BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem waris merupakan salah satu sebab atau alasan adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang
mewariskan, setelah muwarits wafat, kepada para penerima warisan dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini tentu
setelah memenuhi hak-hak yang terkait dengan harta peninggalan si mayit.
1
Pada masa jahiliyah sebelum Islam, bangsa Arab telah mengenal sistem waris. Meskipun demikian, mereka tidak memberikan harta waris tersebut kepada
wanita maupun anak-anak yang dianggap tidak cakap dalam berperang dan tidak dapat meraih pampasan perang. Tetapi, mereka hanya akan memberikan harta waris
kepada laki-laki dewasa, kerabat orang yang meninggal, dan orang lain yang bukan kerabat orang yang meninggal, karena suatu perjanjian atau adopsi.
2
Inilah yang berbeda dengan hukum waris dalam Islam. Allah SWT telah menetapkan bahwa orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan lebih berhak
1
Komite Fakutas Syariah, Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta: CV Kuwais Media Kreasindo, 2004 Cet.1, h. 1
2
Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi Hukum Islam, Solo: Balqis Queen, 2009, Cet.1, h. 20
1
untuk saling mewarisi, baik laki-laki maupun perempuan, yang dewasa maupun anak- anak, seperti yang dijelaskan dalam al-Quran Surat al-Ahzab 33:6.
Suatu fakta yang tidak dapat di pungkiri bahwa kelahiran hukum waris disamping bukan sekedar untuk merespon problem hukum dizaman jahiliyah yang
telah disebutkan diatas, tetapi hukum waris juga dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit dan realistis sehingga menutup kemungkinan akan adanya
multi interpretasi. Hal ini diakui oleh para ahli hukum sebagai suatu keistimewaan tersendiri, karena dari sekian banyak ayat-ayat tentang hukum ayat ahkam dalam al-
Quran yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 228, tidak ada satu aspek hukumpun yang secara teknis diyakini sebagai model hukum yang canggih dan
lengkap selain daripada hukum waris tersebut.
3
Hukum waris ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam menegakan hukum Islam yang sesuai
dengan ketentuan yang seharusnya tanpa adanya diskriminasi terhadap satu golongan, yang dipertegas dengan firman Allah SWT dalam al-Quran Surat An-nisa 4:7
mengenai proyeksi dari hukum kewarisan Islam. Kandungan ayat tersebut mengindikasikan bahwa yang menjadi ahli waris adalah seluruh anggota keluarga
baik laki-laki maupun perempuan dan menjelaskan tentang pembagian hak dari masing-masing ahli waris atas harta warisan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang
meninggal dunia.
3
Elfid Nurfitri Mubarok, Penyelesaian Gugatan Kewarisan Anak Perempuan Dengan Saudara Kandung, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008, h. 3 2
Kita ketahui bahwa Indonesia bukanlah negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya adalah muslim. Sehingga dalam kehidupan masyarakatnya hukum
Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam pola regulasi masyarakat. Oleh karena itu, agar hukum Islam bisa berintegrasi ke dalam sistem hukum negara, maka
legalisasi hukum Islam menjadi manifestasi modernisasi Islam yang terpenting. Dengan demikian diharapkan persoalan intern hukum Islam dapat terpecahkan.
Salah satu karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih positif bagi kehidupan beragamanya dan sebagai bukti atas kebangkitan umat
Islam Indonesia, memperoleh momentum puncaknya yaitu dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI pada tahun 1991. Legalisasi hukum Islam tersebut
merupakan penjabaran dan aplikasi syariah yang menampilkan corak khas ke- Indonesia-an, meskipun hanya berbentuk Instruksi Presiden Inpres yang hanya
bersifat fakultatif yang kekuatan hukumnya tidak begitu mengikat dan memaksa, namun diharapkan akan menjadi satu jenjang dalam berijtihad menemukan hukum
dan sebagai batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih baik dimasa yang akan datang.
4
Kompilasi Hukum Islam KHI merupakan hukum materil yang harus dijalankan di Pengadilan Agama, tetapi KHI bukanlah bersifat mutlak seperti wahyu
Tuhan, sehingga para hakim mempunyai peluang untuk memberikan beberapa pertimbangan dan berijtihad untuk menemukan hukum melalui perkara-perkara yang
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1992, Cet. 1, h.6
3
ditanganinya. Maka dari itu, dalam praktek penyelesaian perkara di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adakalanya terdapat perbedaan dalam hal
penggunaan KHI itu sendiri. Salah satunya adalah dalam hal kewarisan. Perbedaan bentuk putusan inilah yang dapat menimbulkan penerapan hukum yang berbeda pula.
Dalam hal kewarisan sering menimbulkan sengketa, baik dalam jumlah pembagiannya, atau karena keterlambatan pembagian harta warisan tersebut,
sehingga mengakibatkan harta peninggalan dikuasai oleh salah satu dari ahli warisnya, yang kemudian menimbulkan kecurigan akan penguasaan seluruh harta
peninggalan. Oleh sebab itu mengenai harta peniggalan ini harus disegerakan dalam pembagiannya.
Mengenai perkara yang menjadi fokus kajian dalam skripsi ini adalah tentang besarnya bagian harta waris yang diperoleh anak laki-laki dan perempuan yang
terdapat dalam al-Qur’an surat An-nisa 4 ayat 11 yang kemudian ditransformasi kedalam KHI pasal 176, dewasa ini banyak menimbulkan multi interpretasi
dikalangan ahli hukum termasuk hakim dalam menafsirkan ayat tersebut secara kontekstual. Sehingga, dalam memutus perkara pembagian hak waris anak laki-laki
dan perempuan tidak lagi merujuk kepada ketentuan yang telah disyariatkan dalam al-Quran dan KHI pasal 176. Dengan terjadinya hal seperti itulah kemudian timbul
kekhawatiran akan hilangnya ilmu faridh sejalan dengan perkembangan zaman. Artinya, eksistensi dari ilmu faraidh tersebut tidak lagi dipakai dan lebih kasarnya
lagi akan ditinggalkan oleh penganutnya yakni umat Islam itu sendiri.
4
Padahal dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni dikatakan bahwa perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh sejalan dengan perintah
mempelajari dan mengajarkan al-Quran. Hal ini menunjukan bahwa ilmu faraidh merupakan cabang ilmu yang cukup penting dalam mengatur kehidupan umat dan
mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Berdasarkan dari uraian yang telah dijelaskan diatas, maka penulis tertarik
untuk mengkaji apakah pembagian waris khususnya dalam pembagian hak waris anak yang terdapat dalam KHI pasal 176 digunakan secara mutlak? karena sebagaimana
yang kita ketahui bahwa dengan lahirnya KHI ini diharapkan dapat menjaga dan mengamalkan hukum Islam sebagaimana mestinya menurut ketentuan syara.
Kemudian bagaimana pertimbangan hakim yang menangani perkara tersebut dikaitkan dengan konsep keadilan dalam pembagian waris? Dan apa faktor yang
dapat menggeser aturan hukum yang sudah ada kemudian berpindah ke aturan hukum yang lain? Berangkat dari keingintahuan penulis inilah maka penulis ingin meneliti
dan menguraikan kedalam bentuk penulisan skripsi, dengan judul: “DISPARITAS PUTUSAN PERKARA WARIS” Studi Perbandinagan Putusan Pengadilan
Agama Nomor 1397Pdt.G2008PA.JT dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 50Pdt.G2009PTA.JK
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah