Sebagaimana  yang  diungkapkan  oleh  Ella  dkk  1997,  bahwa  produksi  gas  yang tinggi  menunjukkan  aktivitas  mikroba  dalam  rumen  dan  mencerminkan  kualitas
pakan.  Berdasarkan  penelitiannya,  produksi  gas  mencapai  puncak  pada  inkubasi 24  jam  pertama,  selanjutnya  mengalami  penurunan  hingga  96  jam  dan  akhirnya
mencapai nol. Berdasarkan  fase  pertumbuhan  mikroba,  pada  jam  ke  2,  4,  6,  8,  dan  10
pertumbuhan  mengalami  fase  adaptasi Lag  Fase itu  terlihat  dari  gambar  volume produksi   gas   yang   tidak   terlalu   besar   kenaikannya.   Pada   fase   ini,   mikroba
mengalami   penyesuaian   terhadap   lingkungannya   dan   belum   maksimal   dalam melakukan kolonisasi pada substrat Orskov, Hevell dan mullet, 1980. Kemudian
volume  gas  pada  jam  ke  24  menunjukkan  kenaikkan  yang  signifikan,  karena diperkirakan  mikroba  sedang  mengalami  fase  logaritmik  Log  Fase  yaitu  fase
pembelahan dimana pada
fase ini
kecepatan    pertumbuhan dan
perkembangbiakkan  mikroba  terjadi   sangat  cepat  dan  maksimal  baik metabolismenya  maupun  pembelahan  selnya.  Pada  fase  inilah  mikroba  mulai
mendegradasi    pakan,    merombak    karbohidrat    menjadi    struktur    yang    lebih sederhana  dan  menghasilkan  gas  dari  perombakan  bahan  organik.  Selama  pakan
diinkubasi  dalam  cairan  rumen  dan  buffer  secara  in  vitro,  maka  zat  makanan difermentasi   menjadi   VFA,   gas   terutama   CO
2
dan   CH
4
serta   sel   mikroba Krishnamoorthy, 2001.
4.2. Kecernaan Bahan Kering KcBK dan Kecernaan Bahan Organik
KcBO Jerami Sorgum Fermentasi Secara In Vitro
Kecernaan   pakan   oleh   ruminansia   sangat   dipengaruhi   oleh   aktivitas mikroba  di  dalam rumen.  Estimasi  kecernaan  bahan  kering  dan  kecernaan  bahan
35
organik  pada  penelitian  ini  diperoleh   dengan  mengukur  residu  substrat  yang diinkubasi  selama  24  jam.  Hasil  pengukuran  KcBK  dan  KcBO  dapat  dilihat  pada
Gambar 7.
46.5 45
42 40.5
39
44.787 43.587
45.422
42.001 45.494
42.053 46.384
44.236
KcBK KcBO
A0 A1
A2 A3
Perlakuan
A0 = Jerami sorgum JS + urea 0,3 A2 = JS + urea 0,3 + Starter 0,5
A1 = JS + urea 0,3 + Starter 0,25 A3 = JS + urea 0,3 + Starter 0,75
Gambar 7
. Hasil pengukuran KcBK dan KcBO jerami sorgum fermentasi setelah inkubasi selama 24 jam
.
Pada  Gambar  7,  pengaruh  perlakuan  terhadap  KcBK  dan  KcBO  memiliki nilai  yang  bervariasi.  Nilai  rata-rata  kecernaan  bahan  kering  mulai  yang  tertinggi
adalah perlakuan A1 diikuti perlakuan A3, A0, dan A2 yaitu 45,422 , 44,236 , 43,587  ,  dan  42,053  .  Nilai  rata-rata  kecernaan  bahan  organik  mulai  yang
tertinggi  adalah  perlakuan  A3  diikuti  dengan  perlakuan  A2,  A0  dan  A1  yaitu 46,384 , 45,494 , 44,787  , dan 42,001 .
Hasil  pengukuran  KcBK  dan  KcBO  menunjukkan  bahwa,  antar  perlakuan memiliki  nilai  yang  tidak  berbeda  nyata  Lampiran  4.1  dan  4.2,  baik  yang
ditambahkan   dengan   starter   maupun   tanpa   penambahan   starter.   Perbedaan
36
kecernaan bahan kering  dan bahan organik disebabkan oleh pemanfaatan BK dan BO oleh mikroba untuk hidup dan berkembang biak selama proses fermentasi.
Penambahan  starter  sebesar  0,75  ke  dalam  proses  fermentasi  jerami sorgum  A3  menghasilkan  nilai  KcBO  maksimal,  walaupun  tidak  berbeda  nyata
dengan  perlakuan  lain  F0,05.  Hal  ini  mungkin  disebabkan  karena  jumlah penambahan  starter  dan  sumber  nutrisi  seperti  karbohidrat  yang  terkandung  di
dalam   jerami   sorgum   serta   penambahan   urea,   dapat   mencukupi   kebutuhan mikroba dalam proses fermentasi, sehingga mikroba dapat mencerna pakan secara
optimal. Daya  cerna  bahan  makanan  sangat  dipengaruhi  oleh  kandungan
karbohidrat,  jenis  serat,  jenis  hewan,  laju  jalannya  makanan  di  dalam  saluran pencernaan  serta  mikroba  yang  mendegradasi  Suryadi  dkk,  1998.  Bahan  kering
dan  bahan  organik  juga  sangat  mempengaruhi  proses  kecernaan.  Adapun  nilai bahan  kering  BK  dan  bahan  organik  BO  setelah  fermentasi  jerami  sorgum
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel   2 .   Nilai   BK      dan   BO      jerami   sorgum   setelah   proses
fermentasi selama 21 hari.
Rataan Perlakuan
BK BO
A0 91.27
87.85 A1
93.00 86.99
A2 90.46
87.22 A3
91.69 87.10
37
Kandungan bahan kering pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai yang tertinggi  pada  perlakuan  A1  diikuti  perlakuan  A3,  A0  dan  A2,  urutan  ini  sesuai
dengan  nilai  KcBK    pada  Gambar  7.  Hal  ini  menguatkan  bahwa  kecernaan bahan   kering   sangat   dipengaruhi   oleh   kandungan   bahan   keringnya.   Menurut
Tillman dkk, 1989  bahwa  daya  cerna  berhubungan erat  dengan komposisi  kimia bahan  pakan  dan  serat  kasar  terutama  pengaruh  terhadap  kecernaan.  Antara  70
sampai  80    dari  total  bahan  kering  yang  dikonsumsi  digunakan  ternak  sebagai sumber energi Maynard, 1979 dalam Suryadi dkk, 1998.
Pada perlakuan A1 memiliki kandungan bahan organik paling rendah yaitu 86,99  ,  yang  diikuti  dengan  rendahnya  kecernaan  bahan  organik  Gambar  7.
Begitu  juga  dengan  perlakuan  A2  yang  memiliki  kandungan  bahan  kering  paling rendah yaitu 90,46 , yang diikuti dengan rendahnya kecernaan bahan kering.
Perlakuan  A0,  walaupun  memiliki  Bahan  Organik  BO  tertinggi  Tabel 2  yaitu  sebesar  87,85  tetapi  menghasilkan  nilai  KcBK  dan  KcBO  rendah
diantara  perlakuan  lain  yaitu  sebesar  43,59  dan  44,79  kecuali  perlakuan  A2 pada   KcBK   dan   perlakuan   A1   pada   KcBO.   Hal   ini   mungkin   disebabkan
keberadaan  mikroba  yang  kurang  serta  pemanfaatan  BK  dan  BO  oleh  mikroba untuk  hidup  dan  berkembangbiak  selama  proses  fermentasi  kurang optimal.  Hasil
ini  juga  kemungkinan  disebabkan  tiga  hal,  yaitu  kurang  terpenuhinya  karbohidrat mudah larut, kurangnya unsur nitrogen serta keberadaan tanin pada jerami sorgum
yang  menghambat kerja  mikroba  rumen  dalam  mendegradasi  pakan
Kusumawardhani, 2003 dalam Nurvianty, 2006. Karbohidrat  mudah  larut  seperti  monosakarida  glukosa  dan  fruktosa
dapat  cepat  terfermentasi.  Penambahan  karbohidrat  mudah  larut  dapat
38
meningkatkan  nilai  kecernaan  bahan  pakan,  produksi  biomassa  mikroba,  serta efisiensi  penggunaan  nitrogen  pakan  oleh  mikroba  rumen  untuk  pembentukan
biomassa  mikroba  Kurniawati,  2007.  Beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa penambahan   karbohidrat   mudah   larut   dan   protein   secara   bersamaan   mampu
meningkatkan  degradasi  bahan  organik  pakan  dan  meningkatkan  pertumbuhan mikroba  rumen  yang  berimplikasi terhadap  peningkatan  produksi  ternak  Oldham
dkk, 1988 dalam Kurniawati, 2007. Tanin secara alami merupakan senyawa polyphenolic yang dapat berikatan
dengan  protein  atau  polimer  lainnya  seperti  selulosa,  hemiselulosa  dan  pektin, serta  beberapa  mineral  di  dalam  bahan  pakan.  Tanin  umumnya  terikat  dengan
protein  pakan  membentuk  ikatan  kompleks  yang  stabil.  Tanin  melindungi  protein dari  degradasi  di  rumen  dan  menghambat  kerja  enzim  protease  dan  selulase,
mengakibatkan   laju   degradasi   protein   menurun,   sehingga   protein   lolos   dari degradasi  dan  masuk  ke  dalam  usus  halus.  Dengan  kata  lain,  senyawa  tanin
merupakan  faktor  anti-nutrisi  yang  dapat  menurunkan  palabilitas  dan  kecernaan pakan Makkar dkk, 1995 dalam Nurvianty, 2006.   Selain dampak negatif , tanin
memiliki dampak positif  yaitu meningkatkan by-pass protein Sugoro, 2004.
4.3. Produksi Massa Mikroba