42
Pengadilan Agama dalam memberikan pertimbangan pada saat menetapkan keputusan merujuk pada kitab fikih tersebut.
Meskipun fikih itu bersumber dari al-Quran dan Hadits, namun fikih itu beragam sesuai dengan perkembangan aliran pikiran tertentu yang kemudian disebut
madzhab. Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti
madzhab imam syafi’i, tanpa menutup adanya madzhab lain, meskipun kecil. Madzhab imam syafi’i kemudian dikembangkan oleh pengikutnya dalam suatu
wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam sebuah wacana tidak menjadi masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk pada
fikih yang berbeda menghasilakan penetapan yang berbeda mengenai suatu kasus yang sama, barulah itu menimbulkan masalah.
Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita mengumpulakan kitab fikih yang menjadi rujukan Peradilan Agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam
satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama menteri agama, dengan
melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
53
2. Faraidh Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI
53
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. 1, h. 327
43
Hukum kewarisan dalam KHI merupakan hasil kaji ulang dan ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum
lainnya, sesuai dengan petunjuk syariat Islam, sehingga dapat membawa pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia yang:
54
a. Selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,
b. Mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan teori ilmu
hukum, administrasi dan manajemen, c.
Dapat menjalankan fungsinya sebagai pengatur untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, sebagai pengayom untuk melindungi kebenaran
dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri dibawah naungan dan ridla Allah SWT.
Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat 23 pasal yang mengatur tentang kewarisan, mulai dari pasal 171 sampai dengan pasal 193. Yang dimaksud dengan
hukum kewarisan menurut KHI pasal 171 a adalah “Hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harata peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.
55
Pasal 171 tentang ketentuan umum, yaitu menjelaskan tentang hukum kewarisan sebagaimana juga terdapat dalam kitab-kitab fikih dengan rumusan yang
54
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen, 2009, Cet. 1, h. 30
55
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992 , Cet. 1, h. 155
44
berbeda. Membicarakan tentang pewaris dan syaratnya, ahli waris dan syaratnya. Hal ini serupa dengan yang dibicarakan dalam fikih sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Begitu juga anak pasal selanjutnya telah sejalan dengan fikih. Pasal 172 menjelaskan tentang identitas keislaman seseorang dalam hal yang
bersifat administratif. Walaupun tidak ada dalam fikih tapi tidak menyalahi substansi fikih itu.
Pasal 173 menjelaskan tentang halangan kewarisan yang format dan substansinya sedikit berbeda dengan fikih, dengan rumusan:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
56
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris. b.
Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat. Dalam anak pasal a dinyatakan pembunuh sebagai penghalang kewarisan
telah sejalan dengan fikih. Namun, dijadikannya percobaan pembunuhan, penganiayaan, apalagi memfitnah sebagai halangan kewarisan, jelas tidak sejalan
dengan fikih madzhab manapun. Dalam fikih hanya pembunuhan yang disengaja yang dapat menjadi penghalang, sedangkan yang tidak disengaja masih merupakan
perdebatan yang berujung pada perbedaan pendapat dikalangan ulama. Fikih
56
Ibid, h. 156
45
beranggapan bahwa kewarisan itu adalah hak seseorang yang ditetapkan dalam al- Quran dan tidak dapat dicabut kecuali ada dalil yang kuat seperti hadits Nabi SAW.
Dicabutnya hak seseorang hanya karena percobaan pembunuhan, penganiayaan atau memfitnah meskipun hal tersebut merupakan kejahatan namun tidak dapat
menghilangkan hak yang pasti, apalagi jika sebelum meninggal Pewaris telah memaafkannya. Oleh karena itu, pasal ini masih perlu dipertanyakan.
Pasal 174 menjelaskan tentang ahli waris, baik dalam hubungan darah atau perkawinan telah sejalan dengan fikih.
Pasal 175 menjelaskan tentang kewajiban ahli waris terhadap harta sebelum dibagikannya harta tersebut kepada ahli waris telah sejalan dengan fikih.
Pasal i76 menjelaskan tentang bagian anak dalam kewarisan, baik dalam keadaan sendiri atau bersama telah sejalan dengan ayat al-Quran dan rumusannya
dalam fikih. Pasal 177 menjelaskan tentang bagian ayah. Dirumuskan sebagai berikut:
“Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak; bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”.
57
Walaupun pasal ini telah mengalami perubahan, tetapi tidak mengubah secara substansial. Dijelaskan bahwa ayah menerima seperenam dalam keadaan pewaris
meninggalkan anak, hal ini jelas sesuai dengan al-Quran, dan rumusannya dalam fikih. Tetapi menetapkan ayah menerima bagian sepertiga dalam keadaan tidak ada
57
Ibid, h. 157
46
anak, tidak terdapat dalam al-Quran dan tidak tersebut dalam kitab fikih manapun, termasuk syi’ah.
Ayah mungkin mendapat sepertiga tetapi tidak sebagai furudh, itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima sepertiga
harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mzhab jumhur ahlu sunah, namun bukan sepertiga untuk ayah sebagaimana yang disebutkan dalam kompilasi. Hal
tersebut merupakan ijtihad baru yang bertujuan untuk melindungi jangan sampai bagian ayah lebih kecil dari bagian ibu, tapi sekurang-kurangnya sama besar. Apabila
al-Quran dan fikih yang dijadikan ukuran, maka pasal ini jelas salah secara substansial. Karena bunyi pasal ini terdapat kekeliruan yang sangat signifikan, maka
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor MAKumdil148VIK1994 tanggal 28 Juni 1994, SURAT EDARAN No. 2 Tahun
1994 Tentang Pengertian Pasal 177 KHI, pasal ini berbunyi: “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami
dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”.
58
Berdasarkan bunyi pasal 177 yang telah direvisi ini, maka bagian ayah ada 3 tiga macam, yaitu:
a. Menerima ashobah, yakni bila pewaris tidak meninggalkan anak.
b. Menerima sepertiga bagian, yakni apabila pewaris tidak meninggalkan anak
tetapi meninggalkan suami dan ibu. c.
Menerima seperenam bagian, yakni apabila pewaris meninggalkan anak.
58
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen, 2009, Cet. 1, h. 114
47
Pasal 178 menjelaskan tentang bagian ibu dalam tiga kemungkinannya dan pasal 179-180 membahas tentang bagian duda dan janda dalam dua kemungkinannya
telah sesuai dengan al-Quran dan rumusannya dalam fikih. Pasal 181 membahas tentang bagian saudara seibu. Pasal 182 tentang bagian
saudara kandung dan seayah dalam segala kemungkinannya, semuanya telah sejalan dengan al-Quran dan fikih.
Pasal 183 tentang usaha perdamaian yang yang menghasilkan pembagian yang berbeda dari petunjuk atas dasar kerelaan bersama. Secara formal, hal tersebut
tidak dijelaskan dalam fikih, akan tetapi pembagian seperti itu dapat diterima dengan menggunakan pendekatan pemahaman takharuj yang dibenarkan dalam mazhab
hanafi. Pasal 184 tentang pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa untuk
mengurus hak warisnya. Meskipun tidak dinyatakan dalam kitab-kitab fikih, namun karen telah sejalan dengan kehendak al-Quran surat an-Nisa ayat 5, maka pasal ini
dapat diterima. Pasal 185 mengenai ahli waris pengganti, dirumuskan sebagai berikut:
59
1 Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka
kedudukannya dapat diganti oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam pasal 173.
59
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992, Cet. 1, h.158
48
2 Bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Anak pasal 1 secara tersurat mengakui adanya ahli waris pengganti, yang
merupakan hal baru untuk hukum kewarisan Islam. Perkara ini dikatakan baru karena di timur tengah pun belum ada Negara yang mngatur hal ini, sehingga mereka mereka
perlu menampungnya dalam lembaga wasiat wajibah. Anak pasal ini amat bijaksana dengan menggunakan kata “dapat” yang tidak mengandung maksud imperative. Hal
ini berarti bahwa dalam keadaan tertentu yang kemaslahatan menghendaki keberadaan ahli waris pengganti dapat diakui, namun dalam keadaan tertentu bila
keadaan menghendaki, tidak diberlakukannya ahli waris pengganti. Anak pasal 2 menghilangkan kejanggalan penerimaan adanya ahli waris
pengganti dengan tetap menganut asas perimbangan laki-laki dan perempuan. tanpa anak pasal ini sulit untuk dilaksanakannya penggantian ahli waris karena ahli waris
pengganti itu menurut asalnya hanya sesuai dengan system barat yang menempatkan kedudukan anak laki-laki sama dengan anak perempuan.
Pasal-pasal selanjutnya yaitu pasal 186-193 telah sesuai dengan yang dirumuskan dalam fikih. Meskipun ada beberapa pasal yang tidak diatur dalam fikih
karena menyangkut masalah administratif, namun hal tersebut sesuai dengan prinsip kemaslahatan, maka pasal-pasal itu dapat diterima.
Secara umum pasal demi pasal yang berkenaan dengan kewarisan dalam KHI tersebut sudah sejalan dengan apa-apa yang dijelaskan dalam kitab fikih, namun tidak
49
dapat dipungkiri ada beberapa hal krusial dan beberapa perbedaan disana-sini yang menempatkan hukum kewarisan Islam dalam bentuk yang baru.
C. Konsep Keadilan Dalam Pembagian Harta Waris