visual sebelumnya seperti pendapat Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan; “Sebagai manusia yang berhubungan dengan manusia, penyair itu banyak pula
mendapat inspirasi dari pada perhubungan manusia seorang dengan yang lain. Segala soal-
soal masyarakat menggerakan perasaannya.”
49
Pada dasarnya seorang penyair sendiri adalah orang yang mampu merayakan hal nampaknya sederhana menjadi peristiwa yang menarik bahkan
dahsyat lewat rangkaian kata. Sastrawan memperlakukan kenyataan yang dijadikan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan meniru, memperbaiki,
menambah atau menggabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan kedalam karyanya. Kenyataan yang ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan
pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra.
50
Menyitir pendapat Frederich Albert Lange dalam Wardi Bachtiar yang beranggapan bahwa puisi merupakan media rekonsiliasi antara kreativitas jiwa
dan determinisme serta skeptisme yang dihasilkan oleh fakta sosial.
51
Albert Lange menganggap puisi sebagai dunia ketiga yang menghubungkan dunia fisik
dengan psikis, subjektif dengan pengetahuan ilmiah objektif, dan pada tahap selanjutnya menghubungkan antara dunia ideal dengan dunia empiris.
Eka Budianta dalam tulisannya menjelaskan bahwa penyair seperti wartawan, jurnalis, seniman lain yang pada umumnya merupakan perantara atau
„jembatan‟ dalam istilah Eka. Ia berpendapat “…penyair bertugas sebagai jembatan. Karya-
karyanya menghubungkan dunia idea dan dunia kenyataan.”
52
Demikianlah proses kreatif dalam menciptakan karya sastra, yang
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara peristiwa sosial dalam proses penciptaan yang berpusat pada kesan atau impresi.
49
S. Takdir Alisjahbana, Kebangk itan Puisi Baru Indonesia, Jakarta: PT. Dian Rakjat, 1978, hal.30.
50
Siswanto, op. cit., h.46.
51
Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik , Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2006, h.140.
52
Budianta, Op.cit., h.1.
C. Pembelajaran Sastra
1. Sastra dalam Pembelajaran Hari Ini
Di kalangan masyarakat tertentu, penyair memperoleh gelar terhormat lantaran
dianggap „seorang nabi‟, di Cina misalnya. Pramoedya menuliskan pengalamanya dalam menghadiri suatu konfrensi yang diadakan di Cina, yang
dimuat dalam Mimbar Indonesia pada tahun 1957. Pramoedya menuliskan kesan- kesannya sebagai berikut:
Para penulis Cina menempati kedudukan yang tinggi. Suara mereka didengarkan oleh masyarakat. Bersama dengan politikus,
mereka menjadi para pemimpin spiritual yang memegang peran sangat penting dalam pembangunan bangsa di zaman kita. Ini turut
menjelaskan mengapa penulis diperlakukan sangat baik oleh
masyarakat.”
53
Meski demikian, sampai hari ini proses pembelajaran puisi tak jarang menjumpai banyak kesulitan, entah dari minat siswanya yang kurang, dengan
alasan mulai dari sulitnya memahami bahasa puisi yang dianggap di luar kebiasaan dari proses berkomunikasi sehari-hari, sampai dengan alasan yang
menganggap bahwa membaca atau menulis puisi merupakan proses yang membosankan dan tak lagi berguna dibandingkan bidang studi lainnya yang
memberikan ilmu pengetahuan secara jelas. Bahkan tidak jarang proses pembelajaran puisi menjadi tersendat karena disebabkan para guru bahasa dan
sastra sendiri
cenderung menghindarinya karena merasa kesulitan untuk
mengajarkannya.
53
Sebenarnya pendapat Pramoedya ini pertama kali ditulis di Mimbar Indonesia dengan judul “Sedikit tentang Pengarang Tiongkok” pada tanggal 19 Januari 1957, di halaman 57, namun pada
penelitian ini penulis menyitir pendapat Pramoedya dari: Hong Liu, Goenawan Mohamad dan Summit Kumar Mandal, Pram dan Cina, Depok: Komunitas Bambu, 2008, h.25.
Menurut Rahmanto, pada umumnya dalam usaha mengajarkan bagaimana cara menikmati puisi, dijumpai dua macam hambatan yang cukup mengganggu.
Yang pertama, adanya anggapan kebanyakan orang yang menyatakan bahwa secara praktis puisi sudah tak berguna lagi, merujuk pada gaya hidup kekinian
dalam dunia praktis yang banyak tergantung pada ilmu bisnis, ilmu pengetahuan alam fisika, kimia, dan biologi, serta teknologi modern.
54
Hambatan yang kedua bagi Rahmanto adalah pandangan yang disertai prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada diksi-diksinya yang
„ruwet‟. Pandangan semacam ini mungkin sekali berasal dari para siswa yang berkemauan keras untuk melakukan yang terbaik dengan berusaha memahami
dan menikmati sajak-sajak terkenal yang ditulis oleh para penyair yang sering menggunakan
simbol, kiasan
dan ungkapan-ungkapan
tertentu yang
membingungkan.
55
Walaupun sumber kesulitan itu kadang-kadang berasal dari sifat dasar puisi itu sendiri, namun untuk keperluan pengajaran puisi banyak pula ditemukan puisi
yang sangat mengesankan dan cukup mudah untuk dinikmati dan dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya.Puisi-puisi jenis naratif dan dramatik
balada nampaknya cukup mengesankan dan lebih mudah untuk dipahami bagi pemula.
Hal yang paling penting menurut Rahmanto adalah agar para pengajar tidak terlalu terburu-buru dalam membebani para siswa dengan istilah-istilah teknis dan
gaya bahasa yang kompleks.
56
Dalam beberapa hal, puisi memang merupakan bahasa dan yang padat dan penuh arti, jadi apabila bahasa dan pokok persoalan
puisi itu mempunyai keselarasan, niscaya siswa akan merasa dirinya menghadapi sesuatu yang mengesankan dan memerlukan perhatian khusus dalam praktek
pembelajaran bahasa dan sastra.
54
B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Penerbit Kanisisus, 1988, h.44.
55
Ibid, h. 46.
56
Ibid, h.48.