Sedang bagi sang akar, menerima adalah kebutuhannya.
93
b. Ketulusan
Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda dalam apa yang disebut dalam buddhisme sebagai keadaan pada dirinya, yakni kondisi di
mana mereka berada secara aktual, objektif, dan akurat.
94
Karena bersifat tanpa pamrih tulus, pastilah ia bersifat universal.
95
Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma bagi Gibran harus dibarengi dengan ketulusan. Ketulusan lahir dari dari dorongan pengertian diri, yang
terejawantahkan dalam bentuk aktus memberi, bahkan tanpa diminta. Seperti ditutur Gibran dalam syair berikut ini.
Sungguh utama untuk memberi bila diminta, Namun lebih utama lagi adalah memberi tanpa diminta,
Karena dorongan pengertian.
96
Gibran menaruh apresiasi kepada penderma yang secara ekonomi tidak lah berkecukupan, namun karena dorongan untuk memberi sangat kuat, maka
penderma itu adalah orang-orang yang meyakini akan kehidupan dan anugerah kehidupan.
Adapula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan
Dan peti mereka tiada mengalami kekosongan Ada yang memberi dengan kegirangan di hati,
Kegirangan lah yang menjadi anugerah pengganti Ada yang memberi dengan kepedihan di hati,
Maka kepedihan menjadi penyucian diri
97
93
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h.72
94
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35
95
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 127
96
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
97
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
Tentu saja akan berkesan lebih dalam, jikalau sesuatu yang diberikan itu tanpa adanya tendensi apa pun. Terlebih, adanya rasa enggan dari si penderma
untuk mengingat-ingat apa yang sudah diberikan. Sebuah wujud pemberian tanpa pamrih. Terkait hal ini, Gibran memberi perumpamaan, bagaikan bunga yang
menyebar wewangian di lembah nun jauh di sana. Dan ada yang memberi tanpa rasa sakit didalamnya,
Tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya, Tanpa mengingat-ingat pemberiannya
Mereka memberi, sebagaimana di lembah sana, Bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara
Melalui mereka ini lah, Tuhan berbicara, Dan dari sinar lembut tatapan mata mereka
Dia tersenyum kepada dunia.
98
Gibran menambahkan:
“Bila kau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti”
99
Ketulusan sendiri selalu dibenturkan dengan sifat pamrih. Bagi orang yang memiliki sifat pamrih, segala sesuatu yang ia lakukan haruslah selalu menuai
untung atau mendapat imbalan. Biasanya imbalan yang ingin didapat adalah ketenaran. Selalu merasa bangga bila menderma dan ingin diketahui khalayak
umum. Terhadap persoalan ini, Gibran dengan lantang menegaskan bahwa pemberian orang tersebut sudah tidak murni lagi dermanya tidak tulus.
Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak Dan pemberian itu dilakukan demi ketenaran,
Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya.
100
98
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
99
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 20
100
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
Sekali lagi, Gibran amat membenci segala pekerjaan yang dibumbui sifat pamrih dan rasa enggan, karena bagi Gibran pekerjaan yang dilakukan akan
sia-sia dan tidak optimal. Simak syair Gibran tentang ini. …Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan,
Maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya…, Dan walau kau bernyanyi dengan suara bidadari,
Namun hatimu tidak menyukainya, Maka tertutuplah telinga manusia dari segala
Bunyi-bunyian siang dan suara malam hari.
101
Dari gambaran diatas, Gibran ingin menegaskan bahwa segala pekerjaan termasuk berderma harus didasari oleh ketulusan atau ke-tanpa-pamrihan dan
dilandasi dengan cinta.
c. Kerendahan hati