52
banyak.
61
Kendati perempuan mendapatkan bagian setengah dari laki-laki lidzdzakari mitslu hadzdzil untsayayn, namun ketentuan itu bisa menjadi lebih
banyak dari laki-laki, sebab laki-laki punya tanggung jawab menafkahi anggota keluarganya, sedangkan harta bagian perempuan adalah untuk dirinya sendiri. Karena
itulah, Rasul SAW menekankan umat Islam untuk senantiasa melakukan dan melaksanakan hukum waris sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Quran.
Semua yang sudah diatur dalam al-Quran bertujuan memberikan keadilan pada setiap orang.
62
Hal serupa juga diungkapkan oleh Syaikh Muhammad Ghazali. Beliau menambahkan bahwa perempuan tidak wajib untuk bekerja atau mencari uang karena
jika dia mempunyai suami atau saudara laki-laki, seharusnya mereka yang mendukungnya dalam segi keuangan.
63
2. Konsep Keadilan dalam Pandangan Feminis Gender
Secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam dua arti pokok, yaitu: Pertama, dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum
itu berlaku secara umum. Kedua, dalam arti materil yang menuntut agar setiap hukum
61
Muhammad Ali asy-Syabuniy, Hukum Waris Islam, judul asli al-Mawarits Fi Syar’iyati Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Wa Sunnah,
Surabaya: al-ikhlas, 1995, Cet. 1, h. 26-27
62
Syarudin al-fikri, “Menengok Riwayat Hukum Waris Dalam Islam”, Arikel Diakses pada 08 Agustuss 2010dari http:www.repubilika.co.idberitaensiklopedia-islamislam-
digest100419112001-menengok-riwayat-hukum-waris-dalam-islam.
63
Syaikh Muhammad Ghazali, Tafsir Tematik Dalam al-Quran, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h.49
53
itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.
64
John Rawls dan Hans Kelsen menguraikan bahwa pada dasarnya keadilan terdiri dari beberapa unsur, yaitu:
65
a. Bahwa keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum unsur hak. b.
Bahwa perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap indifidu unsur manfaat.
Keadilan hubungannya dengan gender adalah keadilan yang tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, asal-usul, keturunan dan ras.
Namun dalam realita sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali menerima perlakuan yang tidak adil dan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi ini terjadi karena
masyarakat kita telah lama terkungkung oleh budaya yang didomonasi oleh kaum laki-laki. Lalu munculah apa yang dikenal dengan istilah ketidakadilan gender.
66
Gender merupakan istilah kultural yang dipakai untuk membedakan peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dimasyarakat. Perbedaan gender tersebut sebenarnya tidak jadi masalah, sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.
Dewasa ini, kaum feminis mengnggap bahwa kaum muslimat berada dalam suatu sistem diskriminatif, yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan dasar Islam.
64
E. Fernando M. Manulang, menggapai hokum berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Anatomi Nilai,
Jakarta: Kompas, 2007, h. 96
65
Ibid, h. 98
66
Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung,
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 42
54
Kaum muslimat dianggap sebagai korban dari ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan, yang dilegitimasi oleh suatu tafsiran sepihak dan dekontruksi melalui
budaya dan syariat.
67
Sehingga mereka mempertanyakan tafsiran ayat-ayat al-Quran yang dianggap mengandung bias gender, diantaranya: QS. Al-Baqarah 2:282 Tentang
kesaksian perempuan dalam hutang piutang, QS. An-Nisa 4:11 Tentang hak waris laki-laki dan perempuan, QS. An-Nisa 4:3 Tentang kebolehan laki-laki berpoligami,
QS. An-Nur 24:30-31 dan QS. Al- Ahzab 33:53-59 Tentang aurat perempuan dan hijab.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Ayu Arman, beliau mengatakan pembedaan bagian harta waris laki-laki dan perempuan disebabkan karena pada saat
itu beban kehidupan keluarga sepenuhnya ditanggung laki-laki. Perempuan tidak punya kewajiban untuk memberikan maskawin dan nafkah kepada keluarga mereka.
Meskipun begitu, saat itu Islam telah memberikan jalan keluar jika orangtua mereka ingin memberikan bagian yang sama kepada anak-anak mereka, baik laki-laki
maupun perempuan, maka dengan jalan hibah, yaitu pembagian warisan ketika orangtua masih hidup. Setidaknya alasan tersebut menuntun kita bahwa perbedaan
perolehan pembagian warisan itu bukan disebakan oleh faktor biologis kodrati, tetapi semata-mata disebabkan oleh sosial budaya, dengan kata lain, persoalan
gender. Karena hal itu disebabkan oleh sosial budaya, maka hukum waris ini pun bisa berubah ketika basis sosial dan ekonomi keluarga berubah. Apalagi sekarang ini, tak
67
Eli Nurmalia, Respon Perempuan Terhadap System Pembagian Waris 2:1 Dalam Hukum Kewarisan Islam,
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
55
sedikit lagi perempuan yang menjadi tulang punggung yang menafkahi keluarganya. Untuk itu, tidak ada halangan untuk melakukan modifikasi terhadap ketentuan waris
2:1 baca: dua banding satu karena muatan keadilannya berkurang.
68
Untuk mengcover asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa hukum seperti ini hanya dapat memarginalkan, mendehumanisasi, mendiskriminasi dan mensubordinasi
perempuan, maka kaum feminis mengusulkan agar porsi pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan adalah sama 1:1 baca: satu banding satu atau 2:2
baca: dua banding dua. Agar tujuan ini dapat terwujud, menurut mereka tidak hanya cukup dengan melakukan tafsir ulang, tetapi harus melalui proses dekontruksi
pembongkaran terhadap idiologi yang melilitnya berabad-abad. Menurutnya, kini tibalah saatnya untuk mengkontekstualisasikan ayat-ayat hukum yang praktis
temporal, teknis oprasional juziyyah agar sesuai dengan nilai-nilai universal dan terbebas dari muatan lokal arabisme.
68
Ayu Arman, “Menyoal Keadilan Hak Waris Perempuan”, artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari shttp:mycompilation.blogspot.com201007menyoal-keadilan-hak-waris-perempuan.html
BAB III ANALISIS GUGATAN KEWARISAN ANAK LAKI-LAKI DAN
PEREMPUAN A.
Landasan Yuridis, Hukum Formil dan Hukum Materil 1.
Tinjauan Dari Hukum Formil
Agar kita dapat melaksanakan aturan mengenai kewarisan dengan baik di Pengadilan, maka kita membutuhkan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur
cara-cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materil. Kaidah hukum tersebut sering
dikenal sebagai hukum formil.
69
Menurut Sudikno Martokusumo, aturan hukum perdata ini bukanlah sekedar pelengkap saja, melainkan mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan
atau menegakkan hukum perdata materil.
70
Kedua hukum ini sangat berkaitan, karena jika tidak ada hukum formil maka hukum materil tidak dapat ditegakan melalui
peradilan. Begitu pun sebaliknya, karena hukum acara formil merupakan upaya untuk menjamin akan terlaksananya hukum perdata materil.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara dan fungsinya menegakkan, hukum dan keadilan
69
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata ; Dalam Teori Dan Praktek,
Bandung: Mandar Maju, 2005, Cet. 9, h. 1
70
Sudikno Martokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Press, 1985, h. 5
56