Bentuk dan Strategi Penelitian
Tentang apa-apa yang digambarkan dan dihadirkan dalam sebuah puisi, itu semua semacam proses kreatif yang menghubungkan antara alam kejiwaan dan
keberpikiran seorang penyair dengan fenomena alam serta fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Hal ini senada dengan pendapat Goenawan Mohamad berikut
ini: Orang mengatakan bahwa zaman berbeda dari masa sekitar
1945, bahwa
suasana telah
berganti. Tapi
meskipun kesusastraan adalah suatu kesaksian atas kondisi manusia
dalam keadaan dan waktu tertentu, ia bukanlah replika yang lengkap dari sang zaman. Lagi pula perlu diingat bahwa ciri
kesusastraan di suatu masa terkadang dilahirkan oleh beberapa pribadi yang punya latar belakang pengalamannya sendiri
tanpa ada hubungannya secara langsung dengan keadaan sosial di masanya.
3
Lebih jauh Goenawan Mohamad menganalogikan bahwa sastrawan adalah manusia dengan semua masalahnya, dalam suatu kehidupan, hasil sastranya pun
bukan hasil suatu eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil perseorangan yang betul-betul utuh.
Fenomena-fenomena sosial
yang terjadi
di sekitaran
sastrawan ditransformasikan ke dalam bentuk estetika oleh pengarang dengan seperangkat
bahasa. Melalui eksplorasi bahasa pengarang akan menampilkan sebuah realita kehidupan dalam bentuk yang berbeda, salah satunya yaitu lewat puisi dengan
aspek keindahan yang optimal. Namun oleh Suwardi Endaswara keindahan ini dibedakan pengertiannya menjadi tiga aspek yaitu: a keindahan yang identik
dengan kebenaran, b keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau
3
Goenawan Mohamad, Di Sek itar Sajak , Jakarta: PT Tempint, 2011, h.2.
tidak indah suatu karya dan c keindahan sederhana, yang terbatas pada panca indera.
4
Puisi merupakan semacam proses dan hasil dialektika, dan hal ini ternyata dapat merujuk pada pernyataan Acep Zamzam Noor,
“sebuah puisi pasti memiliki inti persoalan, meskipun puisi itu berbicara tentang banyak hal, misalnya.”
5
Semua hal yang disinggung dalam sebuah puisi harus melalui proses menuju pada inti
persoalan, semacam memperkuat inti persoalan. Jika sebuah puisi bicara langsung pada inti persoalan, tanpa proses, tanpa
tahapan-tahapan, tanpa gambaran-gambaran pendukung, maka hasilnya akan terasa kering, „kurang greget‟ dan tidak menunjukkan kekayaan makna. Akan
tetapi, jika sebuah puisi telah menemukan tema atau inti persoalan maka semua gambaran pendukung yang disajikan penyair akan makin jelas fungsinya dalam
keseluruhan bangunan puisi.
6
Imajinasi lahir dari intuisi penyairnya yang muncul dari totalitas diri atau pribadi seorang penyair, dan tanpa totalitas itu tadi maka intuisi tak akan pernah
muncul. Itulah sebabnya puisi yang dapat dipercaya bersumber pada totalitas hidup penyairnya. Pada waktu ia sedang menciptakan puisinya, dalam waktu yang
bersamaan puisi itu memuat sebuah momentum, situasi dan kondisi yang mewakili keadaan ketika puisi itu diciptakan sehingga seseorang yang membaca puisi itu
seakan-akan melihat, mendengar, merasakan bahkan ikut terlibat pada suatu kondisi atau peristiwa yang digambarkan lewat puisi tersebut.
Hal di atas ternyata senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib. Ia berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan
pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga hati dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan
4
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama, 2004, h.68.
5
Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk : Perihal Apresiasi dan Kreatif, Bandung: Penerbit Nuansa, 2011, h.24.
6
Ibid.