Kabupaten Asahan”, diteliti oleh saudara Hanan, NPM: 107005047, Magister Ilmu Hukum.
Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah mengenai penanggulangan kejahatan eksploitasi seksual secara komersial terhadap anak,
sedangkan pada penelitian kali ini peneliti mencoba menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan eksploitasi seksual komersial
anak, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga, dapat dikatakan penelitian ini asli dan keasliannya baik secara akademis maupun keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah salah satu konsep terpenting dalam sebuah penelitian. Kerangka teori dalam sebuah penelitian merupakan pisau analisis pembahasan
tentang peristiwa atau fakta yang diajukan dalam masalah penelitian terutama dalam penelitian hukum.
36
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.
37
M. Solly lubis menyatakan bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan
problem yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin
36
Mukti Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 146
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Universitas Indonesia, 2005, hal.6
Universitas Sumatera Utara
disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.
38
Teori yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan analisis di dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana. Sebegitu jauh permulaan
hukum pasti memiliki teori, maka teori pertama mengenai pertanggungjawaban adalah mengenai suatu kewajiban untuk menebus pembalasan dendam dari seseorang
yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan perugian injuri, baik oleh orang yang disebut pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada di bawah
kekuasaannya.
39
Langkah sesudah itu adalah mengukur tebusan itu bukan dengan pembalasan dendam yang harus ditebus, melainkan menurut ukuran perugian yang sudah
ditimpakan. Satu tindakan penghabisan ialah menghabiskan kesumat itu dengan menentukan pampasan yang harus dibayar. Tindakan ini diambil dengan
kebimbangan dan telah saling bercampur satu dengan yang lainnya, sehingga kita mungkin mendengar orang menyebutkan satu hukuman pampasan. Tetapi akibatnya
mengubah tebusan untuk pembalasan dendam menjadi pampasan untuk kerugian. Demikianlah penerimaan ganti kerugian berupa sejumlah uang sebagai hukuman bagi
satu delik telah menjadi titik tolak dari sejarah pertanggungjawaban.
40
38
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80
39
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, trans. Muhammad Radjab Jakarta: Bharata, 1965, hal. 80
40
Ibid, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
Demikianlah pertanggungjawaban itu rupanya sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, baik dalam bentuk penyerangan maupun dalam
bentuk persetujuan. Sumber pertanggungjawaban menurut hukum alam natural adalah delik dan kontrak. Yang lainnya adalah digabungkan kepada yang satu atau
kepada yang lain di antara yang dua ini. Pertanggungjawaban tanpa kesalahan adalah bersifat quasi-deling. Pertanggungjawaban yang dipikulkan oleh itikat baik untuk
mencegah menjadikan kaya secara tidak adil adalah bersifat quasi-kontrak. Jadi, gagasan pusat telah menjadi satu dari tuntutan itikat baik, mengingat tindakan yang
disengaja.
41
Dalam abad ke-19, konsepsi tentang pertanggungjawaban berdasarkan sebagai niat ditempatkan dalam bentuk metafisik lebih dulu dari pada dalam bentuk etik.
Hukum dianggap sebagai satu perwujudan dari gagasan kebebasan dan diadakan untuk memberikan kebebasan seluas mungkin kepada setiap perseorangan. Apa yang
dulunya merupakan suatu teori positif dan kreatif tentang pertanggungjawaban yang berkembang berdasarkan niat, kemudian menjadi suatu teori yang negatif yang
membatasi, atau boleh yang dikatakan suatu teori yang memangkas tentang tidak adanya pertanggungjawaban kecuali atas dasar niat. Pertanggungjawaban hanya
diakibatkan oleh kelalaian atau oleh apa yang dianggap kewajiban. Kehendak perseorangan yang abstrak adalah titik tengah di dalam teori pertanggungjawaban.
Dasar pertanggungjawaban itu adalah kelalaian dan transaksi hukum dan yang dua ini meluas terus sampai kepada satu dasar terakhir dalam kehendak. Konsepsi
41
Ibid, hal. 86
Universitas Sumatera Utara
dasar dalam pertanggungjawaban hukum adalah konsepsi mengenai satu perbuatan, mengenai satu manifestasi kehendak di dalam dunia luar. Adanya kesalahan karena
adanya pertanggungjawaban, sebab semua pertanggungjawaban tumbuh dari kesalahan.
42
Pertanggungjawaban pidana atau yang dikenal dengan konsep liability dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke 20, Roscoe Pound menyatakan
bahwa “ I use simple word “liability” for the situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to the exaction”.
43
Pertanggungjawaban pidana diartikan Pound adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang
akan diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga bahwa pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut
masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.
44
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan
sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana itu.
42
Ibid, hal. 88
43
Roscoe Pound, Introduction to the Philosophy of Law, dalam Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hal. 65
44
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal dan mengajukan pembelaan dari terdakwa.
Penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang di
dakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar
adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus
pidana ketika melakukan tindak pidana.
45
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 44 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana merumuskan hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai
pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara
negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan
demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.
46
45
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan : Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 64
46
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pertanggungjawaban pidana di sini dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap
tindakan yang dilakukannya itu.
47
Terdapat banyak kasus kejahatan terhadap anak, namun kejahatan eksploitasi seksual komersial anak merupakan bentuk kejahatan terhadap anak yang sangat
berkembang saat ini. Populasi anak yang menjadi korban semakin meningkat. Anak- anak yang dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga
banyak anak yang kehilangan masa depannya. Kejahatan eksploitasi seksual komersial anak dapat dilakukan oleh siapa saja. Bahkan menurut data yang ada,
pelaku eksploitasi seksual komersial anak di Indonesia adalah orang-orang terdekat korban baik keluarga, kerabat, teman, maupun orang yang telah dikenal baik oleh
korban. Dalam hal ini, penggunaan teori pertanggungjawaban pidana adalah untuk
menentukan apakah pelaku ekploitasi seksual komersial anak tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak terhadap tindakan yang
dilakukannya tersebut. Penggunaan teori pertanggungjawaban pidana maka diharapkan dapat memenuhi tujuan dari teori pertanggungjawaban yaitu kepercayaan
yang di dapat dari masyarakat. Selain itu, untuk menentukan bahwa pelaku eksploitasi seksual komersial anak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila
telah terjadi tindak pidana yaitu eksploitasi seksual komersial anak.
47
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem-Patahaem,1996, hal. 245
Universitas Sumatera Utara
2. Kerangka Konsep
Konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda antara satu sama lain sekaligus
sebagai pedoman memberikan arahan dalam pemaknaan yang sama terhadap konsep- konsep yang digunakan, antara lain:
1. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak
pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya tindak
pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang
dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
48
2. Pelaku adalah orang yang memenuhi suatu rumusan delik, atau orang yang
memenuhi semua unsur dari rumusan suatu delik.
49
3. Kejahatan adalah delik menurut hukum rechtsdelicten. Dalam konteks
kejahatan, suatu perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan pengertian tertib hukum.
50
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
51
48
Chairul Huda, Op. Cit, hal. 70-71
Penentuan batas usia anak tersebut
49
van HATTUM, Hand-en Leerboek I, hal. 379 dalam P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 597
50
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Hak Anak KHA yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.
Menurut Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku
bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.
52
5. Eksploitasi seksual komersial anak adalah penggunaan anak untuk tujuan seksual
dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari
perdagangan seksualitas anak tersebut.
53
6. Prostitusi anak adalah penggunaan anak dalam kegiatan seksual dengan
pembayaran atau dengan imbalan dalam bentuk lain.
54
7. Pornografi anak adalah setiap representasi, dengan sarana apapun, pelibatan
secara eksplisit seorang anak dalam kegiatan seksual baik secara nyata maupun
51
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
52
United Nations Children Fund, Convention on The Rights Of The Child, Resolusi PBB No. 4425, 20 November 1989 dalam Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan
Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013 hal. 5
53
Background Paper Prepared for the World Congress Againts Commercial Sexual Exploitation of Children, Stockholm, 27-31 Agustus 1996, hal. 3 dalam Lampiran Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Definisi ekploitasi seksual komersial anak tersebut digunakan dalam
Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak pada Bab I Lampiran Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002.
54
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
disimulasikan, atau setiap representasi dari organ-organ seksual anak untuk tujuan seksual.
55
8. Perdagangan anak untuk tujuan seksual adalah rekruitmen, transportasi, transfer,
penampungan atau penerimaan atas seseorang yang umurnya belum mencapai delapan belas tahun untuk tujuan eksploitasi dengan menjerumuskannya kedalam
prostitusi atau dalam bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya.
56
G. Metode Penelitian