Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran

berusaha senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Juga, selalu bersyukur atas nikmat yang didapatnya. Dalam analisis konten atau analisa terhadap isi dari karya Gibran di atas, tersingkap pesan etis yang berisi tiga konsep kebajikan, yakni kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati. Terlihat secara jelas dalam bait-puisinya, bagaimana Gibran memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas antar sesama; sebuah perwujudan sosial antar manusia.

2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran

Salah satu daya tarik filsafat Gibranian yang dirasakan oleh pembacanya adalah penekanannya yang mendalam terhadap spiritualitas religiositas. Gibran dianggap sebagai Sang Nabi oleh para pengikutnya, karena dalam abad kedua- puluh yang teknokratis ini ajaran-ajarannya masih memainkan peran sosial efektif dalam mengajarkan nilai-nilai religiositas, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi pada masa mereka. Nilai religiositas yang diungkap Gibran biasanya merupakan pertanyaan sekaligus jawaban atas berbagai persoalan keagamaan, moral maupun sosial- kemanusiaan. Simak khotbah almustafa dalam karya utamanya, Sang Nabi, Gibran membahas persoalan keagamaan. Bukankah agama sebenarnya meliputi, Segenap gagasan dan tindak manusiawi? Bahkan juga meliputi yang bukan gagasan maupun tindakan… 108 108 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 86 Bagi Gibran, agama tidak hanya menjamah kehidupan ide dan aksi manusia, namun juga meliputi segenap relung kehidupan manusia. Dan keduanya ide-aksi tidak jalan sendiri-sendiri. Harus selaras dan serasa. Gibran mewanti-wanti agar ritual keagamaan ibadah tidak laksanakan setengah hati, ibarat jendela yang dibuka-tutup sesaat. Manusia yang menganggap ibadah sekadar jendela, Yang kadang ditutup, hanya terkadang dibuka, Agaknya belum mengunjungi rumah jiwanya, Yang terbuka selalu sepanjang hari, sepanjang masa. 109 Begitu pula Gibran menyarankan agar berusaha melihat kehidupan sebagai rumah ibadah yang sekaligus memuat ritual ibadah. Maka selami lah keindahannya dengan segenap jiwa-raga. Simak pesan manis tentang ini. Kehidupanmu sehari-hari adalah rumah ibadah, dan ibadah pula Masukilah kehidupan itu dengan seluruh pribadi. 110 Selanjutnya pada bagian lain, Gibran memberikan pemahaman tentang doa. Saran Gibran, seseorang memohon pertolongan pada Tuhan tidak hanya pada saat mendapat kesulitan, namun pada waktu mendapat kesuksesan pun, alangkah baiknya memanjatkan puja-puji pada-Nya, sebagai bentuk syukur atas kelimpahan-Nya. Dalam syair yang cukup panjang Gibran mengingatkan hal ini. Kalian berdoa disaat kesulitan dan membutuhkan; Alangkah baiknya kalian pun berdoa di puncak kegirangan Dan di hari-hari rezekimu sedang berlimpahan Karena, apalah doa itu selain pengembangan dirimu dalam ether yang hidup? Dan bila kau dapat merasa nyaman, bila sempat mencurahkan, Kegelapan hatimu keharibaan ruang angkasa, Maka kau pun dapat merasa nyaman, jika dapat memancarkan, Fajar merekah di hatimu ke cakrawarti raya. 111 109 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87 110 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87 111 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 75 Dalam Suara Sang Guru, Gibran dengan bijak menjelaskan kearifan Wisdom. Seorang arif adalah dia yang mencintai dan mengagungkan Tuhan. Kebaikan manusia ada pada pengetahuan dan perbuatan, dan bukan pada warna kulit, ras atau keturunan. 112 Pesan di atas mengandung makna bahwa nilai baik seseorang tidak diukur dari warna kulit, ras ataupun keturunan. Tapi ukurannya adalah pengetahuan yang ia peroleh dan perbuatan yang dikerjakannya. Keduanya adalah anugerah dari Tuhan. Maka, tambah Gibran, biarkan pelita itu tetap menyala, dan jangan sampai padam. Tuhan telah menganugerahkan kecerdasan dan pengetahuan kepadamu. Janganlah kamu padamkan pelita cinta itu dan jangan biarkan lilin kearifan mati dalam kegelapan nafsu dan kesalahan. Karena orang yang bijak mendekati manusia dengan obornya untuk menerangi jalan umat manusia. 113 Pandangan Gibran yang sangat religius itu memang terbentuk sejak masa kecilnya. Ibunya anak seorang pendeta terkemuka gereja Maronit. Namun kiranya yang cukup dominan, nilai religiositas ini Gibran peroleh selama masa sekolahnya di Madrasah Al-Hikmah, di mana Gibran diwajibkan dua kali dalam sehari mengikuti acara di gereja, dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kentalnya orientasi religius Gibran. 114 Setiap mengikuti acara keagamaan itu, sikap kritis tak pernah luput dari Gibran. Seolah-olah berkata pada dirinya sendiri, Gibran sering kali 112 Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru , terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, h. 249 113 Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi, h. 250 114 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39 mempertanyakan apa esensi dari kegiatan tersebut. Berikut petikan penuturan Mikhail Naimy, sahabat karib dan penulis biografi Gibran tentang hal ini. Surely you have prayed enough to last you to the end of your days, and hence forth you shall not enter the church as a worshipper; for the Jesus you love so dearly is not found in churches. Many are the places of worship, but few indeed are thoe who worship in spirit and in truth.Naimy, 43 Sembahyangmu pasti sudah cukup hingga mencakup hari akhirmu, maka selanjutnya kau tak perlu lagi masuk gereja sebagai pemuja; karena Jesus yang sangat kau cintai tidak terdapat dalam gereja-gereja. Memang banyak tempat peribadatan, tapi sesungguhnya sedikit saja orang yang beribadah dengan semangat dan kebenaran. 115 Bagi Gibran, ritual keagamaan tidak lah harus diformalkan melalui kebaktian gereja, melainkan cukup dilakukan di luar sana, karena Jesus tidak terdapat dalam gereja. 116 Atau dalam bahasa lain, religiositas tidak lah hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiositas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai- nilai dan asas kemanusiaan. 117 Puncaknya, Gibran melancarkan kritik pedas tehadap dominasi gereja. Di Paris, saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat mengejutkan masyarakat Lebanon, khususnya kalangan penguasa serta gereja dan pendetanya, yaitu Spirit Rebellious Jiwa atau Roh Pemberontak. Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan dalam buku ini, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang sangat tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas 115 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66-67 116 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 67 117 Ditulis oleh Mashuri dalam Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas. Artikel ini diakses dari http:islamlib.comidindex pada 27 Januari 2007 terhadap gereja. 118 Berikut kami kutipkan gejolak pemberontakan Gibran terhadap pemuka gereja dalam cerita Khalil si Klenik. Untuk apa kalian menghabiskan hari-hari di sini dan menikmati derma kaum miskin, sedang roti yang kalian makan dibuat dengan keringat tubuh dan air mata hati mereka? Mengapa kalian hidup dalam bayangan parasitisme, seraya memisahkan diri dari mereka yang mendambakan pengetahuan? Mengapa tidak kalian berikan bantuan untuk negeri ini? Jesus telah mengutus kalian sebagai anak-anak domba di antara serigala; lantas apa yang menjadikan kalian ibarat serigala diantara domba-domba? 119 Selanjutnya, dengan nada tinggi namun tetap santun, Gibran memperingatkan bahwa apa yang selalu ditonjolkan para pemuka Gereja sebagai sebuah kelebihan dan bentuk kemuliaan, bagi Gibran tidak memiliki arti apa-apa. Air mata rakyat adalah lebih indah dan diberkati Allah dari pada kenyamanan serta kedamaian terhadap mana kalian membiasakan diri di tempat ini. Simpati yang menyentuh hati sesama adalah lebih tinggi dari pada kebajikan tersembunyi di pojok-pojok biara yang tidak kelihatan. Kata belas kasih kepada penjahat yang lemah atau pelacur adalah lebih mulia dari pada doa-doa panjang yang kita ulangi dengan kosong setiap harinya di bait. 120 Merasa tersinggung dengan cerita dalam karya tersebut, para penguasa Lebanon memerintahkan agar buku Spirit Rebellious dibakar dengan disaksikan oleh keramaian umum. Bersama itu para penguasa memutuskan untuk mengasingkannya dari Lebanon serentak dengan keputusan hukuman eskomunikasi dari gereja maronit. 121 Kiranya suatu anggapan yang amat keliru untuk menyebut Gibran sebagai atheis semata-mata karena dirinya terkena hukuman eskomunikasi dari gerejanya 118 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40 119 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari Spirit Rebellious, terj. Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003, h. 74 120 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 76 121 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 dan beberapa karyanya dimusnahkan di muka umum. Sebuah anggapan yang keliru ketika sikap anti-pendetaisme Gibran merupakan ekspresi ketidak- beragamaannya. Pada dasarnya, jujur saja, Gibran adalah seorang yang sangat religius. Dia hanya keberatan atas pola “penggunaan” agama oleh pejabat gereja. Dia beranggapan bahwa agama yang berada di tangan agen-kependetaan menjadi sesuatu untuk “digunakan” namun bukan untuk “dihidupkan”. 122 Bisa dilihat kembali bagaimana pantulan sikap keberagamaan Gibran dalam cerita Khalil si Klenik. Aku percaya pada Allah yang mendengarkan seruan jiwa kalian yang menderita, dan aku percaya kepada kitab yang menjadikan kita semua saudara di hadapan sorga. Aku percaya kepada ajaran-ajaran yang menjadikan kita semua sama,dan yang menjadikan kita tidak dipaku di bumi ini, tempat berpijak kaki Allah yang hati-hati. 123 Gibran terkesan mengibaratkan dirinya sebagai penjelmaan mikro-theos dalam pelukan makro-theos yang penuh cinta. Dalam hubungan ini Gibran tampaknya dipengaruhi oleh pantheisme kaum sufi yang menganggap kehadiran Tuhan di mana saja. Kehadiran Tuhan terungkap melalui segala makhluknya, termasuk manusia. Di bawah pengaruh sufisme ini Gibran tampaknya tidak terbelenggu pada dogma keagamaan. 124 Religion? What is it? I khow only life. Life means the field, the vineyard, the loom…The Church is within you. You yourself are your priest. Young, 38 Agama? Apa itu? Aku hanya tahu kehidupan. Kehidupan berarti ladang, kebun anggur, alat tenun....Gereja ada dalam dirimu sendiri. Kau adalah pendeta bagi dirimu sendiri. 125 122 Kahlil Gibran, God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, Jogjakarta: Tarawang Press, 2002, Cet. I, h. viii 123 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 105-106 124 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 125 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 Pandangan demikian itu pula yang menyebabkan Gibran meninggalkan gereja, karena menurut pendapatnya Tuhan tidak berada di gereja melainkan berada dalam diri kita masing-masing. Betapa pun pandangan Gibran mengenai agamanya, namun satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu bahwa Gibran adalah seorang yang menghayati kehadiran Tuhan secara intensif; seorang homo religious sejati. Dalam sajaknya berjudul “Nyanyian Seorang Lelaki”, Gibran memberi kesan penghayatan keagamaan begitu mendalam. “Aku dengar pengajaran Konghuchu, Aku dengar hikmat Brahmana, Aku duduk di samping Sang Budha di bawah pohon pengetahuan, Tetapi inilah Aku, ada dengan ketidaktahuan dan takhayul; Aku pernah berada di sini ketika Yahwe mendekati Musa, kesuksesan mukjizat-mukjizat orang Nazaret itu di Jordan, Aku pernah di Madina ketika Muhammad hijrah, tetapi ini lah aku, tawanan kebingungan 126 Simak pula sebuah ungkapan tulus Gibran tentang Yang Abadi, Tuhan. Sebuah hati yang meliputi segenap hati kalian, suatu cinta yang mencakup seluruh cinta kalian, suatu jiwa yang merangkum segenap jiwa kalian, suatu suara yang meliputi semua suara kalian, dan suatu keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan, yang abadi. 127 Wujud penghayatan akan kehadiran Tuhan direfleksikan dengan bentuk kecintaan Gibran pada sesama manusia. Menurutnya, manusia adalah putera Roh Kudus, maka dari itu semuanya adalah saudara. Berikut ungkapan manis Gibran tentang ini. Engkau adalah saudaraku karena engkau adalah manusia dan kita adalah sama-sama putra Roh Kudus, dijadikan dari tanah yang sama. Engkau berada disini sebagai temanku di sepanjang jalan kehidupan dan penolongku 126 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002, h. 98 127 Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece: Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, Terj. AS. Mangoenprasodjo, Jogjakarta, Tarawang Press, 2001, Cet. III, h. 347 dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku. 128 Kemudian, Gibran menggenapinya dengan menjelaskan hubungan antara manusia dan Tuhan melalui kekuatan cinta. “ Kau dan aku, semuanya adalah anak-anak iman yang sama, karena berbagai jalan agama yang beragam adalah jari-jari tangan cinta dari Wujud Agung yang satu juga, tangan yang merengkuh semuanya, mengulurkan kesempurnaan hati kepada semuanya, dan dengan penuh cinta menerima semuanya…” 129 Konsepsi Gibran mengenai persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh pengetahuan tentang Tuhan ini, dipertegas lagi oleh Gibran dengan mengatakan bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan. Semua agama sama sebagai jalan menuju Tuhan yang sama pula. Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu. Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi, yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua orang dengan harapan akan menerima semua orang..” 130 Kutipan bait-puisi Gibran di atas, semakin mengukuhkan Gibran sebagai seorang humanis religius yang ingin menyampaikan imbauan bagi manusia secara universal.

3. Persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa sekat, tanpa batas