Secara keseluruhan Joko Pinurbo mengambil apa pun unsur-unsur yang ada atau karakter-karakter yang ada di sekitarnya, baik itu celana, becak, ranjang
tidur, seorang guru, tetangganya maupun sosok ibu dan ayah, yang dihadirkan dalam puisi-puisinya menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk mengungkapkan
karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang lain.
C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fenomena Sosial
Puisi merupakan pantulan keadaan yang sudah atau sedang berlangsung di sekitar penyair, dalam bentuk kata.Namun, lewat majas-majasnya, bahasa
kiasannya, puisi terbiasa menautkan ranah-ranah pengalaman yang sering tampak berjauhan meski pun ada juga yang menampilkan ranah
–ranah yang tampak disekitar kita. Joko Pinurbo sendiri kerap mendaftarakan lingkup kehidupan
bersosialnya manusia dalam kata-kata yang seakan bergerak dan bergetar ke arah lain atau ke dalam rangkaian citra yang intim seperti yang dikatakan Ignas Kleden
bahwa, “pada penyair Joko Pinurbo, seluruh kehidupan manusia, politik, sosial-
budaya, ekonomi, dan religius, tidak diterjemahkan kedalam gerak-gerik alam, tetapi ke dalam gerak-gerik badan, yaitu apa yang dikenal sebagai body
language. ”
10
Dalam puisi Joko Pinurbo pun bisa saja kita bertemu dengan bahasa-bahasa kiasan, tetapi sesungguhnya kita lebih sering berada pada sebuah wilayah, yaitu
ironi, yang diciptakan oleh Joko Pinurbo. Di sanalah kita bisa belajar sedikit- banyak tentang jarak antara kata dan dunia. Namun pada dasarnya, puisi yang
dianggap sebagai sebuah karya merangkai kata, merupakan suatu komunikasi yang menyampaikan tentang sebuah keadaan, seperti apa yang dikatakan
Goenawan Mohamad, “…sebab kata itu bagian dari bahasa ruang”.
11
10
Kleden, op.cit., hal. 256.
11
Goenawan Mohammad, Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai, Jakarta: Penerbit Kata Kita, 2008, hal.18.
Keunikan puisi-puisi Joko Pinurbo dalam bentuknya yang naratif, cenderung mengungkapkan kompleksitas kehidupan yang dialami manusia. Tragedi itu
mengacu pada realitas, peristiwa, dan subjek yang bisa ditemui, dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tematik yang dihadirkan Joko Pinurbo terasa dekat
dengan realitas dan mengantarkan pembaca pada dunia rekaan yang terbuka terhadap tafsiran. Tematik dalam puisi-puisi Joko Pinurbo dihadirkan dengan
ironi, naif, komedi, kesedihan dan tragedi, misalnya saja pada puisinya berikut ini:
Naik Bus di Jakarta Sopirnya sepuluh.
Kernetnya sepuluh. Kondekturnya sepuluh.
Pengawalnya sepuluh. Perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,dari tadi tidur melulu; kusut matanya, kerut keningnyaseperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal, kondektur minta ongkos: Sialan, belum bayar sudah mati
Okke Kusuma, salah satu dosen FIB-UI, pernah mengkaji puisi ini. Menurut Okke Kusuma, secara sepintas sajak ini terasa lucu, terutama melihat oposisi
antara angka sepuluh bagi sopir, kernet, kondektur, pengawal yang biasanya hanya terdiri dari satu orang di setiap bus dan perampok, dengan penumpang
yang biasanya banyak, hanya disebut satu. Namun, kelucuan di awal sajak berubah menjadi tragedi di akhir sajak. Rupanya penumpang yang banyak itu
cukup disebut satu, untuk mengemukakan kesamaan nasib mereka. Kesengsaraan hidup di kota besar hanya dinyatakan dengan kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali. Sesampai di terminal, ternyata penumpang itu telah mati dan bagi kondektur, uang sebanyak dua atau tiga ribu
rupiah lebih penting dari nyawa manusia.
12
12
Okke Kusuma Sumantri Zaimar, Jok o Pinurbo: Penyair Muda yang Penuh Potensi, Disajikan dalam seminar
“Gelar Sastra Dunia”, FIB-UI, 19-20 Juli 2005.
Joko Pinurbo dalam puisi-puisinya tidak hanya menampilkan kompleksitas kehidupan manusia dengan gaya bahasanya yang humoris, dalam sebagian puisi-
puisinya yang lain dia juga sering menampilkan aspek kehidupan yang menyentuh dan tidak lagi menggunakan gaya bahasanya yang terkesan humoris, misalnya
saja pada puisi berikut:
Baju Bulan Bulan, aku mau Lebaran.Aku ingin baju baru, tapi tak punya
uang.Ibuku entah di mana sekarang, sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam? Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan bajunya yang
kuno di antara begitu banyak warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat menangis di persimpangan jalan.
Bulan sendiri rela telanjang di langit, atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
Begitu jauh bayangan dan imaginasi Joko hingga kita dapat menyaksikan bagaimana bulan mempunyai semacam perasaan atau jiwa bagi makhluk hidup
lainnya. Disinilah proses kreatif yang ditunjukkan oleh Joko Pinurbo, bahwa suasana atau fenomena sosial yang terjadi di sekitar kita, menyantap perasaan dan
memberikan ilham yang segala-segalanya mampu direkam ke dalam kata-kata.
48
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Analisis Intrinsik Puisi Pesan Uang
Pesan Uang Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
Uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam
terhadap kemiskinan.” Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya,
Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama. Hore Aku telah mengalahkan kemiskinan.
Aku tak butuh lagi masa depan. Kemudian aku jatuh miskin.
Hartaku amblas, harga diriku kandas. Kekayaanku tinggal hutang-hutangku.
Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kau habis-habiskan kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan,
bagaimana bisa mati dengan kaya?”
Bait 1
Secara bentuk, puisi Pesan Uang terdiri dari empat bait dan lima belas baris. Gaya bahasa yang digunakan Joko Pinurbo dalam puisi ini cenderung
naratif dan banyak dijumpai larik-larik yang mengandung diksi-diksi yang
paradoks
1
. Bait pertama, dimulai dari larik pertama sampai dengan larik ketiga yang mengacu pada penegasan eksistensi aku-lirik pada puisi ini:
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
Pada bait ini, penyair mencoba menyelipkan majas personifikasi untuk memberika
n kesan yang lebih pada “uang”.
2
Pada hakikatnya uang merupakan benda mati namun pada bait ini penyair menempatkan uang seolah-olah
menjadi benda hidup dan berpesan pada “aku”. Tokoh “aku” di sini mewakili
bagaimana penggambaran nasib seorang manusia yang dalam prosesnya bakal menuju “cari penghidupan” dan hal ini mengantarkan pada semacam dialektika
antara “uang” dan “aku” yang ada pada bait ini, yaitu sebagai berikut:
Ketika aku akan merantau cari penghidupan uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
Cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam terhadap kemiskinan .”
Pada hakikatnya uang merupakan alat tukar yang digunakan seseorang untuk mendapatkan hal-hal yang menyangkut kebutuhan sehari-hari. Di sisi
lain uang juga dapat mempengaruhi seseorang untuk menentukan kedudukan, dari golongan mana ia berasal, sejauh mana ia dapat memenuhi kebutuhan
yang penting maupun tidak penting untuk kebutuhan sehari-harinya, atau secara singkat dapat dikatakan uang juga berperan sebagai media untuk
memenuhi kebutuhan eksistensi seseorang.
3
Pada bait pembuka ini seolah Joko Pinurbo langsung memberikan pesan moral, supaya kita tidak rentan berada di tengah kecenderungan akan
1
Paradok s adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena
kebenaranny, contoh: Ia mati k elaparan di tengah-tengah k ek ayaannya yang berlimpah . Baca: Gorys Keraf, Dik si dan Gaya Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 136.
2
Personifik asi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda yang tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Baca: Gorys Keraf,
Dik si dan Gaya Bahasa, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 140.
3
Apapun yang bereksistensi tentu nyata ada. Sesuatu yang dikatakan bereksistensi jika hal itu adalah sesuatu yang bersifat publik, yang artinya objek itu sendiri harus dialami atau dapat dialami
oleh banyak orang yang melakukan pengamatan. Baca: Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Jakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya, 2004, h. 50.