sendiri; dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
64
Mengacu pada penemuan Sapardi, maka sosiologi sastra juga bisa dikaitkan dengan pendapat Kutha Ratna yang beranggapan bahwa
sosiologi sastra dapat juga disebut sebagai sosiokritik sastra, dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya.
65
Disisi lain, Suwardi Endaswara berpendapat bahwa sosiologi sastra merupakan cabang penelitian yang bersifat reflektif dengan asumsi dasar bahwa
karya sastra tidak lahir dalam kekosongan sosisal. Kehidupan sosial yang memicu lahirnya karya sastra. Pendapat Suwardi bertolak dari peryataan
Glickberg yang mengemukakan bahwa seperti apapun bentuk karya sastra, fantastis atau mistis sekalipun, berangkat dari fenomena sosial.
66
Namun Hippolyte Taine, yang dianggap sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern, mengingat bahwa fenomena sosial karya sastra merupakan fakta
yang multi interpretable, yang bagi Taine kadar kepastiannya tidak sebanding jika dibandingkan dengan ilmu pasti.
67
Namun demikian, sosiologi sastra sudah semestinya tetap berusaha mengungkapkan fakta-fakta seputar sastra yang
terbagi atas sastrawan sebagai pencipta karya, karya sastra itu sendiri dan publik sebagai pembaca dan yang menilai karya sastra, sebab masing-masing fakta
sastra memiliki persoalan-persoalan teknis sendiri. Hal inilah yang dijelaskan oleh Escarpit, bahwa sosiologi sastra harus dapat memperhatikan kekhasan fakta
sastra serta memberikan keuntungan kepada para pengarang dan pembaca dengan cara membantu ilmu sastra secara tradisional, baik sejarah maupun kritik,
agar menjadi tugas-tugas khusus yang dicakupnya.
68
Jadi kesimpulannya,
pendekatan ini
berguna untuk mengungkapkan
pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang
64
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, h.4
65
Kutha Ratna, op. cit,.h.7
66
Endaswara, op. cit., h.77
67
Ibid,.h.70.
68
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, hlm.14.
mengaitkan unsur kemasyarakatan dalam melatar belakanginya. Aspek-aspek tersebut meliputi: seberapa jauh peranan atau manfaat karya sastra dalam
mengubah struktur masyarakat, seberapa jauh keterlibatan langsung antara pengarang
dengan lingkungan
sosialnya, proses
kreatif penyair
dalam menciptakan karyanya sebagai proses sosio-kultural.
E. Penelitian yang Relevan
Hasil dari proses penelitian atau analisis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unsure-unsur lainnya, baik yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan pemasalahan yang dibahas oleh seorang peneliti. Sebuah karya ilmiah mutlak membutuhkan refrensi atau sumber acuan guna menopang peelitian
yang dikerjakannya. Tinjauan pustaka dapat bersumber dari makalah, skripsi, jurnal, internet atau yang lainnya.
Sejauh yang peneliti ketahui, belum ada yang meneliti terkait persoalan “Fenomena Sosial Dalam Puisi Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur Karya
Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
”. Dalam hal ini penulis memaparkan bagaimana dalam dua puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur
terdapat suatu gambaran tentang dinamika hubungan manusia dengan lingkungan sosialnya dan alam sekitarnya yang mempengaruhi juga dalam proses pembentukan
karakter seseorang yang tidak hanya berdampak pada sisi materi, namun menyentuh pada sisi yang lebih dalam lagi dalam kehidupan manusia, yaitu sisi moril.
Dua puisi karya Joko Pinurbo, yaitu Pesan Uang dan Bercukur Sebelum Tidur merupakan proses kreatif yang merujuk pada sebuah pengamatan fenomena-
fenomena atau peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari penyairnya sendiri, Joko Pinurbo. Implikasi puisi Joko Pinurbo dalam pembelajaran
adalah bagaimana peserta didik memahami bahwa di dalam puisi terdapat semacam bentuk komunikasi secara artistik yang dapat menciptakan kembali situasi
kemanusiaan dan hubungan kemanusiaan. Ini dimaksudkan untuk menanamkan kesadaran pada peserta didik, bahwa puisi memiliki fungsi yang esensial dalam
pembinaan proses pemanusiaan insan-insan modern yang selalu dilanda oleh konflik-konflik yang tak terselesaikan.
Berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian terhadap puisi-puisi karya Joko Pinurbo ini, dapat dibandingkan dengan skripsi Febry Nur Rafahmi,
Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, yang meneliti “Penggunaan Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam
Karya Joko Pinurbo ”. Dalam penelitiannya ini, Febry berusaha menunjukkan
bahwa di dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo ditemukan pemakaian 8 gaya bahasa yang masing-masing memiliki fungsi tersendiri sesuai
bentuk dan konteks penggunaannya. Menurut hasil temuan Febry, dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya
Joko Pinurbo, gaya bahasa metafora dibagi menjadi 6 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; 1 memberi penegasan sifat pada sebuah benda, 2 membentuk frasa-
frasa benda yang imajinatif, 3 menciptakan imajinasi absurd untuk memperkaya makna puisi. Gaya bahasa personifikasi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam
dapat dibagi menjadi 4 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; 1 melukiskan ciri fisik, perilaku serta sifat-sifat manusia pada benda mati untuk menghidupkan
suasana dalam puisi, 2 melukiskan perilaku binatang pada benda mati untuk menekankan situasi mencekam. Gaya bahasa paradoks dibagi menjadi 2 bentuk dan
memiliki fungsi antara lain; 1 mengungkapkan kritik secara implisit, 2 melukiskan suatu keadaan yang bersifat ironis. Gaya bahasa hiperbola dibagi
menjadi 2 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; 1 memberikan kesan dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas jumlah, 2 memberikan kesan
dramatis dengan melebih-lebihkan intensitas suasana. Gaya bahasa sinekdoke dibagi menjadi 2 bentuk dan memiliki fungsi antara lain; 1 memperindah
pelukisan suasana dengan menyebutkan sebagian hal untuk mewakili keseluruhan, 2 memperindah pelukisan suasana dengan menyebutkan keseluruhan hal untuk
mewakili sebagian dari hal tersebut. Gaya bahasa metonimia dibagi menjadi 5 kelompok
dan memiliki fungsi antara lain; 1 mengkonkretkan suasana
berdasarkan hubungan spasial, 2 mengkonkretkan kata benda abstrak, 3 mengkonkretkan sifat dan bentuk. Gaya bahasa aliterasi dibagi menjadi 6 kelompok
dan memiliki fungsi antara lain; 1 menciptakan efek dramatis pada pelukisan suasana, 2 menciptakan efek dramatis pada pelukisan sifat. Sedangkan gaya
bahasa asonansi dalam kumpulan puisi Telepon Genggam tersebut dibagi menjadi 5 kelompok dan memiliki fungsi antara lain; 1 menciptakan efek dramatis pada
keadaan sebuah benda, 2 menciptakan efek dramatis pada sebuah peristiwa. Peneliti memaknai setiap gaya bahasa berdasarkan interpretasi peneliti sendiri.
Penelitian yang dikerjakan oleh Febry Nur Rafahmini merupakan penelitian kualitatif. Data penelitiannya ini berupa paparan teks puisi dalam kumpulan puisi
Telepon Genggam karya Joko Pinurbo. Data ini diperoleh dari 32 puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai instrumen kunci dengan teknik dokumentasi dan dibantu tabel pengumpul data. Analisis data dilakukan
dengan pendekatan semiotik. Dalam penelitian ini, digunakan triangulasi sumber, triangulasi peneliti, triangulasi metode, maupun triangulasi teori untuk pemeriksaan
keabsahan data. Sementara itu, Teguh Susanto yang juga mengambil jurusan di universitas yang
sama dengan Febry Nur Rafahmini, di Universitas Negeri Malang, juga menganalisis puisi karya Joko Pinurbo. Teguh menganalisis “Relasi Struktural-
Semiotik dalam Kumpulan Puisi Telepon Genggam karya Joko Pinurbo ”.
Penelitian yang dikerjakan oleh Teguh ini bertujuan untuk mengetahui relasi struktural dan semiotik dalam kumpulan puisi Telepon Genggam karya Joko
Pinurbo yang meliputi deskripsi 1 penggunaan pola rima pola rima aliterasi dan pola rima asonansi; 2 penggunaan kata denotatif dan konotatif; 3 penggunaan
citraan visual,
auditif, kinaesthetik,
dan taktil;
4 penggunaan
majas