Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

(1)

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Irsyad Zulfahmi (109013000107)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i ABSTRAK

IRSYAD ZULFAHMI: Skripsi: Fenome na Sosial dalam Puisi “Pesan Uang” dan “Bercukur Sebelum Tidur” Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Puisi merupakan penggambaran tentang suatu konteks yang diungkapkan melalui bahasa dan ekspresi yang mewakili perasaan sang penyair. Kehadiran Joko Pinurbo layak dianggap sebagai hadirnya penyair kontemporer, sebab bentuk-bentuk pada puisinya yang sudah memiliki kebebasan berekspresi, baik dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran keadaan sosial yang terkandung dalam dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur. Penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data atau dokumen lalu menganalisis data-data yang berkenaan dengan dua puisi tersebut kemudian menarik kesimpulannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan; secara bentuk, puisi Pesan Uang terdiri dari empat bait dan lima belas baris, menggambarkan bagaimana seseorang yang berusaha memperbaiki kondisi hidupnya

dengan cara “merantau”, yang kemudian tidak hanya berdampak pada sisi materi namun pada sisi moril juga. Gaya bahasa yang digunakan cenderung naratif dan banyak dijumpai diksi-diksi yang paradoks. Sedangkan dalam puisi yang berjudul

Bercukur Sebelum Tidur secara bentuk, terdiri atas dua puluh delapan larik dari dua bait. Penyair menggunakan tubuh sebagai metafor sebuah fenomena alam, di sinilah penyair sebetulnya ingin menggambarkan mengenai laju perkembangan industri yang maju namun demikian kurang memperhatikan kelestarian lingkungan alam sekitar. Kata kunci: Fenomena sosial, Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur, Joko Pinurbo, Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.


(7)

ii ABSTRACT

IRSYAD ZULFAHMI: Social Phenome non in Poetry Money Message and Shave Before Sleep by Joko Pinurbo and the Implicated for Indonesian Language and Litterature Education in Senior High School. Thesis. Jakarta: Indonesian Language and Litterature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2013.

Poetry is the which one literature product, who result of the context depiction and disclosed with language and expression who representation the soul of poet. Joko Pinurbo presence is deserve to be regard as the presence of contemporary poets, because his poems form who already have the freedom of expression, kind of form, rhyme and diction that choosen.

This study aims to identify the picture of social conditions contained in two poems by Joko Pinurbo, namely the Money Message and Shave Before Sleeping. This study used documentation method, namely data collection techniques to strengthen information or documents, such as those found in books, articles and sourced from the internet, and then proceed to analyze the data with respect to two of the poem, then draw conclusions.

Based on the results of research conducted, it can be concluded; in form, the poem Messages Money consists of four temple and fifteen rows, depicting how someone who tried to improve the conditions of life by "wander", which then have an impact not only on the material but also on the moral side. Style of language used tends to be narrative and diction-diction often found the paradox. Meanwhile, in a poem titled Shave Before Sleeping in shape, consisting of 28 arrays of 2 stanza. The poet uses the metaphor of the body as a natural phenomenon, this is where the poet actually want to describe the rate of development of advanced industrial however less attention to the preservation of the natural environment.

Key word: Social Phenomenon, Poetry Money Message and Shave Before Sleep, Joko Pinurbo, Indonesian Language and Litterature Education.


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya bagi Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Meskipun rintangan dan segala cobaan sempat ditujukan kepada penulis, namun atas izin dan kasih-Nya pada akhirnya penulis masih diberikan kemudahan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Fenomena Sosial dalam puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di

SMA”. Tak lupa juga shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang menuntun kita dari zaman yang jahiliyah menuju ke zaman yang terang benderang seperti saat ini.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis Berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari Berbaga i Hambatan dan rintangan, seperti yang disebutkan sebelumnya. Tanpa bantuan dan peran serta dari berbagai pihak, skripsi ini rasanya hampir mustahil dapat terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis, kepada ibu Hj. Nur A‟isah, S.Pd dan bapak H. Ahmad Masyuri yang mau bersabar dan mendukung proses penulisan skripsi ini, serta adik perempuan penulis, Maharani Phuspa Ningrum yang berusaha menciptakan lingkungan yang nyaman untuk proses penulisan skripsi ini. 2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mempermudah dan memperlancar proses penyelesaian skripsi ini.


(9)

iv

3. Rosida Erowati, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing, orang yang paling membantu dalam proses penulisan skripsi hingga tahap paling akhir. Terima kasih banyak atas arahan dan bimbingannya, semoga jasa-jasanya diberikan balasan yang setimpal dari-Nya.

4. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya dosen-dosen di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan selama ini dan mau membantu dalam proses penyusunan skripsi ini khususnya.

5. Terima kasih untuk Nuri Purnama yang telah memberikan pengertian dan dorongan motivasi kepada penulis hampir di setiap saat.

6. Terima kasih banyak untuk Bohari Muslim, Levy Arnaldo, Akbar Fatriyana, Adi Nugroho, Yunita, M. Iqbal Maknur Gimbar Alam, Fajar Setio Utomo Irfan Nawawi dan segenap keluarga besar komunitas Majelis Kantiniyah yang tak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis mengucapkan terima kasih karena telah mau menjadi teman berdiskusi yang baik bagi penulis selama penulisan skripsi ini.

Semoga apa yang kita perbuat mendapat Ridho-Nya. Amin ya Robbal „alamin. Akhirnya penulis hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya, khususnya penulis sendiri.

Jakarta, 7 Juni 2012

Penulis,


(10)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….……….. i

ABSTRACT ……….……….. ii

KATA PENGANTAR ………..………...... iii

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR LAMPIRAN ……….…. viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang pendahuluan ………... 1

B. Identifikasi Masalah ………...……….. 5

C. Pembatasan Masalah ………... 5

D. Perumusan Masalah ………...……….. 6

E. Tujuan Penelitian ………...………... 6

F. Manfaat Penelitian ………...………... 6

G. Metode Penelitian ………..……….. 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Puisi ………... 11

1. Pengertian Puisi ……….……….. 11

2. Unsur-unsur Puisi ……….... 15


(11)

vi

B. Fenomena Sosial ……….………..…. 24

1. Pengertian Fenomena Sosial ……….………..…. 26

2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif ……….………..… 28

C. Pembelajaran Sastra ……….………..… 29

1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini………..………..…. 29

2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran ……….. 31

D. Tinjauan Sosiologi Sastra ………..… 34

1. Pengertian Sosiologi Sastra ……….… 34

E. Penelitian yang Relevan ……….…………..…. 36

BAB III PROFIL JOKO PINURBO A. Biografi Singkat Joko Pinurbo ..………..…... 40

B. Joko Pinurbo sebagai Penyair ………..…….. 41

C. Joko Pinurbo, Puisi, dan Fenomena Sosial………..………... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analisis Intrinsik Puisi Pesan Uang……….…. 48

B. Analisis Intrinsik Puisi Bercukur Sebelum Tidur ………..… 56

C. Fenomena Sosial dalam Puisi Pesan Uang………... 65

D. Fenomena Sosial dalam Puisi Bercukur Sebelum Tidur………... 73

E. Implikasi Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA ………. 80


(12)

vii BAB V PENUTUP

A. Simpulan ………...………… 83 B. Saran ………...………...……… 85


(13)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Uji Refrensi

Lampiran 2 : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran


(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Puisi yang merupakan salah satu materi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah, juga merupakan bagian seni yang objeknya adalah pengalaman hidup manusia. Sebagai karya seni, puisi dalam pembelajaran di sekolah hari ini rasanya kurang dipelajari sebagai pengalaman estetik. Padahal di setiap karya sastra selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya. Oleh karenanya puisi sebagai karya sastra secara intrinsik mengandung nilai-nilai pendidikan yang dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar.

Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, pendidik terkadang hanya membahas puisi sebagai ilmu sastra yang berkutat pada pembahasan unsur-unsur pembentuk yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Padahal tujuan puisi sebagai ilmu sastra sendiri di antaranya yaitu membantu manusia menyingkap rahasia keadaannya, memberi makna pada eksistensinya, serta untuk menemukan kebenaran secara maknawi dalam setiap karya sastra. Adapun perbedaan antara karya sastra dari bidang keilmuan dengan karya sastra dari bidang kesenian pernah dipaparkan oleh Budi Darma, yang menganalogikan sastra sebagai pisau yang bermata dua. Lebih jauh ia menjelaskan sebagai berikut:

Di satu sisi sastra sebagai ilmu dan di sisi lain sastra sebagai seni. Mana yang akan digunakan itu tergantung pada titik berat konteksnya. Teori sastra dengan segala variasinya, termasuk kritik sastra, adalah seni yang muncul sebagai ilmu.”1

Dari penjelasan di atas, maka sudah seyogyanya dalam pembelajaran puisi perlu menyeimbangkan antara pengalaman estetik dan keilmuan. Oleh karena

1


(15)

itulah pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan, sebab pada umumnya masyarakat saat ini cenderung menilai bahwa puisi sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal puisi merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan nilai-nilai dalam puisi tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.

Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan. Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.

Bahasa, sebagai media yang digunakan oleh penyair berfungsi sebagai media komunikasi yang menyampaikan sikap penyair terhadap fenomena sosial yang berlangsung di sekitarnya. Penyair menampilkan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan makna dari situasi sosial dan historis dalam kehidupan manusia.

Dengan gaya intuitif dan kemampuan mengolah bahasa yang baik, beberapa penyair menciptakan puisi yang di dalamnya seolah-olah penyair tersebut mencoba menertawakan kondisi kehidupaan manusia, menyindir beberapa elemen kehidupan manusia yang dirasa sangat ironis kenyataannya, sebab persepsi dari tiap penyair adalah miliknya sendiri, dengan kejujuran yang fundamental dalam menceritakan alam sekitarnya.

Dalam jagat kepenyairan, Joko Pinurbo mampu menyegarkan perpuisian tanah air, sebab sejak era 1970-an mazhab kepenyairan seolah tak bisa lepas dari pengaruh empat kekuatan besar: Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.2 Keunikan yang dirasakan ketika membaca puisi Joko Pinurbo adalah ia mampu mengemas pesan ke dalam

2

Putu Fajar Arcana & Mawar Kusuma, Jok pin, Tamasya Rohani Dalam Puisi, dalam Harian


(16)

„simbol-simbol‟ yang mengacu pada benda-benda yang sering digunakan sehari-hari oleh hampir setiap orang seperti telepon genggam, sarung, ranjang dan lain-lain. Joko Pinurbo bahkan juga memasukkan anggota badan seperti mata, kepala, wajah, bibir dan lain-lainnya sebagai simbol dalam puisi-puisinya. Oleh karena itu, Joko Pinurbo dianggap mencipta suatu gaya berpuisi yang ringan, renyah akan tetapi tidak kehilangan simbolisme dan daya harunya.

Pada dasarnya puisi-puisi Joko Pinurbo tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi puisi lirik. Ia hanya mencoba mengembangkan gaya berpuisinya agar lebih naratif supaya tidak terlalu dikuasai oleh tradisi puisi lirik3. Mengenai diksi, Joko Pinurbo memilih kosa kata yang sederhana bahkan sering dipakai dalam bahasa keseharian, yang biasanya tidak digunakan dalam bahasa puisi sehingga sebelum mulai memahami isinya, pembaca akan merasa bahwa puisi-puisi Joko Pinurbo sangat ringan.

Goenawan Mohamad pernah berujar bahwa seorang penulis percaya betul bahwa kata-kata, begitu ia lahir dari dirinya, akan punya dampak. Dalam batas tertentu, ia bisa dikatakan sebuah sosok yang heroik: ia yakin ada daya dunia verbal dalam dan dari dirinya, dan ia juga bersedia menanggung sendiri ongkos yang timbul setelah itu.4 Joko Pinurbo mengerjakan proyek yang demikian lewat puisinya dengan muatan yang bersifat responsif atas apa yang terjadi di sekitarnya, mengemasnya dan merefleksikannya ke dalam bentuk puisi-puisinya.

Dalam puisi-puisinya, Joko Pinurbo mengikatkan bentuk maupun tematiknya pada narasi besar soal hubungan manusia. Joko Pinurbo melihat perilaku manusia melalui hubungan anak-ibu, anak-ayah, serta anak-ibu-ayah. Joko Pinurbo pun memainkan banyak metafor untuk membolak-balik pola hubungan itu, bisa sebagai hubungan individu dengan Tuhan, warga negara dan negara, dan lainnya.

Sementara itu Subagio Sastrowardoyo berpendapat bahwa di dalam sajak terjadi pengentalan pikiran dan pengalaman, yang pada dasarnya berciri kesimpulan-kesimpulan filsafat. Kecenderungan berfilsafat itu terdapat pada sajak

3

Jika pada puisi naratif, penyair lebih objektif dengan bahan ceritanya, maka pada puisi lirik,

puisi berisi ungkapan pikiran dan perasaan penyairnya. Lebih jauh Soemardjo berpendapat bahwa puisi lirik dapat dikatakan otobiografi batin penyair. (Lihat Jakob Soemardjo : 1984)

4


(17)

yang bagaimana pun sederhananya.5 Hal inilah yang tampak pada gaya berpuisi Joko Pinurbo, dengan menulis sebuah puisi yang sederhana namun memuat pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.

Apa yang terjadi dalam praktik-praktik sosial berdampak bagi kepenyairan Joko Pinurbo, yaitu fenomena-fenomena sosial yang disaksikan, dirasa, dan dialaminya. Apa-apa yang digambarkan dalam puisi-puisinya membicarakan yang telah dan sedang berlangsung dalam tatanan masyarakat kita, dari sinilah karya sastra menjadi faktual, paling tidak aktual, untuk menggambarkan situasi yang benar-benar membutuhkan semacam respon bagi khalayak untuk dijadikan bahan refleksi terhadap realitas.

Pembahasan puisi Joko Pinurbo secara formal dan sosiologis merupakan bentuk apresiasi dan kritik terhadap karya sastra. Hingga kini, pembahasan puisi secara mendalam lebih banyak dilakukan di media massa yang cenderung menyajikan secara popular dan kurang menyentuh kebutuhan di sekolah.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, penelitian ini akan berfokus pada dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam buku kumpulan puisi Celana Pacar kecilku Di Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), sebagai rekaman fenomena sosial yang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Di dalam kedua puisi tersebut berisi metafora-metafora sederhana yang dituliskan dalam bentuk naratif dan memiliki kebebasan dari bentuk, rima dan diksi yang dipilih.

Puisi-puisi Joko Pinurbo dianggap sangat ringan ketimbang puisi dengan lirik-lirik yang rumit, namun, tetap sarat akan misteri dan kedalaman dalam merespon gejala-gejala sosial yang tengah terjadi di kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini akan mensejajarkan fenomena yang ada dalam masyarakat dengan dua puisinya, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra serta mengimplikasikannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.

5

Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan, (Jakarta:Balai


(18)

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kurangnya minat baca peserta didik terhadap karya sastra terutama pada puisi.

2. Kurangnya kesempatan dalam mempelajari puisi sebagai pengalaman estetik, kalaupun ada terlalu menitik beratkan pada pembahasan puisi sebagai ilmu sastra.

3. Kurangnya pembahasan tentang fenomena sosial yang terkandung dalam sebuah puisi, khususnya pada puisi-puisi Joko Pinurbo.

4. Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap puisi sebagai bahan pertimbangan dalam memperkenalkan nilai edukasi kepada peserta didik.

C. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam. Dalam dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu, penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

1. Unsur intrinsik dalam dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang

dan Bercukur Sebelum Tidur.

2. Hubungan antara dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur dengan fenomena sosial yang terjadi saat ini. 3. Implikasi dari dua puisi karya Joko Pinurbo yaitu, Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas X.


(19)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana unsur intrinsik yang ada di dalam dua puisi Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo

2. Bagaimana dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur menggambarkan fenomena sosial yang terjadi pada saat ini?

3. Bagaimana implikasi pembahasan dua puisi Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas X?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intrinsik yang ada di dalam dua puisi Pesan Uang

dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo.

2. Mengidentifikasi fenomena sosial yang digambarkan pada dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur. 3. Mendeskripsikan implikasi dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan

Uang dan Bercukur Sebelum Tidur dalam Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas X.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca, peneliti, dan penikmat sastra agar mengetahui fungsi karya sastra sebagai media yang dapat membeberkan serta mengupas fenomena-fenomena yang terjadi di tengah masyarakat lewat sebuah puisi. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan wawasan yang lebih terhadap pembaca, peneliti, penikmat sastra dan khususnya dalam dunia pendidikan, yaitu guru dan siswa untuk


(20)

mendalami makna suatu karya sastra sebagai bekal meningkatkan apresiasi dan wawasan masyarakat terhadap karya sastra yang juga digunakan sebagai bahan kajian mengenai aspek-aspek dan masalah-masalah kehidupan masyarakat dari sudut estetika.

G. Metode Penelitian

1. Objek dan Waktu Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan objek kajian berupa dua buah puisi, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo. Tempat yang akan digunakan dalam penelitian tidak terikat pada satu tempat, karena objek yang dikaji berupa teks karya sastra yang terdapat pada buku kumpulan puisi Joko Pinurbo yang berjudul Celana Pacarkecilku Di Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007). Penulis melakukan kegiatan penelitian antara lain di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Universitas Indonesia dan Pusat Dokumentasi Sastra HB. Jassin. Adapun waktu penelitian dimulai pada bulan Januari 2013 - Juni tahun 2014.

2. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Fokus Penelitian

Langkah awal sebuah penelitian adalah menentukan teks sastra yang akan dikaji atau diteliti, dan persoalan apa yang muncul, yang kemungkinan bisa dijelaskan dan dicarikan solusi melalui penelitian. Langkah berikutnya setelah teks dan permasalahan ditentukan adalah menentukan fokus penelitian.

Secara umum penelitian sastra dapat dikatagorikan ke dalam empat fokus yang merujuk pada empat pendekatan Abrams, yaitu:

a) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan penulis/penelitian genetik.


(21)

b) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan pembaca. c) Penelitian dengan fokus teks itu sendiri.

d) Penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas.6

Berdasarkan keempat jenis fokus penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan fokus yang keempat, yaitu penelitian dengan fokus teks dan hubungannya dengan realitas. Fokus penelitian yang keempat ini dilakukan dengan mengkaji teks itu dengan memandang hubungan teks dengan unsur lain yang menyelingkupinya. Penelitian dengan fokus ini percaya bahwa objek kajian dapat dicapai jika peneliti memandang teks dengan mengaitkannya dengan penulis, realitas atau teks lain.

b. Bentuk dan Strategi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan adalah secara intrinsik (yaitu pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri), dan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang mempengaruhi karya sastra).

Menurut Nyoman Kutha Ratna, metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.7 Untuk lebih lanjut ia pun menjelaskan pengertian metode deskriptif analitik sebagai berikut:

Secara etimologis, deskripsi dan analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya deskriptif komparatif,

6

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT. Grasindo, 2008), h.180

7

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Tek nik Penelitian Sastra, (Yogyakarta, Pustaka


(22)

metode dengan cara menguraikan dan membandingkan, dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti dengan pemahaman dari dalam ke luar.8

Kemudian pendekatan intrinsik atau pendekatan melalui isi karya sastra itu sendiri yang disebut pendekatan objektif. “Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan pada karya

sastra.”9

Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik.10

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membaca buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo yaitu

Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007).

b. Menetapkan dua puisi karya Joko Pinurbo, Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur sebagai objek penelitian dengan fokus menemukan fenomena sosial yang tergambar dalam dua puisi tersebut.

c. Membaca ulang dengan cermat dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur untuk menentukan fenomena sosial apa yang terdapat di dalam dua

8

Ibid

9

Siswanto, op,cit. h. 183

10


(23)

puisi tersebut dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

d. Menandai kata, lirik dan bait yang mengandung unsur fenomena sosial.

e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan kriteria analisis.

f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data. g. Menyimpulkan hasil penelitian

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatucara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat kabar, majalah dan berita online.

6. Sumber Data a. Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu puisi Pesan Uang dan

Bercukur Sebelum Tidur karya Joko Pinurbo.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.


(24)

11 A. Puisi

1. Pengertian Puisi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia puisi berarti; (1) ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait: (2) gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan berpengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama dan makna khusus; (3) sajak.1 Melihat penjelasan di atas, berarti dapat disimpulkan bahwa puisi berarti sebuah seni dengan bahasa sebagai mediumnya.

Sementara itu, tidak ada puisi tanpa realita yang berarti puisi merupakan cerminan realita kehidupan. Tidak ada satu pun karya yang tidak bertolak dari realita. Realita dalam puisi merupakan replika dari sejumlah kejadian yang ada dalam kehidupan manusia, karena sebuah karya tidak lahir dari kekosongan keadaan, ia tercipta dari fenomena- fenomena sosial yang terjadi pada zamannya.

Jika dengan realita puisi membentuk suatu hubungan yang kreatif, dengan orang lain ia menyediakan suatu dialog. Sebab puisi dengan sendirinya akan mendistorsi realita kehidupan sesuai dengan idealisme penciptanya. Hal ini pernah diungkapkan oleh Seno Gumira bahwa dari fakta ke fiksi, yang terjadi hanyalah perubahan bingkai atas kenyataan akibat polesan-polesan yang dilakukan oleh pengarangnya.2

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1112. 2


(25)

Tentang apa-apa yang digambarkan dan dihadirkan dalam sebuah puisi, itu semua semacam proses kreatif yang menghubungkan antara alam kejiwaan dan keberpikiran seorang penyair dengan fenomena alam serta fenomena sosial yang terjadi di sekitarnya. Hal ini senada dengan pendapat Goenawan Mohamad berikut ini:

Orang mengatakan bahwa zaman berbeda dari masa sekitar 1945, bahwa suasana telah berganti. Tapi meskipun kesusastraan adalah suatu kesaksian atas kondisi manusia dalam keadaan dan waktu tertentu, ia bukanlah replika yang lengkap dari sang zaman. Lagi pula perlu diingat bahwa ciri kesusastraan di suatu masa terkadang dilahirkan oleh beberapa pribadi yang punya latar belakang pengalamannya sendiri tanpa ada hubungannya secara langsung dengan keadaan sosial di masanya.3

Lebih jauh Goenawan Mohamad menganalogikan bahwa sastrawan adalah manusia dengan semua masalahnya, dalam suatu kehidupan, hasil sastranya pun bukan hasil suatu eksemplar dari suatu jumlah, melainkan hasil perseorangan yang betul-betul utuh.

Fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekitaran sastrawan ditransformasikan ke dalam bentuk estetika oleh pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa pengarang akan menampilkan sebuah realita kehidupan dalam bentuk yang berbeda, salah satunya yaitu lewat puisi dengan aspek keindahan yang optimal. Namun oleh Suwardi Endaswara keindahan ini dibedakan pengertiannya menjadi tiga aspek yaitu: (a) keindahan yang identik dengan kebenaran, (b) keindahan dalam estetik murni, yaitu keindahan dalam pengalaman sastrawan, yang mempengaruhi seseorang untuk merasa indah atau

3


(26)

tidak indah suatu karya dan (c) keindahan sederhana, yang terbatas pada panca indera.4

Puisi merupakan semacam proses dan hasil dialektika, dan hal ini ternyata dapat merujuk pada pernyataan Acep Zamzam Noor,sebuah puisi pasti memiliki

inti persoalan, meskipun puisi itu berbicara tentang banyak hal, misalnya.”5

Semua hal yang disinggung dalam sebuah puisi harus melalui proses menuju pada inti persoalan, semacam memperkuat inti persoalan.

Jika sebuah puisi bicara langsung pada inti persoalan, tanpa proses, tanpa tahapan-tahapan, tanpa gambaran-gambaran pendukung, maka hasilnya akan

terasa kering, „kurang greget‟ dan tidak menunjukkan kekayaan makna. Akan

tetapi, jika sebuah puisi telah menemukan tema atau inti persoalan maka semua gambaran pendukung yang disajikan penyair akan makin jelas fungsinya dalam keseluruhan bangunan puisi.6

Imajinasi lahir dari intuisi penyairnya yang muncul dari totalitas diri atau pribadi seorang penyair, dan tanpa totalitas itu tadi maka intuisi tak akan pernah muncul. Itulah sebabnya puisi yang dapat dipercaya bersumber pada totalitas hidup penyairnya. Pada waktu ia sedang menciptakan puisinya, dalam waktu yang bersamaan puisi itu memuat sebuah momentum, situasi dan kondisi yang mewakili keadaan ketika puisi itu diciptakan sehingga seseorang yang membaca puisi itu seakan-akan melihat, mendengar, merasakan bahkan ikut terlibat pada suatu kondisi atau peristiwa yang digambarkan lewat puisi tersebut.

Hal di atas ternyata senada dengan apa yang dikemukakan Emha Ainun Najib. Ia berpendapat bahwa membaca puisi adalah memasuki suatu kelangsungan pengalaman rohani yang tidak hanya memerlukan kerja pikirannya, tapi juga hati dan perasaan, yang sedianya dilengkapi oleh kemampuan imajinatif dan kepekaan

4

Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama,

2004), h.68. 5

Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk : Perihal Apresiasi dan Kreatif, (Bandung: Penerbit

Nuansa, 2011), h.24. 6


(27)

intuitif.7 Ini berarti puisi dimulai dengan daya imajinatif dan intuitif. Mereka yang mencipta dengan sungguh-sungguh tahu bahwa dalam kesenian terdapat semacam komunikasi atau bahkan sebuah dialektika antara manusia dengan realita sosial yang melingkupinya dan tak akan pernah selesai.

Usaha untuk menghidupkan gejala-gejala sosial agar mencapai realitas yang tergambar sebagai puisi, hanya mungkin terjadi ketika penyairnya cermat dan hemat kata-kata, jeli dan hati-hati mengamati gejala alam dan yang terpenting ditopangdengan penguasaan berpuisi yang baik. Tanpa kesediaan dan kesanggupan

atas itu semua, daya intuitif penyair akan „mandeg‟, ia tak pernah dapat

menyelesaikan proses penciptaan puisi. Hal ini sejalan dengan pendapat penyair

Linus: “Oleh penguasaan teknik berpuisi yang sudah matang, kata-kata sederhana itu pun punya tenaga keindahan dan khas. Salah satu tugas penyair memang memberi tenaga dan jiwa pada kata-kata. Tanpa ambil peran itu, dia akan menulis

esai dan bukan puisi.”8

Singkatnya, puisi di sini juga boleh diartikan sebagai karya sastra hasil refleksi dari kejadian-kejadian yang ada di tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam imajinasinya kedalam bentuk puisi. Dengan demikian sebuah puisi dapat memberikan alternatif untuk menggambarkan situasi yang terjadi dalam arus masyarakat, pembaca diharapkan mendapat manfaat dari sebuah karya sastra yang dibacanya.

7

Emha Ainun Najib, Budaya Tanding, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.131.

8

Linus Suryadi AG, Dibalik Sejumlah Nama, Sebuah Tinjauan Puisi -puisi Indonesia Modern,


(28)

2. Unsur-unsur Puisi A. Struktur Fisik Puisi

1)Tipografi atau perwajahan puisi

Antara puisi dengan prosa, yang paling membedakan dari kedua karya sastra tersebut adalah dari segi tipografi atau perwajahannya. Dalam penulisan sebuah prosa yang terjadi adalah biasanya setiap lembar dipenuhi dengan kata-kata yang mendeskripsikan tentang sesuatu hal, maka pada puisi tidak dipenuhi dengan kata-kata seperti halnya prosa. Tepi kanan atau tepi kiri halaman yang memuat puisi belum tentu terisi penuh dengan kata-kata.

Wahyudi Siswanto dalam bukunya, Pengantar Teori Sastra menjelaskan seberapa jauh pengaruh perwajahan puisi dengan ruang pemaknaan pada puisi. Ia menjelaskan sebagai berikut:

Pada puisi konvensional, kata-katanya diatur dalam deret yang disebut larik atau baris. Setiap satu larik tidak selalu mencerminkan satu pernyataan. Mungkin saja satu pernyataan ditulis dalam satu atau dua larik, bahkan bisa lebih. Larik dalam puisi tidak selalu dimulai dengan huruf besar dan di akhiri dengan titik (.). Kumpulan pernyataan dalam puisi tidak membentuk paragraf, tapi membentuk bait. Sebuah bait dalam suatu puisi mengandung satu pokok pikiran.9

Pada kesimpulannya, tipografi atau perwajahan dalam puisi amat penting karena pengaturan baris dalam puisi dapat berpengaruh terhadap pemaknaan terhadap suatu puisi, sebab menentukan kesatuan makna. Selain itu perwajahan pada puisi dapat pula mewakili maksud dan kejiwaan penyairnya.

2) Diksi dan gaya bahasa

Pada umumnya kita menganggap bahasa sastra adalah bahasa yang khas, khususnya puisi, bahasa spesifik yang biasanya digunakan oleh para penyair.


(29)

Apakah lantas kita batasi sebuah puisi atas dasar kebahasaannya yang khas dibanding bahasa sehari-hari yang kita pakai? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada pendapat Sutardji Calzoum Bachri yang mengatakan, tidak heran kalau sajak bisa jadi gelap. Minim pintu, arah, tanda dan isyarat yang diberikan pada

pembaca untuk menciptakan sesuatu yang masuk hati dan akal sehat.”10

Sutardji menganggap kegelapan sebuah puisi merupakan kebebasan bagi pembaca, bahwa sajak yang ekstrem gelap menciptakan pembaca yang ekstrem merdeka. Kebebasan itulah yang nantinya melahirkan daya baca yang kreatif bagi pembacanya. Sementara itu, Linus berpendapat, “puisi yang baik bukan sekedar hasil kelihaian penyairnya beretorika, bukan sekedar hasil kemahiran penyairnya mengartikulasikan kata-kata abstrak, tapi hasil kesanggupan penyairnya mentransformasikan pengalamannya menjadi kata-kata intuitif.”11

Dalam puisi kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata konkret dalam bahasa sehari-hari, gaya bahasa retoris seperti asonansi atau gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.12 Dalam puisi kata-kata juga sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.

Meskipun perannya sebagai penghubung tak bisa dilenyapkan, namun keutamaan kata-kata dalam puisi adalah sebagai objek yang mendukung imaji. Hal inilah yang membedakannya antara kata-kata dalam puisi dan yang bukan puisi, sebab Hugh Kenner pun menjelaskan bahwa it is true a poetry brewed out of the sounds and implication of words is not a medium in which to think.13

10

Sutardji Calzoum Bachri, Isyarat: Kumpulan Esai, (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007) , h.117

11

Pamusuk Erneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 3),

(Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2009), h.26. 12

Gorys Keraf, Dik si dan Gaya Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001) , h.130

13

“Itu benar bahwa puisi bersumber dari suara dan keterlibatannya terhadap kata dan bukanlah

media dimana untuk berpikir”, baca: Hugh Kenner (ed). Twentieth Century Views. T .S.Eliot: A


(30)

Hampir senada dengan pernyataan Sutardji, Goenawan Mohamad dalam esainya mengutip pernyataan Alfred North Whitehead, “apabila kita memahami segalanya tentang matahari, segalanya tentang atmosfir dan segalanya tentang rotasi bumi, kita masih terluput untuk melihat kecemerlangan sinar matahari

terbenam.”14

Bagi Goenawan Mohamad sendiri, di saat melihat sinar matahari itu kita pun masing-masing punya pengalaman sendiri, yang tak sepenuhnya bisa dikomunikasikan secara persis.

Singkatnya, Goenawan Mohamad menganggap bahwa prestasi kesusastraan yang matang mencerminkan suatu gaya, setiap gaya mencerminkan suatu kepribadian dan suatu kepribadian tumbuh dan hanya bisa benar benar demikian bila ia ada dalam lingkup komunikasi yang merdeka, dan pandangan Goenawan Mohamad ini bisa dikatakan senada dengan Walt Whitman yang berpendapat

bahwa, “the messages of great poets to each man and woman are, come to us on equal terms, only then can you understand us, we are no better than you what we enclose you enclose, what we enjoy you may enjoy.”15

Kenyataan menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman dalam menjelaskan hubungan puisi sebagai karya sastra dengan latar yang digunakan sebagai unsur pembangun puisi tersebut. Kesalahpahaman tersebut sebagian besar diakibatkan oleh adanya perbedaan dalam menyimak hakikat puisi sebagai karya sastra yang merupakan hasil imajinasi, rekaan, dan proses kreativitas, termasuk bahasa yang metaforis atau konotatif.

14

Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kek uasaan, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), h.72.

15

“Pesan dari penyair besar untuk setiap pria dan wanita, bahwa yang datang kepada kami adalah

sama, hanya demikian anda dapat memahami kami, kami tidak lebih baik dari apa yang kami tutupi,

kalian juga tutupi, apa yang kita nikmati anda juga dapat menikmati.” Baca: Walt Whitman, Complete


(31)

3) Rima dan Ritma

Rima merupakan persamaan bunyi pada puisi baik di awal, tengah maupun akhir. Sedangkan jika merujuk pada pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI), rima diartikan sebagai“pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam

larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan”.16

Wahyudi Siswanto beranggapan bahwa rima mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut:

a) Onomatope: tiruan terhadap bunyi. Dalam puisi, bunyi-bunyi ini memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan oleh penyair, misalnya pada setiap konsonan huruf-huruf terdapat pemaknaan-pemaknaan tersendiri, seperti sifat, suasana atau bahkan sebuah sugesti.

b) Bentuk intern pola bunyi: merupakan aliterasi, asonansi, persamaan awal atau akhir, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi dan sebagainya.

c) Pengulangan kata atau ungkapan: pengulangan kata-kata tidak terbatas pada bunyi, namun mungkin kata-kata atau ungkapan. Pengulangan bunyi, kata, dan frasa memberikan efek magis yang murni.17

Sementara Wellek dan Warren mengartikan rima sebagai “pengulangan (atau mendekati pengulangan) bunyi, rima mempunyai fungsi efoni.”18

Wellek dan Warren pun di sini menambahkan, bahwa efek bunyi berbeda dari satu bahasa ke bahasa lainnya, sebab tiap bahasa mempunyai sistem fonetiknya sendiri.19

16

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1174.

17 Siswanto, Op.cit. h. 122.

18

Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta , (Jakarta: PT

Gramedia, 1989), h.199. 19


(32)

Wellek dan Warren tak lupa menekankan pula, yang terpenting untuk diingat bahwa rima mempunyai makna dan sangat terlibat dalam membentuk ciri puisi secara keseluruhan. Kata-kata disatukan, dipersamakan atau dikontraskan oleh rima. 20

Sedangkan Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa dan kalimat, lebih jauh Waluyo menjelaskan ritma sebagai berikut:

Ritma juga dapat di bayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang jawa. Dalam tembang tersebut berupa pemotongan bait-bait puisi secara berulang-ulang setiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. 21

Adapun contoh ritma bisa kita lihat dari puisi karya Ali Hasjmy, yaitu ritma berupa pemenggalan baris-baris puisi menjadi dua bagian/frasa sebagai berikut:

Pagiku hilang/ sudah melayang Hari mudaku/sudah pergi Kini petang/ datang melayang Batang usiaku/ sudah meninggi.22

B. Struktur Batin Puisi 1) Tema

Mursal Esten mengatakan bahwa “sebuah cerita rekaan membutuhkan tema.

Tema ini akan dijalin di dalam sebuah plot cerita.”23

Jika melihat dalam konteks puisi, tema sendiri merupakan gagasan pokok yang ingin disampaikan oleh pengarang yang dimuat dalam karyanya.24

20

Rene Wellek & Austin Warren. loc. cit.

21

Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1995) , h.94.

22

Ibid, h. 95.

23

Mursal Esten, Sastra Indonesia dan Tradisi Subk ultur, (Bandung: Angkasa, 2013) , h.134.

24


(33)

Dalam puisi, Waluyo menjelaskan bahwa tema merupakana “pokok pikiran atau pokok persoalan yang begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga

menjadi landasan utama pengucapannya.”25

Waluyo mencontohkan jika ada desakan yang kuat berupa rasa belas asih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untut memprotes ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial.

Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus bagi penyair akan tetapi menjadi objektif ketika di tangan khalayak atau pembaca.26 Secara singkat tema dapat diartikan sebagai gagasan dasar yang menopang isi yang ada dalam karya sastra, oleh sebab itu tema mengacu pada sebuah makna yang mengikat keseluruhan unsur-unsur apa yang ingin disampaikan oleh penyair sehingga hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu, seperti apa yang dikatakan oleh Angela

Carter: “Some refer to the central idea, the thesis , or even the message of the story, and that is roughly what we mean by theme: a generalization or abstraction from the story.”27

2) Suasana

Dalam menciptakan karya, perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati pembaca bagaimana suasana ang dibangun oleh penyair, contohnya saja, dalam menghadapi tema keadilan sosial atau kemanusiaan penyair banyak menampilkan bagaimana kehidupan pengemis, gelandangan atau orang-orang yang termarjinalkan.

25

Waluyo, op.cit., h 106.

26

Waluyo, op.cit., h 107.

27

“Sebagian mengacu pada ide pokok, kesimpulan, atau pesan dari cerita, dan itulah apa yang

dimaksud dengan tema: penyederhanaan atau inti dari cerita.” Baca: Jerome Beaty, et.al.,The Norton

Introduction to Literature: Shorter Eighth Edition,(United States of America: W. W. Norton & Company, Inc., 2002), h.214.


(34)

Menurut Waluyo “suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca

puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca.”28 Jadi kesimpulannya, dengan suasana yang dibangun dalam karyanya, penyair memberikan kesan yang lebih mendalam kepada pembaca. Puisi bukan hanya ungkapan yang bersifat teknis, namun suatu ungkapan yang total karena seluruh aspek-aspek psikologis itu dikonsentrasikan dalam karyanya untuk memperoleh komunikasi yang sempurna dengan pembacanya.

4) Amanat

Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Ia merupakan pesan dari pengarang yang memerlukan penafsiran sebagai bentuk bahwa kita mampu memetik manfaat dari setiap karya . Setiap pembaca berbeda-beda menafsirkan makna dalam sebuah karya.

Sementara itu, Wahyudi Siswanto mengatakan bahwa sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisinya.29 Misalnya seperti sebuah puisi yang merupakan sebuah alih wahana dari kisah wayang yang diambil dari Mahabarata biasanya memberikan amanat bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Amanat tersebut merupakan perang bagi diri sendiri yang sebagai manusia memiliki sisi baik dan sisi jahat.

Apa yang dikemukakan A.Teeuw semakin menjelaskan bahwa dalam setiap karya terdapat amanat yang ingin disampaikan oleh penyair atau pengarang. Pendapat A.Teeuw merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Horatius, orang yang pertama kali mengatakan pada banyak pembaca sastra, bahwa pada dasarnya karya sastra bersifat utile dan dulce yang berarti dasarnya bermanfaat dan nikmat.30

28

Waluyo, op.cit., h 125.

29

Siswanto, op. cit., h. 125.

30


(35)

3. Fungsi Puisi

Sastra berisi pengetahuan, sebab merupakan ungkapan pengalaman pengarangnya. Pengetahuan kita terhadap sebuah situs sejarah misalnya, akan lebih hidup dan berarti jika kita mengetahuinya latar belakang situs sejarah tersebut lewat cerita, semacam memberikan penggugah rasa atau mengevokasi energi-energi yang dirasakan stagnan, dari mekanisme yang statis sehingga lebih dinamis atau bernyawa. Namun seorang sastrawan Amerika yang bernama Edgar Allan Poe mengkritik bahwa fungsi puisi tidak terbatas sifatnya yang didaktis saja, Poe beranggapan sastra berfungsi menghibur, dan sekaligus mengajarkan sesuatu.31

Karya sastra merupakan peneladanan dan peniruan, sumber inspirasi dan kebenaran, sehingga melalui karya sastra tersebut masyarakat dapat bercermin, melihat eksistensinya melalui orang lain yang disebut pengarang atau penyair. Oleh sebab-sebab itu dapat dikatakan bahwa karya sastra menunjukkan kepada pembaca, yaitu jalan yang sebaiknya ditempuh.

Sementara Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan bahwa lewat puisi kita diajak merefleksikan kembali kondisi yang ada di sekeliling kita, sehingga kehadiran puisi bagi masyarakat tidak bisa dianggap angin lalu. Lewat puisi juga

penyair mengajak masyarakat agar mempunyai persepsi bahwa “aku” di dalam

bait-bait puisi adalah “kita”, guna membangun perasaan, tanggung jawab dan solodaritas yang kini semakin terkikis. Subagio menjelaskan bahwa “s etidak-tidaknya puisi hendak menyatakan nasib manusia yang terjepit, suatu human predicament yang tidak dapat dihindari, apakah nasib buruk itu diderita oleh

penyairnya sendiri secara pribadi atau oleh manusia pada umunya.”32

Pendapat Subagio ternyata bisa dikaitan dengan penganut paham Marxis yang memposisikan karya sastra sebagai refleksi perjuangan kelas untuk melawan

31

Wellek & Warren, op. cit., hlm.25

32

Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern Sebagai manusia Perbatasan, (Jakarta:Balai


(36)

kaum kapitalis.33 Hal serupa dikemukakan oleh Goenawan Mohamad, “bahwa seni mempertajam, membikin lebih intens penghayatan kita terhadap hal-hal dalam

kehidupan”34

, bahkan ia mengutip pendapat Albert Camus yang mengatakan bahwa seni adalah “pemberontakan” seniman kepada realitas.35

Pernyataan Camus yang menganggap seni adalah “pemberontakan” bisa saja

merujuk pada puisi-puisi karya WS.Rendra dan Wiji Tukul misalnya, yang menempatkan puisi sebagai media untuk mengkritisi kaum konglomerat di era Orde Baru yang dianggap bergandengan dengan pemerintah sehingga menyebabkan robohnya sendi-sendi ekonomi masyarakat.

Pada proses penciptaanya, puisi menurut Eka Budianta, mudah sekali diberi muatan cinta, benci, keras atau lembut, lucu atau menegangkan. Eka berpendapat bahwa penyair berpotensi membawa pendengar dan pembacanya menyelami, menghadapi dan mengatasi kekerasan. Dengan puisi dunia yang keras dapat ditundukkan, dan dibangun kembali menjadi alam yang lembut, terhargai, dan tersyukuri.36

Dalam hal ini tentu saja sah dan boleh memasukkan unsur kekerasan lalu mengolah kekerasan menjadi sebuah puisi yang hebat, namun alangkah sayangnya

bila puisi berhenti pada poin itu, sebab “manusia merupakan keseimbangan antara

pikir akal yang menganalisis dan memecah-mecahkan suatu permasalahan dengan

hati dan dengan fantasi yang kreatif.”37

Jadi kesimpulannya, puisi sebagai bagian dari karya sastra dan seni berfungsi sebagai media pengetahuan dan hiburan, mengacu pada kenyataan bahwa puisi merupakan komunikasi antara penyair yang mengajak pembacanya merefleksikan keadaan guna membangun perasaan, tanggung jawab, dan hubungan sosial.

33

Endaswara, op. cit., hlm. 81.

34

Goenawan Mohamad, Kesusastraan dan Kekuasaan, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1993), h.70. 35

Ibid 36

Eka Budianta, Senyum Untuk Calon Penulis, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005), h. 36

37

S. Takdir Alisjahbana, Seni dan Satera di Tengah-tengah Pergolak an Masyarak at dan


(37)

B. Fenomena Sosial

1. Pengertian Fenomena Sosial

Fenomena berasal dari bahasa Yunani; phainomenon yang berarti things appearing yakni apa yang tampak.38 Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) fenomena berarti: (1) hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat diterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam); (2) sesuatu yang luar biasa; keajaiban; (3) fakta; kenyataan.39 Sedangkan sosial bermakna: (1) berkenaan dengan masyarakat: perlu adanya komunikasi;(2) suka memperhatikan kepentingan umum.40

Dari pengertian di atas, fenomena sosial dapat diartikan sebagai gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Salah satu fenomena sosial yang terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah adanya masalah-masalah sosial yang timbul baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Jika kita membicarakan fenomena sosial, perlu kita mengacu pada sebuah perubahan sosial dan permasalahan sosial dalam tatanan masyarakat yang diawali dengan interaksi.

Pendapat Selo Soemardjan dalam Soerjono Soekanto yang mengartikan fenomena sosial mengantarkan kita pada sebuah konteks perubahan sosial, yang dalam hal ini sebagai segala bentuk perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.41

Pembicaraan fenomena sosial juga tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara realitas fisik dan realitas psikis manusia. Misalnya saja fenomena sosial

38

Siswantoro, Metode Penelitian Sastra, Analisis Struk tur Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2010), h. 42. 39

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi

Keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 390. 40

Ibid.,h. 1331. 41

Soerjono Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h.


(38)

yang terjadi karena adanya masalah sosial yang merupakan akibat interaksi sosial antara individu satu dengan individu lainnya, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok.42

Interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, secara keseluruhan merupakan aktivitas yang bertujuan, yang pada dasarnya berfungsi memenuhi kepuasan subjek. Aktivitas yang disertai dengan tujuan-tujuan tertentu, baik tujuan tersebut berhasil dicapai secara langsung oleh pelaku maupun lewat anggota lain, dan biasanya untuk menuju pada pencapaiannya, yaitu kepuasan subjektif tak jarang terjadi gesekan-gesekan antar individu, hal inilah yang kiranya dapat dikatakan fenomena sosial.

Fenomena sosial terjadi juga karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti misalnya perubahan dalam unsur geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Seperti yang dikatakan

oleh Soerjono Soekanto, “perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu: kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya, bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.”43

Fenomena sosial sendiri mengacu pada banyak bentuk, di ataranya proses sosial dan interaksi sosial seperti asosiatif dan disosiatif; kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat; dinamika kebudayaan; lembaga masyarakat; stratifikasi masyarakat; kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan dalam masyarakat; serta masalah sosial yang terjadi diantaranya yaitu kemiskinan, kejahatan, pelanggaran norma-norma masyarakat, masalah kependudukan dan masalah lingkungan hidup.44

42

Ibid., h.358. 43

Ibid., h.308. 44


(39)

2. Fenomena Sosial dan Proses Kreatif

Kehadiran fenomena sosial yang terjadi meliputi berbagai aspek manusia dan kehidupannya adalah materi yang digambarkan dalam sebuah puisi misalnya

ke dalam bentuk perjalanan hidup manusia yang terjadi di „jalan raya‟ atau „biru langit‟ dan tanpa materi tersebut, sebuah karya sastra pastinya tidak bermakna.

Sebuah karya sastra menjadi menarik karena melibatkan sisi psikologis, sosioligis, filosofis, kultural dan sisi politis yang kesemuanya adalah cerminan pengalaman kehidupan dari penyair. Oleh sebab itu, terkadang banyak sastrawan yang mengungkapkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya tidak dengan cara yang sederhana. Misalnya menggunakan daya imajinasi dan intuisi yang optimal serta perbendaharaan kata untuk menopangnya.

Karya sastra hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri di bawah kenyataan itu sendiri dalam hierarki. Wujud yang ideal tidak bisa menjelma langsung dalam bentuk karya sastra. Tetapi ini tidak berarti bahwa karya sastra sama sekali kehilangan nilai. 45

Puisi merupakan refleksi dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Realita yang terjadi di tengah masyarakat tersebut kemudian dituangkan oleh penyair berdasarkan alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi. Dengan demikian puisi dapat memberikan solusi atau alternatif untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang terjadi dalam arus masyarakat. Sapardi Djoko Damono beranggapan bahwa sastra merupakan bagian cermin kehidupan, dan kehidupan itu berisi kenyataan sosial. Dalam pengertian ini Sapardi menjelaskan bahwa:

Kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarkat dengan orang-orang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi

45


(40)

bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.46

Wellek dan Warren dalam bukunya menyitir pendapat Max Eastman (seorang teoretikus yang juga menulis puisi) yang berpendapat:

“…pengarang—dan terutama penyair—mengira bahwa tugas utama mereka adalah menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Padahal fungsi utama penyair, adalah membuat kita melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depan mata kita, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya

sudah kita ketahui.”47

Pendapat Eastmen semakin kuat manakala Carl Gustav Jung menambahkan bahwa tidak ada bedanya apakah penyair tahu bahwa karyanya tumbuh dengan matang di masyarakat, atau apakah ia beranggapan bahwa dengan menuangkan apa-apa yang ada di pikirannyatelah dapat membuat seorang penyairnya sendiri keluar dari kekosongan, akan tetapi disini Carl Gustav memerlukan dirinya untuk

menekankan bahwa “in this way the work of the poet comes to meet the spiritual need of the society in wich he lives, and for this reason his work means more to him than his personal fate, whether he is aware of this or not.”48

Seorang penyair kerap dianggap sebagai penanggung beban dunia, filsuf, bahkan dalam sastra profetik penyair diibaratkan serupa nabi. Penyair yang peka terhadap lingkungan, ia menyaksikan fenomena sosial yang terjadi di sekelilingnya, secara visual itu ditulis kembali dalam bentuk puisi dengan tambahan-tambahan pokok pikiran yang subjektif namun dengan gubahan bahasa yang lebih khas, sehingga mempunyai keberartian yang lebih dalam dari dimensi

46

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringk as, (Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaa n, 1978), h.1. 47

Wellek & Warren, op. cit., h.31.

48

Dengan cara ini karya penyair datang untuk memenuhi kebutuh an spiritual masyarakat di

tempat ia tinggal, dan untuk alasan ini karyanya lebih berarti baginya daripada nasib pribadinya,

apakah dia menyadari hal ini atau tidak.” Baca: Arthur M.Eastman (ed), et.al.,The Norton Reader:


(41)

visual sebelumnya seperti pendapat Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan;

“Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, penyair itu banyak pula

mendapat inspirasi dari pada perhubungan manusia seorang dengan yang lain. Segala soal-soal masyarakat menggerakan perasaannya.”49

Pada dasarnya seorang penyair sendiri adalah orang yang mampu merayakan hal nampaknya sederhana menjadi peristiwa yang menarik bahkan dahsyat lewat rangkaian kata. Sastrawan memperlakukan kenyataan yang dijadikan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan meniru, memperbaiki, menambah atau menggabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan kedalam karyanya. Kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.50

Menyitir pendapat Frederich Albert Lange dalam Wardi Bachtiar yang beranggapan bahwa puisi merupakan media rekonsiliasi antara kreativitas jiwa dan determinisme serta skeptisme yang dihasilkan oleh fakta sosial.51 Albert Lange menganggap puisi sebagai dunia ketiga yang menghubungkan dunia fisik dengan psikis, subjektif dengan pengetahuan ilmiah objektif, dan pada tahap selanjutnya menghubungkan antara dunia ideal dengan dunia empiris.

Eka Budianta dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyair seperti wartawan, jurnalis, seniman lain yang pada umumnya merupakan perantara atau

„jembatan‟ dalam istilah Eka. Ia berpendapat “…penyair bertugas sebagai

jembatan. Karya-karyanya menghubungkan dunia idea dan dunia kenyataan.”52 Demikianlah proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara peristiwa sosial dalam proses penciptaan yang berpusat pada kesan atau impresi.

49

S. Takdir Alisjahbana, Kebangk itan Puisi Baru Indonesia, (Jakarta: PT. Dian Rakjat, 1978), hal.30.

50

Siswanto, op. cit., h.46.

51

Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006), h.140.

52


(42)

C. Pembelajaran Sastra

1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini

Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat lantaran dianggap „seorang nabi‟, di Cina misalnya. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan-kesannya sebagai berikut:

Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan politikus, mereka menjadi para pemimpin spiritual yang memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di zaman kita. Ini turut menjelaskan mengapa penulis diperlakukan sangat baik oleh

masyarakat.”53

Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang menjumpai banyak kesulitan, entah dari minat siswanya yang kurang, dengan alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan sastra sendiri cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk mengajarkannya.

53

Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul

“Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada

penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit


(43)

Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu. Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan alam (fisika, kimia, dan biologi), serta teknologi modern.54

Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya yang

„ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha memahami dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair yang sering menggunakan simbol, kiasan dan ungkapan-ungkapan tertentu yang membingungkan.55

Walaupun sumber kesulitan itu kadang-kadang berasal dari sifat dasar puisi itu sendiri, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak pula ditemukan puisi yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk dinikmati dan dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya.Puisi-puisi jenis naratif dan dramatik (balada) nampaknya cukup mengesankan dan lebih mudah untuk dipahami bagi pemula.

Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis dan gaya bahasa yang kompleks.56 Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek pembelajaran bahasa dan sastra.

54

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988), h.44.

55

Ibid, h. 46.

56


(44)

Bagi siswa, puisi yang demikian itu tidak akan mudah dilupakan dan sangat berguna pada dirinya sebagai latihan mengkpresikan diri. Keuntungan lebih lanjutnya adalah ketika puisi dapat membantu pembinaan seni berbicara untuk siswa, mengingat puisi disusun berdasarkan referensi bentuk-bentuk bahasa lisan.

2. Sastra dan Implikasinya dalam Proses Pembelajaran

Pada bab sebelumnya telah dijabarkan bagaimana sifat sastra yang pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik, dan pada praktiknya kita dapat menilai bagaimana sastra dan implikasinya dalam proses belajar di bawah ini.

Pertama, sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut

Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri,

dianalisis dan diintegrasikan.”57

Dalam pembelajaran sastra pun siswa di arahkan untuk melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan

57


(45)

membacakan puisi atau prosa. Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi.

Yang kedua, sastra memberi wawasan kebudayaan. Sastra tidak seperti bidang studi pada umumnya yang menyuguhkan pengetahuan dalam bentuk jadi. Ini diibaratkan, jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecahkan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra pun karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis. Dalam hal ini Nyoman Kutha Ratna memberikan contoh, ia menyatakan bahwa, “dalam karya besar bentuk dan isi memperoleh maknanya secara proporsional sebab karya besar

merupakan indikator perkembangan suatu kebudayaan tertentu.”58

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan.

Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri

merupakan objek kultural yang rumit.”59

58

Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fik si dan Fak ta, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), h.515 59


(46)

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra memuat bagaimana semangat zamannya yang bersifat kolektif, yang menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu, apabila kita dapat merangsang siswa-siswa untuk memahami fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi bahwa fakta-fakta itu sendiri jauh lebih penting dibanding karya sastra itu. Hal yang demikian akhirnya memberikan pengalaman yang berbeda ketika menelaah fakta lewat karya sastra sehingga pada akhirnya meningkatkan minat siswa untuk lebih jauh menyelami dunia pembelajaran sastra.

Ketiga, sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam. Tak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti kecuali pendidikan yang menggunakan praktik Brain Wash atau cuci otak. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya.

Di sisi lain, sastra sebagai media pendidikan yang memuat pembelajaran moral diharapkan dapat menjadi tuntunan kearah pembetukan etika, sebagaimana ungkapan Nyoman Kutha Ratna bahwa “memahami karya sastra pada gilirannya merupakan pemahaman terhadap nasihat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak, dan

sebagainya.”60

Sementara Rahmanto berpendapat bahwa seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian

60


(47)

kemungkinan hidup manusia.”61

Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karya sastra merupakan alat untuk mendidik, terlebih jika dikaitkan dengan pesan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana pembelajaran guna mengasah keterampilan berbahasa, menambah wawasan dan membentuk etika pada kepribadian si anak didik.

D. Tinjauan Sosiologi Sastra 1. Pengertian Sosiologi Sastra

Selain empat pendekatan yang dikemukakan oleh Abrams; pendekatan objektif, ekspresif, mimetik, dan pragmatik, masih terdapat lagi kajian sastra yang merupakan interdisipliner dari ilmu sastra dengan ilmu lain. Sosiologi sastra salah satunya yang merupakan interdisipliner ilmu sastra dengan sosiologi. Sosiologi sastra sendiri berasal dari dua kata dari bahasa Yunani, yaitu sosio atau socius

yang berarti bersama-sama, bersatu, kawan atau teman dan logos yang berarti sabda, perkataan, perumpamaan atau ilmu.62

Menurut Sapardi Djoko Damono, sosiologi sastra merupakan pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.63 Dari buku Theory of Literature, yang ditulis oleh Wellek dan Warren, Sapardi menemukan setidaknya ada tiga sub pembahasan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra itu

61

Rahmanto, Op.cit., h. 24

62

Nyoman Kutha Ratna, Paradigma Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.1

63


(48)

sendiri; dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.64 Mengacu pada penemuan Sapardi, maka sosiologi sastra juga bisa dikaitkan dengan pendapat Kutha Ratna yang beranggapan bahwa sosiologi sastra dapat juga disebut sebagai sosiokritik sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.65

Disisi lain, Suwardi Endaswara berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan cabang penelitian yang bersifat reflektif dengan asumsi dasar bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sosisal. Kehidupan sosial yang memicu lahirnya karya sastra. Pendapat Suwardi bertolak dari peryataan Glickberg yang mengemukakan bahwa seperti apapun bentuk karya sastra, fantastis atau mistis sekalipun, berangkat dari fenomena sosial.66

Namun Hippolyte Taine, yang dianggap sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern, mengingat bahwa fenomena sosial karya sastra merupakan fakta yang multi interpretable, yang bagi Taine kadar kepastiannya tidak sebanding jika dibandingkan dengan ilmu pasti.67Namun demikian, sosiologi sastra sudah semestinya tetap berusaha mengungkapkan fakta-fakta seputar sastra yang terbagi atas sastrawan sebagai pencipta karya, karya sastra itu sendiri dan publik sebagai pembaca dan yang menilai karya sastra, sebab masing-masing fakta sastra memiliki persoalan-persoalan teknis sendiri. Hal inilah yang dijelaskan oleh Escarpit, bahwa sosiologi sastra harus dapat memperhatikan kekhasan fakta sastra serta memberikan keuntungan kepada para pengarang dan pembaca dengan cara membantu ilmu sastra secara tradisional, baik sejarah maupun kritik, agar menjadi tugas-tugas khusus yang dicakupnya.68

Jadi kesimpulannya, pendekatan ini berguna untuk mengungkapkan pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang

64

Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h.4

65

Kutha Ratna, op. cit,.h.7

66

Endaswara, op. cit., h.77

67

Ibid,.h.70. 68


(49)

mengaitkan unsur kemasyarakatan dalam melatar belakanginya. Aspek-aspek tersebut meliputi: seberapa jauh peranan atau manfaat karya sastra dalam mengubah struktur masyarakat, seberapa jauh keterlibatan langsung antara pengarang dengan lingkungan sosialnya, proses kreatif penyair dalam menciptakan karyanya sebagai proses sosio-kultural.

E. Penelitian yang Relevan

Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsure-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna menopang peelitian yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.

Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada yang meneliti terkait persoalan

“Fenomena Sosial Dalam Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Dalam hal ini penulis memaparkan bagaimana dalam dua puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur

terdapat suatu gambaran tentang dinamika hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya dan alam sekitarnya yang mempengaruhi juga dalam proses pembentukan karakter seseorang yang tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun menyentuh pada sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia, yaitu sisi moril.

Dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur

merupakan proses kreatif yang merujuk pada sebuah pengamatan fenomena-fenomena atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari penyairnya sendiri, Joko Pinurbo. Implikasi puisi Joko Pinurbo dalam pembelajaran adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam puisi terdapat semacam bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan kembali situasi


(50)

kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta didik, bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan.

Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap puisi-puisi karya Joko Pinurbo ini, dapat dibandingkan dengan skripsi Febry Nur Rafahmi, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, yang

meneliti “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam

Karya Joko Pinurbo”. Dalam penelitiannya ini, Febry berusaha menunjukkan bahwa di dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo ditemukan pemakaian 8 gaya bahasa yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri sesuai bentuk dan konteks penggunaannya.

Menurut hasil temuan Febry, dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo, gaya bahasa metafora dibagi menjadi 6 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) memberi penegasan sifat pada sebuah benda, (2) membentuk frasa-frasa benda yang imajinatif, (3) menciptakan imajinasi absurd untuk memperkaya makna puisi. Gaya bahasa personifikasi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam

dapat dibagi menjadi 4 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) melukiskan ciri fisik, perilaku serta sifat-sifat manusia pada benda mati untuk menghidupkan suasana dalam puisi, (2) melukiskan perilaku binatang pada benda mati untuk menekankan situasi mencekam. Gaya bahasa paradoks dibagi menjadi 2 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) mengungkapkan kritik secara implisit, (2) melukiskan suatu keadaan yang bersifat ironis. Gaya bahasa hiperbola dibagi menjadi 2 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) memberikan kesan dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas jumlah, (2) memberikan kesan dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas suasana. Gaya bahasa sinekdoke dibagi menjadi 2 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; (1) memperindah pelukisan suasana dengan menyebutkan sebagian hal untuk mewakili keseluruhan, (2) memperindah pelukisan suasana dengan menyebutkan keseluruhan hal untuk


(51)

mewakili sebagian dari hal tersebut. Gaya bahasa metonimia dibagi menjadi 5 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) mengkonkretkan suasana berdasarkan hubungan spasial, (2) mengkonkretkan kata benda abstrak, (3) mengkonkretkan sifat dan bentuk. Gaya bahasa aliterasi dibagi menjadi 6 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) menciptakan efek dramatis pada pelukisan suasana, (2) menciptakan efek dramatis pada pelukisan sifat. Sedangkan gaya bahasa asonansi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam tersebut dibagi menjadi 5 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; (1) menciptakan efek dramatis pada keadaan sebuah benda, (2) menciptakan efek dramatis pada sebuah peristiwa. Peneliti memaknai setiap gaya bahasa berdasarkan interpretasi peneliti sendiri.

Penelitian yang dikerjakan oleh Febry Nur Rafahmini merupakan penelitian kualitatif. Data penelitiannya ini berupa paparan teks puisi dalam kumpulan puisi

Telepon Genggam karya Joko Pinurbo. Data ini diperoleh dari 32 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai instrumen kunci dengan teknik dokumentasi dan dibantu tabel pengumpul data. Analisis data dilakukan dengan pendekatan semiotik. Dalam penelitian ini, digunakan triangulasi sumber, triangulasi peneliti, triangulasi metode, maupun triangulasi teori untuk pemeriksaan keabsahan data.

Sementara itu, Teguh Susanto yang juga mengambil jurusan di universitas yang sama dengan Febry Nur Rafahmini, di Universitas Negeri Malang, juga

menganalisis puisi karya Joko Pinurbo. Teguh menganalisis “Relasi Struktural-Semiotik dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo”.

Penelitian yang dikerjakan oleh Teguh ini bertujuan untuk mengetahui relasi struktural dan semiotik dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo yang meliputi deskripsi (1) penggunaan pola rima (pola rima aliterasi dan pola rima asonansi); (2) penggunaan kata (denotatif dan konotatif); (3) penggunaan citraan (visual, auditif, kinaesthetik, dan taktil); (4) penggunaan majas


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Kritik Sosial Dalam Novel The Da Peci Code Karya Ben Sohib Dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia

3 87 104

Kritik Sosial dalam Puisi Esai "Manusia Gerobak" karya Elza Peldi Taher dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

4 28 130

Nilai Sosial dalam Novel Kubah Karya Ahmad Tohari dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra di SMA

45 364 133

Social phenomenon in poetry money message and shave before sleep by joko pinurbo

0 5 24

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

9 84 213

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Perbandingan gaya bahasa pada Puisi Ibu karya Mustofa Bisri dengan lirik Lagu Keramat karya Rhoma Irama serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

9 226 155

BAHASA FIGURATIF DALAM KUMPULAN PUISI KEPADA CIUM KARYA JOKO PINURBO: TINJAUAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA Bahasa Figuratif Dalam Kumpulan Puisi Kepada Cium Karya Joko Pinurbo: Tinjauan Stilistika Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa Indone

1 4 15

BAHASA FIGURATIF DALAM KUMPULAN PUISI KEPADA CIUM KARYA JOKO PINURBO: TIJNAUAN STILISTIKA DAN IMPLEMENTASINYA SEBAGAI Bahasa Figuratif Dalam Kumpulan Puisi Kepada Cium Karya Joko Pinurbo: Tinjauan Stilistika Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Bahasa

0 4 16

KAJIAN STILISTIKA ANTOLOGI PUISI BAJU BULAN KARYA JOKO PINURBO

0 1 14