Humanisme dalam Religiositas Perkembangan Seputar Humanisme

2. Humanisme dalam Religiositas

Humanisme dalam religiositas berarti juga faham kemanusiaan pada ranah religiositas. Pada perkembangannya, bidang-kaji ini sedikit banyak mengungkap kedudukan posisi antara formalisme keagamaan dan nilai-nilai religiositas. Terlihat misalnya, sebuah bentuk religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi. Dalam Sastra dan Religiositas, Y. B. Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun, tertarik untuk memberi pengertian lain pada agama dan religiositas. Baginya, agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan- peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan Geseltschaft, bahasa Jerman. 51 Sedangkan religiositas lebih melihat aspek “yang didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi kedalaman pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban Gemeinscahft yang cirinya lebih intim. 52 51 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1994, Cet. III, h. 12 52 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 12 Jauh sebelum itu, seorang filsuf Paul-Tillich melontarkan pandangan tentang agama dan religiositas. Menurutnya, sebagaimana dikutip Arif Budiman, religi mempunyai pengertian yang lebih luas dari agama. Seorang yang religius tidak selalu harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam atau Hindu. Seorang yang religius menurutnya adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari pada batas-batas yang lahiriah saja. Dia adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal dari kehidupan ini, dia berusaha mentransendir hidup ini. 53 Erich Fromm dalam To Have or To Be-seperti dikutip Mashuri- pernah menegaskan, religiositas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubungan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada individu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian. 54 Sekali pun religiositas sering dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan, namun pada satu sisi religiositas berbeda dengan sistem religi. Religiositas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama 53 Arif Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976, Cet. I, h. 27 54 Ditulis oleh Mashuri dalam Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas. Artikel ini diakses dari http:islamlib.comidindex , pada 27 Januari 2007 formal. Religiositas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan. 55 Secara halus, Romo Mangun menghidangkan definisi abstrak tentang perbedaan ataupun titik-titik singgung antara agama dan religiositas. Romo mengambil contoh dalam sastra. Seperti yang ia kutip dalam resensi Umar Junus di majalah Horison, buah karya A.A. Navis, Datangnya dan perginya Bukittinggi, 1956 : 56 Seorang ayah runtuh hati karena istri pertamanya meninggal, sehingga ia menghanyutkan diri dalam hidup serba maksiat dan mengabaikan anaknya Masri. Pernah sang Ayah tertangkap basah oleh Masri dalam suatu tempat pelacuran. Lalu pergi. Salah seorang dari sekian banyak isteri yang dikawini dan dicerainya, melahirkan anak, Arni, yang tanpa diketahui asal-usulnya oleh sang Ayah dan Masri, menikah dengan Masri itu sendiri. Timbul lah dilema bagi sang Ayah: Apakah ia harus mencegah sesuatu yang menurut hukum agama adalah dosa yaitu perkawinan antara dua insan yang seayah sekandung, dengan memberitahukan kenyataan hubungan kakak beradik, kepada Masri dan Arni; tentunya dengan akibat keluarga Masri yang sudah berbahagia itu berantakan? Atau kah membiarkan kedua orang tak bersalah itu tetap tidak tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya dalam keadaan bonafide penganggapan baik, menurut istilah moral, demi keutuhan keluarga Masri, tetapi dengan pelanggaran hukum agama terus menerus? Sang ayah memilih alternatif terakhir demi peri kemanusiaan. Jelaslah ini suatu kasus yang cukup menarik; namun juga menyangkut pertanyaan yang tergolong paling dalam pada hidup konkret kita semua. Umar Junus-seperti dikutip Romo Mangun- menyebut dilema itu persoalan antara agama dan kemanusiaan. Romo Mangun menambahkan bahwa persoalan itu 55 Ditulis oleh Mashuri dalam Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas. Artikel ini diakses dari http:islamlib.comidindex , pada 27 Januari 2007 56 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14 adalah antara hukum agama dan peri kemanusiaan. Bahkan lebih jauh lagi, antara formalisme hukum agama dan religiositas otentik. 57 Pada bagian ini tersentuhlah persoalan eksistensial dalam segala bidang yang menjadi pertanyaan dasar manusia modern dan bangsa ini khususnya. Bahkan dapat dikatakan, inilah tantangan yang dipikul semakin serius kepada semua agama besar di masa kini dan hari depan: apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Dengan kata lain: apa arti agama tanpa religiositas, tanpa penuntun manusia ke arah segala makna yang baik. Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian otak tetapi dalam pengalaman, penghayatan totalitas diri yang mendahului analisis atau konseptualisasi. “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman”, begitulah dari sekian banyak varian yang kita dengar. Bagi manusia “religius” ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci, kudus dan adi kodrati. Atau dalam bahasa Aldous Huxley-seperti dikutip Emanuel Wora-, manusia tersebut sudah masuk ke dalam apa yang disebut metafisika. Huxley mendefinisikan metafisika ini sebagai usaha untuk mengenal realitas Ilahi sebagai dasar dari dunia bendawi, hayati maupun akali. Realitas Ilahi bersifat substansial bagi dunia. 58 Dambaan manusia religius hidup untuk hidup dalam kekudusan adalah hasrat untuk hidup dalam realitas objektif, tidak cuma terkurung didalam kejadian-kejadian subjektif, suatu kenisbian tiada hentinya. 59 Pada dasarnya, 57 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14 58 Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 2006, h. 28-29 59 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 17 religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Beberapa lagu yang berkualitas religius, seperti “Tuhan” ciptaan Trio Bimbo, “Surgamu” yang dilantunkan oleh Band Ungu, atau pun lagu Perdamaian yang dinyanyikan personel Gigi dengan penuh haru dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristiani. Begitu juga, sikap- sikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri penuh pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu solah-bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga. Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikian, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ada orang yang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain dari dia punya, atau biasa karena tidak ada pilihan lain; cukup beragama “statistik” belaka. Sebaliknya, ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakekatnya religius. Dalam suatu wawancara dengan majalah Time, pengarang roman dan cerpen Inggris terkenal Graham Greene- seperti dikutip Romo Mangun- pernah mengatakan, There is far more religious faith in communist Russia than in Christian England . 60 Demikian pula di negeri kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama; tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek 60 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 13 keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Maha Baik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap religius otentik. Jika kita menelusuri jejak doktrin filsafat perenial di dalam berbagai tradisi agama dunia, kita akan menemukan ajaran tentang kejatuhan the fall. Dalam tradisi Yahudi-Kristen misalnya, kejatuhan terjadi sesudah penciptaan. Kejatuhan ini secara ekslusif disebabkan karena penggunaan kehendak bebas secara egosentris, padahal kehendak bebas itu harus tetap terpusat pada dasar Ilahi, dan bukan pada kedirian self hood yang terpisah. Dengan kata lain kejatuhan ini merusak kesadaran atau pengetahuan manusia akan dasar imanen dan transenden segala sesuatu, termasuk hidup dan dirinya sendiri. Kesadaran atau pengetahuan ini hanya bisa diraih kembali melalui usaha kebajikan, terutama ketulusan, kerendahan hati dan kedermawanan. 61 Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan di atas seperti apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Atau apa arti agama tanpa religiositas, tanpa penuntun manusia ke arah segala makna yang baik? Haruslah menjadi pelajaran yang berarti terutama bagaimana upaya untuk menciptakan kehidupan yang humanis dengan suasana religius seperti. Religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi. 62 Bahkan religiositas akan menjelma ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme. 61 Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 36 62 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 94

3. Humanisme dalam Sastra