Hisab Haqiqi Aliran-aliran Hisab

30 3 Tahun panjang ditetapkan umurnya 355 hari sedangkan tahun pendek ditetapkan 354 hari. 4 Tahun panjang terletak pada deretan tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15 namun sebagian ulama menyatakan ke-16, 18, 21, 24, 26 dan ke- 29. Sedangkan deretan lainnya sebagai lainnya sebagai tahun pendek. Hal ini terkumpul dalam kalimat : ﻞﻛ ﻦﻋ ﮫﻧﺎﯾد ﮫﻔﻛ ﻞﯿﻠﺨﻟا ﻒﻛ ﮫﻧﺎﺼﻓ ﮫﺒﺣ ﻞﺧ Keterangan : Dari kalimat diatas, huruf Hijaiyyah yang ada titiknya merupakan penunjukan jatuhnya urutan dari tahun panjang, sedangkan huruf Hijaiyyah yang tidak ada titiknya merupakan jatuhnya urutan tahun pendek. 5 Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari sedangkan bulan- bulan genap umumnya 29 hari dengan keterangan untuk tahun- tahun panjang bulan yang ke-12 Dzulhijjah ditetapkan 30 hari.

b. Hisab Haqiqi

Hisab haqiqi merupaka hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, yaitu penentuan kedudukan bulan pada saat matahari terbenam. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah tetap dan tidak beraturan, terkadang dua bulan berurutan umurnya 29 atau 30 hari dan kadang-kadang berganti seperti halnya menurut perhitungan hisab urfi. Hisab 31 haqiqi masuk pada kategori hisab modern, karena sudah menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur bola sperical trigonometri 40 . Sebagai mana hisab urfi, hisab haqiqi juga menggunakan beberapa cara atau metode yang dijadikan sebagai prinsip penerapannya, yaitu : 1 Menentukan terjadinya ghurub 41 matahari untuk suatu tempat. 2 Dengan berdasarkan ghurub matahari tadi hisab haqiqi menghitung longitude matahari dan bulan serta data lain dengan koordinat ekleptika. 3 Selanjutnya atas dasar longitude ini mereka menghitung terjadinya ijtima’ 42 . 4 Kedudukan matahari dan bulan yang ditentukan dengan sistem koordinat ekleptika diproyeksikan ke equator dengan koordinat equator. Dengan ini dapat diketahui mukuts jarak sudut lintasan matahari dan bulan pada saat matahari terbenam. 5 Kedudukan matahari dengan sistem koordinat equator itu diproyeksikan lagi ke vertikal sehingga menjadi koordinat horizon, dengan demikian dapat ditentukan berapa tinggi bulan pada saat matahari terbenam dan berapa azimutnya. 40 Spherical Trigonometri adalah segitiga yang digambarkan pada kulit bola dengan pegertian yang khusus. Rumusan ini digunakan untuk melakukan transformasi dari sistem koordinat equator ke sistem koordinat azimutal menghitung jarak sudut antara dua tempat dan menghitung arah suatu tempat, Ibid, h.8. 41 Apabila matahari dan bulan bersinggungan pada piringan atasnya uper limb dengan kaki langit, dalam pengertian astronomi dikatakan terbenam jika jarak zenitnya sama dengan 90 derajat lebih semidiameter ditambah refraksi dikurangi paralaks. Ibid. 42 Disebut pula iqtiran yaitu; jika bulan dan matahari berada pada bujur ekliptika yang sama konjungsi, Ibid. 32 Pandangan ahli hisab dalam menentukan awal bulan baru berbeda- beda yang pada intinya menyebabkan hasil perhitungan hisab yang berbeda- beda pula. Dari beberapa perbedaan ini melahirkan beberapa aliran pemahaman dalam menentukan masuknya bulan baru mempergunakan sistem hisab haqiqi ini. Misalnya, Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama, pada dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpedoman kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Kedua golongan tersebut terpecah lagi menjadi beberapa golongan, bagi golongan yang berpedoman ijtimak semata terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang meyakini ijtimak qabla al-ghurub dan ijtimak qabla al-fajri 43 . 1 Ijtimak qabla al-ghurub Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qabla al-ghurub berpendapat, bahwa jika ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru. Sedangkan, jika ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini sama sekali tidak memperhitungkan rukyat, juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk, asalkan sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtimak. Golongan yang berpedoman pada ijtima qabla al-ghurub walaupun hilal berada di bawah ufuk, malam hari itu juga sudah masuk bulan baru. 43 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, h. 15. 33 Sistem ini lebih menitik beratkan pada penggunaan astronomi murni yang dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan ijtimakkonjungsi 44 . Sistem ini menghubungkan ijtimak dengan saat matahari terbenam, sebab sistem ini mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbit pada keesokan harinya hingga matahari terbenam kembali. Konsep yang dipegang di sini adalah malam mendahului siang. Menurut sistem ini, dapat dikatakan bahwa ijtimak adalah pemisah diantara dua bulan Qomariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka ketika ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru. Jika ijtimak terjadi setelah terbenam matahari, maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung. 2 Ijtimak qabla al-fajri Golongan yang berpedoman pada ijtimak qabla al-fajri berpendapat bahwa permulaan bulan Qomariyah ditentukan oleh ijtimak sebelum fajar. 45 . Menurut sistem ini, jika ijtimak terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah termasuk bulan baru walaupun pada saat matahari terbenam 44 Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan, h. 9. 45 Ibid. 34 pada malam itu belum terjadi ijtimak. Pendapat ini berdasarkan arti dari perintah dimulainya puasa secara harian 46 , sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 187:                                                                           Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam, tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.QS. Al-Baqarah : 187 46 Ibid, h.10. 35 Di Indonesia belum diketahui secara pasti adanya para ahli yang berpegang kepada ijtimak qabla al-fajri ini. Hanya saja pendapat ini ditemukan digunakan oleh pemerintah Saudi Arabia. Hal ini terlihat pada penentuan hari raya ‘Idul Adha di tahun 1395 H atau 1975 M 47 . Dari beberapa keterangan diatas, semuanya itu merupakan golongan yang memegang ijtimak semata. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, pada dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpegang kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Adapun golongan yang berpedoman pada posisi hilal di atas ufuk terbagi pada golongan posisi bulan di atas ufuk haqiqi, ufuk Hissi, ufuk mar’i, dan golongan Imkan ar-rukyat. 1 Ufuk haqiqi Golongan ini berpendapat bahwa ketentuan bulan baru haruslah didasarkan kepada penampakan hilal yang benar yakni hilal harus berada diatas ufuk haqiqi 48 . Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau, dengan demikian jari-jari bulan, parralaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan bulan bukan untuk dilihat. Berbeda dengan perhitungan matahari terbenam, golongan 47 Ibid. 48 Ufuk haqiqi adalah bidangt datar yang ditarik melalui pusat bumi tegak lurus pada garis Vertikal. Ibid, h.10. 36 ini memperhitungkan unsure-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat. Dengan demikian menurut sistem ini setelah terjadi ijtimak dan hilal sudah berada di atas ufuk haqiqi pada saat matahari terbenam, maka malam itu juga sudah dianggap bulan baru 49 . 2 Ufuk Hissi Golongan ini berpedoman kepada posisi hilal berada di atas ufuk Hissi 50 , berpendapat bahwa jika pada saat matahari terbenam telah terjadi ijtimak dan hilal sudah berada di atas ufuk Hissi, maka sudah dianggap bulan baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa letak perbedaan diantara keduanya adalah titik pengukuran yang dilihat si peninjau. Jika pada ufuk haqiqi si peninjau melihatnya dari titik pusat bumi, sedangkan pada ufuk hissi dilihat dari atas permukaan bumi. Golongan yang berpegang kepada ufuk hissi memang kurang popular, sehingga banyak para ahli yang kurang mementingkan sistem ini. Namun system ini cukup diakui di Indonesia, meskipun penganutnya tidak terlihat banyak dan kurang terkenal. 51 49 Ibid. 50 Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk haqiqi. Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariah, h. 11. 51 Ibid. 37 3 Ufuk Mar’i Selain berpegang kepada ufuk haqiqi dan ufuk hissi, juga juga terdapat golongan yang berpegang kepada ufuk Mar’i. Ufuk mar’i ini masih tergantung kepada ketinggian mata pengamat dari permukaan air laut. Dimana jika ketinggian berubah, maka berubah pula horizon yang dilihatnya. Dan jika mata peninjau dari permukaan air laut, maka letak horizon yang sebenarnya merupakan ufuk haqiqi 52 . Pada sistem ini bukan hanya berpedoman kepada ufuk mar,i yang memperhatikan kerendahan ufuk saja, tetapi juga memperhatikan semidiameter, parralaks, dan refraksi. Dengan perkataan lain, sistem ini memperhitungkan posisi hilal untuk dapat dirukyat hilal mar’i, bukan memperhitungkan posisi hilal yang sesungguhnya hilal haqiqi. 4 Imkan ar-rukyat Golongan ini berpendapat bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak, hilal harus memiliki posisi yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk dalam golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dirukyat. Dalam hal ini ada yang berpendapat 8 o , 7 o , 6 o , 5 o , dan lain sebagainya 53 . 52 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, h. 20. 53 Ibid, h.14. 38 Berkaitan dengan hal ini, pada tahun 1978 telah diadakan konferensi Internasional di Turki yang telah menetapkan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5 o derajat dan sudut pandang Angular Distance antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8 o54 .

3. Perkembangan Hisab Di Indonesia