38
Berkaitan dengan hal ini, pada tahun 1978 telah diadakan konferensi Internasional di Turki yang telah menetapkan bahwa untuk
dapat terlihatnya hilal terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5
o
derajat dan sudut pandang Angular Distance antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8
o54
.
3. Perkembangan Hisab Di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah hisab rukyat di Indonesia sudah barang tentu tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri di Indonesia.
Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa sebelum kedatangan agama Islam, di Indonesia telah terdapat suatu perhitungan tahun yang ditempuh menurut
kalender Jawa Hindu atau tahun Soko
55
. Tahun Soko ini didasarkan kepada peredaran matahari, dimulai pada saat penobatan Prabu Syali Wahono Adji
Soko pada hari sabtu tanggal 14 Maret 78 M, tetapi tahun ke-I dimulai setelah satu tahun kemudian.
Tahun Soko tersebut pada tahun 1633 M digabungkan dengan tahun Hijriyah yang didasarkan pada peredaran bulan oleh Sultan Agung Prabu
Anyokro Kusumo, tetapi tahunnya tetap tahun 1555 dengan daur atau windunya berumur 8 tahun bukan 30 tahun seperti tahun Hijriyah
56
.
54
Ibid.
55
Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri : Suatu perbandingan, makalah yang disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember 2004 di gedung theater lantai II.,
h.73.
56
Ibid.
39
Ketetapan itu merupakan gabungan dari penanggalan Hindu Jawa dengan penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, sejak saat itu tahun Jawa yang
berlaku adalah Jawa Islam
57
. Dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi
pada zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, maka sudah sangat jelas bahwa hal itu sebagai tanda umat Islam di Indonesia telah terlibat
dalam pemikiran hisab rukyat dan sekaligus sebagai tanda adanya perubahan kemasyarakatan dari kehinduan menjadi masyarakat yang keislaman.
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan kalender Hijriyah ini diubah menjadi kalender Masehi oleh penjajah Belanda sebagai kalender
resmi pemerintahan. Namun meski demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, khususnya segala penetapan yang berkaitan dengan
persoalan ibadah diserahkan kepada kerajaan-kerajaan Islam, seperti penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah
58
. Setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur mulai terjadi
perubahan. Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946
59
, persoalan-persoalan hari libur yang berkaitan dengan ibadah diserahkan kepada Departemen ini sesuai dengan PP tahun 1946 No.
57
Satu tahun ditetapkan sama yaitu 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal, Dulkongidah, dan Besar.
58
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003, cet.I, h. 49.
59
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Cet. I, Jakarta, Djambatan, 1992, h.211.
40
1Um.7Um.9um jo keputusan Presiden No. 25 tahun 1967 No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.
Meskipun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama, namun secara praktis sampai saat ini terkadang masih belum
seragam. Hal ini sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyat.
Dengan adanya fenomena tersebut Departemen Agama berinisiatif membentuk Badan Hisab Rukyat Departemen Agama guna mempertemukan
perbedaan-perbedaan tersebut, meskipun dalam kenyataannya masih belum terwujud. Hal ini dapat terlihat seringkali terjadi perbedaan awal Ramadhan,
Idul Fitri dan Idhul Adha. Melihat fenomena tersebut Ahmad Izzudin mengemukakan bahwa,
persoalan hisab rukyat ini masih terkesan formalitas, belum membumi dan belum menyeluruh pada akar penyatuan yang baik. Sehingga wajar kiranya di
masa pemerintahan Gus Dur, sebagaimana disampaikan Wahyu Widiana ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Work Shop Nasional mengkaji
ulang metode penetapan awal shalat yang diselenggarakan UII Yogyakarta, pada tanggal 7 April 2001 bahwa badan hisab rukyat ini akan dikembalikan
pada masyarakat Umat Islam Indonesia
60
. Namum meski demikian eksistensi badan hisab rukyat di Indonesia ini telah memberikan warna
60
Ibid, h.51 dan 69.
41
tersendiri dalam dinamika penetaapan awal bulan Qomariyah khususnya awal bulan Ramadhan di Indonesia.
C. Hisab Rukyat Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan
Dalam Islam, banyak sekali ibadah-ibadah yang berkaitan erat dengan waktu, sehingga suatu ibadah tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa
mengetahui waktu-waktu syari’at terlebih dahulu. Salah satunya adalah ibadah Puasa Ramadhan, untuk melaksanakan ibadah tersebut sangat diperlukan adanya
suatu penetapan bagi pelaksanaannya. Dengan demikian guna mendapatkan ketetapan tersebut perlu kiranya suatu perhitungan atau hisab bagi permulaan
dan akhir bulan khususnya bulan Ramadhan, yang mana hal ini akan menjadi fondasi awal dalam pelaksanaan ibadah Puasa.
Perhitungan atau hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan ini akan memungkinkan ahli hisab dalam mengetahui posisi bulan dalam jangka waktu
tertentu, sehingga mereka dapat mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan jauh sebelum waktunya. Hal ini akan sangat berguna bagi masyarakat Islam
untuk lebih meyakinkan diri mereka dalam melaksanakan ibadah puasa. Penentuan awal bulan kalender Islam, khususnya awal bulan Ramadhan
dan Syawal sering menimbulkan problematika yang kompleks bagi ummat Islam. Problematika ini muncul akibat dari adanya beberapa faktor
61
, diantaranya :
61
Kardiman, dkk., Garis Tanggal Kalender Islam 1421 H, Bogor, BAKOSURTANAL, 2001, h.6.