Humanisme dalam Filsafat Perkembangan Seputar Humanisme

akan membatasi proses perkembangan humanisme ke dalam empat pokok pembahasan, yakni humanisme dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika. Berikut ini kami paparkan secara singkat bidang kaji humanisme.

1. Humanisme dalam Filsafat

Dalam filsafat, tempat persemaian wacana humanisme, cikal bakal humanisme dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates 470-399 s.M. membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas setelah Protagoras dalam mengenakan ukuran kebajikan virtue dan kebenaran terletak pada akal manusia. 38 Dia juga mengungkap hakekat yang-baik sebagai sarana penting dan bersifat hakiki untuk dapat mengenal manusia. 39 Plato 428-347 s.M. dan Aristoteles 348-322 s.M., masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme mikrokosmos, walaupun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka makrokosmos. Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics Etika Nichomacus mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia. 40 Ketiga orang di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Yunani-Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan 38 Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002, h. 95 39 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004, Cet. IX, h. 317 40 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357 prinsip-prinsip bagi tindak-tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup eudaimonia. Masa inilah yang disebut sebagai Humanisme Klasik. 41 Keterbukaan dan keduniawian humanisme menjadi rangsangan untuk suatu perkembangan pendalaman religiositas, yang di satu pihak terdorong memformasikan gereja dari dalam, di lain pihak mencari kedalaman hidup batin. Maka, pada abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, kita dapat menyaksikan suatu gerak pembaharuan religius luar biasa di Eropa. Di Eropa Utara Devotia Moderne mengusahakan pendalaman pengalaman mereka dan mistik, kita misalnya dapat menyaksikan kelompok-kelompok yang bersama-sama melakukan tapa. Kehidupan rohani Katolik abad ke-16 ditandai oleh tokoh-tokoh mistik dan hidup rohani Santa Theresia dari Avila, Santo Johannes da Cruz dan Santo Ignasius dari Layola. Nama terakhir mendirikan orde Serikat Yesus Orde Yesuit yang akan menjadi pembawa pembaruan katolik di semua front. Sedang peristiwa yang paling dahsyat adalah Reformasi Protestan oleh Martin Luther 1483-1546, Jean Calvin dan Ulrich Zwingli. melakukan gerakan Reformasi Gereja. 42 Gerakan Humanisme kemudian mendapat hawa segar pada saat Revolusi Perancis k.l. 1789-1799 di mana kebebasan liberté, kesetaraan egalité dan persaudaraan fraternité menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom dalam artian 41 Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF Drijarkara, 1998, h. 6 42 Franz Magnis Suseno, Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama, h. 9 menentukan dirinya sendiri, namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas. 43 Humanisme modern berkembang dalam dua bentuk, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama. 44 Humanisme seimbang, menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada seni, universalisme di mana nilai-nilai budaya Timur dijunjung tinggi, religiositas yang merasa dekat dengan alam, penolakan fanatisme dan toleransi positif. Tokoh-tokohnya adalah antara lain, dua penyair Jerman terbesar, Goethe dan Schiller, serta Wilhelm von Humbold. Namun, humanisme muncul juga dalam bentuk anti-agama. Dalam bentuk ini agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas, sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila ia membebaskan diri dari agama. Pelopor dan inspirator humanisme ateis adalah Ludwig Feuerbach 1804-1872 M yang memahami agama sebagai keterasingan manusia. 45 Dalam tradisi filsafat Barat, perkembangan humanisme berada di ranah filsafat eksistensial. Soren Kierkegaard S.K., seorang eksistensialis, mengatakan bahwa manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna. Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa buruk. 43 Hendra Puranto, Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism, http:filsafatkita.f2g.netstr7.html , data diakses 24 Januari 2007, h. 5 44 Franz Magnis Suseno, Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama, h. 10 45 Franz Magnis Suseno, Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama, h. 10 Kalau seseorang telah menetapkan baik dan buruk, tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada. 46 Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksistensi sphers existence atau tahap jalan hidup stages on lifes way, yakni wilayah estetis the aesthetic , etis the ethical dan religius the religious. 47 Tahap estetis the aesthetic dapat digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik good dan yang jahat evil. Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan. 48 Wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis the ethical, orang mulai memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik good dan yang jahat evil dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat langsung immediacy tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihan- pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan refleksi tentu saja, mulai memainkan peranan yang penting dalam tahap ini. Dengan meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat integrasi apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima tanggung jawab yang memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya di dunia. 49 Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap religius the religious, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk 46 Fuad Hassan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya, 2005, Cet. ke-9, h. 29 47 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG, 2004, h. 87 48 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 88 49 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 89-90 hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukan miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuskan dirinya. 50 Penjabaran dari Kierkegaard ini, paling tidak menjadi keterwakilan dari seorang filsuf yang memiliki ragam humanisme, terutama dalam penghayatan nilai-nilai religiositas. Pada pemaparan di atas, bisa terlihat perkembangan humanisme dalam ranah filsafat atau berarti juga faham kemanusiaan dalam bidang-kaji filsafat diwakili enam periode yakni zaman klasik yang lebih berorientasi pada Akal Budi; Abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, terekam suatu gerak pembaharuan religius sampai pada reformasi gereja; pada Revolusi Perancis k.l. 1789-1799, kebebasan liberté, kesetaraan egalité dan persaudaraan fraternité; Masa Modern yang membelah bentuk humanisme menjadi dua, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama; dan filsafat eksistensial sebagai kubang perkembangan humanisme dalam tradisi filsafat Barat, diwakili oleh Kierkegaard yang memperkenalkan tiga wilayah eksistensi, yakni wilayah estetis the aesthetic, etis the ethical dan religius the religious . Kelima masa tersebut, paling tidak menjadi pembuka bagi masa depan humanisme berikutnya. Pada bahasan selanjutnya kami paparkan perkembangan humanisme dalam religiositas. 50 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 90-91

2. Humanisme dalam Religiositas