Kemampuan Bertanggung jawab dalam Hukum Pidana

3. Kemampuan Bertanggung jawab dalam Hukum Pidana

a. Kemampuan bertanggung jawab Menurut definisi van Hamel, kemampuan untuk bertanggung jawab secara hukum adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya, yakni 1 memahami arah tujuan faktual dari tindakan sendiri; 2 kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang; 3 adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan tersebut. 149 Definisi tersebut dibuat dengan merujuk pada sejarah perundang-undangan, khususnya dari Memorie van Toelichting yang menyatakan bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana kecuali bila tindak pidana itu dapat diperhitungkan pada pelaku, dan tidak ada perhitungan demikian bila tidak ada ditemukan adanya kebebasan pelaku untuk bertindak, kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dilarang atau justru diwajibkan oleh undang-undang. Sehingga pelaku tidak menyadari bahwa tindakan tersebut dilarang dan tidak mampu memperhitungkan akibat dari tindakan tersebut. 150 Menurut Roeslan Saleh, salah satu ciri dari hampir semua sistem hukum adalah bahwa pertanggungjawaban pribadi terhadap tindak pidana yang telah dilakukan selalu dikaitkan pada keadaan keadaan tertentu dari mentalnya. Keadaan- 149 Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 213 150 Ibid. Universitas Sumatera Utara keadaan tertentu ini dalam bentuk negatif dirumuskan sebagai kondisi-kondisi memaafkan. Hal inilah yang disebut dengan bentuk negatif. 151 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat rumusan yang tegas mengenai kemampuan pertanggungjawaban pidana. Di dalam Pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu jiwanya karena penyakit tidak dipidana”, justru merumuskan tentang keadaan mengenai kapan seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana. Masalah ada tidaknya pertanggungjawaban pidana diputuskan oleh Hakim. Menurut Pompe ini merupakan pengertian yuridis bukan medis. Memang medikus yang memberi keterangan kepada Hakim yang memutuskan. Menurut Pompe dapat dipertanggungjawabkan itu berkaitan dengan kesalahan. Orang dapat menyatakan dapat dipertanggungjawabkan itu sendiri merupakan kesalahan. Dapat dipertanggungjawabkan terdakwa berarti bahwa keadaan jiwanya dapat menentukan perbuatan itu dipertanggungjawabkan kepadanya. Istilah di dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu terbatas artinya, tidak meliputi melawan hukum. Menurut Pompe selanjutnya dapat dipertanggungjawabkan bukanlah merupakan bagian inti tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan itu merupakan dasar peniadaan pidana. Dari pendapatnya itulah ia mengatakan jika terjadi keragu-raguan tentang ada 151 Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 20 Universitas Sumatera Utara tidaknya hal tidak dapat dipertanggungjawabkan, terdakwa tetap dijatuhi pidana. Ia mengatakan bahwa jika orang setelah melakukan pemeriksaan tetap ragu tentang dapatnya dipertanggungjawabkan, maka pembuat tetap dapat dipidana. 152 Menurut Andi Hamzah, jalan pemikiran Pompe tersebut didasarkan atas hal dapat dipertanggungjawabkan itu bukan bagian inti delik sehingga dianggap ada saat dibuktikan sebaliknya, misalnya dengan keterangan psikiater. Ini berarti setelah diadakan pemeriksaan oleh psikiater tetap hakim ragu-ragu, maka pembuat tetap dipidana. Simons dalam kutipan I Made Widnyana mengartikan kemampuan bertanggungjawab sebagai suatu keadaan psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat, yakni apabila ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. 153 Menurut Moeljatno, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus terdapat kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Hal tersebut merupakan faktor akal intellectual factor yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang Gambaran Simons ini menunjukkan bahwa toerekeningsvatbaar heid adalah kemampuan. 152 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 146-147 153 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Fikahati Aneska, 2010, hal. 58 Universitas Sumatera Utara diperbolehkan dan tidak. Selain itu, harus terdapat kemampuan untuk menentukan kehendak menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Hal ini merupakan faktor perasaan atau kehendak volitional factor yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. 154 Konsekuensi dari syarat pertanggungjawaban pidana menurut Moeljatno ini, maka orang yang tidak mempu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi, maka orang tersebut tidak mempunyai kesalahan dan jika orang tersebut melakukan tindak pidana, maka ia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Menurut Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya. 155 Moeljatno meskipun juga mengatakan bahwa dapat dipertanggungjawabkan merupakan unsur diam-diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan tidak normal, ia berpendapat sesuai dengan ajaran dua tahap dalam hukum pidana yaitu actus reus dan mens rea, kemampuan bertanggung jawab harus sebagai unsur kesalahan. Ia mengikuti pendapat van Hattum, bahwa jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa berpenyakit jiwa atau bukan maka terdakwa tidak dipidana. 154 Moeljatno, Asas-Asasa Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hal. 178 155 Ibid. hal. 179 Universitas Sumatera Utara Menurut Sudarto pemberian definisi yang dikemukakan oleh para pakar tentang kemampuan bertanggung jawab itu ada manfaatnya. Tetapi, setiap kali dalam kejadian konkret dalam praktik peradilan, menilai seorang terdakwa dengan ukuran tersebut di atas tidaklah mudah. Sebagai dasar dapat dikatakan bahwa orang yang normal jiwanya mampu bertanggung jawab, ia mampu menilai dengan pikiran dan perasaannya bahwa perbuatan itu dilarang, artinya tidak dikehendaki oleh undang- undang, dan ia seharusnya berbuat seperti pikiran dan perasaannya itu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya. Oleh karena itu, maka perumusan dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan secara negatif. Ketentuan undang- undang tidak memuat tentang apa yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab, yang ada adalah alasan yang terdapat pada pelaku tindak pidana yang mengakibatkan perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi secara biologis, dan dirumuskan dengan perkataan “jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakitnya” Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Tidak mampu atau kurang mampu bertanggung jawab Pasal 44 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana merumuskan “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya gebrekkige ontwikkeling atau terganggu karena penyakit ziekelije storing, tidak dipidana”. Teks aslinya adalah Universitas Sumatera Utara “Niet strafbaar is hij die een feit begat dat hem wegens de gebrekkige ontwikkeling of ziekelije storing zijner verstandelijk hermogens niet kan worden toegerekend”. Menurut pasal tersebut, maka hal tidak mampu bertanggung jawab adalah karena hal-hal tertentu yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakitnya, dan sebagai akibatnya, ia tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Sudarto menyebutkan bahwa di dalam undang-undang sendiri tidak memberi keterangan yang jelas tentang tidak mampu bertanggungjawab. Dalam Memorie van Toelichting, ada keterangan mengenai ketidak mampuan bertanggung jawab, yaitu: 156 a. Apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang; dan b. Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Menentukan bagaimana keadaan jiwa si pelaku, hal ini selayaknya ditetapkan oleh seorang ahli, dalam hal ini seorang psikiater, jadi ditetapkan secara deskriptif. 156 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal. 20 Universitas Sumatera Utara b. Menentukan hubungan sebab-akibat antara keadaan jiwa tersebut dengan perbuatannya, penentuan ini oleh seorang hakim, jadi secara normatif. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana menempuh sistem deskriptif-normatif di dalam menentukan tidak dapatnya seorang dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Di dalam Pasal 44 1 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dalam bahasa Belanda dipakai istilah “verstandelijke vermogens” yang di dalam bahasa Indonesia berarti “kemampuan untuk memahamiberpikir. Di dalam Undang-Undang tentang Psikopat tahun 1925 di Belanda ditentukan bahwa jika menurut peraturan perundang-undangan digunakan istilah verstandelijke vermogens kemampuan untuk memahamiberfikir dengan akal sehat, maka termasuk di dalamnya juga geestvermogens kemampuan jiwa. Gangguan terhadap kemampuan tersebut adalah karena gebrekkige ontwikeling pertumbuhan terganggu atau ziekelijke storing gangguan karena penyakit. Gangguan ini harus merupakan gangguan yang terus meneruspermanen seperti orang idiot, imbesil yang telah ada sejak lahir atau karena penyakit jiwa kemudian. Undang- undang Psikopat tersebut membedakan psychopath orang sakit jiwa dan krankzinnigen orang gila. Psikopat keadaannya belum seburuk orang gila. Ada beberapa penyakit jiwa yang hanya merupakan gangguan sebagian saja, sehingga mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk sebagian yang berkaitan dengan penyakit jiwanya. Penyakit itu antara lain adalah: 157 a. Kleptomania 157 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hal. 90-91 Universitas Sumatera Utara Orang yang dihinggapi penyakit jiwa ini tidak dapat menahan dorongan mengambil barang orang lain, dan tidak menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang. Biasanya yang diambil adalah barang-barang yang tidak berharga. Di bidang lain orang ini adalah orang normal. b. Nymphomania Orang berpenyakit jiwa demikian ini bila berjumpa dengan wanita suka berbuat yang tidak senonoh. c. Pyromania Penyakit jiwa ini berkecenderungan untuk membakar. d. Claustrophobia Penyakit jiwa yang berupa ketakutan berada di tempat sempit atau gelap. Penderita ini dapat berbuat yang bukan-bukan dan yang terlarang dalam keadaan demikian. Tentu saja selayaknya mereka itu hanya tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk sebagian yang berkaitan dengan penyakit jiwanya. Di dalam praktek Pasal 44 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini dilaksanakan sedemikian rupa, yaitu pertama-tama seorang ahli dimintai untuk menentukan apakah benar orang yang melakukan tindak pidana itu keadaan jiwanya tidak tumbuh dengan sempurna atau mendapat gangguan penyakit, jadi secara deskriptif. Kemudian hakim yang menentukan apakah yang tersebut berdasar atas hal-hal tertentu dan dikaitkan dengan hubungan sebab akibat dapat dipertanggungjawabkan, jadi secara normatif. Keterangan ahli yang secara deskriptif tersebut hanya merupakan nasihat belaka, dan Universitas Sumatera Utara hakim tidak terikat untuk harus menggunakannya, walaupun dalam praktek biasanya hakim juga memperhatikan hal ini. 158 Dalam praktek hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejala- gejala abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala-gejala tersebut akan diselidiki apakah gejala-gejala yang tampak itu benar. Penyelidikan ini penting dalam rangka mencapai keadilan dari suatu vonis hakim. Memidana si pembuat yang sebenarnya mengidap suatu kelainan jiwa sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 44 tersebut merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak adil. c. Batas umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab Pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan berlaku di Indonesia belum memiliki hukum pidana yang khusus untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa. Hanya terdapat Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang pemidanaan terhadap mereka yang belum berumur 16 tahun. 159 Pasal 45 tidak bersangkut paut dengan hal apakah seorang yang masih muda atau anak-anak dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil keputusan terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana. Dikatakan di dalamnya dalam hal demikian hakim dapat memerintahkan agar: 158 Ibid. 159 Ibid, hal 93 Universitas Sumatera Utara a. Yang bersalah dikembalikan kepada orang tuawalinya tanpa dipidana. b. Yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa dipidana untuk kejahatan atau pelanggaran tertentu; selanjutnya diserahkan kepada orang atau lembaga pendidikan sampai berumur 18 tahun Pasal 46 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. c. Menjatuhkan pidana, dengan ancaman maksimumnya dikurangi dengan sepertiga dari ancaman pidana biasa, atau 15 tahun penjara untuk tindak pidana yang diancam pidana mati; juga ada dalam hal diputuskan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan pidana tambahan perampasan barang-barang tertentu. Dasar pertimbangan tentulah bahwa dalam menjatuhkan pidana kepada orang yang masih sangat muda, hakim perlu mempertimbangkan kepentingan orang tersebut demi masa depannya yang masih panjang. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mencabut tiga pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana tersebut di atas, yaitu Pasal 45,46, dan 47 dan pada pokoknya menetapkan batas umur sebagai berikut: a. Anak-anak di bawah umur 8 tahun tidak diajukan ke sidang pengadilan, karena anak tersebut dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. b. Anak umur 8 tahun, tetapi belum lebih dari 18 tahun dan belum kawin yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke sidang pengadilan anak dengan acara khusus. Saat ini di Indonesia telah diundangkan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan menggantikan Undang-undang No. Universitas Sumatera Utara 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Adapun yang melatarbelakangi lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 salah satunya adalah Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, karena belum secara komprehensif diberikan kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam konteks Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan pendidikan orang tua, faktor ekonomi, latar belakang sosial berperan secara signifikan dalam keterlibatan anak pada perilaku delinquency. Dalam kondisi kesejahteraan anak yang sangat minim batas usia 8 tahun bagi anak untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan adalah tuntutan yang berlebihan. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa keterlibatan anak dalam sistem peradilan akan membawa dampak buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu perlu dilakukan amandemen mengenai batas usia minimum yang lebih matang dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga konsekuensinya, bila ada anak-anak yang berada di bawah usia itu diduga melanggar hukum, maka mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana, sehingga tidak dapat dibawa ke proses peradilan. Salah satu perubahan utama dari Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah perubahan batas usia pertanggungjawaban pidana anak. 160 160 Harkristuti Harkrisnowo, Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Segenggam, disampaikan dalam acara seminar Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 23 Agustus 2013, Medan: Fakultas Di dalam Pasal 1 angka 3 dikatakan bahwa anak yang berkonflik Universitas Sumatera Utara dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 161 Berdasarkan kondisi tersebut maka batas usia penahanan dan pertanggungjawaban pidana telah dilakukan perbaikan yang bersifat pematangan dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana tertuang dalam Pasal 20, 21 ayat 1 dan 32 ayat 2 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 20 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan “Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 delapan belas tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 delapan belas tahun, tetapi belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun, Anak tetap diajukan ke sidang anak” Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Dalam hal anak belum berumur 12 dua belas tahun Hukum Universitas Sumatera Utara, hal. 2. Perubahan utama pada Undang-undang No. 11 Tahun 2012 adalah 1. Filosofi sistem peradilan pidana anak, 2. Cakupan anak, 3. Perubahan batas usia pertanggungjawaban pidana anak, 4. Penghilangan kategori Anak Pidana, Anak Negara dan Anak Sipil, 5. Pendekatan Restorative Justice, 6. Kewajiban proses diversi pada setiap tingkat, 7. Penegakan hak anak dalam proses peradilan, termasuk hak atas bantuan hukum, 8. Pembatasan upaya perampasan kemerdekaan sebagai measure of the last resort, 9. Perubahan nomenklatur, 10. Penguatan peran petugas kemasyarakatan. 161 Latar belakang lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 antara lain: 1. Perlunya perlindungan khusus bagi anak untuk menjaga harkat dan martabatnya dalam sistem peradilan, 2. Sebagai negara pihak dalam Konvensi Hak Anak, mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berkonflik dengan hukum, 3. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum, dan 4. Dalam rangka mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa. Ibid, hal 1 Universitas Sumatera Utara melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a. Menyerahkannya kembali kepada orang tuaWali; atau b. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 enam bulan”. Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa “Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: a. Anak telah berumur 14 empat belas tahun atau lebih; dan b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tujuh tahun atau lebih. Hal tersebut berarti bahwa usia minimum pertanggungjawaban pidana anak dinaikkan dari 8 delapan tahun menjadi 12 dua belas tahun dan usia maksimum pertanggungjawaban pidana adalah sebelum berusia 18 delapan belas tahun. Sedangkan, anak dibawah usia 14 tahun tidak dapat ditahan. Di dalam penjelasan Pasal 21 ayat 1 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak batas umur 12 dua belas tahun bagi anak untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 dua belas tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Universitas Sumatera Utara

4. Alasan Penghapusan Pidana

Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Binjai

7 146 111

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi Beberapa Putusan Pengadilan Negeri di Indonesia)

1 74 133

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

BAB II PENGATURAN KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA A. Ekslpoitasi Seksual Komersial Anak - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 39

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 30

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU KEJAHATAN EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri)

0 0 17