30
syariat atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini, bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala’.
34
Sebagaimana sabda rasulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, yaitu:
ﺎ ﻦ مﺎ ه ﺎﻨ ﺪ ﺮ ﻦ ﻔ ﺎﻨ ﺪ ﺎ ﻬﻨ ﷲا ﻲ ر ﺮ ﻦ ا ﻦ
لﺎ :
نأ ﺔ ﺋﺎ تدارأ ﻪﻴ ﷲا ﻰ ﻲ ﻨ ا لﺎ ءﻻﻮ ا نﻮﻃﺮﺘ ﻬ إ ﺳ و ﻪﻴ ﷲا ﻰ ﻲ ﻨ ﺎ ةﺮ ﺮ يﺮﺘ
ﺳ و ﺘ أ ﻦ ءﻻﻮ ا ﺎ ﺈ ﺎﻬ ﺮﺘ ا
35
Dari Abdullah bin Musalamah dari al-Lais dari Ibnu Syihab dari Urwah bahwasanya aisyah r.a… kemudian kepada perempuan itu Rasulullah SAW bersabda:
“Merdekakanlah maka sesungguhnya hak wala’ itu untuk orang yang memerdekakan…”
4. Karena Agama
Agama merupakan sebab seseorang saling mewarisi satu sama lain. Apabila Pewaris meninggalkan anak atau siapapun yang menurut pertalian darah atau
perkawinan dia merupakan ahli waris tetapi dia tidak beragama Islam, maka dia tidak berhak menerima warisan, begitu pula sebaliknya. Dalam sebuah hadits dijelaskan:
ص ﻰ ّﻨ ا ّنا ﺪ ز ﻦ ﺔ ﺎﺳأ ﻦ .
ا ﺮ ﺎﻜ ا ﻻو ﺮ ﺎﻜ ا ا ثﺮ ﻻ لﺎ م
36
Artinya: “Usamah bin Zaid ra. bahwa Nabi SAW bersabda: “Orang Islam tidak menerima pusaka dari orang kafir, dan orang kafir tidak akan menerima pusaka
dari orang Islam.” HR. Bukhari
d. Asas-asas Kewarisan
34
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris. Penerjemah H. Addys, dkk Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004, Cet. 1, h.40
35
ﺪ ﺤ ﻦ
ﻴﻋﺎ ﺳإ ﻮ أ
ﷲاﺪ ﻋ يرﺎﺨ ا
ﻲﻔ ا ،
ﺢﻴﺤ يرﺎﺨ ا
; ﺎ ا
ﺢﻴﺤ ا ﺮ ﺘﺨ ا
، راد
ﻦ ا ﺮﻴﺜآ
، ﺔ ﺎ ﻴ ا
- توﺮﻴ
: 1407
– 1987
‚ دﺪﻋ
ءاﺰﺟﻷا :
6 ‚
ص .
2476
36
Maftuh Hanan, Mutiara Hadits; Shahih Bukhary. Gresik: CV Bintang Pelajar, 1986, h. 292
31
Sebagai hukum agama yang bersumber dari wahyu Allah SWT, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas. Asas-asas ini dalam beberapa hal
berlaku pula dalam hukum kewarisan Islam yang bersumber dari akal manusia. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan
sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas Ijbari
Kata ijbari secara leksikal mengandung arti paksaan compulsory, yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Pengertian wali mujbir dalam
terminologi fikih munakahat mengandung arti bahwa wali dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anaknya dan tanpa memerlukan persetujuan dari anak yang
hendak dikawinkannya itu. Begitu pula kata jabari. Dalam terminologi ilmu kalam mengandung arti paksaan, dengan arti semua perebuatan yang dilakukan oleh seorang
hamba, bukanlah atas kehendak dari hamba tersebut, melainkan atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam jabariyah.
37
Dengan demikian peralihan harta secara ijbari adalah peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan
sendirinya. Asas ini memberikan pengertian bahwa apabila pewaris meninggal dunia, maka segala haknya akan berpindah secara langsung kepada ahli warisnya.
37
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet .1, h.17
32
Perpindahan tersebut tidak semata-mata atas keinginan dan kehendak ahli waris, melainkan pembagiannya telah ditentukan mengenai besar kecilnya, sehingga tidak
ada otoritas bagi manusia untuk memberikan bagiannya dengan lebih atau menguranginya apalagi meniadakannya.
38
Adanya unsur ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak memberatkan orang yang akan menerima waris. Kewajiban ahli waris adalah menolong membayarkan
utang Pewaris dengan harta warisannya, bila Pewaris tidak meninggalkan harta, maka ahli waris wajib melunasi utang Pewaris dengan hartanya sendiri. Hal demikian wajib
dilaksanakan oleh setiap muslim, karena Allah SWT tidak akan menerima amal ibadah orang yang masih mempunyai utang semasa hidupnya. Sebagaimana dalam
kitab bukhari dijelaskan:
ا ﻦ ﺔ ﺳ ﻦ ﺪﻴ ﻰ أ ﻦ ا ﺪ ﺰ ﻦ ﺎ ﻮ ا ﺎﻨ ﺪ ﻰ ﻨ ا نأ ﻪﻨ ﷲا ﻰ ر عﻮآﻷ
ﻰ أ ﻪﻴ ﻰ ﻻ اﻮ ﺎ ﻦ د ﻦ ﻪﻴ ه لﺎ ﺎﻬﻴ ﻰ ﻴ ةزﺎﻨﺠ ﻰ أ ﺳو ﻪﻴ ﷲا ﻰ
ﻪﻨ د ﻰ ةدﺎﺘ ﻮ أ لﺎ ﻜ ﺎ ﻰ اﻮ لﺎ اﻮ ﺎ ﻦ د ﻦ ﻪﻴ ه لﺎ ىﺮ أ ةزﺎﻨﺠ ﻲ ﻰ
ﷲا لﻮﺳرﺎ
39
Artinya: Dari Abu Asim dari Yazid Ibnu Abi Abid dari Salamah bin al-Uku’i ra. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mendatangi jenazah
untuk menshalatkannya. Beliau bertanya: “Apakah mayit ini mempunyai utang?” Kemudian para sahabat menjawab, “Tidak”. Kemudian rasul menshalatkannya.
Setelah itu dihadapkan kepada beliau mayat yang lain, beliau bertanya: “Apakah dia mempunyai utang?” Sahabat menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata: “Shalatkanlah
mayat lain yang menjadi saudaramu”. Kemudian berkata Abu Qatadah: “Saya yang
38
Baidlowi, Ketentuan Hak Waris Saudara Dalam Konteks Hukum Islam, Mimbar Hukum, 1999 Cet.10, h. 12
39
ﺪ ﺤ ﻦ
ﻴﻋﺎ ﺳإ ﻮ أ
ﷲاﺪ ﻋ يرﺎﺨ ا
، يرﺎﺨ ا
، رﻮﻨ ا ﺔآﺮﺷ
ﺁ ﺎﻴﺳ
‚ دﺪﻋ
ءاﺰﺟﻷا :
‚ ص
: ٩
33
akan menanggung semua utang mayat ini ya Rasulullah”. Kemudian Rasul bersedia menshalatkannya mayat yang masih mempunyai tanggungan itu.
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari: 1.
Segi Peralihan Harta Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati
itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itu, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta,
bukan pengalihan harta, karena pada peralihan harta berarti beralih dengan sendirinya, sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang untuk mengalihkan.
Asas ijbari dalam peralihan harta dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surat an- Nisa 4:7. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa dalam jumlah harta yang
ditinggalkan si pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris dengan tidak perlu pewaris menjanjikan akan memberikan sebelum ia meninggal, begitu pula ahli
waris tidak perlu meminta haknya. 2.
Segi Jumlah Pembagian Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian ahli waris dalam harta
warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan
itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa.
3. Segi Kepada Siapa Harta Itu Beralih
34
Bentuk ijbari dari segi penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti sehingga tidak ada
suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukan orang lain dan mengeluarkan orang yang berhak.
b. Asas Bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis
keturunan laki-laki maupun dari pihak garis keturunan perempuan.
40
Asas ini secara nyata dapat dilihat dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 7, 11, 12 dan176.
Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa baik seorang laki-laki maupun seorang perempuan berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya.
Ayat ini merupakan dasar dari kewarisan bilateral. Kemudian dalam ayat-ayat yang lainnya dikemukakan bahwa kewarisan itu beralih kebawah anak-anak, keatas
ayah-ibu dan kesamping saudara-saudara dari kedua belah pihak garis keluarga garis laki-laki dan garis perempuan.
c. Asas Individual
Hukum kewarisan Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, yang berarti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perorangan.
Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan
40
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam: di Pengadilan Agama dan Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata BW di Pengadilan Negeri
, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, Cet. 1, h. 120
35
ahli waris yang lain.
41
Hal ini dapat kita pelajari dalam al-Quran Surat an-Nisa ayat 11:
42
1. Bahwa anak laki-laki mendapat dua kali dari bagian anak perempuan.
2. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih bagiannya dua per tiga dari
harta peninggalan. 3.
Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka bagiannya separuh dari harta peninggalan.
Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban, yang dalam istilah ushul fikih disebut ahliyat al wujub.
43
Dalam pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan
itu dan berhak pula berbuat demikian.
44
Pembagian secara individual merupakan ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi yang berat di akhirat atas
pelanggarannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 13 dan 14.
41
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. 1, h. 21
42
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1981, Cet. 1 hal. 23
43
Ahliyyah wujub adalah kelayakan seorang manusia untuk ditetapkan padanya hak dan kewajiban. Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Sinar
Grafika Offset,2005, Cet. 1, h.3
44
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet.1, h. 21
36
⌧ ⌧
Artinya: 13. “Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. 14. Dan Barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan”. Q.S an-Nisa 4:13 dan 14
Jika telah terlaksana pembagian secara terpisah untuk setiap ahli waris, maka
unutk seterusnya ahli waris memiliki hak penuh untuk berbuat dan bertindak atas harta yang didapatnya itu. Walaupun dibalik kebebasan menggunakan harta tersebut
berlaku ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak, yang dalam ushul fikih disebut ahliyat al-‘ada’.
45
d. Asas Keadilan Berimbang
Kata adil merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata al- adlu
. Dalam al-Quran kata al-adlu atau turunannya disebutkan lebih dari 28 kali. Sebagian diantaranya diturunkan Allah SWT dalam bentuk kalimat perintah dan
sebagian lainnya dalam bentuk kalimat berita. Kata al-adlu dikemukakan dalm konteks yang berbeda dan arah yang berbeda pula, sehingga memberikan definisi
yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan penggunaannya. Dalam hubungannya
45
Ahliyyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hokum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang positif maupun negative.
Lihat Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Sinar Grafika Offset,2005, Cet. 1, h. 2
37
dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan kewarisan, kata tersebut dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. Atas dasar pengertian diatas, maka asas keadilan dalam pembagian harta warisan
menurut Islam secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan. Artinya pria dan wanita mendapatkan hak yang sama
kuat untuk mendapatkan warisan.
46
Bila ditinjau dari segi jumlah bagian yang diperoleh, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil karena keadilan
dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan pada kegunaan dan kebutuhan.
47
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria memikul tanggung jawab ganda
yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita. Sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa 4:34.
☺ ☺
⌧
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain
46
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet.1, h. 24
47
Ibid, h.25
38
wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Q.S an-Nisa 4:34
Bila dihubungkan jumlah bagian yang diteriama dengan kewajiban dan
tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita.
Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterimanya akan diberikan kepada wanita dalam konsep Islam.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta
meninggal dunia. Dengan demikian hukum kewarisan hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata kewarisan ab intestato.
48
B. Hukum Waris Dalam Persfektif Undang-undang