38
wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Q.S an-Nisa 4:34
Bila dihubungkan jumlah bagian yang diteriama dengan kewajiban dan
tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang akan dirasakan pria sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita.
Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterimanya akan diberikan kepada wanita dalam konsep Islam.
e. Asas Semata Akibat Kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta
meninggal dunia. Dengan demikian hukum kewarisan hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata kewarisan ab intestato.
48
B. Hukum Waris Dalam Persfektif Undang-undang
1. Faraidh Sebelum Lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI
Ketaatan umat Islam berpedoman kepada ajaran agama yang merupakan tolak ukur dari kadar keimanan, begitupun dalam menjalankan ajaran agama mengenai
kewarisan. Bila kita berbuat sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, maka kita akan mendapat pahala dan pujian dari Allah SWT an-Nisa 4:13. Sebaliknya,
48
Ab intestateo adalah adanya suatu tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan Undang- undang. Apabila pewaris tidak menyatakan dengan tegas kehendaknya dalam hal pewarisan pada
suatu testamen, maka ahli waris diatur berdasarkan Undang-undang. Lihat M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition,
Surabaya: Reality Publisher, 2009, Cet. 1, h.10
39
bila kita menyimpang dari petunjuk Allah tersebut, maka kita akan mendapat celaan dan ancaman dari Allah SWT an-Nisa 4:14.
Meskipun kewarisan merupakan ajaran agama, namun tidak semua umat Islam mengetahuinya secara baik, sebagaimana mereka mengetahui ajaran agama
yang berkenaan dengan ibadat shalat, puasa, dan yang lainnya. Alasannya, Pertama, karena kematian yang menimbulkan adanya kewarisan dalam suatu keluarga
merupakan suatu yang jarang terjadi. Kedua, tidak semua orang yang mati itu meninggalkan harta yang patut menjadi urusan. Ketiga, ajaran tentang kewarisan itu
membicarakan angka-angka yang bersifat matematis yang tidak semua orang tertarik kepadanya. Apapun alasan yang dikemukakan diatas, tetap saja urusan kewarisan
harus diselesaikan dengan merujuk kepada ajaran agama. Bila kematian yang menimbulkan kewarisan terjadi dalam suatu keluarga dan
diantara anggota keluarganya ada yang mengetahui pembagian harta waris menurut ajaran Islam, maka keluarga tersebut dapat mengurus sendiri pembagian harta
peningggalan itu. Seandainya tidak ada yang memahami cara menyelesaikan pembagian harta wairsan itu, mereka dapat meminta petunjuk kepada orang lain yang
memahami hal tersebut. Cara seperti ini disebut istifta. Akan tetapi, karena obyek kewarisan ini adalah harta benda yang sering
menimbulkan ketidakpuasan dari sebagian anggota keluarga dengan jumlah bagian yang diterima sesuai dengan ajaran agama dan juga disebabkan oleh keserakahan
serta rasa egois, maka hal ini tidak cukup hanya dengan meminta petunjuk tetapi juga meminta untuk diselesaikan. Cara seperti ini disebut tahkim.
40
Jika urusannya meningkat pada suatu persengketaan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka hal ini memerlukan penyelesaian pihak yang
mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk memaksakan keputusannya. Inilah yang dinamakan lembaga qadha atau peradilan. Dengan demikian lembaga peradilan
adalah lembaga terakhir dalam penyelesaian perkara waris. Peradilan yang menjalankan ajaran agama yang telah ditetapkan oleh
pemerintah hindia belanda pada tahun 1882 melalui Stbl. No.152 Tahun 1882, tentang pendirian Peristeraad yang menjadi cikal bakal Peradilan Agama untuk
pulau Jawa dan Madura. Dalam stbl. Ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan.
49
Dimasukannya kewarisan dalam wewenanang Peristeraad pada waktu itu agaknya mengikuti pendapat pakar hukum belanda W. Van Den Berg dengan
teorinya yang popular yaitu receptie in complexu yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluru. Maksudnya bila seseorang telah memeluk agama Islam, maka dia
akan menjalankan semua ajarannya termasuk kewarisan. Kemudian muncul teori lainnya yang mematahkan teori dari W. Van Den Berg itu yaitu teorie receptie yang
dikemukakan oleh Snock Hurgronje dan C. Van Vollenhoven. Teori tersebut berarti bahwa umat Islam menjalankan hukum agama sejauh telah terserap ke dalam
adatnya.
50
Teori receptie ini telah mempengaruhi pemerintah hindia belanda untuk
49
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, h. 98
50
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Prenadia Group,2006, Cet. 1, edisi 1, h. 49
41
mengubah kebijaksanaannya tentang Raad Agama, dengan mengeluarkan aturan baru dalam Stbl. No.116-610 Tahun 1937. Dalam Stbl. ini ditetapkan urusan kewarisan
tidak lagi menjadi wewenang Peristeraad. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No.45 Tahun 1957 Tentang pembentukan Mahkamah Syariah Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk seluruh Indonesia, di luar Jawa,
Madura dan Kalimantan selatan-timur. Dalam peraturan pemerintah itu ditetapkan bahwa salah satu wewenang Peradilan Agama adalah kewarisan.
51
Keragaman nama dan wewenang Peradilan Agama telah berakhir semenjak tahun 1989 dengan keluarnya Undang-undang No.7 tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama. Dalam pasal 49 ayat 1 dari Undang-undang ini menetapkan:
52
“Peradilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama anatara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
wakaf dan shadaqah.” Hukum kewarisan yang dinyatakan sebagai hukum positif bagi umat Islam
Indonesia pada saat ini belum berbentuk hukum perundang-undangan, tetapi baru dalam bentuk kitab fikih BAB faraidh. Hal ini berarti bahwa para hakim di
51
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004, Cet. 1, h. 324
52
Roihan dan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 7, h. 252. Lihat juga
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang No.7-Th 1989,
Jakarta: Pustaka Kartini, 1997, h. 30
42
Pengadilan Agama dalam memberikan pertimbangan pada saat menetapkan keputusan merujuk pada kitab fikih tersebut.
Meskipun fikih itu bersumber dari al-Quran dan Hadits, namun fikih itu beragam sesuai dengan perkembangan aliran pikiran tertentu yang kemudian disebut
madzhab. Fikih yang berkembang di Indonesia pada umumnya adalah mengikuti
madzhab imam syafi’i, tanpa menutup adanya madzhab lain, meskipun kecil. Madzhab imam syafi’i kemudian dikembangkan oleh pengikutnya dalam suatu
wacana yang hasilnya juga beragam pendapat. Beragam pendapat dalam sebuah wacana tidak menjadi masalah. Namun bila putusan pengadilan yang merujuk pada
fikih yang berbeda menghasilakan penetapan yang berbeda mengenai suatu kasus yang sama, barulah itu menimbulkan masalah.
Hal itulah yang mendorong pemuka negara kita mengumpulakan kitab fikih yang menjadi rujukan Peradilan Agama yang beragam itu dan merumuskannya dalam
satu bentuk kesatuan. Setelah melalui proses panjang, Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan peradilan di Indonesia bersama menteri agama, dengan
melibatkan ulama, pakar fikih, ahli hukum dan pemuka masyarakat lainnya berhasil mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
53
2. Faraidh Setelah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI