Kesulitan Mengungkap Intellectual Dader Dalam Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

perdagangan anak tujuk tujuan seksual jika anak-anak berada di negara lain secara illegal, maka anak-anak bisa ditangkap, ditahan atau bahkan dideportasi. Beralih ke dalam kasus pelacuran anak, mengkriminalkan seorang anak yang terlibat dalam pelacuran memberi kesempatan kepada orang-orang yang mengeksploitasi anak tersebut untuk menggunakan ancaman penuntutan tersebut untuk memaksa anak yang bersangkutan. Disamping itu, anak-anak yang beresiko terhadap penuntutan sepertinya tidak ingin melaporkan kejahatan eksploitasi tersebut kepada aparat penegak hukum. 113 Terkadang, ada perdebatan bahwa menangkap atau menahan anak-anak yang dilacurkan dapat membantu mereka keluar dari pelacuran dan terbebas dari mucikari atau germo mereka. Akan tetapi, hal ini biasanya hanyalah sebuah langkah sementara karena faktanya anak-anak tersebut kembali ke dunia pelacuran setelah mereka dibebaskan.

3. Kesulitan Mengungkap Intellectual Dader Dalam Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Dalam kejahatan eksploitasi seksual komersial anak, biasanya pelaku utama intellectual dader jarang tertangkap. Untuk kasus penjualan trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial, intellectual dader adalah orang yang mengirim. Akan tetapi, bukan berarti orang yang menerima tidak dapat dihukum. Seperti pada 113 Alisdair A. Gillespie. A Diverting Children Involved in Prostitution. Web Journal of Current Legal Issues. 2007, dalam Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Op. Cit, hal. 65 Universitas Sumatera Utara kasus yang terjadi pada tahun 2010 yang terjadi di Medan, orang yang menerima juga dihukum. Pelaku utama adalah pengirim, namun apabila penerima mengeksploitasi secara seksual komersial terhadap korban, maka baik pengirim maupun penerima dapat dikenakan sanksi. Kasus penjualan trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial pada dasarnya jarang terungkap karena kasus tersebut seperti fenomena gunung es. Kasus terungkap biasanya karena korban melarikan diri dan melapor kepada polisi, maupun karena korban mendapatkan kekerasan fisik dan mental baru kasus tersebut terungkap. 114 Intellectual dader jarang terungkap karena biasanya untuk kasus penjualan trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial karena merupakan sebuah jaringan. Hal tersebut karena dikatakan sebagai pelaku utama apabila orang tersebut yang mengorganisir suatu jaringan, baik dari perekrutan, pemindahtanganan atau penampungan dan penerimaan. Sulit menentukan intellectual dader karena dalam kasus tersebut pelaku saling bekerja sama dan membutuhkan. Ada pihak yang memiliki diskotik, sebagai perekrut, pemilik travel, dan menjadi penghubung. Seperti kasus yang terungkap pada tahun 2010, perekrut 4 orang anak perempuan yang berasal dari jawa, supir bus antar kota, orang yang menjeput sampai ke Bandar Baru dan yang menerima korban di Bandar Baru juga ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, pelaku utama dalam kasus penjualan trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial sulit diungkap 114 Wawancara dengan Marjoko, Kordinator Divisi Pengembangan Komunitas Yayasan Pusaka Indonesia di Kantor Yayasan Pusaka Indonesia, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara karena berdasarkan wilayah. Untuk kasus penjualan trafficking anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial yang melintasi batas wilayah Indonesia, misalnya Malaysia, tidak ada ekstradisi antara Indonesia dengan Malaysia dalam hal menghukum warga negara Malaysia ke Indonesia, begitu pula sebaliknya. Sehingga, yang dijerat hanya pelaku-pelaku yang ada di provinsi dan kabupaten dimana anak berdomisili yang membujuk atau mempekerjakan mereka saja. Aparat penegak hukum sulit menyentuh pada pelaku utama karena domisili pelaku tidak berada di dalam domisili wilayah yang sama dengan wilayah pelapor atau juga bisa jadi pelaku sudah melarikan diri atau daftar pencarian orang ke wilayah lain yang tidak diketahui lagi domisilinya. Selain itu, aparat penegak hukum sulit menyentuh pelaku utama karena sudah ada perdamaian yang dilakukan sebelumnya antara pelaku dengan korban tanpa sepengetahuan polisi dan pendamping. Sehingga, pembuktian dan keterangan yang diberikan pelaku dan korban sumir. Penyebab sulitnya mengungkap pelaku utama pada kasus pelacuran anak adalah karena pelacuran merupakan bisnis terselubung di Indonesia. Anak yang terlibat dalam pelacuran anak harus merelakan kehormatannya secara komersil karena sudah tidak perawan lagi dan kebutuhan ekonomi. Selain itu, terdapat trend masyarakat lokal terhadap pelacuran seperti di Indramayu yang terkenal dengan istilah “luruh duit”. Karena dianggap sebagai sebuah langkah mudah untuk mendapatkan uang, sehingga orang tua tidak keberatan untuk meluruhduitkan anaknya. Universitas Sumatera Utara

B. Pertanggungjawaban Pidana 1. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, demikian juga dengan WvS Hindia Belanda Kitab Undang-undang Hukum Pidana, namun tidak terdapat penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah tersebut. 115 Perkataan feit itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan “strafbaar feit” itu diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat. Oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan. Mengenai pengertian strafbaar feit, para sarjana sebagaimana yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang memberikan pengertian yang berbeda-beda. Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap 115 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 67 Universitas Sumatera Utara pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Di dalam hukum positif, suatu strafbaar feit itu sebenarnya tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 116 Menurut van Hattum, sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Perkataan strafbaar mempunyai arti pantas untuk dihukum. Sehingga, perkataan strafbaar feit diartikan sebagai suatu tindakan yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum. Menurut van Hattum, semua syarat yang harus telah terpenuhi sebagai syarat agar seseorang itu dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai unsur- unsur dari delik. 117 Menurut Simons merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Menurut Simons, sifat melawan hukum itu timbul dengan sendirinya dari kenyataan, bahwa tindakan tersebut adalah bertentangan dengan sesuatu peraturan dari undang- undang. 118 116 Pompe, Handboek van het Nederlandse Straftecht, hal. 39 dalam P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 182 117 van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandse Strafrecht I, hal. 112 dalam Ibid, hal. 184 118 Simons, Leerboek van het Nederlandse Straftrecht, hal. 122 dalam Ibid, hal. 185 Universitas Sumatera Utara Mengenai pengertian strafbaar feit, P.A.F. Lamintang menyimpulkan dari beberapa pendapat para sarjana bahwa untuk menjatuhkan sesuatu hukuman itu adalah tidak cukup apabila disitu hanya terdapat suatu “strafbaar feit” melainkan harus juga ada suatu “strafbaar person” atau seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila “strafbaar feit” yang telah ia lakukan tidak bersifat “wederrechtelijk” bertentangan dengan hukum dan telah ia lakukan dengan baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja. 119 Menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Dengan cara tersebut, dapat merangkum pengertian tindak pidana dan pengertian ini dalam dirinya sendiri sudah memadai. 120 Pada saat terdapat usaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir juga doktrin yang sering disebut dengan hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. 119 Ibid, hal. 183 120 Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 86 Universitas Sumatera Utara Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam dua unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur yaitu unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 121 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu antara lain adalah sebagai berikut: a. Kesengajaan dan ketidaksengajaan dolus dan culpa; b. Maksud atau vornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; d. Merencanakan terlebih dahulu seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Perdata; e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu antara lain sebagai berikut: 121 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hal. 193 Universitas Sumatera Utara a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; b. Kualitas si Pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 122 Perlu diingat, bahwa unsur wederrechtelijk itu selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan. Pada waktu membicarakan masalah wederrechtelijk telah dijelaskan bahwa dewasa ini Mahkamah Agung Republik Indonesia menganut apa yang disebut dengan “paham materieele wederrechtelijk”. Menurut paham tersebut, walaupun sesuatu tindakan telah memenuhi semua unsur dari sesuatu delik dan walaupun unsur wederrechtelijk itu telah tidak dicantumkan sebagai salah satu unsur dari delik. Akan tetapi, tindakan tersebut dapat hilang sifatnya sebagai suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk, bilamana hakim dapat menemukan suatu dasar yang meniadakan sifatnya yang wederrechtelijk dari tindakan tersebut, baik berdasarkan sesuatu ketentuan yang terdapat dalam undang- undang maupun berdasarkan asas-asas hukum yang bersifat umum dari hukum yang tidak tertulis. 123 122 Ibid, hal. 194 123 Ibid. Universitas Sumatera Utara

2. Kesalahan dalam Hukum Pidana

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 30

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 17