Social Support Pada Lansia Penderita Penyakit Jantung Koroner

(1)

SOCIAL SUPPORT PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT

JANTUNG KORONER

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

HARTIKA PRATIWI

041301077

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2009


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Social Support Pada Lansia Penderita Penyakit Jantung Koroner

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penelitian skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2009

Hartika Pratiwi 041301077

Materai 6000


(3)

Social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner Hartika Pratiwi dan Raras Sutatminingsih, M.Si., psikolog

ABSTRAK

Rata-rata prevalensi penderita penyakit jantung bertambah seiring bertambahnya usia, khususnya setelah usia 45 tahun karena semakin tua usia seseorang maka kemungkinan besar terjadi perubahan-perubahan di dalam pembuluh darah (Pierce, 2007). Bagi penderita penyakit jantung koroner kehidupan selanjutnya merupakan suatu babak baru yang penuh tantangan dan perubahan. (Pramudiani, 1995). Penyakit jantung koroner yang dialami oleh lansia dapat menimbulkan ketidakmampuan fisik dan mental dalam menjalani kegiatan hidup sehari-hari. Taylor (2003) mengemukakan bahwa social support dapat menurunkan kemungkinan penyakit, kecepatan untuk segera pulih dari penyakit yang diderita dan mengurangi risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang social support yang pada lansia penderita penyakit jantung koroner.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif supaya dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh responden. Karakteristik responden adalah pria atau wanita penderita penyakit jantung koroner yang berusia 60 tahun ke atas yang berdomisili di Medan. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interviewing) dan observasi saat wawancara berlangsung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menderita penyakit jantung koroner maka individu akan membutuhkan social support. Responden I dan responden II dalam penelitian ini membutuhkan dan menerima keempat bentuk social support dalam menjalani kehidupan selanjutnya.

Saran penelitian bagi lansia penderita penyakit jantung koroner supaya dapat menerima kondisinya dan dapat menggunakan social support yang diterimanya secara tepat, bagi keluarga, yayasan ataupun praktisi kesehatan yang menangani lansia penderita penyakit jantung koroner serta masyarakat luas perlu memberikan social support yang tepat yang dibutuhkan oleh lansia penderita penyakit jantung koroner agar dapat menjalani kehidupan selanjutnya.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia yang senantiasa menyertai penulis sehingga saya diberikan kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi suri teladan. Penyusunan skripsi yang berjudul “Social Support pada Lansia Penderita Penyakit Jantung Koroner” dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan samapai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Chaerul Yoel, Sp.A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si, psikolog selaku dosen dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas waktu, kesabaran, pemikiran dalam memberikan saran, semangat, petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibundaku yang paling saya cintai dan sayangi di dunia ini, Ibu Dra. Hj Sri Suharni, yang telah melahirkan saya ke dunia ini, dan telah mencintai dan membesarkan saya dengan kasih sayang yang tiada pernah putusnya.


(5)

Terima kasih atas doa yang selalu mama panjatkan untuk keberhasilan anak-anakmu, nasehat dan kesabaran yang selalu mengiringi langkah anak-anakmu. Betapa besar perjuangan dan pengorbanan mama saat memperjuangkan anak-anak mama. Terima kasih buat segalanya, mama adalah motivasiku untuk menjadi manusia yang lebih baik.

4. Ayahanda tercinta, bapak Syafrul Azhar B, terimakasih atas doa dan dukungan yang senantiasa papa berikan, termasuk memperkenalkan responden dalam penelitian ini.

5. Adikku, Bobby Syahril dan Ricky Ramadhan dan Sarah yang selalu memberikan semangat dan dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua bantuan yang kalian berikan selama ini.

6. Saudaraku yang telah mendoakan dan mendukungku selama ini (Tek Ani, Tek Ina, Om Syaf, Om Dhani, Bang Deddy, Kak Suti, Lia, Bella, Dea, Tarisya, Ai, Rara dan Fahri).

7. Kepada seluruh dosenku di Fakultas Psikologi yang telah mengajariku ilmu Psikologi, dan seluruh guru-guru di SMAN 1 Medan, SMP 2 Medan, SD Negri Sunggal yang telah mendidikku tanpa pamrih dan mengajariku akan ilmu pengetahuan hingga sampai saat ini.

8. Buat kedua responden dalam penelitian ini, terima kasih banyak buat kesempatan dan waktu yang diberikan. Terima kasih kerja sama yang telah terjalin selama ini hingga penyelesaian skripsi ini.

9. Teman-temanku (Opi, Ami, Dwi, Renny, Cahyanti, Stefany, Ruth, Dona, Wia, Ime dan seluruh stambuk ’04). Terima kasih atas dukungan dan


(6)

semangat yang kalian berikan. Teman-teman seperjuangan yang sedang skripsi dan seminar, mudah-mudahan kita semua akan meraih kesuksesan. 10.Semua pihak yang telah mendukung penelitian ini yang tidak mungkin

disebutkan satu persatu. Semoga Allah meridhoi semua yang telah kita lakukan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terdapat kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak untuk menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya penulis berserah diri kepada Allah SWT dengan harapan bahwa skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Maret 2009 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR TABEL ………viii

DAFTAR LAMPIRAN ……….ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ……….. 1

B. Perumusan Masalah ………. 9

C. Tujuan Penelitian ………... 9

D. Manfaat Penelitian ………... 10

E. Sistematika penulisan ………... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Social support 1. Definisi Social Support ……… 12

2. Bentuk-bentuk Social Support ……… 14

3. Sumber-sumber Social support ……… 15

4. Social Support dan Kesehatan ……….…………. 17

B. Penyakit Jantung Koroner 1. Definisi Penyakit Jantung Koroner ………... 18


(8)

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner ………. 20

3. Gejala Penyakit Jantung Koroner ……… 23

4. Kondisi Psikologis Penderita Penyakit Jantung Koroner ..24

C. Lansia 1. Definisi lansia ………27

2. Tugas perkembangan lansia ………. 27

3. Lansia sebagai penerima social support ……….. 28

D. Social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner .. 29

E. Paradigma Penelitian ……… 31

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif ……….. 32

B. Responden Penelitian ………... 33

1. Karakteristik Responden Penelitian ……… 33

2. Jumlah Responden Penelitian ……….. 33

3. Prosedur Pengambilan Responden ……….. 33

4. Lokasi Penelitian ………... 34

C. Metode Pengambilan Data ………. 34

1. Wawancara ……….. 35

2. Observasi ………. 36

D. Alat Bantu Pengambilan data ………. 37

1. Pedoman Wawancara ………... 37


(9)

3. Lembar Observasi ……… 38

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian ……….. 39

F. Prosedur penelitian ……….. 41

1. Tahap Pralapangan ………... 41

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ………. 43

3. Tahap pencatatan data ………. 44

4. Prosedur analisa data ……….. 44

BAB IV HASIL ANALISA DATA A. Responden I ……… 47

1. Analisa Data ………. 47

a. Identitas Diri Responden I ……… 47

b. Deskripsi Data Responden I ………. 47

2. Observasi Umum Responden I ………. 49

3. Data Wawancara Responden I ……….. 52

a. Gambaran Penyebab PJK yang Diderita ………...52

b. Gambaran Gejala Fisik dan Kondisi Psikologis pada Responden I ……… 53

c. Gambaran Social Support pada Responden I …… 58

4. Pembahasan Data Responden I ………. 69

B. Responden II ……… 74

1. Analisa Data ………. 74


(10)

b. Deskripsi Data Responden II………. 74

2. Observasi Umum Responden II………. 75

3. Data Wawancara Responden II……….. 77

a. Gambaran Penyebab PJK yang Diderita ………...77

b. Gambaran Gejala Fisik dan Kondisi Psikologis pada Responden II……… 79

c. Gambaran Social Support pada Responden II……81

4. Pembahasan Data Responden II ……….88

C. Analisa Data Antar Responden ……… 93

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN A. Kesimpulan ………. 98

B. Diskusi ………100

C. Saran ……….. 103

DAFTAR PUSTAKA ……….. 109 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Responden I ... ... 47

Tabel 2. Waktu Wawancara Responden I ………... 49

Tabel 3. Gambaran Social Support Responden I ... 73

Tabel 4. Gambaran Umum Responden II ... 74

Tabel 5. Waktu Wawancara Respopnden II ... 75

Tabel 6. Gambaran Social Support Responden II ... 92


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. Verbatim Subjek I ……….. 1

Verbatim Subjek II ………. 38

LAMPIRAN 2. Pedoman Wawancara ... 63

Lembar Observasi ... 66


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat. Sama halnya seperti setiap periode lainnya dalam rentang hidup seseorang, usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Perubahan-perubahan ini sesuai dengan hukum kodrat manusia yang pada umumnya dikenal dengan istilah “menua”. Perubahan-perubahan tersebut mempengaruhi struktur baik fisik maupun mentalnya dan keberfungsiannya juga (Hurlock, 1999)

Penuaan merupakan bagian dari proses biologis, di mana dari tahun ke tahun tubuh akan mengalami perubahan dan akan semakin memburuk kondisinya, seperti : kulit yang makin menipis dan mengkerut, dinding arteri yang tidak lentur lagi, penurunan fungsi otak, dan lain-lain. Sebenarnya penuaan tidak hanya sekedar bagian dari proses biologis, melainkan juga melibatkan proses psikologis (Lahey, 2007).

Penuaan dihubungkan dengan meningkatnya prevalensi masalah kesehatan fisik dan mental yang pada akhirnya menghasilkan ketidakmampuan fisik, atau kesulitan dalam melakukan kegiatan yang mendasar yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Mavandadi, dkk., 2007). Ketidakmampuan sering diurutkan sebagai sebuah katalisator yang merupakan hasil negatif bagi para lanjut


(14)

usia, termasuk hilangnya kemandirian, berada di dalam sebuah lembaga-lembaga tertentu dan kematian (Bruce dalam Mavandadi, dkk., 2007).

Sebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) salah satu tugas perkembangan pada usia lanjut adalah menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan. Perubahan kondisi fisik pada usia lanjut terjadi ke arah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun usia mereka sama.

Masa lanjut usia membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya. Semakin lanjut usia seseorang, maka kemungkinan memiliki beberapa penyakit atau dalam keadaan sakit meningkat. Penurunan kekuatan fisik membatasi kegiatan orang yang berada pada usia lanjut, penyakit yang melemahkan dapat membuat orang merasa tidak berdaya (Atkinson, 2003).

Hampir tiga perempat dari seluruh orang lanjut usia meninggal akibat serangan jantung, kanker, atau stroke (Santrock, 2005). Terdapat beberapa penyebab kematian pada orang lanjut usia di Amerika Serikat adalah kondisi kronis seperti penyakit-penyakit yang tergolong ke dalam ‘terminal illness’ yaitu penyakit jantung, stroke, dan lemahnya pernafasan. Pada kenyataannya, penyakit jantung, kanker, dan stroke terhitung enam puluh persen yang menyebabkan kematian pada lansia di Amerika Serikat (NCHS, dalam Papalia 2007). Hal ini sejalan dengan yang ada di Indonesia, penyakit-penyakit yang tergolong ke dalam


(15)

terminal illness seperti penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, merupakan faktor utama penyebab kematian di Indonesia (Sutrisno, 2007).

Rata-rata prevalensi penderita penyakit jantung bertambah seiring dengan bertambahnya usia, khususnya setelah usia 45 tahun (NCHS, dalam Sarafino, 2006). Pernyataan tersebut didukung oleh Pierce (2007) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang beresiko yang memiliki asosiasi kuat dengan penyakit jantung adalah usia, semakin tua usia seseorang maka kemungkinan besar terjadi perubahan-perubahan di dalam pembuluh darah. Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah seorang penderita penyakit jantung koroner :

“…sekarang inikan usia saya 65 tahun, saya dikasih tau sama dokter kalau saya menderita penyakit ini waktu saya umurnya 55 tahun…”

(Komunikasi personal, 11 Maret 2008) Dewasa ini penyakit jantung, termasuk penyakit jantung koroner telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Penyebabnya adalah terjadinya hambatan aliran darah pada arteri koroner yang menyuplai darah ke otot jantung. Salah satu hambatan berupa plak yaitu penimbunan atherosclerosis di dinding pembuluh arteri, dan prosesnya memakan waktu yang amat panjang, bahkan dapat bertahun-tahun, kemungkinan dimulai sejak masa muda yang seringkali memuncak menjadi serangan jantung dan operasi pintas koroner (Soeharto, 2004).

Penyakit jantung koroner adalah penyakit akibat dari penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi untuk menyuplai jantung dengan darah yang penuh oksigen. Peradaran darah menjadi terhambat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut dengan atherosclerosis. Jika jantung tidak mendapat


(16)

suplai oksigen dapat menyebabkan nyeri, hal ini disebut dengan angina pectoris yang biasa terjadi pada dada, lengan, punggung atau leher. Berkurangnya suplai darah dalam waktu yang cukup lama, mengakibatkan rusaknya bagian dari jaringan jantung (myocardium), kondisi ini disebut dengan myocardial infarction atau serangan jantung (Sarafino, 2006). Ada banyak sebab yang menjurus ke arah terbentuknya plak itu dapat disederhanakan sebagai pola makan dan pola hidup yang tidak benar, serta faktor genetika (Soeharto, 2004).

Pola hidup atau tingkah laku seseorang dan keturunan memegang peranan penting dengan penyakit jantung koroner. Dalam hubungan ini dikenal dengan adanya ‘faktor resiko penyakit jantung koroner’, yaitu kondisi yang berkaitan dengan meningkatnya resiko timbulnya penyakit jantung koroner. Menurut American Heart Association dan National Cholesteol Education Program (dalam Suharto, 2004) faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner antara lain adalah kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah, hipertensi, diabetes mellitus, merokok, stres, kegemukan atau kurang beraktivitas dan keturunan, jenis kelamin, dan usia. Kebanyakan orang yang menderita penyakit jantung paling tidak memiliki salah satu dari beberapa faktor resiko yang ada.

Hal ini dapat dilihat dari komunikasi personal yang dilakukan peneliti terhadap salah seorang penderita penyakit jantung koroner :

“…Ya saya kan orang pasaran, memang saya lumayan agak jahat juga dulu, saya dulu suka minum-minum lah gitu kan, merokok saya pun kuat kali, terus saya pun nggak pernah jaga-jaga makanan saya, semua saya makan…”


(17)

Bagi penderita penyakit jantung kehidupan selanjutnya merupakan suatu babak baru yang penuh tantangan dan perubahan. Mengingat bahwa penyakit jantung tergolong ke dalam penyakit kronis yang berlangsung lama dan sulit untuk disembuhkan (Pramudiani, 1995). Banyak penderita serangan jantung yang melakukan suatu perubahan untuk kesehatannya, baik di dalam gaya hidup mereka dan sikap hidup yang lebih besar, apabila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami penyakit ini. Sebagian dari pasien mudah untuk melakukan program rehabilitasi, tetapi ada juga yang sulit sehingga memperburuk keadaan penyakitnya. Hal ini dapat dilihat dari penuturan pasien penyakit jantung koroner : “…Kalau dulu kan saya sempat depresi pas awal-awalnya, tetapi setelah semuanya saya jalani, ya… saya udah pasrah aja lah gitu, soalnya semuakan udah saya jalani, segala anjuran dokter untuk minum obat, olahraga dan menjaga makanan yang berlemak gitu udah saya turuti, sekarang saya serahkan sama Allah saja penyakit saya ini…”

(Komunikasi personal, 11 Maret 2008). Sebuah usaha untuk dapat menghilangkan konsekuensi negatif dan meningkatkan kualitas hidup dengan adanya ketidakmampuan fisik terdapat faktor-faktor psikososial yang berperan dalam mencegah atau menunda munculnya dan memajukan kesembuhan dari ketidakmampuan yang dialami oleh individu pada usia lanjut (Mavandadi, dkk., 2007).

Salah satu faktor yang berperan dalam mengembangkan dan mengarahkan ketidakmampuan adalah social support. Keberadaan social support dapat mengurangi kelelahan sosial dan mengurangi stres, meningkatkan perasaan well-being dan mengurangi atau menunda hambatan dalam kesehatan (Cohen, dalam Mavandadi, dkk 2007).


(18)

Sebagaimana mestinya social support dapat menolong pasien penyakit jantung untuk dapat memulihkan kembali kepada keadaan penderita penyakit ini, mengurangi distress dan menyembuhkan gejala-gejala penyakit jantung koroner, khususnya saat penderita berada di rumah sakit (Elizur, dalam Taylor 2003). Social support yang diberikan selama berada di rumah sakit dapat memprediksi gejala-gejala depresi selama masa penyembuhan, dan depresi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan meninggalnya akibat penyakit jantung koroner (Brummet, dalam Taylor 2003).

Social support didefinisikan sebagai informasi, cinta, perhatian dan penghargaaan yang berasal dari orang lain yaitu orangtua, kekasih, teman-teman dan komunitas yang memberikan keuntungan bagi seseorang (Siegel, dalam Taylor, 2003). Seseorang yang sedang menjalani penyembuhan suatu penyakit memerlukan social support yang seringkali sulit mereka peroleh karena tidak semua orang dapat akan memperoleh social support yang ia butuhkan (Sarafino, 2006).

Taylor (2003) mengemukakan bahwa social support dapat menurunkan kemungkinan penyakit, kecepatan untuk segera pulih dari penyakit yang diderita dan mengurangi risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit.

Social support muncul untuk menolong individu dalam menangani atau memperkecil komplikasi dari kondisi medis dan gangguan yang lebih serius (Taylor, 2003). Menurut Beckman (dalam Sarafino, 2006) orang yang mendapatkan social support akan memperoleh keuntungan bagi kesehatannya. La


(19)

Rocco (dalam Kumolohadi, 2001) menyebutkan bahwa social support mempunyai peran penting dalam kesehatan mental.

Adanya social support turut memperlancar hubungan interpersonal seseorang. Lynch dan Syme (dalam Kumolohadi, 2001) menyebutkan bahwa dalam penelitian ditemukan bahwa perbedaan social support dapat mempengaruhi angka kematian, sehingga dapat dikatakan bahwa social support turut mempengaruhi kesehatan fisik seseorang. Pasien penyakit jantung koroner yang menerima sedikit social support dalam hidupnya dan rendahnya self efficacy untuk membawa mereka dapat menanggulangi penyakitnya terlihat sedikit dan lebih lambat dalam mengatasi penyakitnya (Bastone, dalam Sarafino 2006).

Social support juga berperan dalam pembentukan kepercayan diri yang bermanfaat untuk mengatasi masalah dalam kehidupan (La Rocco, dalam Kumolohadi, 2001). Selanjutnya Kobasa (dalam Sarafino, 2006) menambahkan bahwa social support memiliki kemungkinan untuk dapat mengurangi rasa sakit dan mempercepat penyembuhan.

Penyakit jantung dan hubungan keluarga mempunyai hubungan yang erat. Tingkat ketidakmampuan seorang pasien dipengaruhi oleh seberapa baik mereka dan keluarganya melakukan penyesuaian diri terhadap kondisinya. Keluarga memperoleh dampak yang sangat besar pada proses rehabilitasi penyakit jantung, pasien akan menilai lebih baik, patuh pada perawatan medis dan lebih cepat sembuh jika memeperoleh semangat atau dukungan dari keluarga. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Papalia & Olds (2007) yang menyatakan bahwa pemberian social support dari orang yang berarti di seputar kehidupan orang


(20)

tersebut (significant others) memberi kontribusi yang terbesar dalam meningkatkan harga diri seseorang dan dengan harga diri yang tinggi dapat mempercepat proses penyembuhan.

Kumolahadi (2001) menjelaskan sejumlah orang lain yang potensial memberikan dukungan disebut sebagai significant others, misalnya adalah suami/istri, anak, orang tua, saudara/kerabat, dan teman akrab. Di Matteo (1991) mendefinisikan social support sebagai dukungan yang berasal dari orang lain seperti teman, keluarga, tetangga, dan teman sekerja. Hal ini sesuai dengan penuturan salah seorang lansia penderita penyakit jantung koroner :

“…Ya saat saya menjalani penyakit yang saya derita ini saya banyak dikasih tau sama kawan-kawan kerja saya tempat berobat yang bagus untuk dapat menyembuhkan penyakit ini, anak-anak saya juga selalu memberikan semangat supaya saya mau terus menjalani pengobatan sampai pulih, mereka selalu mengatakan kepada saya kalau saya nggak boleh menyerah sama penyakit, kalau saya kuat, penyakit saya juga akan kalah lah gitu kira-kira…”

(Komunikasi Personal, 25 Mei 2008) Sarafino (2006) mengemukakan bahwa social support terdiri dari beberapa komponen, yaitu : dukungan emotional/esteem, dukungan instrumental/tangible, dukungan informational, dan dukungan companionship.

Berdasarkan sudut pandang seorang lansia penderita penyakit jantung koroner mengatakan bahwa mereka membutuhkan social support dalam menghadapi penyakit yang sedang ia derita. Hal ini dapat dilihat dari penuturan salah seorang lansia yang berumur 65 tahun penderita penyakit jantung koroner :

“Tapi selain itu semua adalah obat yang paling mujarab dan berarti buat saya, keluargalah yang berperan dalam pengobatan penyakit saya ini, yang paling berperan itu anak saya yang nomor satu, dia yang selalu memperhatikan saya, selalu tanya sama saya bapak mau makan apa…, mau apa…,terus sayapun diajaknya jalan-jalan sama dia, anak dan istrinya.


(21)

Rasanya bahagia…lah hati saya ini, adalah pengobat penyakit yang diberi Tuhan kepada saya, itu ajalah yang buat saya semangat, dukungan dari anak-anak yang terutama”

(Komunikasi personal, 11Maret 2008). Setelah mengetahui penuturan dari salah seorang lansia penderita peyakit jantung koroner, dapat diketahui bahwa lansia penderita penyakit ini membutuhkan social support saat menjalani penyakit yang sedang ia derita, dalam hal ini khususnya adalah emotional/esteem support, yakni kebutuhan untuk mendapatkan perhatian dan rasa empati dari significant others yang dalam hal ini adalah anaknya.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukan di atas peneliti ingin mengetahui bagaimana social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dalam hal ini pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner.


(22)

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya yaitu :

1. Manfaat Teoritis Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Klinis dalam rangka perluasan teori, terutama berkenaan dengan stres dan social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner dan dapat dijadikan sebagai bahan penunjang untuk penelitian lebih lanjut.

2 Manfaat Praktis

a. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga atau yayasan yang bergerak dalam masalah penyakit jantung koroner tentang pentingnya social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner.

b. Penelitian ini dapat berguna saat lansia penderita penyakit jantung koroner dalam masa penyembuhan, yakni dapat membantu keluarga dan orang-orang di sekitarnya agar dapat memberikan social support yang tepat dalam rangka membantu lansia dalam menghadapi penyakit jantung koroner. Sehingga social support yang diberikan menjadi efektif dalam membantu lansia dalam masa penyembuhan.


(23)

I.E. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dirancang dengan susunan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisannya. BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang, social support, lansia, dan penyakit jantung koroner. BAB III : Metodologi Penelitian

Berisikan pendekatan yang digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, subjek penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A Social Support

1. Definisi Social Support

Social support didefinisikan bervariasi, dari frekuensi kontak interpersonal dan besarnya keluarga untuk menata kehidupan (Strain & Payne, dalam Orsega-Smith, 2007). Wils & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa social Support adalah perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain..

Seseorang akan menerima social support tergantung pada jumlah, komposisi, kedekatan, dan frekuensi dari kontak seseorang dengan jaringan sosialnya (Wills & Fegan, dalam Sarafino 2006). Dukungan ini bisa berasal dari sumber-sumber yang berbeda, orang-orang yang dicintai, keluarga, teman, rekan sekerja, tenaga medis, atau komunitas organisasi.

Orang dengan social support mempercayai bahwa mereka dicintai, dihargai, dan merupakan bagian dari jaringan sosial (Sarafino, 2006). Keterikatan secara sosial dan hubungan dengan orang lain yang berlangsung lama diterima sebagai aspek kepuasan secara emosional dalam kehidupan. Hal ini dapat menghentikan efek dari stres, menolong seseorang menghadapi pristiwa yang membuat stres, dan kemungkinan mengurangi stres akibat keadaan kesehatan yang memprihatinkan (Sarason, dalam Taylor, 2003).


(25)

Yangyang (2006) mengemukakan bahwa Social support didasarkan pada partisipasi yang aktif dengan salah satu anggota jaringan sosial dan saling menguntungkan satu sama lain secara sosial. Cronkite (dalam Fridlander, 2007) menambahkan bahwa yang termasuk ke dalam social support adalah sumber-sumber sosial dimana individu merasa bersedia atau secara aktual ditawarkan untuk bergabung dengan mereka di dalam hubungan tolong-menolong.

Social support diasumsikan sebagai persepsi seseorang yang bersedia terhadap dukungan yang berasal dari orang lain, seperti teman dan keluarga dan juga pandangan yang kompleks secara alami mengenai sejarah dari hubungan individu yang memberi dukungan dan konteks lingkungannya (Hobfoll, dalam Friedlander 2007). Social support juga didefinisikan sebagai kegiatan yang ditampilkan oleh seseorang dengan bantuan orang lain dalam menghadapi suatu tujuan yang diinginkan (Kaplan dalam Orsega-Smith, 2007).

Berdasarkan penjelasan pengertian social support yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa social support adalah perasaan nyaman baik secara fisik maupun psikologis yang diperoleh dari sumber-sumber yang berbeda seperti keluarga, teman-teman, rekan kerja, dan lainnya yang memiliki keterikatan secara sosial yang berpartisipasi secara aktif untuk menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan.

Definisi social support diperlukan dalam penelitian ini untuk memahami dan mengetahui social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner.


(26)

2. Bentuk-bentuk Social Support

Social support terdiri dari beberapa bentuk, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan bentuk-bentuk social support, yaitu :

a. Emotional / esteem support

Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, perduli terhadap seseorang sehingga memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan memberikan semangat kepada orang yang ia hadapi. Taylor (2003) berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan mendalami perasaan dan sehingga seseorang yang menerima dukungan ini akan merasa dicintai dan dihargai. Tolsdorf (dalam Orford, 1992) mengatakan bahwa ini termasuk ke dalam bentuk bantuan dorongan, kehangatan, cinta atau dukungan emosional. Leavy (dalam Orford, 1992) mengatakan yang termasuk ke dalam dukungan ini adalah perhatian, kepercayaan, dan empati. Jacobson (dalam Orford, 1992) menuliskan yang termasuk ke dalam dukungan ini adalah memelihara perasaan atau kenyamanan dan mengarahkan individu untuk mempercayai bahwa ia dikagumi, dihargai, dan dicintai, dan orang lain bersedia untuk memberikan perhatian dan rasa aman.

b. Tangibel atau Instrumental Support

Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stress. Menurut Taylor (2003) tangible assistance ini termasuk dukungan berupa


(27)

materi, seperti melayani, bantuan secara financial, atau benda-benda yang dibutuhkan.

c. Informational support

Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang dibutuhkan oleh seseorang.

d. Companionship Support

Dukungan jenis ini merupan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan orang lain, dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat mengurangi stres dengan terpenuhi kebutuhan affiliation dan berhubungan dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang positif (Cohen &Wills dalam Orford 1992). Apabila kita mengetahui bentuk-bentuk social support yang ada maka kita akan mengetahui bentuk social support yang bagaimana yang diterima lansia penderita penyakit jantung koroner.

3. Sumber-sumber Social Support

Sumber-sumber social support merupakan aspek yang penting untuk dipahami. Sumber-sumber social support banyak diperoleh dari lingkungan sekitarnya, tetapi pengetahuan seberapa banyak sumber social support yang


(28)

diperlukan penting untuk diketahui. Meskipun secara umum terdapat konsekuensi yang positif kesehatan terhadap social support, tetapi social support akan lebih efektif jika terdapat kecocokan hubungan antara orang yang membutuhkan dukungan dengan sumber-sumber social support tersebut, sehingga social support memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak (House, dkk dalam Thoits, 2000).

Menurut Rook dan Dooley (dalam Sri Kuntjoro, 2002) ada dua sumber social support yaitu :

a. Sumber artificial

Social support yang artificial adalah social support yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya social support akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial.

b. Sumber natural

Social support yang natural diterima individu melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misanya : anak, istri, suami, rekan kerja dan kerabat. Social support ini bersifat non-formal.

Dengan mengetahui sumber-sumber social support yang ada maka kita dapat mengetahui sumber-sumber social support yang efektif dan diperlukan pada lansia penderita penyakit jantung koroner.


(29)

4. Social support dan kesehatan

Social support memiliki hubungan yang erat dengan kesehatan. Keberadaan social support memberi keuntungan bagi kesehatan seseorang (Berkman, dalam Sarafino 2006). Kesehatan maksudnya adalah seseorang yang terbebas dari gejala gangguan psikiatris atau psikologi distress (Orford, 1992). Social support muncul untuk menolong individu dalam menangani atau memperkecil komplikasi dari kondisi medis dan gangguan yang lebih serius (Taylor, 2003).

Fleeming (dalam Sarafino, 2006) mengatakan bahwa social support juga dihubungkan dengan dengan berkurangnya stres dari bermacam-macam sumber lainnya. Untuk dapat menjelaskan bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan, Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukan dua buah teori yaitu :

1. Buffering hypothesis

Stres akan menurunkan kondisi kesehatan seseorang, dan social support muncul sebagai pelindung dari stres yang ada. Social support mempengaruhi kesehatan dengan cara melindungi seseorang untuk melawan efek-efek negatif dari stres tingkat tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara, yaitu : pertama saat seseorang bertemu dengan stressor yang kuat, dan yang kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang sesudah munculnya stressor. Pemberian social support ini akan berpengaruh besar saat seseorang mengalami stres. Jika


(30)

seseorang tidak mengalami stres maka social support yang diberikan tidak akan berfungsi.

2. Direct effect hypothesis / main effects

Mempertahankan social support dapat memberikan keuntungan pada kesehatan seseorang, baik ada atau tidak dalam keadaan stress. Tingginya social support dapat mendorong seseorang untuk membangun gaya hidup sehat. Individu dengan social support dapat merasakan, karena orang lain memperhatikannya dan membutuhkannya, mereka akan rajin berolahraga, makan teratur, dan tidak merokok atau meminum alkohol.

Kedua teori di atas penting untuk dipahami bagi orang yang akan memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat mengurangi stres dan memberi keuntungan pada kesehatan. Hal ini terjadi karena satu hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).

B. PENYAKIT JANTUNG KORONER 1. Definisi Penyakit Jantung Koroner

Dewasa ini penyakit jantung koroner, telah menjadi penyebab kematian utama di Indonesia. Seperti dimaklumi, penyebabnya adalah terjadinya hambatan aliran darah pada arteri koroner yang menyuplai darah ke otot jantung. Salah satu hambatan berupa plak, dan prosesnya memakan waktu yang amat panjang, bahkan dapat bertahun-tahun, mungkin dimulai sejak masa muda yang seringkali memuncak menjadi serangan jantung atau operasi pintas koroner. Bermacam


(31)

sebab yang menjurus ke arah terbentuknya plak itu dapat disederahanakan sebagai pola makan dan pola hidup yang tidak benar, serta faktor genetika (Soeharto, Imam, 2004).

Jantung berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh. Otot jantung memerlukan oksigen dan nutrisi yang cukup. Oksigen dan nutrisi diangkut oleh darah melalui pembuluh darah yang disebut arteri koroner. Persoalan akan timbul bila oleh sesuatu sebab terdapat halangan atau kelainan di arteri koroner, sehingga tidak cukup suplai darah, yang berarti juga kurangnya suplai oksigen dan nutrisi untuk menggerakkan jantung secara normal. Keadaan tersebut dikenal sebagai penyakit jantung koroner (PJK) (Soeharto, 2004).

Coronary heart disease (CHD) adalah penyakit yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh nadi (artherosclerosis) dimana terbatas pada tumpukan lemak yang dapat menimbulkan penyakit atau serangan jantung (myocardial infarction) (Sarafino, 2006).

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit jantung koroner adalah penyakit yang ditimbulkan adanya plak pada jantung yang mengakibatkan tersumbatnya aliran darah dan oksigen menuju jantung. Peneliti memasukkan teori definisi penyakit jantung koroner, sebagai tambahan informasi kepada pembaca, agar mengetahui lebih jelas tentang penyakit jantung koroner.


(32)

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Faktor resiko adalah segala sesuatu yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk terkena suatu penyakit. Faktor resiko penyakit jantung koroner umumnya dibagi ke dalam dua golongan besar (AHA, dalam Soeharto 2004) :

a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol 1) Usia

Rata-rata prevalensi penderita penyakit jantung bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Jika seseorang telah berusia 45 tahun maka resiko penyakit jantung koroner semakin tinggi.

2) Jenis kelamin

Pria lebih beresiko dibandingkan dengan wanita yang menderita penyakit jantung koroner dengan perbandingan 3:1. Tetapi tidak demikian dengan wanita yang sudah menopause, kepekaannya hampir sama dengan pria.

3) Riwayat penyakit jantung dalam keluarga

Keluarga yang pernah menderita penyakit jantung koroner pada usia muda, maka anggota keluarga lainnya memiliki resiko tinggi untuk mendapatkan penyakit jantung koroner.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol 1) Dislipidemia

Dislipidemia terjadi akibat meningkatnya beban kerja jantung dan hipertrofi maka kebutuhan jantung akan darah (oksigen) meningkat.


(33)

2) Hipertensi

Hipertensi disertai kadar kolesterol darah yang tinggi meningkatkan insiden penyakit jantung koroner 16 kali lipat. Hipertensi merupakan penyebab utama terjadinya komplikasi kardiovaskuler dan merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang mengalami transisi dalam sosial ekonomis.

3) Merokok

Kebiasaan merokok memiliki kemungkinan untuk menderita penyakit jantung koroner lebih besar, karena keadaan jantung dan paru-paru tidak dapat bekerja secara efisien. Merokok dapat mengakibatkan sempitnya pembuluh darah yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.

4) Diabetes mellitus

Diabetes mellitus atau kencing manis dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner. Kencing manis dapat menyebabkan terbentuknya plak aterosklerotis pada dinding pembuluh darah yang disebabkan gangguan metabolisme glukosa sistemik.

5) Diet lemak jenuh dan kolesterol

Resiko penyakit jantung koroner sejalan dengan peninggian kadar kolesterol lipoprotein densitas rendah (LDL) dan sebaliknya kolesterol lipoprotein densitas tinggi (HDL). Apabila LDL dan kolesterol meningkat serta HDL menurun akan terjadi penimbunan kolesterol di pembuluh darah koroner.


(34)

6) Inaktivitas fisik

Korelasi antara inaktivitas fisik (kurang atau tidak berolahraga) dan meningkatnya insiden penyakit jantung koroner sangat erat. Insiden penyakit jantung koroner hampir 2 kali lipat lebih banyak pada pria yang kurang melakukan aktivitas fisik dibanding dengan mereka yang secara teratur berolahraga.

7) Stres

Stres yang dialami oleh seseorang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Dampak yang ditimbulkan dari stres dapat menimbulkan gangguan irama jantung yang fatal, gangguan aliran darah koroner secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat spasme pembuluh darah koroner. Stres juga erat kaitannya dengan faktor resiko lainnya, seperti hipertensi, dislipidemia dan merokok. 8) Kegemukan

Kegemukan merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Kegemukan dapat mendorong timbulnya faktor resiko lain seperti hipertensi, diabetes mellitus, kurang beraktivitas yang selanjutnya akan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.

Peneliti memasukkan teori faktor-faktor resiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner, mengingat bahwa penyakit jantung koroner dapat terjadi karena lebih dari satu faktor yang dapat menyebabkan lansia menderita penyakit jantung koroner. Pengendalian faktor-faktor resiko penyakit jantung


(35)

koroner berhubungan dengan social support yang diperoleh oleh penderita penyakit jantung koroner tersebut.

3. Gejala Penyakit Jantung Koroner

Tangggapan fisik terhadap perkembangan Penyakit jantung koroner berbeda. Tidak semua orang dengan PJK memiliki simtom atau manifestasi tertentu, tetapi manifestasi yang umum menurut American Health Association (AHA) adalah sebagai berikut :

a. Tidak ada simtom.

Banyak dari mereka yang mengalami PJK tidak merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau tanda-tanda suatu penyakit. Kondisi ini disebut dengan silent ischemia.

b. Angina

Formalnya disebut angina pectoris. Angina umumnya ditunjukkan dengan sakit dada sementara sewaktu melakukan gerakan fisik atau olahraga. c. Angina (unstable angina).

Sakit dada yang terasa tiba-tiba terasa sewaktu dalam keadaan istirahat terjadi lebih berat terjadi lebih berat secara tiba-tiba.

d. Serangan jantung.

Bila aliran darah ke pembuluh arteri koroner terhalang sepenuhnya terjadilah serangan jantung atau myocardial infarction (MI).

Peneliti memasukkan gejala-gejala penyakit jantung koroner tersebut mengingat bahwa asumsi penelti yang menganggap bahwa gejala-gejala fisik yang


(36)

dialami oleh penderita penyakit jantung koroner akan berdampak dengan social support yang akan ia terima.

4. Kondisi Psikologis Penderita Penyakit Jantung Koroner

Pada saat individu mengalami penyakit kronis seperti jantung koroner, maka inidividu dan keluarganya akan mengalami goncangan dan ketakutan, hal ini disebabkan sesuatu yang dialami tidak pernah diduga sebelumnya. Taylor (2003) mengemukakan reaksi-reaksi yang ditimbulkan oleh individu yang menderita penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner adalah :

a. Shock : reaksi pertama individu saat mengalami diagnosa fisik mengenai masalah kesehatan yang kronis. Rasa keterkejutan dan kebingungan atau prilaku yang muncul secara otomatis. Shock terjadi sebentar atau akan berlajut beberapa minggu , shock terjadi untuk beberapa tingkat situasi krisis yang dialami oleh seseorang, dan ketegasan itu muncul tanpa peringatan.

b. Denial : mekanisme pertahanan diri seseorang dimana seseorang

menghindari kenyataan bahwa ia menderita sakit. Individu akan menolak kenyataan bahwa ia menderita suatu penyakit.

c. Anxiety : rasa kecemasan akan segera muncul setelah adanya diagnosis

penyakit kronis pada diri seseorang. Banyak pasien yang ditakuti suatu perubahan yang potensial akan terjadi dalam hidup mereka dan masa depan mereka adalah kematian. Masalah kecemasan tidak hanya disebabkan oleh stres tapi juga digabungkan dengan funsi-fungsi yang


(37)

baik. Kecemasan juga tinggi saat seseorang mengharapkan perubahan gaya hidup yang muncul dari penyakit ataupun treatment, saat merasa mereka tergantung dengan profesional kesehatan, saat mereka mengalami kejadian berulang-ulang.

d. Depression : depresi kemungkinan akan terjadi setelah proses denial dan anxiety muncul. Depresi merupakan reaksi terakhir terhadap penyakit kronis, karena sering menghabiskan waktu pasien untuk memahami kenyataan kondisi mereka. Depresi tidak hanya akan menghasilkan distress tetapi juga disebabkan oleh gejala-gejala yang dialami dan bagaimana masa depan seseorang dengan penyakitnya. Depresi yang muncul karena penyakit dan treatment juga dapat dihubungkan dengan bunuh diri dan lansia.

Radley (1994) menambahkan bahwa penderita penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner dapat mengalami tiga akibat dari panyakit yang dideritanya dan pengobatan yang dijalani. Adapun ketiga akibat tersebut adalah :

a. Impairment : kehilangan atau mengalami abnormalitas fungsi fisiologis

atau anatomis (hendaya).

b. Disability : keterbatasan dalam kemampuan untuk mengerjakan suatu

tugas atau untuk menjalankan peran secara normal.

c. Handicap : kerugian yang bersifat sosial berupa perlakuan dari orang lain atau kepada orang lain dengan impairment atau disability tertentu.

Ketiga hal ini dapat mempengaruhi penderitanya. Selanjutnya Charmaz (dalam Radley, 1994) menyatakan bahwa ada empat kondisi psikologis yang


(38)

dapat dialami oleh orang yang hidup dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung koroner adalah :

a. Kehidupan yang terbatas (restricted life). Hal ini terjadi bila seseorang terpaksa “terkurung” di rumah baik karena sakit yang dirasakannya maupun pengobatan yang dijalani.

b. Keterasingan sosial (social isolation). Hal ini merupakan akibat dari penyakit atau pengobatan sehingga penderita terpaksa tidak melakukan interaksi sosial dengan orang lain atau dapat juga berasal dari perasaan penderita sendiri bahwa orang lain akan memperlakukan mereka berbeda. c. Definisi diri yang tidak baik (discrediting definition of self). Hal ini terjadi

saat orang lain menunjukkan rasa ingin tahu berlebihan, sikap tidak bersahabat atau rasa tidak nyaman saat berhubungan dengan penderita. Kemungkinan terjadi karena penderita tidak dapat lagi melakukan pekerjaan sederhana dengan mudah seperti dulu. Keadaan ini dapat menjadi sumber meningkatnya penilaian negatif terhadap diri sendiri. d. Merasa menjadi beban bagi orang lain (becoming a burden on others). Hal

ini terjadi jika seseorang menderita sakit yang berat sehingga tidak dapat lagi menjalankan tugasnya seperti dulu. Hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak berguna baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada penderita penyakit jantung koroner dapat mengakibatkan masalah psikologis bagi penderita. Peneliti memasukkan teori ini mengingat bahwa masalah psikologis yang dialami oleh penderita


(39)

penyakit jantung koroner dapat menyebabkan individu membutuhkan dukungan sosial yang dapat mempengaruhinya dalam menjalani kehidupannya.

C. Lansia

1. Definisi lansia

Lansia adalah istilah yang digunakan bagi orang yang sudah mencapai periode penutup dalam periode kehidupan seseorang (Hurlock, 1999). Indonesia memiliki batasan usia lanjut yang tercantum dalam Undang-undang No. 12/1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut (dalam Hardywinoto, 1999) yang berbunyi :

“…Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas…”

Seiring dengan bertambahnya usia tidak dapat dihindari penurunan kondisi fisik, baik berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu menjadi cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang menyebabkan gerak-geriknya menjadi lamban.

Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya tidak hanya satu macam tetapi beragam, menyebabkan usia lanjut memerlukan bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekedar mempertahankan agar

2. Tugas perkembangan lansia

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan masa lansia adalah sebagai berikut :


(40)

2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan) keluarga .

3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup. 4. Membentuk hubungan dengan orang-orang seusia.

5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan. 6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

3. Lansia sebagai penerima social support

Penuaan dihubungkan dengan meningkatnya prevalensi masalah kesehatan fisik dan mental yang pada akhirnya menghasilkan ketidakmampuan fisik, atau kesulitan dalam melakukan kegiatan yang mendasar yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Mavandadi, dkk., 2007). Pada masa lanjut usia membawa penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan periode-periode usia sebelumnya, semakin lanjut usia seseorang, maka kemungkinan memiliki beberapa penyakit atau dalam keadaan sakit meningkat (Santrock, 2005).

Secara umum kondisi medis sering terjadi pada masa lanjut usia (Wolff, dalam Onedera, 2008). Social support berperan dalam membantu melakukan kegiatan sehari-hari, diantara keadaan yang relatif sehat, komunitas orangtua yang tinggal pada suatu lembaga, yang sedang diserang stroke, orangtua yang merupakan pasien rumah sakit dengan bermacam-macam kondisi medis yaitu stroke atau penyakit jantung (Wilcox, Mavandadi, dkk., 2007). Social support muncul untuk menolong individu dalam menagani atau memperkecil komplikasi dari kondisi medis dan gangguan yang lebih serius (Taylor, 2003).


(41)

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat kita ketahui bahwa lansia yang menderita penyakit jantung koroner berperan sebagai penerima social support karena meningkatnya prevalensi permasalahan kondisi fisik dan psikisnya.

D. Social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner

Masa lanjut usia akan membawa masalah baru. Penurunan kekuatan fisik membatasi kegiatan orang yang berada pada usia lanjut. Orang-orang lanjut usia akan terjangkit suatu penyakit sebagai bagian dari proses penuaan yang merupakan proses yang alami dan tidak dapat dihindari. Penyakit yang melemahkan dapat membuat seorang lansia merasa tidak berdaya. (Pierce, 2007).

Santrock (2005) mengemukakan bahwa hampir tiga perempat dari seluruh orang lanjut usia meninggal akibat serangan jantung, kanker, atau stroke. Penyakit jantung koroner di Indonesia saat ini tercatat sebagai pembunuh nomor satu. Yakni tingkat kematiaannya mencapai 26%. Saat ini diperkirakan jumlah penderita jantung koroner di Indonesia berkisar 300 ribu sampai 400 ribu orang ) .

Kehidupan seorang penderita penyakit jantung koroner, termasuk lansia adalah suatu yang penuh perubahan dan tantangan. Penyakit jantung koroner yang dialami oleh lansia dapat menimbulkan ketidakmampuan fisik dan mental dalam menjalani kegiatan hidup sehari-hari. Penderita akan menjalani proses pengobatan dan pemulihan yang panjang dan melelahkan.

Seseorang yang sedang menjalani penyembuhan suatu penyakit memerlukan social support (Sarafino, 2006). Taylor (2003) mengemukakan


(42)

bahwa social support dapat menurunkan kemungkinan penyakit, kecepatan untuk segera pulih dari penyakit yang diderita dan mengurangi risiko kematian yang disebabkan oleh penyakit.

Pendekatan biopsikososial yang mempunyai asumsi bahwa proses kesembuhan ditentukan oleh interaksi variabel-variabel biologis, psikologis dan sosial (Schwatz, dalam Pramudiani, 1995). Social support merupakan variabel lingkungan yang mempunyai hubungan yang positif dengan kesehatan (Pramudiani, 1995).

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat besarnya peranan social support dalam memberi dampak yang positif bagi proses kesembuhan pada penderita penyakit jantung koroner


(43)

E. Paradigma berpikir

Lansia

Perubahan kondisi fisik

Penyakit jantung koroner

Perubahan-perubahan dan tantangan hidup.

Social support

Bentuk-bentuk social support (Wills & Fegan dalam

Sarafino, 2006)

a. Emotional/esteem support.

b. Tangibel/instrumental support

c. Informational support

d. Companionship

support

Sumber-sumber social support (Dooley, dalam Sri Kuntjoro, 2002).

a. sumber artificial. b. Sumber


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Kualitatif

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk mengetahui bagaimana social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner. Hal ini disebabkan karena peneliti berusaha memahami subyek dari kerangka berpikirnya sendiri (Creswell, dalam http;//rumahbelajar psikologi.com). peneliti ingin mengetahui stres dan social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner dari sudut pandang subjek penelitian itu sendiri.

Penelitian Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefenisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2005) mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun peristilahannya. David dan Williams (dalam Moleong, 2005) menulis bahwa penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang tertarik secara alamiah. Data diperoleh dengan wawancara, observasi, dokumen pribadi.


(45)

Moleong (2005) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

B Responden Penelitian

1. Karakteristik Responden Penelitian

Adapun karaktertistik responden yang akan digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

• laki-laki / perempuan • usia 60 tahun ke atas

• menderita penyakit jantung koroner 2. Jumlah Responden Penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah responden sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah responden yang akan diambil dalam penelitian ini adalah 2 orang.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/ operational construct sampling). Responden dipilih


(46)

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2001).

4. Lokasi

Penelitian ini akan dilakukan di kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi peneliti dalam menemukan sampel, mengingat sejak tahun 2003 sampai 2007, sudah banyak dilakukan tindakan angiografi koroner sebanyak 928 kasus, tindakan PCI pemasangan stent 189 kasus yang merupakan penaganan penyakit jantung koroner di RS H. Adam Malik Medan (Majid, 2007).

Berdasarkan alasan tersebut memang telah ditemui beberapa kasus penyakit jantung koroner di kota Medan. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan disesuaikan dengan keinginan dari subyek penelitian agar subyek merasa nyaman.

C. Metode Pengambilan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2005) sumber utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya.

Dalam penelitian yang dilakukan, penelitian menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara. Penggunaan metode wawancara dalam


(47)

penelitian ini beralasan data yang dikumpulkan dari hasil wawancara berupa percakapan antara peneliti dengan subjek yang akan diteliti untuk mengetahui bagaimana social support dan stres pada lansia penderita penyakit jantung koroner.

1. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif dibandingkan dengan pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi “open-ended question” yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian (Poerwandari, 2007). Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori penyakit jantung koroner dari Sarafino (2006) dan Suharto (2004) tentang gejala fisik dan psikologis yang dialami oleh penderita penyakit


(48)

jantung koroner, teori social support dari Wills & Fegan (2006) dan teontang lansia oleh Hurlock dan Havighurst (1999).

Berdasarkan teori-teori inilah, pedoman wawancara disusun untuk memperoleh data tentang social support pada lansia penderita jantung koroner. Peneliti akan menggali perasaan yang dihadapi penderita penyakit jantung koroner akibat kondisi fisik dan psikologis yang dideritanya, bagaimana dukungan sosial yang diterimanya.

2. Observasi

Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan bahwa observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Tujuan observasi adalah mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas, dan makna kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan (Poerwandari, 2007).

Hal-hal yang sangat penting dalam melakukan observasi adalah peneliti melaporkan hasil observasinya secara deskriptif, tidak interpretatif. Pengamat tidak mencatat kesimpulan atau interpretasi, melainkan data konkrit berkenaan dengan data yang konkrit berkenaan dengan fenomena yang diamati (Poerwandari, 2007).

Beberapa alat observasi yang digunakan antara lain anecdotal, catatan berkala, check-list, rating scale, dan mechanical devices (Rahayu & Ardani,


(49)

2004). Penelitian ini menggunakan alat observasi berupa anecdotal dimana observer mencatat hal-hal yang penting sesegera mungkin pada tingkah laku istimewa saat penelitian berlangsung.

Observasi dalam penelitian ini digunakan hanya sebagai alat tambahan yang dilakukan pada saat wawancara berlangsung untuk melihat reaksi responden, antara lain: ekspresi wajah, gerakan tubuh, intonasi suara, melihat bagaimana reaksi calon responden ketika peneliti meminta kesediaannya untuk diwawancarai, bagaimana sikap partisipan terhadap peneliti, bagaimana sikap dan reaksi responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, bagaimana keadaan responden saat wawancara, hal-hal yang sering dilakukan responden dalam proses wawancara.

D. Alat bantu pengambilan data

Menurut Poerwandari (2007), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah peneliti sendiri. Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman wawancara, dan alat perekam.

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II, sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah bagaimana kehidupan individu sebelum menderita penyakit jantung koroner (latar


(50)

belakang kehidupan, pekerjaan, hubungan keluarga, tujuan hidup), setelah menderita penyakit jantung koroner (pandangan responden terhadap apa yang ia alami, reaksi fisik dan psikologis yang dirasakan, tujuan hidup responden), dan reaksi orang-orang di sekeliling responden setelah menderita penyakit jantung koroner.

Pedoman wawancara tidak digunakan secara kaku, karena tidak tertutup kemungkinan peneliti menanyakan hal-hal di luar pedoman wawancara agar data yang dihasilkan lebih akurat dan lengkap.

2. Alat Perekam (Tape Recorder)

Usaha yang dilakukan peneliti untuk mempermudah dalam mencatat hasil wawancara maka peneliti menggunakan alat bantu berupa alat perekam (tape recorder) ini akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman wawancara berguna untuk membuat verbatim sehingga mempermudah dalam melakukan pengkodean dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan dilakukukan dengan seizin subjek penelitian (Poerwandari, 2001).

3. Lembar Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara dengan tujuan untuk menyesuaikan antara informasi yang disampaikan oleh responden dengan gerakan tubuh responden. Hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya penelitian dicatat dalam lembar observasi. Catatan observasi akan memudahkan peneliti


(51)

dalam mendapatkan dan mengingat kejadian selama proses wawancara serta memperkuat makna.

E. Kredibilitas dan Validitas Penelitian

Adapun dalam pendekatan kualitatif dikenal istilah kredibilitas yaitu istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Validitas kumulatif

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.

2. Validitas komunikatif

Validitas komunikatif diperoleh melalui konfirmasi kembali data dan analisis pada subjek penelitian. Data-data dan hasil analisis yang diperoleh akan dikonfirmasikan kembali pada subjek penelitian yang dalam hal ini adalah lansia penderita penyakit jantung koroner.


(52)

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah.

4. Validitas ekologis

Validitas ekologis menunjuk pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek penelitian yang diteliti, sehingga kondisi “apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian. Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengusulkan beberapa cara untuk meningkatkan kredibilitas penelitian kulaitatif antara lain ;

1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan ojektif terhadap setting, subjek penelitian ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternative konsep, skema atau metafora yang terkait dengan data. Catatan in sangat penting dalam memudahkan, mengembangkan analisis dan interpretasi.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses pengumpulan data dan strategi analisisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langakah dan proses yang diambil peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya dan menjamin pengumpulandata yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

4. Menyertakan ‘partner’ atau orang yang dapat berperan sebagai pengkritik yang dapat memberikan saran-saran dan pembelaan yang akan


(53)

memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan oleh peneliti.

5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif, pemahaman peneliti tentang pola dan kecenderungan yang telah peneliti identifikasikan akan meningkat bila juga memberikan perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuaidengan pola tersebut.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan tentang data.

F. Prosedur penelitian

Prosedur penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2005). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahapan pralapangan, pekerjaan lapangan, tahapan analisa data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2005) yaitu sebagai berikut :

a.Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan lansia yang menderita penyakit jantung


(54)

koroner, baik melalui orang-orang di sekitar, teman-teman, dosen, artikel, internet untuk meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada lansia penderita penyakit jantung koroner. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.

b.Mempersiapkan landasan teoritis

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori yang berhubungan dengan social support, lansia dan penyakit jantung koroner.

c.Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman wawancara.

d.Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (inform concent) untuk menjadi responden penelitian.

e.Membangun rapport

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian (tanda tangan responden pada lembar inform concent), peneliti memulai untuk membangun rapport. Sebelum melakukan penelitian ini peneliti telah menghubungi responden I untuk meminta waktunya. Responden I merupakan teman ayah peneliti yang sudah lama berteman. Sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat maka peneliti bertemu dengan responden I. Peneliti mencoba membangun rapport dengan responden dengan beramah


(55)

tamah dan menanyakan kabar responden. Setelah itu, peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian ini, responden dengan senang hati bersedia untuk membantu peneliti. Responden bersedia untuk diwawancarai oleh peneliti. Wawancara dilakukan sebanyak dua kali. Rapport juga dilakukan pada responden II. Peneliti mengenal responden II saat responden II hendak melakukan pengobatan penyakit jantung koroner yang ia derita. Peneliti mulai membangun rapport kepada responden II dengan beramah tamah dan menanyakan keadaan responden II saat itu. Peneliti menanyakan kesediaan responden II untuk terlibat dalam penelitian. Responden II bersedia membantu peneliti dan mau diwawancarai. Peneliti dan responden II menentukan jadwal dan tempat akan dilakukan wawancara. Peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian ini dan meminta kesediaan responden II menjadi responden dalam penelitian ini. Wawancara dengan responden II juga dilakukan sebanyak dua kali.

2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah diadakan kesepakatan maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya membina rapport agar responden penelitian merasa nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh responden penelitian dan percakapan akan direkam dengan menggunakan tape recorder mulai dari awal hingga akhir, dan peneliti juga akan mencatat bahasa non-verbal responden saat wawancara berlangsung.

Proses wawancara seluruhnya dilakukan dalam jangka waktu kurang lebih satu bulan sepuluh hari, dari tanggal 21 Januari 2009 sampai dengan tanggal 28


(56)

Februari 2009. Pelaksanaan pengambilan data responden I (Bapak Johan) dilakukan sebanyak dua kali wawancara yaitu wawancara I dilakukan pada hari Rabu, 21 Januari 2009 pada pukul 11.00-13.00 WIB, wawancara II dilakukan pada hari Jum’at, 6 Februari 2009 pada pukul 10.00-11.00 WIB. Pelaksanaan pengambilan data responden II (Bu Risdiana) dilakukan sebanyak dua kali, yaitu wawancara I dilakukan pada hari Jum’at, 6 Februari 2009 pada pukul 12.00-14.00 WIB, wawancara II dilakukan pada hari Sabtu, 28 Februari 2009 pada pukul 15.00-17.30 WIB.

3. Tahap pencatatan data

Data yang diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.

4. Prosedur analisa data

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengemukakan analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Data akan dianalisis menurut prosedur penelitian kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif.


(57)

Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut : a. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding merupakan tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan yang peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya penelitilah yang berhak (dan bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif (Poerwandari, 2001)

b. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk (a) memperoleh data yang baik, (b) mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta (c) menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaiaan penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan, dan kaset hasil rekaman), data yang sudah selesai diproses, data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.


(58)

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasu yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.

d. Tahapan Interpretasi

Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yag khusus.


(59)

BAB IV

HASIL ANALISA DATA

Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami gambaran social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner, maka akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi persubjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

A. Responden I (Johan) 1. Analisa Data (Johan)

a. Identitas Diri Responden I (Johan)

Tabel 1. Gambaran Umum Responden I

Keterangan Responden I

Nama Samaran Johan

Jenis Kelamin Laki-laki

Usia 66 tahun

Agama Islam Status Menikah Pendidikan terakhir AKPER

Pekerjaan Pensiunan Dinas Kesehatan Tahun Diagnosa PJK 1994

Tahun Operasi 2007

b. Deskripsi Data Responden I

Responden I dalam penelitian ini adalah seorang bapak yang bernama Johan. Seorang laki-laki yang berusia 66 tahun bersuku Mandailing. Johan menderita penyakit jantung koroner sejak tahun 1994 hingga saat ini tahun 2009. Sejak diagnosa dokter yang mengatakan bahwa beliau mengidap penyakit jantung


(60)

koroner ini, baru tahun 2007 ia melakukan operasi by-pass pintas koroner yang dilaksanakan di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta. Operasi tersebut dapat dilaksanakan karena saat itu Johan mengalami anfal akibat penyakit jantung koroner yang ia derita selama belasan tahun.

Johan memiliki lima orang anak yaitu dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki. Keempat anak-anaknya telah menikah dan memiliki tempat tinggal masing-masing, hanya satu orang anak laki-lakinya yang belum menikah. Johan tinggal bersama dengan istri dan anak lelakinya yang belum menikah.

Johan memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar. Tinggi badannya mencapai 175 cm dengan berat badan 65 kg. Johan merupakan seorang pensiunan pegawai dinas kesehatan salah satu rumah sakit umum yang ada di Medan. Johan memiliki banyak teman di tempat ia bekerja sebelum pensiun. Meskipun ia sudah pensiun, namun ia masih sering terlihat di Rumah Sakit Pirngadi Medan. Ia diberikan tugas yang ringan oleh direktur rumah sakit yaitu mengontrol keadaan rumah sakit itu, khususnya kebersihan rumah sakit.

Setiap harinya, Johan melakukan berbagai aktivitas seperti jalan pagi rata-rata tiga sampai empat kilometer setelah melaksanakan sholat shubuh bersama-sama warga setempat yang ikut melakukan jalan pagi itu. Setelah melakukan jalan pagi ia pulang ke rumah untuk sarapan, minum obat, mandi dan pergi ke rumah sakit untuk melakukan kontrol kebersihan rumah sakit dan kondisi jantungnya.

Siang harinya ia makan siang bersama istrinya. Istri responden telah mengatur pola makan responden dengan mengikuti anjuran dokter. Setiap sore ia


(61)

menghabiskan waktu bersama anak dan cucunya yang senantiasa datang untuk menyenangkan hatinya.

2. Observasi Umum Responden I

Tabel 2. Waktu wawancara Responden I No Responden Hari/tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara 1 Johan Rabu/21

Januari 2009

11.00-13.00 Di RSU. Pirngadi Medan 2 Johan Jumat/6

Februari 2009

10.00-11.00 Di RSU. Pirngadi Medan

Peneliti mengenal Johan dari orang tua peneliti yang merupakan teman satu instansi pekerjaan saat Johan belum pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai dinas kesehatan di Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan. Pada pertemuan pertama sebagaimana telah dijanjikan oleh peneliti sebelumnya melalui telepon untuk bertemu di rumah sakit karena responden akan melakukan kontrol kondisi jantungnya di rumah sakit itu. Pertemuan ini diawali dengan meminta kesediaan responden untuk terlibat dalam penelitian ini Pertemuan ini merupakan upaya peneliti untuk membangun rapport dan juga menjelaskan tujuan dari penelitian yang diadakan. Peneliti ingin memastikan kesesuaian karakteristik responden dengan ketetapan yang telah ditetapkan sebelumnya. Setelah mengetahui kesesuaian karakteristik tersebut, maka peneliti meminta kesediaan Johan untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian dan


(62)

Johan bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini untuk menjadi salah seorang responden penelitian.

Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 21 Januari 2009 pukul 11.00-13.00 WIB. Peneliti telah membuat janji pertemuan sebelumnya melalui telepon untuk bertemu di rumah sakit Pirngadi pukul 10.00 WIB, namun karena responden hendak melakukan kontrol jantung maka pukul 11.00 WIB peneliti dapat melakukan wawancara dengan responden. Saat itu Johan datang sendiri ke suatu ruangan keamanan di rumah sakit itu yang merupakan tempat anaknya yang bekerja sebagai petugas keamanan di rumah sakit itu. Ruangan itu berukuran 3 x 4 meter, terdapat beberapa kursi plastik berwarna putih yang sudah agak kekuning-kuningan. Terdapat sebuah televisi di ruangan tersebut, namun saat diadakan wawancara televisi dalam keadaan tidak menyala. Dinding-dinding ruangan tersebut dilapisi cat berwarna kuning berlantaikan semen biasa. Peneliti dan responden duduk berhadap-hadapan di kursi-kursi plastik yang ada di ruangan tersebut. Saat wawancara dilakukan peneliti ditemani oleh orang tua peneliti dan anak Johan yang sedang bertugas yang berjarak 2 meter dari peneliti dan responden.

Johan mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih yang dipadukan dengan celana panjang berwarna coklat. Johan membawa ponselnya yang berada di dalam tas pinggangnya. Rambutnya yang mengkilat dan berminyak dihiasi beberapa diantaranya yang berwarna putih.

Pada saat wawancara, Johan sesekali menyilangkan kakinya. Johan menceritakan bagaimana awalnya ia terkena penyakit jantung koroner. Johan tetap


(63)

memelihara kontak mata dengan peneliti saat bercerita. Johan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dengan baik dan jelas. Johan terlihat beberapa kali memegang dadanya saat menceritakan penyakit yang ia derita. Wawancara kedua dilakukan dua minggu setelah wawancara pertama selesai dan waktu tersebut telah disepekati bersama oleh peneliti dan responden. Pertemuan ini berlangsung pada tanggal 06 Februari 2009 pukul 10.00-11.00 WIB. Pada pertemuan ini Johan datang sendiri ke ruangan keamanan RSU Pirngadi Medan. Wawancara dilakukan pada tempat yang sama dengan wawancara pertama yaitu di kursi plastik di ruangan keamanan RSU Prirngadi Medan, karena tempat tersebut merupakan tempat wawancara yang cukup kondusif dan nyaman bagi peneliti dan responden untuk melakukan wawancara. Saat wawancara kedua ini, Johan mengenakan kemeja berwarna hitam dengan corak bunga berwarna abu-abu dipadukan dengan celana panjang berwarna hitam, dan memakai sepatu yang kelihatannya baru saja disemir.

Pada saat wawancara kedua, Johan memegang beberapa lembar kertas yang merupakan berkas untuk melakukan kontrol kondisi jantungnya, karena waktu itu bersamaan dengan jadwal kontrol jantungnya. Johan tetap memelihara kontak mata dengan peneliti. Johan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti dengan seksama. Terlihat sesekali memegang dagunya saat menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Saat wawancara berakhir Johan memberikan senyumannya kepada peneliti sambil menitipkan salam kepada orangtua peneliti yang juga merupakan temannya.


(64)

3. Data Wawancara Responden I

a. Gambaran Penyebab Penyakit Jantung Koroner yang Diderita

Johan menderita penyakit jantung koroner sejak tahun 1994. Diagnosa penyakit jantung koroner yang diberikan oleh dokter kepadanya saat ia berusia 55 tahun. Penyakit jantung koroner yang Johan derita disebabkan karena kebiasaan merokok yang sudah menjadi candu dan ketergantungan. Kebiasaan merokok ini diawali sejak Johan bekerja di sebuah instansi karena pergaulan teman-teman sekantor yang kemudian berlanjut menjadi sebuah ketergantungan. Kebiasaan merokok itu sangat sulit ia hentikan, bahkan sampai ia menderita penyakit jantung koroner.

“Ya dulu kemungkinan saya pertama kali merokok, saya peminum, saya perokok, itulah yang paling...”

(R1.W1/b.90-93/hal 3)

Kebiasaan merokok bukanlah satu-satunya faktor resiko yang menyebabkan Johan menderita penyakit jantung koroner. Johan juga mengkonsumsi makan-makanan yang tingkat kolesterolnya tinggi. Johan tidak menjaga pola makannya, ia mengkonsumsi makanan sesuka hatinya.

“...makanan kelewat bebas, itulah faktor kemungkinan yang menye...,yang bisa menyebabkan saya menderita penyakit jantung...”

(R1.W1/b.93-97/hal 3)

Sebelum Johan menderita penyakit jantung koroner, ia adalah orang yang tingkat emosionalnya tinggi yang dapat memicu stres sehingga menambah resiko ia terkena penyakit jantung koroner.

“...emosi saya tinggi, semangat kerja saya besar, terus saya bisa ke mana-mana nggak ada halangan, pekerjaan yang berat-berat bisa saya kerjakan seperti macam nggak ada kendala apa-apa gitu.


(65)

Selain faktor-faktor resiko yang dapat dikontrol seperti merokok, minum-minuman beralkohol, dan makan-makanan berkolesterol tinggi, faktor usia juga ikut menjadi faktor resiko Johan menderita penyakit jantung koroner. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar ia beresiko untuk menderita suatu penyakit seperti penyakit jantung koroner.

“ Bulan Maret nanti anam puluh anam tahun” (R1.W1/b.1165-1166/hal 25)

“Awalnya ...? Oh... dah lama kali, awalnya itu tahun ’94, he..eh..” (R1.W1/b.5-6/hal 1)

“Waktu saya dioperasi usia saya anam puluh ampat tahun” (R1.W1/b.739-740/hal 16)

b. Gambaran Gejala Fisik dan Kondisi Psikologis pada Responden I

Pada tahun 1994 Johan mengetahui bahwa ia mendarita penyakit jantung koroner setelah ia menjalani catrinisasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Gejala fisik yang dialaminya adalah sesak di dada yang sering membuat dirinya sulit bernapas dan sulit untuk melakukan aktivitas lainnya.

“Tiba-tiba saya apa... sesak, asal jalan sebentar sesak, sesudah itu periksa ke spesialis penyakit jantung ...”

(R1.W1/b.14-17/hal 1)

“Ya sesaklah..., sering sesak, sesak, saya jalan sebentar aja capek, sudah itu sesak, dah itu perasaan gak enak ... aja di dada ini...”

(R1.W1/b.102-105/hal 3)

“Ya sesak itu lah, rasanya payah kita menarik napas gitu, karena udah penyumbatan pembuluh darah jadi oksigen nggak masuk ke jantung” (R1.W1/b.1198-1202/hal 25)


(1)

W1B1180 W1B1181

W1B1182 Itee

kita untuk hari ini, nanti akan kita lanjutkan kembali.

Iya...

PEDOMAN WAWANCARA

“SOCIAL SUPPORT PADA LANSIA PENDERITA PENYAKIT JANTUNG KORONER”

I. Data responden

1. Nama responden 2. Usia responden 3. Jenis kelamin

4. Latar pendidikan responden 5. Riwayat pekerjaan responden II. Riwayat kesehatan responden

1. Kapan awalnya menderita penyakit jantung koroner

2. Faktor resiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner 3. Gejala-gejala fisik yang dialami oleh penderita jantung koroner

III.Reaksi awal responden menderita penyakit jantung koroner

1. Yang dilakukan saat pertama kali menderita penyakit jantung koroner


(2)

2. Fikiran yang sering timbul sejak menderita penyakit jantung koroner

3. Perasaan responden saat pertama kali menderita penyakit jantung koroner

IV.Dampak penyakit jantung koroner terhadap responden

1. Kondisi fisik responden saat menderita penyakit jantung koroner 2. Kondisi psikologis responden saat menderita penyakit jantung

koroner

3. Masalah yang sering timbul karena penyakit jantung koroner yang diderita responden

V. Dukungan sosial pada lansia penderita jantung koroner

1. Bagaimana tanggapan orang-orang terdekat terhadap penyakit jantung koroner yang diderita responden

2. Apa yang dilakukan orang-orang terdekat setelah mengetahui penyakit yang diderita responden

3. Bantuan seperti apa yang diberikan oleh orang-orang di sekeliling responden

4. Seberapa besar perhatian orang-orang yang berada di sekeliling responden

5. Bagaimana tanggapan responden terhadap sikap dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya

6. Bantuan seperti apa yang responden inginkan dari orang-orang di sekelilingnya


(3)

7. Berasal dari siapa bantuan yang responden dapatkan selama menderita penyakit jantung koroner

8. Siapa yang paling sering memberikan bantuan kepada responden

9. Siapa yang responden inginkan untuk menolognya selama

menderita penyakit jantung koroner

10.Apakah responden merasa berkecukupan dengan bantuan yang ia peroleh

11.Bagaimana cara responden menghadapi penyakit yang didieritanya 12.Kegiatan apa saja yang dilakukan responden untuk mendapatkan

dukungan sosialnya

13.Bagaimana pengarauh dukungan yang diperoleh responden untuk mencapai proses pemulihan sakit yang dideritanya

14.Apakah dukungan atau bantuan yang diberikan dapat


(4)

LEMBAR OBSERVASI

Responden Penelitian :

Tanggal/Hari wawancara :

Wawancara ke :

Waktu wawancara :

Hal yang diobservasi : 1. Penampilan Fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden terhadap pewawancara 4. Sikap responden selama wawancara 5. Ekspresi wajah responden

6. Hal-hal yang mengganggu wawancara

7. Hal-hal yang unik, menarik dan tidak biasa dalam wawancara 8. Hal-hal yang sering dilakukan resonden dalam wawancara


(5)

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Social support pada Lansia Penderita Penyakit Jantung Koroner

Peneliti : Hartika Pratiwi

NIM : 041301077

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai subyek dalam penelitian mengenai social support pada lansia penderita penyakit jantung koroner.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja.


(6)

Subyek Peneliti ( ) (Hartika Pratiwi)