2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif
Kehadiran fenomena sosial yang terjadi meliputi berbagai aspek manusia dan kehidupannya adalah materi yang digambarkan dalam sebuah puisi misalnya
ke dalam bentuk perjalanan hidup manusia yang terjadi di „jalan raya‟ atau „biru langit‟ dan tanpa materi tersebut, sebuah karya sastra pastinya tidak bermakna.
Sebuah karya sastra menjadi menarik karena melibatkan sisi psikologis, sosioligis, filosofis, kultural dan sisi politis yang kesemuanya adalah cerminan
pengalaman kehidupan dari penyair. Oleh sebab itu, terkadang banyak sastrawan yang mengungkapkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya
tidak dengan cara yang sederhana. Misalnya menggunakan daya imajinasi dan intuisi yang optimal serta perbendaharaan kata untuk menopangnya.
Karya sastra hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam
hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa menjelma langsung dalam bentuk karya sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa karya sastra sama sekali kehilangan nilai.
45
Puisi merupakan refleksi dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah
masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi. Dengan demikian puisi dapat memberikan
solusi atau alternatif untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi dalam arus masyarakat. Sapardi Djoko Damono beranggapan bahwa sastra merupakan
bagian cermin kehidupan, dan kehidupan itu berisi kenyataan sosial. Dalam pengertian ini Sapardi menjelaskan bahwa:
Kehidupan mencakup
hubungan antarmasyarakat,
antara masyarkat dengan orang-orang, antar manusia, dan antar peristiwa
yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa- peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi
45
Teeuw, Op.cit., Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, h.220.
bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.
46
Wellek dan Warren dalam bukunya menyitir pendapat Max Eastman seorang teoretikus yang juga menulis puisi yang berpendapat:
“…pengarang—dan terutama penyair—mengira bahwa tugas utama
mereka adalah
menemukan dan
menyampaikan pengetahuan. Padahal fungsi utama penyair, adalah membuat kita
melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan mata kita, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya
sudah kita ketahui.”
47
Pendapat Eastmen semakin kuat manakala Carl Gustav Jung menambahkan bahwa tidak ada bedanya apakah penyair tahu bahwa karyanya tumbuh dengan
matang di masyarakat, atau apakah ia beranggapan bahwa dengan menuangkan apa-apa yang ada di pikirannyatelah dapat membuat seorang penyairnya sendiri
keluar dari kekosongan, akan tetapi disini Carl Gustav memerlukan dirinya untuk menekankan bahwa “in this way the work of the poet comes to meet the spiritual
need of the society in wich he lives, and for this reason his work means more to him than his personal fate, whether he is aware of this or not.
”
48
Seorang penyair kerap dianggap sebagai penanggung beban dunia, filsuf, bahkan dalam sastra profetik penyair diibaratkan serupa nabi. Penyair yang peka
terhadap lingkungan,
ia menyaksikan
fenomena sosial
yang terjadi di
sekelilingnya, secara visual itu ditulis kembali dalam bentuk puisi dengan tambahan-tambahan pokok pikiran yang subjektif namun dengan gubahan bahasa
yang lebih khas, sehingga mempunyai keberartian yang lebih dalam dari dimensi
46
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringk as, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaa n, 1978, h.1.
47
Wellek Warren, op. cit., h.31.
48
“Dengan cara ini karya penyair datang untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat di tempat ia tinggal, dan untuk alasan ini karyanya lebih berarti baginya daripada nasib pribadinya,
apakah dia menyadari hal ini atau tidak .” Baca: Arthur M.Eastman ed, et.al.,The Norton Reader:
Sixth Edition Shorter,United States of America: W. W. Norton Company, Inc., 1984, hal.596.
visual sebelumnya seperti pendapat Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan; “Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, penyair itu banyak pula
mendapat inspirasi dari pada perhubungan manusia seorang dengan yang lain. Segala soal-
soal masyarakat menggerakan perasaannya.”
49
Pada dasarnya seorang penyair sendiri adalah orang yang mampu merayakan hal nampaknya sederhana menjadi peristiwa yang menarik bahkan
dahsyat lewat rangkaian kata. Sastrawan memperlakukan kenyataan yang dijadikan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan meniru, memperbaiki,
menambah atau menggabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan kedalam karyanya. Kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan
pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.
50
Menyitir pendapat Frederich Albert Lange dalam Wardi Bachtiar yang beranggapan bahwa puisi merupakan media rekonsiliasi antara kreativitas jiwa
dan determinisme serta skeptisme yang dihasilkan oleh fakta sosial.
51
Albert Lange menganggap puisi sebagai dunia ketiga yang menghubungkan dunia fisik
dengan psikis, subjektif dengan pengetahuan ilmiah objektif, dan pada tahap selanjutnya menghubungkan antara dunia ideal dengan dunia empiris.
Eka Budianta dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyair seperti wartawan, jurnalis, seniman lain yang pada umumnya merupakan perantara atau
„jembatan‟ dalam istilah Eka. Ia berpendapat “…penyair bertugas sebagai jembatan. Karya-
karyanya menghubungkan dunia idea dan dunia kenyataan.”
52
Demikianlah proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, yang
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara peristiwa sosial dalam proses penciptaan yang berpusat pada kesan atau impresi.
49
S. Takdir Alisjahbana, Kebangk itan Puisi Baru Indonesia, Jakarta: PT. Dian Rakjat, 1978, hal.30.
50
Siswanto, op. cit., h.46.
51
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik , Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006, h.140.
52
Budianta, Op.cit., h.1.