuri dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. Jakarta: Grasindo, 2000, h. 2 14 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 36-37 dijadikan sandaran keluarga karena sering mabuk dan sehari-hari menganggur saja. Kamila menyetujui gagasan Peter untuk pindah ke Boston sebagai pangkalan pertama karena di kota itu ada beberapa temannya. Tapi Kamila juga minta Peter berjanji untuk berusaha agar ibu dan ketiga adiknya bisa selekasnya dapat menyusul ke Amerika. Maka pada tahun 1894, Kamila dan semua anaknya tiba di Boston. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di daerah China-Town, suatu daerah dengan rumah sewaan berhimpitan yang padat penghuninya serta lorong- lorong yang dikotori sampah; jauh berbeda dengan suasana kedamaian dan kebersihan dalam lingkungan alam desa kecil mereka di lereng Gunung Cedar dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas. 15 Di tempat barunya ini, Gibran masuk sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak imigran. Di sekolah ini Gibran dengan cepat dikenal teman- temannya karena kemampuannya yang sangat menonjol dalam hal menggambar. Kemahiran yang dimiliki inilah yang menghantarkan Gibran dalam dunia seni di Boston dan juga menarik perhatian para pekerja sosial di Denison House, sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang pendampingan para imigran dan anak- anak jalanan. Melalui lembaga inilah Gibran berhubungan dengan seorang seniman bernama Fred Holland Day. Day yang melihat bakat luar biasa pada diri Gibran, kemudian mendorongnya untuk mengembangkan bakat seninya, khususnya dalam menggambar. Maka semakin intens lah keterlibatan Gibran dalam dunia seniman di Boston. Pada tahun 1896 Gibran tidak dapat menahan kerinduan pada Lebanon. Ia merasa perlu untuk kembali ke tanah airnya guna menambah pengetahuan tentang 15 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 37 Bahasa dan Sastera Arab. 16 Kali ini dia masuk Madrasah Al-Hikmah 17 di Beirut, sekolah yang diselenggarakan oleh gereja Maronit. Di Lebanon, Gibran bertemu dengan Salim Dahir. Beliau adalah seorang dokter, penyair sekaligus guru bagi Gibran. Sang guru pun banyak bercerita tentang berbagai legenda dan dongeng lokal kepada sang penulis muda yang berbakat ini. Karena terpesona oleh anak muda yang lembut dan sopan ini, maka Salim Dahir mengijinkan Gibran membantu tugas-tugas kedua puterinya, Sai’di dan Halla. Seiring dengan waktu yang berjalan, maka tumbuhlah benih cinta diantara Gibran dan Halla. Namun hubungan mereka harus pupus dan kandas di tengah jalan manakala keluarga Halla tidak merestui hubungan mereka. Konon salah satu karya Gibran yang berjudul Al-Ajnihah al-Mutakassirah adalah merupakan roman yang kisahnya diilhami oleh pengalaman pahitnya itu. 18 Pada tahun 1901 Gibran lulus dari Madrasah Al-Hikmah dengan pujian tinggi. Maka mulailah dia mengembara untuk belajar seni ke Yunani, Italia, Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. Di Paris inilah saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat megejutkan masyarakatnya di Lebanon, khususnya kalangan penguasa dan serta gereja dan pendetanya, yaitu Spirits Rebellious 19 . Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan 16 Namun John Walbridge dalam Hidup dan Karya Gibran, memberi komentar lain. Menurut dia, kekhawatiran Ibu dan keluarganya akan pengaruh buruk dari pergaulan Gibran lah yang menjadi motif mengirim Gibran kembali ke Lebanon. Lihat John Walbridge dan Adel Beshara, Hidup dan Karya Gibran, Terj. Yogyakarta: Nirwana, 2003, cet 1, h. 46 17 Hingga kini Madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut, hanya berubah namanya menjadi College de la Sagesse. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39 18 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 52 19 Istilah ini lebih tepat diterjamahkan ‘Jiwa yang memberontak’ atau ‘Semangat memberontak’, Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 31. Namun, tak jarang Spirits Rebellious diartikan ‘Roh Pemberontak’ seperti halnya judul buku terjemahan L. Saputra. Buku Roh Pemberontak ini memuat 3 rangkai judul diantaranya, Ibu Rose Hanie, Tangisan Kubur dan dalam buku, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas terhadap gereja. 20 Pada tahun 1902 Gibran terpaksa meninggalkan Paris untuk pulang ke Boston karena ibunya sakit keras. Selama mendampingi ibunya yang semakin parah penyakitnya, terjadilah peristiwa yang sangat menghancurkan jiwanya, yakni pada tanggal 4 April, adik yang sangat dicintainya, Sulthana, meninggal dunia karena menderita Tuberkulosis TBC. Namun, beruntung kesedihan Gibran atas meninggalnya Sulthana bisa sedikit terobati oleh perkenalannya dengan seorang seniman wanita yang bernama Josephine Preston Peabody. Josephine ini akhirnya menjadi teman dekat Gibran dan banyak mendorong Gibran untuk mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk memperkenalkan Gibran dengan seniman-seniman Boston yang terkenal. Ia adalah seorang yang memahami watak dan jiwa Gibran, di samping sebagai salah seorang yang sangat mengagumi lukisan-lukisan Gibran. Sayangnya, Gibran harus kembali menelan kesedihan karena Josephine harus menikah dengan orang lain dan terpaksa meninggalkannya. 21 Kesedihan Gibran makin berlipat karena hampir setahun kemudian, tepat tanggal 12 maret 1903, Peter, kakaknya yang menjadi andalan nafkah mereka sekeluarga meninggal karena penyakit yang sama. Disusul empat bulan kemudian, tanggal 28 juni 1903, oleh kematian ibunya, diduga karena TBC juga. Khalil Si Klenik Lihat dalam Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari Spirit Rebellious, terj. Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003, h. 1 20 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40 21 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53 Dalam puncak rasa sedih saat ibunya meninggal itu-menurut Marianna, adiknya-justeru Gibran tidak menangis, namun tiba-tiba saja darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Gibran merasakan kepedihan ini, karena bagi Gibran pengaruh ibunya sangat kuat dalam membentuk kepribadiannya. Di dalam karangannya, berjudul Broken Wings Sayap-Sayap Patah, Gibran menulis: “Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the fountain-head of compassion, for bearance, and forgiveness. He who loses his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that blesses, and eyes which watch over him. ” “Ibu adalah segalanya dalam hidup ini; dia adalah pelipur disaat kesedihan dan pemberi harapan disaat kedukaan serta kekuatan disaat kelemahan. Ia adalah pancaran kasih-sayang, ketangguhan, dan ampunan. Orang yang kehilangan ibunya berarti kehilangan dada tempat menyandarkan kepalanya, tangan yang memberkati, dan mata yang menjaga dirinya.” 22 Dan dalam suratnya kepada sahabat penanya, May Ziadah, Gibran menulis: “ Had it not been for the woman-mother, the woman-sister, and the woman- friend, I would have been sleeping among those who disturb the serenity of the world with their snoring.” “Kalau bukan karena ibu-perempuan, saudara-perempuan, teman- perempuan, maka mungkin aku masih tertidur diantara mereka yang menggangu ketenangan alam dengannya.” 23 Itu sebabnya Gibran merasa sangat bersalah karena telah membujuk ibu dan adik-adiknya untuk bermukim di Amerika, lalu tinggal di kawasan China- Town yang begitu tercemar lingkungannya. Gibran lagi-lagi berkata, andaikata mereka sekeluarga menetap di Lebanon, khususnya di Bisharri yang bertengger pada lereng Gunung Cedar dengan udaranya yang bersih dan segar, maka tidak mungkin mereka dihinggapi penyakit yang mematikan itu. Dan hampir bersamaan 22 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 42 23 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 43 dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya itu, seluruh lukisan yang kebetulan sedang ditampilkan dalam sebuah pameran dimakan api bersama terbakarnya gedung pameran tersebut; Gibran sangat terpukul oleh musnahnya sekumpulan lukisannya dalam sekejap saja. Namun Gibran tidak larut dalam kesedihan. Jiwa dan semangatnya berkobar untuk menuangkan segala gagasan dan ide yang terkumpul kepadanya, membuatnya segera bangkit dan mulai berkarya, baik dengan tulisan maupun lukisan. Karyanya yang sudah mulai dirancang penulisannya ketika Gibran masih bersekolah di Madrasah al-Hikmah dan baru berusia lima belas tahun, yaitu The Prophet, kembali ditulis ulang. 24 Tahun 1904, Gibran bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Yang pertama adalah perkenalannya dengan Mary Elizabeth Haskell, seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap bidang seni dan pendidikan. Ia menjadi seorang pendorong dan penuntun bagi Gibran; bahkan ia yang mengirim dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Atas jasa- jasanya ini, pada hamper semua buku karya Gibran, nama Mary Elizabeth Haskell yang biasa disingkat M.E.H. selalu tercantum pada halaman persembahan. Yang kedua adalah Amin Ghuraib, pemilik majalah al-Muhajir. Perkenalannya dengan Gibran dan ketertarikannya akan potensi pemuda itu, membuat Gibran dipercaya sebagai pengelola majalah tersebut. Mulanya Gibran diberi wewenang untuk mengurusi tata artistik, namun setelah melihat potensi Gibran dalam menulis, ia pun lalu menyediakan kolom khusus bagi tulisan-tulisan Gibran di majalahnya. Melalui majalah inilah Gibran mulai memperkanalkan ide-ide dan pemikirannya, 24 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 44 baik dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Nama Gibran pun mulai terkenal. Gibran menjulang namanya, menggeser nama-nama lain yang sudah lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan mahjar. 25 Kesuksesan Gibran semakin memuncak setelah diterbitkannya The Prophet dan kesibukan-kesibukan yang dijalaninya, justeru mengundang “penyakit” yang sejak lama telah diidapnya, yakni kesepian dan kesunyian. Orang yang selama ini sangat dekat dengan Gibran, Mary Elizabeth Haskell, mulai menjauh dari Gibran karena M.E.H. beranggapan bahwa Gibran sudah tidak membutuhkannya lagi. Kemudian ia menikah dengan sahabat Gibran. Adiknya yang tinggal satu, Mariana, menjadi seorang yang introvert kelas berat yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah dengan orang lain. Pada saat kesepian di tengah gemilang kariernya, Gibran berkenalan dan menjalin cinta dengan seorang sastrawan dan kritikus asal Mesir yang bernama May Ziadah. Perkenalan mereka berawal dari kritik May atas buku Gibran yang berjudul al-Ajinah al-Muatakssirah, di dalam buku ini Gibran terkesan membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Salma Karami 26 . Ini lah salah satu kritik yang dilontarkan oleh May tentang karya Gibran: 25 Mahjar adalah ungkapan berbahasa Arab yang berarti tempat pindah atau tempat perantauan. Lihat dalam Ahmad Wasrun Munawir, Al-Munawwir, Yogyakarta: KP Al- Munawwir, 1984, h. 1590. Fuad Hassan secara lugas mendefinisikan mahjar, yakni sastra Arab yang dikembangkan oleh mereka yang memilih untuk merantau sebagai muhajir, karena peri kehidupan di negerinya yang sarat dengan penderitaan akibat pemerintah jajahan yang sangat otoriter. Daerah perantauan yang menjadi tujuan ialah terutama Amerika, baik Utara maupun Selatan. Di Amerika Utara terdapat masyarakat muhajir yang bermukim di Boston dan New York. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 30 26 Salma Karami ialah tokoh dalam satu periwayatan Gibran dalam The Broken Wings; Dia adalah seorang gadis cantik dari Beirut yang oleh orang tuanya yang kaya raya dipaksa kawin dengan anak seorang pendeta, sehingga antara kedua pihak orang tua saling memetik keuntungan. Padahal Salma sudah mencurahkan cintanya yang sejati pada seorang pemuda lain, dan sama “I am in full accord with you on the fundamental principles that advocates the freedom of woman. The woman should be free, like the man, the choose her own spouse guided not by the advice and aid of neighbors and acquaintances, but by her own personal inclinations.” “Aku sepenuhnya setuju dengan kau mengenai asas-asas yang mendasari perjuangan kebebasan bagi kaum wanita. Wanita harus bebas seperti pria, untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, bukan karena diarahkan oleh nasehat atau bantuan para tetangga dan sahabatnya, melainkan oleh selera pribadinya sendiri.” Kendati demikian, dengan panjang lebar May menjelaskan bahwa dia tidak mungkin membenarkan perselingkuhan Salma, apapun dan bagaimana pun penyebabnya. “Suppose wet let Salma Karami, the heroine of your novel. And very woman that resembles her in affections and intelligence, meet secretly with an honest man of noble character; would not this condone any woman’s selecting herself a friend, other than her husband, to meet with secretly? This would not work, even if the purpose of their secret meeting was ti pray together before the shrine of the Crucified.” “Seandainya kita benarkan Salma Karami, tokoh utama ceritamu itu, dan setiap wanita yang mirip dirinya dalam hal perasaan dan kecerdasannya, bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki yang jujur dan berwatak mulia. Bukankah itu berarti dibenarkannya setiap wanita memilih bagi dirinya sendiri seorang teman, lain suaminya, untuk bertemu secara rahasia? Ini tidak mungkin dibenarkan, sekalipun tujuannya pertemuan rahasia mereka adalah berdoa bersama di hadapan kuil sang tersalib.” 27 Demikian lah jalinan cinta yang berkembang antara Gibran dan May, sekalipun hubungan diantara keduanya hanya berlangsung melalui saling kirim surat belaka, sejak tahun 1912 sampai 1931; surat-surat itu lebih dari sekedar pengungkap rasa cinta melainkan juga mencerminkan kemampuan sastera yang tersimpan dalam diri mereka masing-masing. Sayang cita-cita Gibran untuk sempat bertemu dambaan hatinya ini tidak juga tidak kesampaian karena penyakit sekali tidak mencintai laki-laki yang dipaksakan menjadi suaminya. Akhirnya Salma diketahui berselingkuh dengan pemuda pujaan hatinya, dari periwatannya terkesan bahwa Gibran tidak menyalahkan perbuatan Salma, karena memandang perilau Salma sebagai akibat dari dipaksakannya Salma menikah dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya tetapi ‘apa boleh buat’ diterimanya sekedar untuk menuruti kehendak orangtua. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran , h. 80 27 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 81 jantung dan liver terlebih dahulu merenggutnya dari alam fana ini. May Ziadah sendiri tak lama setelah itu tutup usia. Pada tanggal 10 April tahun 1931 pukul 22.50, Kahlil Gibran menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis “cirrchois of the liver and incipient in one of the lungs”. Jenazah Gibran disemayamkan di rumah duka Universal Funeral Parlor di New York, dalam peti di bawah timbunan bunga yang melimpah. Baru pada 23 Juli tahun itu juga jenazah Gibran diangkut dengan kapal ke Lebanon, dan sebulan kemudian, 21 Agustus, Jenazah Gibran tiba di Beirut. Iring-iringan pengantar jenazah menuju Katedral S.t. George diikuti oleh pejabat- pejabat tinggi Negara dan wakil-wakil komisariat Negara asing; juga ikut serta kaum muslimin baik Sunni, Shi’i, Druze, golongan penganut gereja Ortodox Yunani, Katolik, Maronit, Yahudi, Armenia, pendeknya semua golongan dan segala lapisan masyarakat tanpa kecuali menyertai prosesi yang mengatar jenazah Gibran yang terakhir di Gua Mar Sarkis. Pengabdiannya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan dunia pengetahuan dan sastera Arab, membuatnya mendapat penghargaan ‘Bintang Seni’ dari pemerintah Lebanon.

B. Karya-karya Kahlil Gibran