Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi Pada Lansia Penderita Jantung Koroner

(1)

PADA LANSIA PENDERITA JANTUNG KORONER

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

IKHWANISIFA

041301027

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008 Ikhwanisifa : 041301027

Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi Pada Lansia Penderita Jantung Koroner

xii + 96 halaman + 21 tabel + 15 lampiran Bibliografi 62 (1986-2006)

Masalah kesehatan adalah masalah utama yang sering dihadapi ketika kita memasuki masa lanjut usia. Salah satu penyakit yang sering menyebabkan kematian adalah penyakit jantung koroner. Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya merasa kesal (Soeharto, 2000), dan memiliki level kecemasan dan depresi yang lebih tinggi hingga sampai satu atau dua tahun kemudian (Sarafino, 2006). Oleh sebab itu, sebagai lansia yang menderita PJK, diharapkan untuk mampu meminimalisir perasaan atau emosi-emosi negatif yang dirasakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah praktek agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al’Quran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keteraturan shalat lima waktu dan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Populasi penelitian ini adalah lansia penderita jantung koroner yang ada di Medan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana populasinya terdiri dari 50 orang lansia penderita jantung koroner. Alat ukur pada penelitian ini adalah Skala Keteraturan Shalat Lima Waktu dan Skala Regulasi Emosi yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan teori keteraturan shalat lima waktu oleh Adi (1994) dan teori regulasi emosi oleh Gratz & Roemer (2004), dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.947 dan 0.849. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data sampel dengan incidental sampling.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi R = 0,387 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.03), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan

Kata kunci : keteraturan shalat lima waktu, regulasi emosi, lansia penderita jantung koroner.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penlis ucapkan ke hadirat

Allahu Rabbi, yang tak pernah jemu melimpahkan bilangan cinta-Nya yang tak berbalas, belaian kasih sayang-Nya, atas semua karunia, kenikmatan, keistiqomahan, kesehatan,

waktu dan kesempatan yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana jenjang strata satu

(S-1) di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Hubungan Keteraturan Shalat

Lima Waktu dengan Kemampuan Regulasi Emosi Pada Lansia Penderita Jantung

Koroner. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan skripsi ini dan kerja-kerja selanjutnya.

Terutama sekali peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua

peneliti ayahanda Azwar Mahyuzar, S.H. dan ibunda Asiah yang telah memberikan

begitu banyak pengorbanan, belaian kasih sayang, motivasi, dan perhatian yang

berlimpah sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Tiada hal yang lebih indah

selain restu dan doa dari Ayah dan Ibunda untuk selalu ada disetiap perjalanan hidup ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada adik-adik peneliti: Ikhwanisita,

Ihyazaina, dan Ihyasyafira yang telah memberikan semangat, dukungan yang menjadi

penyegaran dan pencerahan disetiap kesunyian malam panjang yang kita lalui.

Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan banyak pihak, oleh karena itu

peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(4)

dan ide-ide kreatif yang ibu berikan selama ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan

ibu selama ini dengan jannah-Nya.

3. Ibu Arliza J, Lubis, M.Si., psikolog dan Ibu Raras Sutatminingsih, Msi., psikolog

yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penulis ketika seminar, dan memberikan

masukan yang sangat berarti dan bermanfaat untuk penelitian penulis disela-sela

kesibukannya. Semoga Allah selalu melimpahkan bilangan cinta, rahmat dan kasih

sayang-Nya yang tak berbalas kepada ibu.

4. Kepada dr. Zulfikri M.SpJP dan putrinya Dika, terima kasih banyak atas bantuanya

untuk mencarikan sampel penelitian, semoga Allah membalas segala kebaikannya.

5. Kakanda Sutriyani, S.Psi, Dinda Septiani, S.Psi, Yenni Marito, S.psi, Inanda, S.Psi Eka Diyah Ardiati, S. Psi, Abangda Ahmad Afandi S.Psi, Sahrun Joni S.Psi, yang telah bersedia memberikan bantuan, masukan dan saran-sarannya.

6. Kepada Mine Support Cholic Debi Fadillah, Hanifa Laura, Sukmadiarti S.psi, Renni Tania. (uhibukifillah, keep hamasah ya Allahu Akbar!!!!). Terima kasih untuk dukungan materil, moril serta semangat juang terindahnya. Selama empat tahun kalian selalu setia menemani, dan mendengarkan segala kesuh kesah, semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita di jalan-Nya hingga akhirnya mempertemukan kita di jannah-Nya.

7. Kepada sahabat sejatiku Anggita Zoraya Marpaung, Dhadek keswary Bangun, Cheria Pratigina, Zulaika, Afridayani Afnel, Fenny Pratiwi, Eka Novita Sari ( semoga allah melimpahkan keberkahan-Nya disetiap perjalanan persahabatan kita selama ini). Danke schoon atas segala dukungan, motivasi, nasehat, yang diberikan. Maafkan ana yang sering meninggalkan kebersamaan dengan kalian.


(5)

8. Kepada teman-teman seperjuangan, Citra Swastika, Sukmaya Izzati, Kerry Desiana, Mutia Khairani, Laila Maya, Ari Sinta, Sonya Inggit, Sonya P. Melinda, Nurhadi Nainggolan, dan semua teman-teman stambuk 04 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Jazakumullah khairon katsiron atas masukan, dan semangatnya. Semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita di jalan dakwah ini,

keep hamasah, Allahu Akbar!!!!

9. Buat Murobbi (MR) yang tidak bisa kusebutkan namanya, dan teman-teman se

halaqoh yang senantiasa memberikan semangat, tausiah, doa dan rangkulan sayangnya

disaat peneliti merasa sedih, pesimis. Jazakumullah khairon katsiron untuk semuanya.

Semoga Allah mempertemukan kita dalam Jannah-Nya.

10. Buat Adik-adik di Formasi Al-Qalb ( Yefry, Paidi, Aslam, Hans, Ali, Juneidi, Dian,

Zulvia, Retno, Rena, Afni, Putri, Fitri, Fira, Nella, Yanda, Suri, Fenny, Minda, Tisa, Dea,

Irma, Fida, Noni, Sheila, Tari dan seluruh pengurus ). Buat Adik-adik Mentoring 2006

dan 2007 (Elna, Kiki, Indah, Wira, Dilla, Ina, Lila, Vita, Ririn, Masitah, Intan)  Jazakumullah khairon katsiron, teruslah berjuang hingga Allah tak segan membeli jiwa-jiwa kalian dengan harumnya Syurga.

11. Buat teman-teman seperjuangan di KAMMI komisariat USU, Jazakumullah khairon katsiron atas semangat, motivasi, taujih, dan dukungannya sehingga ditengah kesibukan agenda kita ana tetap bisa menyelesaikan skripsi ini. Afwan

Jiddan ikhwatifillah jika ada amanah yang tidak terselesaikan dengan baik

ataupun ada yang ditinggalkan (khususnya kaderisasi). Mari mantapkan hati tuk raih ridho Illahi bersama KAMMI.

12. Buat teman-teman spesial yang hadir membantu dan menyemangati peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini, sahabat baruku Nurastifa S.sos (yang menemani


(6)

disela-sela gelisah), dr Eko Puji Arianto (yang menemani mencari bahan di UNPAD), Ardian Dan Devi Prasetia (yang menemani mencari bahan di UI) teman-teman SMU Negeri I Binjai, teman-teman di Rumah Zakat, teman-teman seperjuangan di PEMA USU yang terus memperjuangkan haknya, semoga Allah membantu kita Allahu Akbar!!. Jazakumullah khairon katsiron untuk semuanya. 13.Seluruh lansia yang menjadi sampel penelitian peneliti, terima kasih banyak untuk kesediaannya, semoga Allah selalu melimpahkan keberkahanya, melimpahkan rezki dan kesehatan buat kakek dan nenek. Amin.

14.Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara atas segala ilmu dan bantuannya selama masa perkuliahan.

15.Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis sehingga proposal seminar ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam

proposal skripsi ini, untuk itu penulis mengharapakan saran yang membangun dari semua

pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri,

semoga proposal skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Desember 2008


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 10

C. Manfaat Penelitian ... 10

D. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Shalat ... 12

1 Definisi Shalat ... 12

2 Shalat Lima Waktu ... 13


(8)

4. Manfaat Gerakan Shalat ... 17

5. Definisi Keteraturan Shalat ... 20

6. Aspek-aspek Keteraturan Shalat ... 20

7. Aspek-aspek Teraupetik Dalam Ibadah Shalat ... 21

B. Lanjut Usia (Lansia) 1. Definisi Lanjut Usia ... 26

2. Tugas Perkembangan Lanjut Usia ... 26

3. Beberapa Masalah yang Umum Dialami Oleh Para Lansia ... 28

4. Gambaran Emosi Pada Lansia ... 30

C. Emosi 1. Pengertian Emosi ... 31

2. Jenis-Jenis Emosi ... 32

3. Pengertian Regulasi Emosi ... 35

4. Ciri-Ciri Regulasi Emosi ... 37

5. Aspek-aspek Regulasi Emosi ... 38

6. Strategi Regulasi Emosi ... 39


(9)

D. Jantung Koroner

1. Definisi Jantung Koroner ... 45

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner ... 45

3. Gejala- gejala Utama Penyakit Jantung Koroner ... 52

E. Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi ... 53

F. kerangka Berfikir ... 56

G. Hipotesa Penelitian ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi variabel ... 58

B. Definisi operasional variabel ... 58

1. Keteraturan Salta Lima Waktu ... 58

2. Regulasi Emosi ... 60

C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel ... 61

2. Metode pengambilan sampel... 62


(10)

E. Metode Pengumpulan Data

1. Skala Keteraturan Shalat ... 64

2. Skala Regulasi Emosi ... 66

F. Uji Coba Alat Ukur 1. Validitas Alat Ukur ... 68

2. Uji Daya Beda Aitem ... 68

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 70

G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan ... 71

2. Tahap Pelaksanaan ... 71

3. Tahap Pengolahan Data ... 72

H. Metode Analisa Data ... 72

BAB IV : ANALISA DAN INTERPRETASI DATA A. Gambaran Subjek Penelitian ... 57

1. Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

2. Berdasarkan Usia ... 74

3. Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 75


(11)

5. Berdasarkan Suku ... 76

B. Hasil Utama Penelitian ... 77

1. Uji Asumsi ... 78

a. Uji Normalitas ... 78

b. Uji Linieritas ... 78

  2. Uji Analisa Data ... a. Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi ... 79

b. Rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik ... 79

c. Kategori Keteraturan Shalat Lima Waktu ... 81

d. Kategori Regulasi Emosi ... 82

C. Hasil Tambahan Penelitian ... 1. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan Jenis Kelamin ... 83

2. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan usia ... 83

3. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi Berdasarkan suku ... 84


(12)

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 85

B. Diskusi ... 86

C. Saran ... 1. Saran Metodologis ... 90

2. Saran Praktis ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(13)

DAFTAR TABEL


(14)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Desember 2008 Ikhwanisifa : 041301027

Hubungan Keteraturan Shalat Lima Waktu dengan Regulasi Emosi Pada Lansia Penderita Jantung Koroner

xii + 96 halaman + 21 tabel + 15 lampiran Bibliografi 62 (1986-2006)

Masalah kesehatan adalah masalah utama yang sering dihadapi ketika kita memasuki masa lanjut usia. Salah satu penyakit yang sering menyebabkan kematian adalah penyakit jantung koroner. Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya merasa kesal (Soeharto, 2000), dan memiliki level kecemasan dan depresi yang lebih tinggi hingga sampai satu atau dua tahun kemudian (Sarafino, 2006). Oleh sebab itu, sebagai lansia yang menderita PJK, diharapkan untuk mampu meminimalisir perasaan atau emosi-emosi negatif yang dirasakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah praktek agama menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al’Quran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara keteraturan shalat lima waktu dan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Populasi penelitian ini adalah lansia penderita jantung koroner yang ada di Medan. Penelitian ini merupakan penelitian populasi dimana populasinya terdiri dari 50 orang lansia penderita jantung koroner. Alat ukur pada penelitian ini adalah Skala Keteraturan Shalat Lima Waktu dan Skala Regulasi Emosi yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan teori keteraturan shalat lima waktu oleh Adi (1994) dan teori regulasi emosi oleh Gratz & Roemer (2004), dimana masing-masing skala memiliki reliabilitas sebesar 0.947 dan 0.849. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan data sampel dengan incidental sampling.

Hasil analisa data penelitian dengan menggunakan Pearson Product Moment menunjukkan koefisien korelasi R = 0,387 dengan taraf signifikansi p<0.05 (p = 0.03), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner di kota Medan

Kata kunci : keteraturan shalat lima waktu, regulasi emosi, lansia penderita jantung koroner.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia mengalami daur hidup yang sama, mulai dari lahir masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, lanjut usia (lansia) sampai meninggal. Lansia merupakan suatu tahap kehidupan yang akan dilalui oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Menurut Hurlock (1999) masa lanjut usia adalah periode terakhir dari perjalanan hidup manusia yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Ketika individu memasuki lanjut usia, ia akan dihadapkan pada perubahan dan penurunan dalam hal fisik, kemampuan berpikir, kondisi kepribadian dll.

Perubahan dan penurunan yang terjadi akan mendorong individu lanjut usia menghadapi banyak masalah kehidupan. Menurut Suardiman (2001) masalah-masalah tersebut antara lain masalah ekonomi (seperti produktivitas kerja yang menurun, memasuki masa pensiun yang menyebabkan berkurangnya pendapatan, semakin kecilnya peluang kerja), masalah sosial budaya (seperti berkurangnya kontak sosial dengan keluarga, teman dan masyarakat, nilai sosial yang mengarah pada kehidupan individualistik), masalah psikologis (seperti kesepian, terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin, post power syndrome dan sebagainya), dan masalah kesehatan (seperti penurunan fungsi fisik dan rentan terhadap berbagai penyakit).


(16)

Masalah kesehatan ternyata tidak bisa terlepas dari masalah psikologis. Menurut Achir (dalam Munandar, 2001), sejak dulu telah diketahui bahwa faktor emosional erat kaitannya dengan kesehatan mental lansia. Aspek emosional yang terganggu, kecemasan, apalagi stres berat secara tidak langsung dapat mengganggu kesehatan fisik (tubuh) yang akan berakibat buruk terhadap stabilitas emosi. Penelitian yang dilakukan Sherman terhadap 101 orang di Amerika Serikat membuktikan adanya kaitan erat antara emosi yang tidak terkendali dengan kesehatan fisik seseorang. Individu yang mudah marah, gelisah dan sedih berkepanjangan beresiko dua kali lipat terserang penyakit seperti asma, radang persendian, sakit kepala, gangguan pencernaan, tukak lambung, kanker dan penyakit jantung (Goleman, 2004).

Salah satu dari penyakit kronis yang biasa muncul pada lansia adalah penyakit jantung koroner, yang disingkat dengan PJK. Menurut National Center for Health

Statistic, penyakit jantung menduduki urutan pertama, dari enam penyebab utama

kematian orang Amerika usia 65 tahun atau lebih, dengan jumlah 2.173 dengan angka per 100.000 populasi dari kelompok usia tersebut (Santrock, 2002). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 7 juta orang meninggal akibat PJK di seluruh dunia pada tahun 2002. Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada tahun 2020. Menurut Hasil Survei Kesehatan Nasional tahun 2001 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK (Tjang, 2006).

Penyakit jantung koroner adalah penyakit akibat dari penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi untuk menyuplai jantung dengan darah yang penuh dengan oksigen. Peredaran darah menjadi tersumbat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut atherosclerosis (Sarafino, 2006).


(17)

Penyakit jantung koroner berhubungan dengan gaya hidup dan biologis serta emosi negatif (Sarafino, 2006). Adanya perubahan gaya hidup ketika era globalisasi menyebabkan informasi semakin mudah diperoleh, negara berkembang dapat segera meniru kebiasaan negara Barat yang dianggap cermin pola hidup modern. Sejumlah perilaku seperti mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) yang mengandung kadar lemak jenuh tinggi, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kerja berlebihan, kurang berolah raga, dan stress, telah menjadi gaya hidup manusia terutama di perkotaan (Yayasan Jantung Indonesia, 2003). Ada beberapa faktor gaya hidup dan biologis yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner antara lain sejarah keluarga tentang penyakit jantung, tekanan darah tinggi, tingginya level kolesterol LDL dan low HDL, fisik yang lemah, diabetes, obesitas, stress (Sarafino, 2006). Emosi negatif memberikan dampak yang tidak baik bagi kesehatan (Gross, 1998). Berdasarkan hasil penelitian, baik pria atau wanita yang memiliki level yang tinggi pada depresi dan kecemasan cenderung lebih rentan terkena penyakit jantung. Ada dua alasan yang dapat menjelaskan hal ini. Yang pertama saat emosi negatif terjadi, maka gaya hidup sehat berkurang. Alasan kedua jika emosi negatif berdampak pada keadaan psikologis yang dapat menyebabkan penyakit jantung, orang-orang dengan tipe kepribadian A juga lebih cenderung terkena penyakit jantung. Sebab mereka adalah orang-orang yang reaktif, serta memiliki tingkat kemarahan dan permusuhan yang tinggi (Sarafino, 2006).

Menurut Sarafino (2006), beberapa faktor risiko dari penyakit jantung koroner telah diidentifikasi dan beberapa diantaranya digolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah seperti status pendidikan, mobilitas sosial, kelas sosial, usia, gender, sejarah keluarga, ras


(18)

dan lain-lain, dan faktor yang dapat diubah seperti perilaku merokok, obesitas, gaya hidup yang menetap, stress kerja dan tipe perilaku. Soeharto (2000) juga membagi dua penyebab penyakit jantung koroner, yang terdiri dari faktor risiko alami dan faktor risiko gabungan. Faktor risiko alami terdiri dari keturunan, jenis kelamin, umur dan riwayat kesehatan pribadi. Serta faktor risiko gabungan yang terdiri dari riwayat keluarga, olahraga, umur, merokok, tekanan darah, kegemukan, jenis kelamin, kadar kolesterol total dan kadar kolesterol LDL.

Penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya merasa kesal (Soeharto, 2000), dan memiliki level kecemasan dan depresi yang lebih tinggi hingga sampai satu atau dua tahun kemudian (Sarafino, 2006). Dalam keadaan demikian mereka menjadi mudah marah kepada orang lain. Meskipun ini tidak kelihatan berarti pada awalnya tetapi tidak dapat dibiarkan saja (Soeharto, 2000).

Kondisi keadaan emosional penderita penyakit jantung koroner seperti diatas tentunya akan menimbulkan kondisi yang semakin memburuk bagi para lansia. Hal ini disebabkan karena pada umumnya emosi lansia memiliki tingkat sensitifitas emosional yang meningkat, kurang gairah, kurang mampu menghadapi tekanan (stress), merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Menurut hasil penelitian Malatesta dan Kalnok (1984), kondisi kesehatan yang menurun merupakan sumber terbesar munculnya emosi negatif seperti kesedihan. Keadaan seperti ini tentunya akan membuat kondisi emosi yang dirasakan akan semakin tidak stabil, apalagi diikuti dengan ketidakberhasilan menemukan jalan keluar dari masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua.(Achir dalam Munandar, 2001).


(19)

Secara tidak langsung sikap lansia terhadap penyakit kronis yang dialami (PJK), akan memberikan pengaruh tekanan psikologis yang meningkat. Lansia akan merasa semakin cemas, muncul adanya perasaan khawatir, takut terhadap kematian, tidak berdaya, lemas, tidak percaya diri, ingin bunuh diri, tidak tentram, dan gelisah (Hurlock, 1990). Keadaan emosional seperti diatas tentunya merupakan jenis-jenis dari emosi negatif. Oleh sebab itu, sebagai lansia yang menderita PJK, diharapkan untuk mampu meminimalisir perasaan atau emosi-emosi negatif yang dirasakan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menangani masalah ini adalah dengan meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002).

Seseorang yang mampu meregulasi emosinya akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatan fisik, tingkah laku, dan hubungan sosial (Davidson, Putnam & Larson dalam Gross, 1999). Sementara itu, regulasi emosi juga dapat membuat individu berpikir jernih, bersikap lebih tenang serta bijaksana dalam bertindak. Tindakannya dapat diperhitungkan dengan baik sehingga tidak mendatangkan kerugian bagi individu itu sendiri dan dapat berdampak besar terhadap peningkatan kesehatan mental seseorang (Wismanto & Agustina, 2000). Dampak regulasi emosi bagi hubungan sosial adalah seseorang dapat memperbaiki hubungan interpersonal, menumbuhkan cinta antar manusia, meningkatkan rasa solidaritas, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka


(20)

sehingga lebih mudah akrab maupun bersahabat dengan orang lain (Mischel & Shoda, 2004).

Lansia yang menderita penyakit jantung koroner diharapkan untuk mampu meningkatkan kemampuannya dalam meregulasi emosi sehingga dapat mengurangi tingkat risiko PJK yang dialami. Hal ini disebabkan karena keadaan emosional yang tidak stabil juga berpengaruh terhadap kinerja dari jantung sendiri. Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah. Drikarya (dalam Widiyanta 2005) mendefinisikan religiusitas sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya. Selanjutnya Glock dan Stark (dalam Anggasari, 1997) mengatakan bahwa keberagamaan seseorang menunjuk pada ketaatan dan komitmen seseorang terhadap agamanya. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya religiusitas adalah suatu penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya. Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Dalam agama Islam, dimensi peribadatan (praktek ibadah) menyangkut pelaksanaan shalat, puasa, zakat, haji,


(21)

membaca Al’Quran, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid pada bulan puasa dan sebagainya.

Dimensi peribadatan (praktek ibadah) yang menyangkut pelaksanaan shalat yang dipilih penulis untuk lebih melihat kaitannya dengan regulasi emosi. Hal ini disebabkan karena shalat merupakan ibadah yang wajib dilakukan setiap hari oleh setiap umat islam. Rahayu (2005) menyebutkan bahwa shalat adalah kegiatan yang menggabungkan antara kegiatan fisik, mental, dan spiritual. Tidak hanya itu, shalat mampu memberikan makna tak hanya bagi diri individu, tetapi juga bagi hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Tegaknya shalat berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental (spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik, perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang harmonis.

Shalat mempunyai banyak manfaat bagi setiap orang yang melaksanakannya. Manfaat shalat yang dirasakan dapat diperoleh melalui gerakan-gerakan dalam shalat, keteraturan dalam pelaksanaanya dan kekhusyukan ketika menjalaninya.

Menurut Hembing (2006), setiap gerakan-gerakan shalat mempunyai arti khusus bagi kesehatan dan punya pengaruh pada bagian-bagian tubuh seperti kaki, ruas tulang punggung, otak, lambung, rongga dada, pangkal paha, leher. Berikut adalah ringkasan yang bermanfaat untuk mengetahui tentang daya penyembuhan di balik pelaksanaan sholat sebagai aktivitas spiritual. Gerakan-gerakan shalat bila dilakukan dengan benar, selain menjadi latihan yang menyehatkan juga mampu mencegah dan menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hembing menemukan bahwa berdiri tegak pada waktu shalat membuat seluruh saraf menjadi satu titik pusat pada otak, jantung, paru-paru, pinggang, dan tulang pungggung lurus dan bekerja secara normal, kedua kaki yang tegak lurus pada


(22)

posisi akupuntur, sangat bermanfaat bagi kesehatan seluruh tubuh. Belum lagi gerakan sujud yang setiap rakaat dua kali hingga jumlahnya sehari 34 kali.

Menurut Abdullah (2006) salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan dan keselamatan diri bagi setiap individu khususnya bagi mereka yang telah lansia, baik pria maupun wanita adalah konsisten melaksanakan shalat lima waktu secara teratur. Pelaksanaannya yang konsisten mampu membentengi diri dari serangan penyakit jantung, tersumbatnya peredaran darah, infeksi pada persendian tubuh, peningkatan kolesterol pada tubuh dan juga osteoporosis. Shalat dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Berdasarkan penemuan-penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya berasal dari penyakit jiwa, dan banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagi sarana kesehatan tubuh juga (Banna dalam Nurdin, 2006). Shalat jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan ndividu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (Sholeh 2006).

Shalat melibatkan unsur badan dan jiwa yang menghasilkan bio-energi serta mempunyai efek meredakan ketegangan dan kecemasan (Irma, 2003). Saat melakukan shalat pikiran dan mental tertata sedemikian rupa sehingga perasaan batin menjadi lebih tenang, hening dan khusyuk. Dalam keadaan tenang gelombang otak manusia mencapai


(23)

8-12 gelombang perdetik, merupakan saat yang paling optimal untuk memperbaharui daya ingat jangka panjang kita, secara praktis membantu mencegah pikun dini (Wratsangko, 2006). Shalat membuat jiwa menjadi tenang, tidak gelisah, takut atau khawatir, membawa keteguhan hati dan sikap optimis serta ketenangan jiwa (Rafi’udin & Zainudin 2004). Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Basyarahil (2001) juga mengatakan bahwasanya shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman batin. Firman Allah SWT dalam Al’Quran surat Thaha:14 dan Ar-Ra’du :28:

“Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku. (Qs. Thaha:14) “Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Qs.Ar-Ra’du: 28)

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya shalat yang dilakukan dengan gerakan yang tepat, teratur dan khusyuk akan menjadi faktor penentu seseorang merasakan manfaat shalat. Manfaat shalat yang dirasakan seperti ketenangan, kententraman batin, meredakan ketegangan, kecemasan, tidak gelisah, takut, khawatir, membawa keteguhan hati, sikap optimis dan sebagainya menunjukkan adanya proses kemampuan regulasi yang meningkat dari setiap pelaksananya. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua orang dapat melakukan shalat dengan ketiga faktor penentu diatas, ditambah dengan karakteristik dari sampel penelitian penulis yang telah lansia, penulis akhirnya memutuskan hanya ingin melihat bagaimana kaitan antara shalat dan regulasi emosi bila hanya melihat dari pelaksanaan keteraturan shalat lima waktunya saja.

Dari penjelasan diatas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan keteraturan shalat lima waktu dengan kemampuan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner.


(24)

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat bagaimana hubungan keteraturan sholat lima waktu dengan kemampuan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai hubungan antara keteraturan shalat lima waktu dengan kemampuan regulasi emosi .

Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan di bidang psikologi klinis sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan bagi banyak kalangan, antara lain:

a. Masyarakat umum dapat mengetahui hubungan keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner.

b. Bagi lansia khususnya yang mengalami penyakit jantung koroner diharapkan untuk mampu melaksanakan shalat lima waktu secara teratur, selain sebagai kewajiban tentunya dapat dilakukan sebagai salah satu latihan fisik yang dapat memberikan banyak manfaat untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi c.Sebagai referensi bagi Praktisi Psikologi khususnya bidang Psikologi Klinis


(25)

D. Sistematika Penulisan

BAB I : Pendahuluan

Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendaari masalah yang menjadi objek penelitian, meliputi landasan teori dari keteraturan shalat lima waktu, regulasi emosi, lansia, dan penyakit jantung koroner.

BAB III : Metode Penelitian

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian yang mencakup variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi, sampel, dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, prosedur pelaksanaan penelitian, metode analisis data.

BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan

Berisi gambaran subjek penelitian, uji asumsi penelitian, hasil utama penelitian, hasil tambahan dan diskusi yang merupakan pembahasan dan pembanding hasil penelitian sebelumnya

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Berisi kesimpulan hasil penelitian dan saran penyempurnaan penelitian berikutnya.


(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Shalat

Shalat merupakan kewajiban yang dilakukan umat muslim setiap hari minimal lima waktu sehari sebagai wujud rasa syukur dan keimanan kita kepada Allah SWT. Saat melaksanakan shalat, seluruh aspek kesehatan (lahir, mental dan pikir) bersinergi secara harmonis. Motivasi menegakkan shalat bersumber pada kesadaran diri (aspek mental, spritual dan pikir) untuk menghamba kepada Allah SWT sebagai Sang Khalik. Kemudian dilanjutkan dengan rukun atau tata gerakan shalat itu sendiri (Wratsangko, 2006).

1. Definisi Shalat

Menurut Rahman (2002) shalat berarti doa, ibadah, memohon dengan khusyuk kepada Tuhan; meminta rahmat Tuhan. Hasan (2000) menjelaskan bahwa shalat menurut bahasa (etimologi) adalah doa, sedangkan shalat menurut istilah (terminologi) adalah semua ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Wratsangko (2006) menjelaskan bahwa shalat berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental (spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik, perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang harmonis.

Dari penjelasan diatas shalat adalah semua ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan.


(27)

2. Shalat lima waktu (Shalat Fardhu)

Hasan (2000) mengatakan bahwa shalat Fardhu ‘ain artinya setiap muslim yang sudah baligh dan berakal dituntut menunaikannya, seperti shalat wajib lima waktu sehari semalam. Menurut Sabiq (1990) shalat lima waktu (dalam Karim, 1999) yaitu Shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Magrib, Isya.

Wijayakusuma (1996) menguraikan shalat lima waktu berdasarkan sabda dan praktek Rasulullah SAW sebagai berikut:

1. Shalat Subuh.Waktunya mulai terbit fajar sampai terbit matahari, dan dikerjakan sebanyak dua rakaat.

2. Shalat Zhuhur.Waktunya setelah matahari turun dari pertengahan langit sampai matahari dalam pertengahan jalan atau matahari mulai tergelincir ke barat sampai bayang-bayang sesuai panjang bendanya, dan dikerjakan sebanyak empat rakaat. 3. Shalat Ashar.Waktunya mulai bayang-bayang sesuatu sepanjangnya sampai

terbenam matahari dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.

4. Shalat Maghrib.Waktunya mulai matahari terbenam sampai setelah warna merah

(syafaq) di langit hilang, dan dikerjakan sebanyak tiga rakaat.

5. Shalat Isya.Waktunya semenjak hilangnya pantulan sinar matahari (syafaq) sampai terbit fajar dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.

3. Hikmah Shalat

Rafi’udin & Zainudin (2004) menguraikan ada beberapa rahasia dan hikmah yang dikandung ibadah shalat, antara lain:


(28)

1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Shalat merupakan sarana dialog antara manusia dengan Tuhannya, sehingga manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya yang terlihat dari aspek-aspek shalat, baik hati, ucapan maupun gerakan .

2. Mencegah dari sifat keji dan munkar.

Hal ini akan tampak dari cerminan akhlak atau perilaku sehari-hari, disamping terhindar dari perbuatan keji, dosa dan kemunkaran dengan memelihara shalat, tentulah hatinya juga suci dan bersih jiwanya. Kesucian hati dan jiwa akan membawa keberuntungan dan kebahagian bagi orang tersebut di dunia dan kebahagian kekal di akhirat.

Al Ghazali (dalam Rafi’udin & Zainuddin, 2004) memberikan penjelasan tentang makna batin yang dapat mengantarkan kepada kesempurnaan, sehingga diharapkan shalat berfungsi sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, penangkal dari segala konflik kejiwaan sekaligus mendatangkan rasa aman dan tentram.

3. Shalat menimbulkan jiwa yang tenang.

Mengingat Allah SWT hati menjadi tentram dan jiwa menjadi tenang, tidak gelisah, takut atau khawatir, karena orang yang senantiasa mengingat Allah akan melakukan hal-hal yang baik dan ia merasa bahagia dengan kebajikan yang telah diakukan. Mengingat Allah lewat shalat akan membawa keteguhan hati dan sikap optimis serta ketenangan jiwa. Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Menurut Basyarahil (2001) shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman batin.


(29)

4. Mendidik sikap disiplin dan tanggung jawab.

Disiplin disini dimaksudkan untuk ketepatan waktu dan kepatuhan seseorang dalam mengerjakan shalat setiap hari, sehari semalam. Panggilan shalat adalah manifestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah, atas kewajiban yang harus dilaksanakan. Shalat yang telah ditentukan waktu-waktunya oleh Allah akan mengingatkan manusia akan rasa tanggung jawabnya. Sejak dari kita bangun dari fajar pagi sampai kita akan tidur lagi, bahkan disaat kita disibukkan oleh pekerjaan di siang hari, kita di suruh untuk berhenti sejenak melepaskan kesibukan kita untuk mengingat Allah.

5. Memupuk rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan.

Shalat merupakan bentuk ibadah pertama yang diwajibkan bagi setiap muslim baligh, berakal, sehat dan suci dari haid dan nifas (bagi perempuan). Kewajiban ini tidak dibedakan antara orang yang berpangkat dengan rakyat jelata, orang kaya dan miskin, orang pandai dan bodoh, tetap memilki kewajiban dalam melaksanakan shalat, baik di kala sehat maupun dikala sakit, di tempat maupun di perjalanan, baik dikala aman bahkan dikala terjadi peperangan wajib mendirikan shalat dengan ketentuan ketentuan tertentu. Tidak pula dibedakan shaf (barisan) paling depan, tengah dan belakang, hanya takwalah yang membedakan kita dihadapan Allah.

6. Melatih konsentrasi.

Shalat yang dikerjakan dengan cara yang khusyuk akan melatih konsentrasi fikiran, perasaan kemauan dan hatinya dipusatkan (dikonsentrasikan) menjadi satu dengan badan dan hanya dihadapkan kepada Allah. Membaca doa dengan memusatkan fikiran dan pemahaman serta renungan akan isi, makna dan maksud yang terkandung


(30)

dalam rangkaian kalimat tersebut. Hal tesebut membiasakan orang terlatih konsentrasi dan memusatkan fikiran, perhatian dan perasaan serta kemauannya dalam segala persoalan. Konsentrasi merupakan faktor yang paling utama untuk mencapai kesuksesan. Cita-cita akan berhasil apabila seluruh perhatian dipusatkan untuk meraihnya.

7. Menjaga kesehatan jasmani.

Menurut Thabarah (dalam Rafi’udin & Zainuddin, 2004) yang mengatakan tentang manfaat ruku’ dan sujud sangat penting bagi kesehatan badan, dan menambah kreativitas kerja.

Saboe (dalam Haryanto 2005) mengatakan hikmah yang dapat diperoleh dari gerakan-gerakan ibadah shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah, dan dengan sendirinya membawa efek pula kepada kesehatan rohaniah (menssana in corpotre sano) atau kesehatan mental/jiwa seseorang. Selanjutnya dijelaskan bila ditinjau dari sudut ilmu kesehatan, setiap gerakan, setiap sikap, serta setiap perubahan dalam gerak dan sikap tubuh pada waktu melaksanakan shalat, adalah yang paling sempurna dalam memelihara kondisi kesehatan tubuh.

Menurut Noer (2006), banyak hikmah bagi kehidupan manusia yang kita peroleh dari shalat, baik itu bagi kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat:

a. Shalat sebagai sarana penghubung manusia dengan Allah swt

Hubungan manusia dengan Allah SWT adalah hubungan makhluk terhadap pencipta-Nya. Hubungan ini tidak akan terputus selama manusia sadar dan ingat bahwa ia hanyalah ciptaan Allah yang tidak akan hidup dan tujuan penciptaannya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah.


(31)

b. Shalat sebagai penolong

Shalat berfungsi pula sebagai penolong bagi manusia untuk mencapai rahmat Allah. Dengan shalat manusia bisa meminta bantuan atau pertolongan apapun melalui shalat dan bersabar.

c. Mempersatukan umat dengan shalat berjama’ah

Segala perbedaan baik warna kulit, bahasa, bangsa, negara, dan lainnya tidak berpengaruh ketika umat Islam berjama’ah shalat sesuai dengan tuntutan Rasulullah. Maka dalam hal ini shalat berjama’ah telah mempersatukan umat Islam dengan komitmen bahwa ketika shalat saja kita bisa berjama’ah, maka dalam hal lainpun kita bisa.

d. Shalat sebagai kontrol diri dari perbuatan buruk

Manusia pada dasarnya suka berkeluh kesah dan bersifat kikir. Namun hal ini tidak terjadi pada orang yang suka menunaikan shalat dengan khusyuk.

a.Komitmen terhadap waktu (disiplin diri). b.Menjaga kebersihan diri dll.

4 . Manfaat Gerakan Shalat

Menurut Wratsongko (2006), makna rahasia gerakan shalat terkait dengan pencegahan dan perawatan kesehatan tubuh. Pemahaman tentang tata laksana gerakan shalat dimaksud adalah:


(32)

1. Berdiri tegak

Sikap berdiri dengan tegak dengan sikap kaki menumpu seluruh berat badan. Dalam posisi berdiri tegak seperti ini, maka tubuh berada dalam posisi anatomisnya. Seluruh otot, tulang dan sendi berada dalam posisi pasif sehingga timbulah relaksasi.

2. Takbiratul Ihram

Saat kedua tangan atau lengan diangkat disisi kanan-kiri tubuh dalam takbir, maka otot-otot dada akan mengembang secara pasif. Dengan mengembangnya otot-otot ini maka organ paru yang ada didalamnya juga akan mengembang secara pasif mengikuti hukum tekanan negatif sehingga udara (oksigen) bisa masuk secara optimal hingga ke pembuluh paru terkecil (alveoli). Oksigenasi yang optimal juga dirasakan oleh otak, sebagai pusat utama pengatur segala aktifitas tubuh manusia. Ketika organ paru mengambang, maka organ jantung yang ada diantaranya “sedikit” mendapatkan keleluasaan ruang untuk berdenyut.

3. Ruku’

Ketika posisi membungkuk disertai dengan wajah menghadap ke depan, maka ruas tulang belakang segmen leher sampai ekor membentuk posisi sedemikian rupa, dimana kelengkungan tiap-tiap segmen berkurang. Dengan kata lain mendekati posisi “melurus”, dimana keadaan ini menyebabkan serabut saraf tulang belakang mengalami relaksasi, termasuk rangkaian saraf otonom (simpatik dan parasimpatik) yang berupa juluran seperti rantai di sisi luar (kanan-kiri) tulang belakang kita. Saraf otonom ini turut serta berperan dalam mengatur irama kerja organ di dalam tubuh kita (jantung, paru, usus, organ reproduksi, alat kelamin dan-lain-lain) apakah irama kerja tersebut akan meningkat ataukah menurun. Meningkat atau menurunya irama kerja organ ini merupakan


(33)

peringatan bagi kita mengenai kondisi tubuh yang terganggu. Saat ruku’ akan menyebabkan peningkatan di dalam saluran tulang belakang yang diteruskan ke rongga kepala.

4. I’tidal

Posisi ini membantu metabolisme otak dan jantung bekerja optimal. Oleh karena itu dalam i’tidal aliran darah yang tadinya terfokus di kepala setelah ruku’ akan turun ke badan sesuai garavitasi. Gerakan takbir bersamaan dengan menegakkan badan saat i’tidal, menyebabkan stimulus pada cabang besar saraf di bahu, ketiak yang merupakan cabang saraf yang melayani organ jantung, paru dan sebagain organ pencernaan.

5. Sujud

Gerakan sujud akan membuat otot dada dan otot sela iga menjadi kuat sehingga rongga dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang dengan baik dan dapat menghisap udara. Lutut yang membentuk sudut yang tepat memungkinkan otot-otot perut berkembang dan mencegah dibagian tengah. Menambah aliran darah ke bagian atas tubuh terutama kepala (mata, telinga, dan hidung) serta paru-paru, memungkinkan toksin-toksin dibersihkan oleh darah.

6. Duduk diantara dua sujud

Pada posisi ini otot-otot pangkal paha di mana di dalamnya terdapat salah satu saraf pangkal paha yang besar berada diatas tumit kaki yang berfungsi sebagi penyangga. Hal ini menyebabkan otot-otot di daerah ini terpijit (refleksi). Pijatan ini bermanfaat untuk melindungi diri dari penyakit saraf pangkal paha (neuralgia) yang terasa sakit, nyeri hingga mengakibatkan kaki tidak dapat digerakkan.


(34)

7. Takhiyatul akhir

Gerakan dalam posisi ini kaki kiri dilipat dan kaki kanan dalam posisi menekuk kelima jarinya. Pada posisi ini saraf yang terstimulasi kurang lebih sama dengan duduk diantara dua sujud. Sirkulasi energi dihentikan karena tulang punggung dibengkokkan dan pusat energi dibagian bawah diantara dubur dan kemaluan ditutup dengan ujung tumit. Dengan demikian sirkulasi energi yang mengalir dari tulang ekor menjalar ketulang punggung dan terus masuk ke otak dihentikan. Dan diakhiri dengan gerakan salam yaitu, menoleh kekanan kemudian kekiri.

5. Definisi Keteraturan Shalat

Menurut Adi (1994) keteraturan shalat ialah setiap hari mengerjakan shalat lima waktu dan tidak satupun yang ditinggalkan yaitu shalat subuh, shalat zhuhur, shalat ashar, shalat maghrib, dan shalat isya.

6. Aspek-Aspek Keteraturan Shalat

Menurut Adi (1994) dalam melaksanakan shalat secara teratur perlu adanya usaha dan kesungguhan hati. Aspek–aspek keteraturan shalat meliputi :

1. Faktor ketepatan dan disiplin.

Shalat wajib lima waktu harus dilaksanakan dengan disiplin yaitu dengan menepati waktu-waktu shalat yang telah ditentukan. Seseorang dikatakan disiplin bila selalu melakukan shalat tepat waktu secara terus menerus, karena apabila sering terlambat atau bermalas-malas dalam mengerjakan shalat akan dianggap gagal dalam mencapai keteraturan shalat.


(35)

2. Faktor kesadaran dan tanggung jawab.

Kesadaran dan tanggung jawab sangat penting dalam melaksanakan shalat wajib lima waktu. Kalau tidak diikuti kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menjalankan shalat, maka akan menjadikan seseorang merasa sulit dan berat untuk memenuhi kewajiban tersebut. Seolah-olah hanya terpaksa saja dan kurang ikhlas. Seseorang yang memiiki kesadaran akan pentingnya shalat akan memandang shalat sebagai kebutuhan. 3. Faktor kekuatan kehendak dan dapat mengatasi pengaruh lingkungan.

Kekuatan kehendak atau kekuatan niat sangat menentukan perilaku seseorang termasuk shalatnya. Seseorang yang memilki kekuatan niat akan senantiasa melaksanakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, termasuk sakit atau dalam perjalanan. Kekuatan niat dapat mengatasi pengaruh lingkungan yang bersifat negatif, karena kalau tidak memilki kekuatan niat, tentu akan kurang kuat pula motivasi dan gairahnya untuk menjalankan shalat, sehingga sering gagal dan menyerah saja pada pengaruh lingkungan.

7. Aspek-Aspek Teraupetik Dalam Ibadah Shalat

Menurut Ancok & Suroso (2001) ada beberapa aspek terapeutik yang terdapat dalam ibadah shalat, antara lain: aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti, aspek kebersamaaan. Disamping itu shalat juga mengandung unsur relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Adi, 1994 & Haryanto 2005).

1. Aspek olah raga.

Ancok (2001) bila dikaitkan dengan shalat yang banyak rakaatnya (shalat tahajud), maka tidak dapat dipungkiri bahwa shalat pun akan dapat menghilangkan


(36)

kecemasan. Kalau kita perhatikan shalat, maka mengandung unsur gerakan-gerakan olah raga; mulai dari takbir, berdiri, ruku’, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk akhir (atahiyat) sampai mengucapkan salam. Shalat yang dilakukan secara khusyuk, terutama shalat pada malam hari (tahajud) akan membantu terciptanya rasa khusyuk tersebut.

Al Qayyim (dalam Al-khuli, 2003) mengatakan gerakan-gerakan dalam shalat merupakan latihan (olahraga) yang menjadikan badan ringan dan energik, menciptakan selera makan, memperkokoh persendian dan menguatkan jaringan-jaringan tubuh, sehingga dapat menghindarkan tubuh dari penyakit fisik dan psikis. Marzuq (dalam Al-Khuli, 2003) mengatakan diantara manfaat-manfaat shalat bahwa shalat merupakan olahraga yang cocok untuk otot-otot persendian tubuh.

Moinuddin ( dalam Haryanto 2005) mengatakan bahwa dalam satu hari paling sedikit kita melaksanakan tujuh belas rakaat yang terdiri atas sembilan belas posisi yang terpisah pada tiap-tiap rakaatnya. Total ada 119 postur per hari atau 3.570 postur per bulan atau 42.840 postur per tahun. Rata-rata umur orang dewasa empat puluh tahun, maka telah melakukan 1.713.600 postur. Siapapun yang melaksanakan akan terlindung dan tercegah dari penyakit ringan dan berat.

2. Aspek meditasi

Zuroff (dalam Adi, 1994 & Subandi, 2003) mengatakan bahwa meditasi dapat mengurangi kecemasan telah diselidiki oleh tokoh-tokoh sarjana Barat, seperti pada penyelidikan Zen Meditation dan kemudian pada penyelidikan Trancendental Meditation. Ancok (2001) mengatakan bahwa shalat merupakan proses yang menuntut “konsentrasi” yang dalam. Setiap muslim dituntut untuk melakukan hal tersebut yang di


(37)

dalam bahasa Arab adalah ‘khusyuk’. Kekhusyukan di dalam shalat tersebut adalah meditasi.

Shalat juga memiliki efek seperti meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan dengan benar dan khusyuk. Dalam kondisi khusyuk seseorang hanya akan mengingat Allah SWT bukan mengingat yang lain (Ancok, 2001).

Shalat seperti meditasi mempunyai efek yang mu’jizat terhadap seluruh sistem tubuh kita seperti syaraf, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, pengeluaran, otot-otot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. Shalat juga sebagai meditasi yang dapat melepaskan diri dari kesibukan dunia yang mencemaskan, untuk masuk ke dalam suasana tenang walau sesaat pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara teratur, untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat mengurangi kecemasan (Nizami, 1981).

3. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis

Bacaan-bacaan dalam shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon ampun, doa, maupun permohonan yang lain, sesuai dengan arti shalat itu sendiri yaitu doa (Ash-Shiddieqy, 1983). Teori hipnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses auto-sugesti. Mengatakan hal-hal yang baik terhadap diri sendiri adalah mensugesti diri sendiri agar memiliki sifat yang baik tersebut. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi self-hypnosis (Ancok, 2001).

4. Aspek Kebersamaan

Mengerjakan shalat sangat disarankan oleh agama untuk melakukannya secara berjamaah (bersama orang lain), ditinjau dari segi psikologi kebersamaan itu sendiri


(38)

mengandung aspek terapeutik. Beberapa ahli Psikologi mengatakan bahwa perasaan “keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa, dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu akan hilang.

Shalat yang dijalankan secara berjamaah menimbulkan rasa hangat dalam hubungan interpersonal antara sesama manusia yang senasib sederajat. Shalat yang dilakukan berjamaah juga mempunyai efek terapi kelompok (group therapy), sehingga perasaan cemas, terasing, takut menjadi nothing atau nobody akan hilang (Lingren, dalam Haryanto, 2001).

5. Relaksasi otot

Shalat adalah proses yang menuntut sesuatu aktivitas fisik. Ibadah shalat juga mempunyai efek seperti relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat. Lehrer (dalam Adi, 1994) kontraksi otot dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat itu menyerupai proses relaksasi otot yang telah diselidiki oleh sarjana-sarjana Barat dan dapat mengurangi kecemasan, tidak dapat tidur, mengurangi hiperaktivitas pada anak, mengurangi toleransi sakit dan membantu mengurangi merokok bagi para perokok yanbg ingin sembuh atau berhenti merokok.

Penelitian yang dilakukan Prawitasari (dalam Haryanto, 2001) dengan menggunakan teknik relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan yoga, hasilnya menunjukkan bahwa teknik-teknik tersebut ternyata efektif untuk mengurangi keluhan berbagai penyakit terutama psikosomatis.


(39)

6. Relaksasi kesadaran indera

Relaksasi kesadaran indera ini seseorang biasanya diminta untuk membayangkan pada tempat-tempat yang mengenakkan. Saat shalat seseorang seolah-olah terbang ke atas (ruh), menghadap kepada Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap bacaan dan gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa kepada Allah. Arifin (dalam Haryanto, 2001) dalam bukunya Samudera Al-Fatihah, bahwa dalam shalat memang benar-benar terjadi dialog antara hamba dengan Tuhannya.

7. Pengakuan dan penyaluran (katarsis)

Adi (1994) mengatakan bahwa dalam shalat, individu bisa langsung berdialog dengan Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui jadi bisa selalu katarsis (catharsis) dan tidak lagi merasa terpencil, karena si individu akan menyadari dia sesungguhnya tidak sendirian, paling sedikit masih ada Allah yang selalu memperhatikan dan menyertainya, dan selalu bersedia memelihara dan menolongnya, dengan rasa kebersamaan ini diharapkan kecemasannyapun bisa berkurang.

8. Terapi air (Hydro Therapy)

Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa sebelum melakukan shalat, maka syaratnya adalah terlebih dahulu wudhu dengan air kecuali kalau tidak ada air boleh tayammum dengan debu. Menurut Adi (1985) dan Effendy (dalam Haryanto, 2001) wudhu ternyata memiliki efek penyegaran (refreshing), membersihkan badan dan jiwa, pemulihan tenaga, relaksasi, menghilangkan ketegangan-ketegangan dan kelelahan, mirip benar dengan terapi air.


(40)

B. LANJUT USIA (Lansia) 1. Definisi Lanjut Usia (Lansia)

Menurut Santrock (2002) lansia disebut sebagai masa dewasa akhir, yang dimulai pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar 120 tahun, memiliki rentang kehidupan yang paling panjang dalam perkembangan manusia lima puluh tahun sampai enam puluh tahun.

Menurut para ilmuan lain ( dalam Papalia, 2001) yang mempelajari tentang lansia dan membaginya kedalam tiga kelompok yaitu: (1) usia tua muda (young old) berusia 65-74 tahun, biasanya masih aktif dan fit; (2) usia tua (old old) berkisar antara usia 75-84 tahun dan; (3) usia lanjut (oldest old) berusia 85 tahun keatas telah mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini menggunakan definisi menurut program dunia kesehatan lansia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Menurut program dunia kesehatan lanjut usia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Definisi ini berpatokan pada umur harapan hidup tahun 1955 yang berkisar 61-63 tahun dan umur masa pensiun 55 tahun serta UU no. 4 tahun 1965.

2.Tugas Perkembangan Lansia.

Menurut Havighurst ( dalam Hurlock, 1999) sebagaian tugas perkembangan lanjut usia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Adapun tugas perkembangan tersebut antara lain:


(41)

1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan sebagai pengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagaian besar waktu kala mereka masih muda.

2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga.

Pada usia ini, lansia sudah memasuki masa pensiun dan tidak bekerja lagi, sehingga pemasukan yang ada hanya berasal dari dana pensiun maupun dari pemberian anak-anak mereka.

3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

Sebagaian besar orang lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan peristiwa kematian suami atau istri. Kejadian seperti ini lebih menjadi masalah dengan peristiwa kematian suami atau istri. Dimana kematian suami berarti berkurangnya pendapatan dan timbul bahaya karena hidup sendiri dan melakukan perubahan dalam aturan hidup.

4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sesuai.

Pada lansia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan masa pensiun.


(42)

5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

Menyadari bahwa menurunnya kesehatan dan fungsi-fungsi fisik, pada masa lansia mereka berusaha untuk mempertahankan dan mengatur kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan, yakni berolahraga maupun mengatur pola makan.

6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Pada lansia, individu mengalami perubahan peran. Dimana, para lansia mempunyai pengalaman lebih daripada orang yang lebih muda, sehingga peran lansia biasanya diminta untuk memberi pendapat, masukan ataupun kritikan, dan partisipasi lansia terhadap kehidupan sosial menurun biasanya disebabkan oleh masalah fisik.

3. Beberapa Masalah Yang Umum Dialami Oleh Para Lansia

Berikut ini ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh lansia sehubungan dengan berbagai perubahan dan penurunan yang terjadi pada lanjut usia tersebut:

1. Masalah yang berhubungan dengan keadaan fisik. Keadaan fisik yang lemah dan tak berdaya sehingga menyebabkan harus bergantung pada orang lain (Hurlock, 1999)

2. Masalah status ekonomi, berkaitan dengan hal-hal seperti penghasilan, jaminan sosial, perumahan, kendaraan, jaminan pelayanan medis, dan lain-lain (Monks, 1999).

3. Masalah sosial berkaiatan dengan bagaimana mencari teman baru untuk menggantikan suami atau istri yang telah meninggal, pindah ke panti dan peran sosial yang baru ( Monks, 1999).


(43)

4. Masalah pensiun hal ini terkait dengan keadaan ekonomi, meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua ( Papalia, 2001).

5. Masalah-masalah kesehatan, biasanya ketuaan menjadikan manusia rentan terhadap berbagai penyakit. Pada lansia biasanya penyakit yang dialami berupa penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, TBC paru, darah tinggi, jantung, kanker, gangguan pernafasan, radang sendi, osteoporosis dan alzheimer

(Santrock, 2002).

6. Masalah yang berkaitan dengan penurunan fungsi berpikir, seperti dengan menurunnya daya ingat, kemampuan konsentrasi, memecahkan masalah, penurunan Fluid Intellegence, dan lain-lain ( Santrock, 2002).

7. Masalah psikologis terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, depresi, dan post power syndrome, the

empty nest (Munandar, dkk, 2001).

8. Masalah seksual, bagi lansia yang masih mempunyai pasangan sering terjadi masalah dalam aktivitas seksual. Hal ini disebabkan oleh penyakit yang mungkin diserita salah satu pasangan hidup lansia tersebut atau karena suami mengalami kesulitan dalam mencapai orgasme, sehingga mempengaruhi keinginannya untuk melanjutkan hubungan seksual (Papalia, 2001).


(44)

4.Gambaran Emosi pada Lansia

Pada umumnya emosi lansia memiliki tingkat sensitifitas emosional yang meningkat, kurang gairah, kurang mampu menghadapi tekanan (stress), merasa rendah diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Keadaan seperti ini tentunya akan membuat kondisi emosi yang dirasakan akan semakin tidak stabil, apalagi diikuti dengan ketidakberhasilan menemukan jalan keluar dari masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua (Achir dalam Munandar, 2001).

Satu dari beberapa penelitian yang berdasarkan pengalaman emosi dan usia yang dilakukan oleh Malatesta dan Kalnok (1984) (dalam Robert dkk, 2004). Mereka melakukan survey terhadap 240 orang kulit putih yang berasal dari kelas menengah yang dibagi kedalam 3 kategori usia 17-34, 35-56, dan 57-88. Mereka menemukan bahwasanya tidak ada kecenderungan untuk responden-responden yang lebih tua (usia 66 tahun) untuk lebih memiliki respon-respon yang negatif. Mereka juga menemukan lebih banyak persamaan daripada perbedaan diantara kategori-kategori diatas. Perbedaan gender kecil kebanyakan responden-responden tua tidak merasa bahwa emosi mereka berubah seiring berjalannya usia. Pengalaman emosi sama pentingnya antara orang-orang usia tua dengan usia menengah tetapi tidak terlalu penting bagi orang-orang dewasa usia muda. Kesedihan kebanyakan disebabkan oleh masalah-masalah fisik untuk orang dewasa didalam seluruh kategori seluruh usia. Sebagai contoh 55% dari dewasa muda melaporkan bahwa kesedihan itu berhubungan dengan masalah fisik, dibandingkan dengan 66% pada usia menengah dan 79% pada usia tua. Disisi lain masalah-masalah

personal losses menyebabkan kesedihan 45% dewasa muda, 34% usia menengah dan


(45)

menjadi sumber yang lebih besar atas kesedihan berdasarkan usia tetapi asumsi bahwasanya personal lossess menjadi masalah yang lebih sering ditemukan terhadap distress dalam kehidupan selanjutnya bisa menjadi tidak akurat.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya masalah kesehatan menjadi masalah utama yang membuat keadaan emosional pada lansia menjadi lebih sering tidak stabil.

C. EMOSI

1. Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa latin ’movere’ yang artinya menggerakkan, sehingga emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan suatu keadaan (Kalat, 2005). Emosi menurut Goleman (2004) ialah pergolakan pikiran dan perasaan, termasuk setiap keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak.

Sementara itu, Preez (dalam Martin, 2003) menjelaskan emosi dalam tiga pengertian. Pertama, emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Kedua, emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi. Ketiga, hasil reaksi kognitif (berpikir) terhadap situasi spesifik.

Pengertian emosi lebih lengkap dijelaskan oleh Atkinson dan Hilgard (2003) emosi merupakan suatu keadaan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa, objek atau orang yang secara khusus meliputi penilaian secara kognitif (interpretasi individu terhadap suatu peristiwa), pengalaman subjektif (emosi yang dirasakan individu), kecenderungan berpikir dan bertindak (individu berpikir tentang respon emosi apa yang


(46)

akan ditampilkannya), perubahan tubuh secara internal (adanya perubahan fisiologis akibat emosi yang muncul seperti detak jantung, pernapasan dan tekanan darah), ekspresi wajah (emosi yang dirasakan dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah, yang terlihat dari mata, bibir, hidung, dll) dan respon terhadap emosi (bagaimana individu menunjukkan emosi yang dirasakannya melalui tingkah laku, atau nada suara).

Frijda (dalam Pluutchick, 1994) mengemukakan bahwa emosi timbul ketika suatu peristiwa memiliki makna pribadi bagi individu, atau jika situasi tersebut dapat bermanfaat atau merugikan kepentingannya. Frijda (1986) menggambarkan emosi sebagai perubahan kesiapan tindakan yang ditimbulkan oleh kejadian yang berarti. Ketika individu mengalami suatu kejadian maka ia melakukan apppraisal yang dapat menyebabkan kesiapan tindakan menjadi berubah.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas disimpulkan bahwa emosi ialah suatu perasaan yang timbul sebagai respon terhadap stimulus tertentu yang melibatkan pengalaman subjektif, respon fisiologis dan ekspresi yang dapat diamati, serta juga melibatkan penilaian secara kognitif, kecenderungan berpikir dan bertindak serta respon terhadap emosi.

2 Jenis-Jenis Emosi

Lafreniere (1999) membagi emosi menjadi dua kelompok yaitu : a. Emosi positif yaitu emosi yang dikehendaki seseorang, seperti :

1) Gembira

Kegembiraan, keriangan dan kesenangan timbul akibat rangsangan seperti keadaan fisik yang sehat atau keberhasilan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada


(47)

berbagai macam ekspresi kegembiraan, dari yang tenang sampai meluap-luap. Seiring dengan bertambahnya usia, lingkungan sosial akan memaksa individu untuk mampu mengendalikan ekspresi kegembiraannya agar dapat dikatakan dewasa atau matang (Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

2) Rasa ingin tahu

Rangsangan yang menimbulkan emosi ingin tahu sangat banyak. Contohnya sesuatu hal yang aneh dan baru akan menyebabkan seseorang berusaha mencari tahu hal tersebut (Izard dalam Lafreniere, 1999).

3) Cinta

Perasaan yang melibatkan rasa kasih sayang baik terhadap benda maupun manusia (Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

4) Bangga

Suatu perasaan yang dapat meningkatkan identitas ego seseorang misalnya dengan cara berhasil mencapai sesuatu yang bernilai atau dapat mewujudkan keinginan, seperti meraih prestasi (Lewis dalam Lafreniere, 1999).

b. Emosi negatif yaitu emosi yang tidak dikehendaki seseorang, seperti : 1) Marah

Emosi marah pada umumnya ditimbulkan oleh berbagai macam rintangan terhadap aktivitas dan keinginan yang dapat berasal dari orang lain maupun ketidakmampuan diri sendiri. Selain itu, marah juga dapat muncul karena kejengkelan yang bertumpuk. Reaksi kemarahan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu impulsif dan ditekan. Rasa marah sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya perasaan kita sedang tersinggung.


(48)

Rasa marah merupakan emosi yang paling sulit untuk diterima dan diungkapkan (Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

2) Sedih dan depresi

Sedih adalah bentuk yang lebih ringan dari trauma psikis yang disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang dicintai atau kegagalan mewujudkan keinginan. Bentuk yang lebih berat dari sedih disebut depresi. Perbedaan antara sedih dan depresi adalah sedih biasanya tidak menghalangi individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Depresi dapat dilihat dengan ciri khasnya yaitu cara berpikir yang tidak realistis, sering merasa diri tidak berharga, sering merasa bersalah terhadap sesuatu yang sesungguhnya dia tidak bertanggung jawab dan ada kemungkinan untuk melukai diri sendiri serta mengakhiri hidup (Bowlby dalam Lafreniere, 1999).

3) Takut

Emosi takut merupakan reaksi dari rangsangan yang terjadi secara tiba-tiba dan mengancam serta tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Rasa takut juga muncul jika seseorang tidak bisa melakukan sesuatu sebaik yang dia inginkan (Witherington & Campos dalam Lafreniere, 1999).

4) Cemburu

Cemburu merupakan emosi yang biasanya dirasakan seseorang saat orang yang dicintai mengalihkan perhatian dan cintanya kepada orang lain (Saarni dalam Lafreniere, 1999).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa emosi terbagi dua yaitu emosi positif (seperti gembira, rasa ingin tahu, cinta dan bangga) dan emosi negatif (seperti marah, sedih, depresi, takut dan cemburu).


(49)

3. Pengertian Regulasi Emosi

Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan (regulate feeling), reaksi fisiologis (regulate physiology), kognisi yang berhubungan dengan emosi (

emotion-related cognitions), dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (emotion-related

behavior) (Shaffer, 2005).

Regulasi emosi diartikan sebagai:

“..., the process of initiating, maintaining, modulating or changing the occurence, intensity, or duration of internal feeling states and emotion-related physiological processes, often in the service of accomplishing one’s goal”

(Eisenberg et al., dalam Garnefski et al.. 2002: 404 dalam Karista, 2005) Defenisi lainnya adalah:

“....the process of managing responses taht ariginate within cognitive experiental,

behavioral-expressive, and physiological biochemical components (Brenner &

Salovey, 1997: 170).

Dengan demikian dapat disimpulan bahwa regulasi emosi merupakan proses memulai, mengatur, memodulasi, atau mengubah kejadian, intensitas, atau durasi dari kondisi perasaan internal yang melibatkan aspek kognitif, perilaku dan fisiologis untuk mencapai tujuan.

Sementara itu, Gross (1999) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan


(50)

perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon


(51)

fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.

4. Ciri-Ciri Regulasi Emosi

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat dalam lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu :

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak dengan efektif

b.Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain c.Memiliki sikap hati-hati

d.Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan

e.Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya

Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi ialah : a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya


(52)

b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk berkembang

c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain d. Melakukan introspeksi dan relaksasi

e. Lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang dapat melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi, pandangan yang positif, peka terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi dan relaksasi, lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta tidak mudah putus asa.

5. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat

mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk

tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.


(53)

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk

menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.

Garnefski et al. (2001) (Dalam Karista, 2005) mengemukakan bahwa regulasi emosi melibatkan aspek biologis, sosial, perilaku, dan proses kognitif baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Menarik napas panjang ketika stress merupakan contoh regulasi emosi dalam aspek biologis. Dalam aspek sosial, regulasi emosi dilakukan dengan membangun hubungan interpersonal dengan orang lain dan mencari sumber dukungan. Dalam aspek perilaku, emosi diregulasi dengan melakukan berbagai perilaku yang bertujuan agar kondisi yang dialami seseorang tidak memberikan pengaruh negatif pada dirinya. Terakhir emosi dapat diregulasi melalui proses kognitif tidak sadar (seperti:

denial, projection) dan sadar (blamming others, rumination, dsb).

6. Strategi Regulasi Emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu :

a. Antecedent-focused strategy

Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi


(54)

Antecedent-focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive

reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi

sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan.

b.Respon-focused strategy

Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat

ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Respon-focused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy

membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa

antecedent-focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focused

strategy.

Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak cara, yaitu:

a.Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.


(55)

b.Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya.

d.Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman.

e. Respon modulation

Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kemarahannya pada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy,

situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan


(56)

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Williams dari Universitas Duke mengatakan bahwa latihan fisik khususnya yang mengandung nilai relaksasi seperti meditasi dan hatha yoga dapat mempengaruhi peningkatan regulasi emosi seseorang karena membantu mengurangi kemarahan, rasa cemas dan depresi (Robbins, Powers & Burgess, 1997).

Selain faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :

a.Usia

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005).

Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa kemampuan anak melakukan regulasi emosi tanpa bantuan orang lain terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Selain itu, kemampuan untuk mengevaluasi kontrolabilitas dari suatu stressor dan memilih strategi regulasi juga meningkat sejalan dengan tahapan perkembangan seseorang (Brenner & Salovey, 1997).

b.Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya. Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan


(57)

perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005). Menurut Brenner dan Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih sering berusaha mencari dukungan social untuk menghadapi distress sedangkan pria lebih memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi distress. Selain itu, dibanding pria, wanita lebih sering menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan komponen kognitif dan emosi.

c.Religiusitas

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).

d.Kepribadian

Orang yang memiliki kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif, moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli dalam Coon, 2005).


(58)

e. Pola Asuh

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui: pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua); teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam lingkungan.

f. Budaya

Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Lazarus, 1991).

g. Individual Dispositional

Brenner & Salovey (1997) menjelaskan bahwa karakteristik kepribadian seperti trait

kepribadian yang dimiliki seseorang, dapat mempengaruhi cara seseorang meregulasi emosinya. Contohnya, anak yang mengalami depresi cenderung menggunakan strategi menghindar dalam mengatasi kondisi distress dibanding anak yang tidak mengalami depresi.

h. Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals)

Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).


(59)

i. Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies)

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).

j. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities)

Jika trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu

lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).

D. Jantung Koroner

1. Definisi Penyakit Jantung Koroner

Penyakit akibat dari penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi untuk menyuplai jantung dengan darah yang penuh dengan oksigen. Peredaran darah menjadi tersumbat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut atherosclerosis (Sarafino, 2006).

Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. (Soeharto,2000).

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Terdapat beberapa faktor risiko penyakit jantung yaitu faktor risiko alami dan faktor risiko gabungan (Soeharto, 2000).


(1)

VAR00012 4.6400 1.39620 50

VAR00014 3.0600 2.05446 50

VAR00016 3.9800 1.76693 50

VAR00017 3.7800 1.61990 50

VAR00018 4.6000 1.52530 50

VAR00021 2.7600 1.67283 50

VAR00022 4.1600 1.58256 50

VAR00023 4.3800 1.24360 50

VAR00024 4.0800 1.58874 50

VAR00025 3.2400 1.77925 50

VAR00028 3.9200 1.74777 50

VAR00030 3.8400 1.54339 50

VAR00031 3.5200 1.63183 50

VAR00032 4.4200 1.42986 50

VAR00033 3.6800 1.63433 50

VAR00034 4.1800 1.76924 50

VAR00035 4.2000 1.56492 50

VAR00036 4.6800 1.43484 50

VAR00037 4.0800 1.54972 50

Summary Item Statistics

Mean Minimum Maximum Range

Maximum /

Minimum Variance N of Items

Item Means 3.970 2.760 4.680 1.920 1.696 .230 27

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted Corrected Item-Total Correlation Squared Multiple Correlation Cronbach's Alpha if Item


(2)

VAR00004 103.0000 372.082 .445 .985 .843

VAR00005 102.8800 368.271 .535 .636 .840

VAR00006 103.1400 359.715 .618 .820 .836

VAR00008 103.0800 371.830 .417 .987 .843

VAR00010 103.0600 372.262 .379 .803 .845

VAR00011 104.0600 365.609 .494 .871 .841

VAR00012 102.5600 381.598 .356 .760 .845

VAR00014 104.1400 368.041 .390 .556 .845

VAR00016 103.2200 366.787 .489 .753 .841

VAR00017 103.4200 379.800 .326 .819 .846

VAR00018 102.6000 379.837 .350 .733 .846

VAR00021 104.4400 376.088 .371 .762 .845

VAR00022 103.0400 376.162 .396 .879 .844

VAR00023 102.8200 383.089 .377 .610 .845

VAR00024 103.1200 376.720 .385 .880 .844

VAR00025 103.9600 379.713 .290 .662 .848

VAR00028 103.2800 368.369 .470 .773 .842

VAR00030 103.3600 380.929 .326 .796 .846

VAR00031 103.6800 378.630 .341 .788 .846

VAR00032 102.7800 383.155 .318 .686 .846

VAR00033 103.5200 378.296 .346 .646 .846

VAR00034 103.0200 377.857 .320 .534 .847

VAR00035 103.0000 383.469 .278 .599 .848

VAR00036 102.5200 378.091 .409 .807 .844

VAR00037 103.1200 375.618 .416 .754 .844

Scale Statistics

Mean Variance Std. Deviation N of Items


(3)

LAMPIRAN B

1.

DATA TRY OUT KETERATURAN SHALAT LIMA WAKTU.

2.

DATA TRY OUT REGULASI EMOSI.

3.

DATA MENTAH (PENELITIAN) KETERATURAN SHALAT

LIMA WAKTU.


(4)

LAMPIRAN C

1.

UJI NORMALITAS SEBARAN

2.

UJI LINIERITAS HUBUNGAN


(5)

1.

UJI NORMALITAS SEBARAN

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

shalat

emosi

N

50

50

Normal Parameters

a

Mean

136.60

120.02

Std. Deviation

12.095

22.037

Most Extreme

Differences

Absolute

.155

.072

Positive

.155

.070

Negative

-.089

-.072

Kolmogorov-Smirnov Z

1.097

.507

Asymp. Sig. (2-tailed)

.180

.959

a. Test distribution is Normal.

2.

UJI LINIERITAS HUBUNGAN

ANOVAb

Model

Sum of

Squares

df

Mean Square

F

Sig.

1

Regression

1074.053

1

1074.053

8.460

.005

a

Residual

6093.947

48

126.957

Total

7168.000

49

a. Predictors: (Constant), emosi

b. Dependent Variable: shalat


(6)

3.

UJI HIPOTESA

Correlations

shalat

emosi

shalat

Pearson Correlation

1

.387

**

Sig. (1-tailed)

.003

N

50

50

emosi Pearson Correlation

.387

**

1

Sig. (1-tailed)

.003

N

50

50

**. Correlation is significant at the 0.01 level

(1-tailed).