84
kemampuan regulasi emosi yang rendah dibandingkan dengan usia 65-74 123,31 dan 75-84 123,17.
3. Hasil Data Tambahan Perbandingan Kemampuan Regulasi Emosi
Berdasarkan Suku.
Tabel 21: Perbandingan kemampuan regulasi emosi berdasarkan suku
Descriptives
Skor
13 120.85
23.688 6.570
106.53 135.16
85 154
18 118.33
24.850 5.857
105.98 130.69
79 162
6 110.17
17.634 7.199
91.66 128.67
88 136
7 124.43
21.086 7.970
104.93 143.93
99 160
4 130.50
14.059 7.030
108.13 152.87
120 151
2 123.00
22.627 16.000
-80.30 326.30
107 139
50 120.02
22.037 3.116
113.76 126.28
79 162
mandailing batak
melayu jawa
minang aceh
Total N
Mean Std.
Deviation Std.
Error Lower Bound
Upper Bound 95 Confidence Interval for
Mean Minimum
Maximum
Berdasarkan tabel 21 dapat disimpulkan bahwasanya kemampuan regulasi emosi seseorang dipengaruhi oleh faktor budaya suku. Suku Melayu mempunyai tingkat
regulasi emosi paling rendah 110.17. kemudian suku Batak 118.33, Mandailing 120.85, lalu suku Aceh 123.00, Jawa 124.43 dan yang paling tinggi suku Minang
130.50.
D. DISKUSI
Hasil utama penelitian ini memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Denham dalam Coon, 2005 yang mengatakan bahwasanya regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi yang dirasakan dan
Universitas Sumatera Utara
85
ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau
membangun emosi positif Kostiuk Fouts, 2002 dimana hal ini dapat diperoleh dengan melakasanakan shalat lima waktu, karena menurut Rafiāudin Zainudin 2004
shalat dapat mencegah dari sifat keji dan munkar. Hal ini akan tampak dari cerminan akhlak atau perilaku sehari-hari, disamping terhindar dari perbuatan keji, dosa dan
kemunkaran dengan memelihara shalat, tentulah hatinya juga suci dan bersih jiwanya. Hal ini sejalan dengan Noer 2006 yang mengatakan bahwasanya Shalat sebagai kontrol
diri dari perbuatan buruk. Hasan 2000 mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Basyarahil 2001 juga mengatakan
bahwasanya shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman. Dri penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya manfaat dari pelaksanaan shalat yang
teratur akan mempengaruhi kemampuan regualasi emosi seseorang Kedua variabel berkorelasi positif artinya peningkatan keteraturan shalat lima
waktu akan diikuti dengan peningkatan kemampuan regulasi emosi, dan sebaliknya penurunan keteraturan shalat lima waktu akan diikuti dengan penurunan kemampuan
regulasi emosi.Hal ini sesuai dengan pendapat Krause dalam Coon, 2005, salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang
tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak terlalu berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya lebih rendah.
Dimensi religiusitas yang dipilih adalah dimensi praktek agama yaitu shalat yang memberikan banyak manfaat yang berpengaruh terhadap kemampuan regulasi emosi
seseorang, hal ini sejalan dengan Hasan 2000 mengatakan salah satu hikmah shalat
Universitas Sumatera Utara
86
yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Basyarahil 2001 juga mengatakan bahwasanya shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman.
Berdasarkan hasil tambahan penelitian diperoleh bahwa kemampuan regulasi emosi laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan regulasi emosi perempuan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Gross 1998 bahwa perempuan lebih kuat dalam merasakan emosi dan lebih sering mengekspresikannya. Hal
ini juga sejalan dengan pendapat Brebner 2003 yang mengatakan bhawasanya terdapat perbedaan juga dalam self report mengenai frekuensi dan intensitas dalam mengalmai
emosi tertentu, dimana perempuan lebih mengalami afeksi, kemarahan, kegembiraan, ketakutan dan kesedihan dibandingkan dengan laki-laki.
Berdasarkan hasil tambahan penelitian diperoleh bahwa kemampuan regulasi sejalan dengan bertambahnya usia seseorang, hal ini sejalan dengan penelitian yang
ditemukan Maider dalam Coon, 2005 yang menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana
semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Brenner Salovey 1997 yang mengatakan bahwasanya terdapat peningkatan strategi kognitif sejalan dengan menigkatnya usia anak,
dan kemmapuan anak untuk meregulasi emosi tanpa bantuan dari orang lain, juga akan meningkat sejalan dengan usia anak tersebut.
Berdasarkan hasil tambahan penelitian diperoleh bahwa kemampuan regulasi seseorang sejalan dengan suku atau budaya yang dimiliki oleh seorang individu, hal ini
sesuai dengan teori Lazarus 1991 yang mengatakan bahwa norma atau belief yang
Universitas Sumatera Utara
87
terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi.
Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam
cara ia meregulasi emosi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat regulasi emosi yang berbeda dari tiap suku. Namun hal ini tidak sejalan dengan Bungaran 2007, yang mengatakan
bahwasanya bukan berarti orang Batak yang memilki suara yang keras, tinggi, juga memiliki emosi atau temperamental yang tinggi, hanya karakter mereka memang
ekspresif. Dan cara mengekspresikannya sendiri lebih ekstrem, jadi terkesan emosional, namun tidak semuanya temperamental.
Penelitian ini tidak berjalan tanpa kendala. Terdapat beberapa hal yang terjadi diluar perkiraan peneliti, diantaranya adalah kesulitan untuk mencari lansia muslim yang
menderita penyakit jantung koroner dan memiliki keteraturan shalat lima waktu serta ketika meminta kesediaan para lansia untuk mengisi skala yang diberikan, pada awalnya
mereka banyak yang menolak dengan alasan tidak mau diganggu karena sedang melakukan pemeriksaan kesehatan, ditambah lagi dengan jumlah aitem yang cukup
banyak, bagi para lansia yang rata-rata sudah sulit untuk membaca dan mendengar hal ini sangat menyulitkan. Sehingga peneliti harus membacakan satu persatu soal kepada para
lansia tersebut. Sehingga disini dibutuhkan sekali kesabaran dan konsentrasi yang tinggi dari peneliti.
Kekurangan lainnya dalam penelitian ini adalah jumlah subjek penelitian yang sangat kecil. Pada penelitian ini hanya melibatkan lansia yang berada di beberapa rumah
sakit, ataupun beberapa klinik dokter spesialis yang berjumlah 50 untuk sampel uji coba
Universitas Sumatera Utara
88
dan 50 untuk sampel data mentah. Hal ini membuat hasil penelitian tidak bisa digeneralisasikan pada seluruh lansia penderita jantung koroner yang memiliki
keteraturan shalat lima waktu di kota Medan. Selain kendala dari teknik penelitian, kendala lainnya yang dihadapi oleh peneliti
adalah masih sedikitnya tokoh yang membahas tentang keteraturan shalat lima waktu dan regulasi emosi sehingga peneliti cukup sulit untuk mendapatkan buku yang
membicarakan hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
89
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN