BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN
7
A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar
8
dari Lebanon
Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha Lembah Kudus atau Lembah Suci, kota Beshari,
Lebanon.
9
Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran. Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama
kakeknya. Pemberian nama dengan nama kakeknya semacam ini adalah merupakan tradisi orang Lebanon pada waktu itu.
10
Keluarga Gibran hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah depresi ekonomi yang tengah melanda Lebanon. Sang ayah, Kahlil Gibran nama yang
kemudian disandingkan dengan namanya ketika bermukim di Amerika, adalah seorang yang tegar tapi berpenghasilan terbatas dan tingkat pendidikannya pun tak
7
Salah satu perubahan yang dialami Gibran sejak merantau ke Amerika adalah cara penulisan nama. Sejak Sekolah Dasar di Boston, ditanggalkannyalah nama pertama yang
sebenarnya ialah nama dirinya Gibran, selanjutnya namanya dikenal dengan Khalil Gibran saja. Dan berikutnya masyarakat Amerika suka sekali mengucapkan huruf kah dan nama Khalil yang
dalam ejaan Arab ditulis “ خليل” kemudian dituliskannya Kahlil. Dan bahwa ucapan nama Gibran
dalam ejaan bahasa Indonesia ialah Jibran, yaitu transliterasi dari ejaan bahasa Arab “ جبران”.
Beberapa buku tentang dirinya dalam bahasa Perancis menuliskan namanya “Djibran Khalil Djibran”. Tapi ejaan Gibran tidak terlalu keliru, karena di Mesir umpamanya, namanya diucapkan
“Gibran” walaupun ejaannya “ جبران”, karena di sana biasanya huruf jim diucapkan gim. Fuad
Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001, h. 23-24. Sedikit berbeda dengan Fuad Hassan yang menggunakan kata Khalil Gibran dalam tulisannya, penulisan skripsi ini
sepenuhnya memakai nama Kahlil Gibran.
8
Gibran terlahir di wilayah pegunungan Cedar Cedar Mountain atau dalam bahasa aslinya Jabal al-Arz. Hingga kini pohon Cedar Arz, jamak Arzah digunakan sebagai lambang
Lebanon dan dicantumkan pada bendera nasional Lebanon. Pohon Arz termasuk golongan pepohonan yang selalu hijau di segala musim evergreen, sehingga seolah-olah mengesankan
ketegaran dan keabadian.
9
Kahlîl Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlîl Gibrân” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002, h. 5
10
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta: CV. Qalam, 2004, h. 48
berarti. Ia bekerja sebagai penagih pajak. Penampilannya yang gagah dan tegar, tapi kecanduannya pada arak dan judi mengakibatkan keluarganya hidup dalam
kesempitan. Ia sering mabuk, suka berkelahi, dan berlaku kasar terhadap isteri dan anak-anaknya. Gibran hampir tidak memperoleh pengaruh psikologis apapun dari
ayahnya. Beruntung Gibran punya Kamila, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat.
Walaupun keadaan ayahnya demikian, Gibran sendiri-secara terselubung- menggambarkan kekerasan watak ayahnya sebagai seorang yang tetap
dikaguminya. “I admired him for his power-his honesty and integrity. It was his daring to
be himself, his outspokenness and refusal to yield, that got him into trouble eventually, if hundreds, were about him, he command them with a word.”
“Aku mengaguminya karena kekuatannya-kejujurannya dan integritasnya. Keberaniannya untuk tampil dengan kesejatian dirinya, keterusterangannya
dan sifatnya yang pantang mengalah itulah yang sering menjerumuskannya kedalam berbagai kesulitan. Jika beratus-ratus orang mengelilinginya, maka
dengan sepatah kata saja mereka dapat ditundukkan olehnya.”
11
Beruntung Gibran punya Kamila Rahmi, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Beliau anak seorang pendeta gereja Maronit
12
di kota kecilnya, yaitu pendeta Istifan Rahmi. Kamila digambarkan sebagai wanita, kurus
dengan pipi agak kemerah-meraham dan bayangan melankolis dalam matanya. Kamila mempunyai suara yang merdu dan amat taat beribadah. Ketika mencapai
usia kawin, ia menikah dengan salah seorang sepupunya sendiri, Hanna ‘Abd- Salam Rahmeh. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon pada masa itu, Abd’
Salam dan keluarganya berimigrasi ke Brazilia untuk mengadu nasib, tetapi
11
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 35
12
Golongan gereja Maronit merupakan mayoritas dari denominasi agama Kristen. Lainnya terdapat golongan penganut Katolik Roma, Katolik Syria, Ortodox Yunani, Nestoria,
Chaeldea, Armenia dan sejumlah sekte lainnya. Hingga kini di Lebanon ada 3 tiga agama monotheis yang diakui oleh pemerintah Lebanon, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.
meninggal disana dan meninggalkan Kamila seorang putra bernama Boutros Peter. Sepeninggal suaminya, Kamila kehilangan sumber nafkah dan tidak
mungkin lagi baginya untuk bertahan hidup di Brazil sambil mengasuh anak tunggalnya, maka Kamila memutuskan untuk pulang kembali ke Lebanon. Dan
setelah beberapa lama kemudian, janda muda ini menikah lagi dengan seorang pria yang bernama Khalil Gibran. Dari buah perkawinannya yang kedua ini, maka
terlahirlah Gibran 1883, Marianna 1885 dan Sultanah 1887.
13
Kamila terkenal dengan sebagai wanita yang berkemauan keras tapi lemah lembut tutur katanya, ia juga tergolong wanita cerdas dan sangat mahir berbahasa.
Kepada anaknya, ia mengajarkan bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Pada waktu- waktu senggang diceritakan kepadanya berbagai legenda dari dunia Arab,
termasuk cerita Seribu Satu Malam. Ayahnya sering mengajak berkunjung ke beberapa kota kuno dengan banyak sekali peninggalan purbakalanya seperti
Balbeek, Homs dan Hamah. Adakalanya mereka bermalam di ketinggian Gunung
Cedar dan menginap di tenda pengembala sambil menikmati suasana kedamaian dibawah cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan dan amat mempesona. Segala
pengalamannya ini kelak nyata berpengaruh pada dirinya manakala sedang kebingungan menghadapi peri-kehidupan di kota New York yang serba bising;
kedamaian di desanya itu sering membangkitkan kerinduannya pada tanah airnya.
14
Karena sulitnya kehidupan di Lebanon, maka Peter mohon izin kepada ibunya untuk pindah ke Amerika. Karena ayahnya dianggap sudah tidak lagi bisa
13
Suheil Bushuri dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. Jakarta: Grasindo, 2000, h. 2
14
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 36-37
dijadikan sandaran keluarga karena sering mabuk dan sehari-hari menganggur saja. Kamila menyetujui gagasan Peter untuk pindah ke Boston sebagai pangkalan
pertama karena di kota itu ada beberapa temannya. Tapi Kamila juga minta Peter berjanji untuk berusaha agar ibu dan ketiga adiknya bisa selekasnya dapat
menyusul ke Amerika. Maka pada tahun 1894, Kamila dan semua anaknya tiba di Boston. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di daerah China-Town, suatu
daerah dengan rumah sewaan berhimpitan yang padat penghuninya serta lorong- lorong yang dikotori sampah; jauh berbeda dengan suasana kedamaian dan
kebersihan dalam lingkungan alam desa kecil mereka di lereng Gunung Cedar dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas.
15
Di tempat barunya ini, Gibran masuk sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak imigran. Di sekolah ini Gibran dengan cepat dikenal teman-
temannya karena kemampuannya yang sangat menonjol dalam hal menggambar. Kemahiran yang dimiliki inilah yang menghantarkan Gibran dalam dunia seni di
Boston dan juga menarik perhatian para pekerja sosial di Denison House, sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang pendampingan para imigran dan anak-
anak jalanan. Melalui lembaga inilah Gibran berhubungan dengan seorang seniman bernama Fred Holland Day. Day yang melihat bakat luar biasa pada diri
Gibran, kemudian mendorongnya untuk mengembangkan bakat seninya, khususnya dalam menggambar. Maka semakin intens lah keterlibatan Gibran
dalam dunia seniman di Boston. Pada tahun 1896 Gibran tidak dapat menahan kerinduan pada Lebanon. Ia
merasa perlu untuk kembali ke tanah airnya guna menambah pengetahuan tentang
15
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 37
Bahasa dan Sastera Arab.
16
Kali ini dia masuk Madrasah Al-Hikmah
17
di Beirut, sekolah yang diselenggarakan oleh gereja Maronit.
Di Lebanon, Gibran bertemu dengan Salim Dahir. Beliau adalah seorang dokter, penyair sekaligus guru bagi Gibran. Sang guru pun banyak bercerita
tentang berbagai legenda dan dongeng lokal kepada sang penulis muda yang berbakat ini. Karena terpesona oleh anak muda yang lembut dan sopan ini, maka
Salim Dahir mengijinkan Gibran membantu tugas-tugas kedua puterinya, Sai’di dan Halla. Seiring dengan waktu yang berjalan, maka tumbuhlah benih cinta
diantara Gibran dan Halla. Namun hubungan mereka harus pupus dan kandas di tengah jalan manakala keluarga Halla tidak merestui hubungan mereka. Konon
salah satu karya Gibran yang berjudul Al-Ajnihah al-Mutakassirah adalah merupakan roman yang kisahnya diilhami oleh pengalaman pahitnya itu.
18
Pada tahun 1901 Gibran lulus dari Madrasah Al-Hikmah dengan pujian tinggi. Maka mulailah dia mengembara untuk belajar seni ke Yunani, Italia,
Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. Di Paris inilah saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat megejutkan masyarakatnya
di Lebanon, khususnya kalangan penguasa dan serta gereja dan pendetanya, yaitu Spirits Rebellious
19
. Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan
16
Namun John Walbridge dalam Hidup dan Karya Gibran, memberi komentar lain. Menurut dia, kekhawatiran Ibu dan keluarganya akan pengaruh buruk dari pergaulan Gibran lah
yang menjadi motif mengirim Gibran kembali ke Lebanon. Lihat John Walbridge dan Adel Beshara, Hidup dan Karya Gibran, Terj. Yogyakarta: Nirwana, 2003, cet 1, h. 46
17
Hingga kini Madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut, hanya berubah namanya menjadi College de la Sagesse. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39
18
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 52
19
Istilah ini lebih tepat diterjamahkan ‘Jiwa yang memberontak’ atau ‘Semangat memberontak’, Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 31. Namun, tak jarang Spirits
Rebellious diartikan ‘Roh Pemberontak’ seperti halnya judul buku terjemahan L. Saputra. Buku
Roh Pemberontak ini memuat 3 rangkai judul diantaranya, Ibu Rose Hanie, Tangisan Kubur dan
dalam buku, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan
kecaman pedas terhadap gereja.
20
Pada tahun 1902 Gibran terpaksa meninggalkan Paris untuk pulang ke Boston karena ibunya sakit keras. Selama mendampingi ibunya yang semakin
parah penyakitnya, terjadilah peristiwa yang sangat menghancurkan jiwanya, yakni pada tanggal 4 April, adik yang sangat dicintainya, Sulthana, meninggal
dunia karena menderita Tuberkulosis TBC. Namun, beruntung kesedihan Gibran atas meninggalnya Sulthana bisa sedikit terobati oleh perkenalannya dengan
seorang seniman wanita yang bernama Josephine Preston Peabody. Josephine ini akhirnya menjadi teman dekat Gibran dan banyak mendorong Gibran untuk
mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk memperkenalkan Gibran dengan seniman-seniman Boston yang terkenal. Ia adalah seorang yang memahami watak
dan jiwa Gibran, di samping sebagai salah seorang yang sangat mengagumi lukisan-lukisan Gibran. Sayangnya, Gibran harus kembali menelan kesedihan
karena Josephine harus menikah dengan orang lain dan terpaksa meninggalkannya.
21
Kesedihan Gibran makin berlipat karena hampir setahun
kemudian, tepat tanggal 12 maret 1903, Peter, kakaknya yang menjadi andalan nafkah mereka sekeluarga meninggal karena penyakit yang sama. Disusul empat
bulan kemudian, tanggal 28 juni 1903, oleh kematian ibunya, diduga karena TBC juga.
Khalil Si Klenik Lihat dalam Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari Spirit Rebellious, terj. Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003, h. 1
20
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40
21
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53
Dalam puncak rasa sedih saat ibunya meninggal itu-menurut Marianna, adiknya-justeru Gibran tidak menangis, namun tiba-tiba saja darah mengalir dari
hidung dan mulutnya. Gibran merasakan kepedihan ini, karena bagi Gibran pengaruh ibunya sangat kuat dalam membentuk kepribadiannya. Di dalam
karangannya, berjudul Broken Wings Sayap-Sayap Patah, Gibran menulis: “Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing
and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the fountain-head of compassion, for bearance, and forgiveness. He who loses
his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that blesses, and eyes which watch over him.
” “Ibu adalah segalanya dalam hidup ini; dia adalah pelipur disaat kesedihan
dan pemberi harapan disaat kedukaan serta kekuatan disaat kelemahan. Ia adalah pancaran kasih-sayang, ketangguhan, dan ampunan. Orang yang
kehilangan ibunya berarti kehilangan dada tempat menyandarkan kepalanya, tangan yang memberkati, dan mata yang menjaga dirinya.”
22
Dan dalam suratnya kepada sahabat penanya, May Ziadah, Gibran menulis:
“ Had it not been for the woman-mother, the woman-sister, and the woman-
friend, I would have been sleeping among those who disturb the serenity of the world with their snoring.”
“Kalau bukan karena ibu-perempuan, saudara-perempuan, teman- perempuan, maka mungkin aku masih tertidur diantara mereka yang
menggangu ketenangan alam dengannya.”
23
Itu sebabnya Gibran merasa sangat bersalah karena telah membujuk ibu dan adik-adiknya untuk bermukim di Amerika, lalu tinggal di kawasan China-
Town yang begitu tercemar lingkungannya. Gibran lagi-lagi berkata, andaikata
mereka sekeluarga menetap di Lebanon, khususnya di Bisharri yang bertengger pada lereng Gunung Cedar dengan udaranya yang bersih dan segar, maka tidak
mungkin mereka dihinggapi penyakit yang mematikan itu. Dan hampir bersamaan
22
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 42
23
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 43
dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya itu, seluruh lukisan yang kebetulan sedang ditampilkan dalam sebuah pameran dimakan api bersama
terbakarnya gedung pameran tersebut; Gibran sangat terpukul oleh musnahnya sekumpulan lukisannya dalam sekejap saja.
Namun Gibran tidak larut dalam kesedihan. Jiwa dan semangatnya berkobar untuk menuangkan segala gagasan dan ide yang terkumpul kepadanya,
membuatnya segera bangkit dan mulai berkarya, baik dengan tulisan maupun lukisan. Karyanya yang sudah mulai dirancang penulisannya ketika Gibran masih
bersekolah di Madrasah al-Hikmah dan baru berusia lima belas tahun, yaitu The Prophet,
kembali ditulis ulang.
24
Tahun 1904, Gibran bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Yang pertama adalah perkenalannya dengan Mary Elizabeth Haskell,
seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap bidang seni dan pendidikan. Ia menjadi seorang pendorong dan penuntun bagi Gibran; bahkan ia yang mengirim
dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Atas jasa- jasanya ini, pada hamper semua buku karya Gibran, nama Mary Elizabeth Haskell
yang biasa disingkat M.E.H. selalu tercantum pada halaman persembahan. Yang kedua adalah Amin Ghuraib, pemilik majalah al-Muhajir. Perkenalannya dengan
Gibran dan ketertarikannya akan potensi pemuda itu, membuat Gibran dipercaya sebagai pengelola majalah tersebut. Mulanya Gibran diberi wewenang untuk
mengurusi tata artistik, namun setelah melihat potensi Gibran dalam menulis, ia pun lalu menyediakan kolom khusus bagi tulisan-tulisan Gibran di majalahnya.
Melalui majalah inilah Gibran mulai memperkanalkan ide-ide dan pemikirannya,
24
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 44
baik dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Nama Gibran pun mulai terkenal. Gibran menjulang namanya, menggeser nama-nama lain yang sudah
lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan mahjar.
25
Kesuksesan Gibran semakin memuncak setelah diterbitkannya The Prophet
dan kesibukan-kesibukan yang dijalaninya, justeru mengundang “penyakit” yang sejak lama telah diidapnya, yakni kesepian dan kesunyian. Orang
yang selama ini sangat dekat dengan Gibran, Mary Elizabeth Haskell, mulai menjauh dari Gibran karena M.E.H. beranggapan bahwa Gibran sudah tidak
membutuhkannya lagi. Kemudian ia menikah dengan sahabat Gibran. Adiknya yang tinggal satu, Mariana, menjadi seorang yang introvert kelas berat yang tidak
bisa bergaul dengan orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah dengan orang lain.
Pada saat kesepian di tengah gemilang kariernya, Gibran berkenalan dan menjalin cinta dengan seorang sastrawan dan kritikus asal Mesir yang bernama
May Ziadah. Perkenalan mereka berawal dari kritik May atas buku Gibran yang berjudul al-Ajinah al-Muatakssirah, di dalam buku ini Gibran terkesan
membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Salma Karami
26
. Ini lah salah satu kritik yang dilontarkan oleh May tentang karya Gibran:
25
Mahjar adalah ungkapan berbahasa Arab yang berarti tempat pindah atau tempat perantauan. Lihat dalam Ahmad Wasrun Munawir, Al-Munawwir, Yogyakarta: KP Al-
Munawwir, 1984, h. 1590. Fuad Hassan secara lugas mendefinisikan mahjar, yakni sastra Arab yang dikembangkan oleh mereka yang memilih untuk merantau sebagai muhajir, karena peri
kehidupan di negerinya yang sarat dengan penderitaan akibat pemerintah jajahan yang sangat otoriter. Daerah perantauan yang menjadi tujuan ialah terutama Amerika, baik Utara maupun
Selatan. Di Amerika Utara terdapat masyarakat muhajir yang bermukim di Boston dan New York. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 30
26
Salma Karami ialah tokoh dalam satu periwayatan Gibran dalam The Broken Wings; Dia adalah seorang gadis cantik dari Beirut yang oleh orang tuanya yang kaya raya dipaksa kawin
dengan anak seorang pendeta, sehingga antara kedua pihak orang tua saling memetik keuntungan. Padahal Salma sudah mencurahkan cintanya yang sejati pada seorang pemuda lain, dan sama
“I am in full accord with you on the fundamental principles that advocates the freedom of woman. The woman should be free, like the man, the choose
her own spouse guided not by the advice and aid of neighbors and acquaintances, but by her own personal inclinations.”
“Aku sepenuhnya setuju dengan kau mengenai asas-asas yang mendasari perjuangan kebebasan bagi kaum wanita. Wanita harus bebas seperti pria,
untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, bukan karena diarahkan oleh nasehat atau bantuan para tetangga dan sahabatnya, melainkan oleh selera
pribadinya sendiri.”
Kendati demikian, dengan panjang lebar May menjelaskan bahwa dia
tidak mungkin membenarkan perselingkuhan Salma, apapun dan bagaimana pun penyebabnya.
“Suppose wet let Salma Karami, the heroine of your novel. And very woman that resembles her in affections and intelligence, meet secretly with an
honest man of noble character; would not this condone any woman’s selecting herself a friend, other than her husband, to meet with secretly?
This would not work, even if the purpose of their secret meeting was ti pray together before the shrine of the Crucified.”
“Seandainya kita benarkan Salma Karami, tokoh utama ceritamu itu, dan setiap wanita yang mirip dirinya dalam hal perasaan dan kecerdasannya,
bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki yang jujur dan berwatak mulia. Bukankah itu berarti dibenarkannya setiap wanita memilih
bagi dirinya sendiri seorang teman, lain suaminya, untuk bertemu secara rahasia? Ini tidak mungkin dibenarkan, sekalipun tujuannya pertemuan
rahasia mereka adalah berdoa bersama di hadapan kuil sang tersalib.”
27
Demikian lah jalinan cinta yang berkembang antara Gibran dan May, sekalipun hubungan diantara keduanya hanya berlangsung melalui saling kirim
surat belaka, sejak tahun 1912 sampai 1931; surat-surat itu lebih dari sekedar pengungkap rasa cinta melainkan juga mencerminkan kemampuan sastera yang
tersimpan dalam diri mereka masing-masing. Sayang cita-cita Gibran untuk sempat bertemu dambaan hatinya ini tidak juga tidak kesampaian karena penyakit
sekali tidak mencintai laki-laki yang dipaksakan menjadi suaminya. Akhirnya Salma diketahui berselingkuh dengan pemuda pujaan hatinya, dari periwatannya terkesan bahwa Gibran tidak
menyalahkan perbuatan Salma, karena memandang perilau Salma sebagai akibat dari dipaksakannya Salma menikah dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya tetapi ‘apa boleh
buat’ diterimanya sekedar untuk menuruti kehendak orangtua. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran
, h. 80
27
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 81
jantung dan liver terlebih dahulu merenggutnya dari alam fana ini. May Ziadah sendiri tak lama setelah itu tutup usia.
Pada tanggal 10 April tahun 1931 pukul 22.50, Kahlil Gibran menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis “cirrchois of the liver and
incipient in one of the lungs”. Jenazah Gibran disemayamkan di rumah duka
Universal Funeral Parlor di New York, dalam peti di bawah timbunan bunga yang melimpah. Baru pada 23 Juli tahun itu juga jenazah Gibran diangkut dengan kapal
ke Lebanon, dan sebulan kemudian, 21 Agustus, Jenazah Gibran tiba di Beirut. Iring-iringan pengantar jenazah menuju Katedral S.t. George diikuti oleh pejabat-
pejabat tinggi Negara dan wakil-wakil komisariat Negara asing; juga ikut serta kaum muslimin baik Sunni, Shi’i, Druze, golongan penganut gereja Ortodox
Yunani, Katolik, Maronit, Yahudi, Armenia, pendeknya semua golongan dan segala lapisan masyarakat tanpa kecuali menyertai prosesi yang mengatar jenazah
Gibran yang terakhir di Gua Mar Sarkis. Pengabdiannya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan dunia
pengetahuan dan sastera Arab, membuatnya mendapat penghargaan ‘Bintang Seni’ dari pemerintah Lebanon.
B. Karya-karya Kahlil Gibran