2. Kesalahan dalam Hukum Pidana
a.
Pengertian kesalahan dalam hukum pidana
Berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk
masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya merujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas,
sedangkan dasar dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai
kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.
124
Berdasarkan hal tersebut Sudarto, juga menyatakan hal yang sama, bahwa: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau sifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur delik dalam undang-undang dan tidak
dibenarkan an objective breach of a panel provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya
syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat
124
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2011, hal. 48-49
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
125
Sebagai syarat dapat dipidananya seseorang, kesalahan selalu dianggap ada apabila telah dilakukan suatu perbuatan pidana. Anggapan ini baru hapus apabila
terbukti lain. Dalam hal ini, kesalahan dapat diartikan sebagai suatu yang dapat dicelakan kepada seseorang.
126
Adami Chazawi menerangkan bahwa kesalahan adalah unsur yang mengenai keadaan batin pelaku menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat
melawan hukum perbuatan dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara hal-hal tersebut dengan keadaan batin pembuat inilah, pertanggungjawaban dapat
dibebankan kepada seseorang.
127
Ihwal kesalahan tidak dapat dihindari dari hukum pidana yang berkembang. Bagaimanapun juga, masyarakat tidak rela membebankan derita pada orang lain,
sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali jika masyarakat yakin bahwa orang tersebut memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena
itu, dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi yang tidak terlalu abnormal, sepanjang orang tersebut menginginkannya, muncul sebagai makhluk yang memiliki
akal budi serta sanggup dan mampu menaati norma-norma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya.
125
Ibid. Lihat juga dalam Sudarto, Hukum Pidana 1, Semarang: Badan Penyediaan Bahan- Bahan Kuliah FH UNDIP, 19871988, hal. 85
126
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.PH. Sutorius, Hukum Pidana, trans. J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hal. 101
127
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 90
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Jan Remmelink memberikan pengertian bahwa kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya.
128
Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi, meskipun
perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk itu, pemidanaan
masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan.
Bereaksi secara tidak positif berkehendak terhadap tuntutan perintah masyarakat, hukum
dapat dikembalikan pada pandangan tercela terhadap hukum tadelswerte Rechtsgesinnung, tiadanya rasa kebersamaan, atau ringkasnya, egoisme yang tidak
dapat diterima dalam kehidupan kemasyarakatan.
Berlaku apa yang disebut dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder schuld. Adagium “tiada pidana tanpa
kesalahan” dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa dapat dicela. Akan tetapi, sesungguhnya di
dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Oleh karena itu, asas kesalahan di sini diartikan sebagai
tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada
128
Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 143
Universitas Sumatera Utara
pelakunya. Dari semua syarat dapat dipidana, kesalahanlah yang paling langsung berhubungan dengan pidana. Sementara itu, asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak
boleh dibalik menjadi “tiada kesalahan tanpa pidana”.
129
Kesalahan yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang itu
patut dicela. Roeslan Saleh menyatakan seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat
dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian.
130
Kesalahan merupakan unsur yang bersifat subjektif dari tindak pidana, maka kesalahan juga memiliki dua segi, yaitu segi psikologis dan segi yuridis. Ditinjau dari
segi psikologis, kesalahan itu harus dicari di dalam batin pelaku, yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga ia dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya. Seorang gila yang melakukan perbuatan melawan hukum barangkali dapat dikatakan tidak memiliki hubungan batin antara
dirinya dengan perbuatan yang dilakukan, sebab ia tidak menyadari akibat dari perbuatannya itu.
131
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara mengetahui sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana. Tentu saja tidak dapat dipakai pendirian
bahwa Tuhanlah yang mengetahui batin seseorang. Oleh karena itu, harus dipakai
129
D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E.PH. Sutorius, Op. Cit, hal. 77
130
Teguh Prasetyo, Op.Cit, hal. 50
131
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal. 77-78
Universitas Sumatera Utara
cara untuk mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan dalam pengertian psikologis menjadi kesalahan yang normatif, artinya menurut ukuran yang biasanya
dipakai di dalam masyarakat, dipakai ukuran dari luar untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya. Soedarto menyatakan
bahwa “kesalahan seorang pelaku tidak mungkin dapat dicari di dalam kepala si pelaku sendiri, melainkan di dalam kepala orang lain”, yaitu mereka yang
memberikan penilaian adalah hakim pada waktu mengadili suatu perkara dengan mendasarkan pada apa yang didengar, dilihat dan kemudian disimpulkan di dalam
persidangan.
132
Pengertian dan peran asas kesalahan menentukan dapat dipidananya orang sebagai pembuat delik, menurut ahli hukum pidana sebagian besar berpendapat
mempunyai tiga bagian yaitu: 1.
Dapat dipertanggungjawabkan kepada si pembuat, atau kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat de toerekeningsvatbaarheid van de daderdie
zurechtnungs faahigheit; 2.
Ada hubungan tertentu dalam batin orang yang berbuat, baik dalam bentuk kesengajaan opzetvorzatz maupun kealpaan schuldfarhlassingkeit;
132
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
3. Tidak ada dasar alasan yang menghapus pertanggungjawaban si pembuat, atau
tidak ada alasan penghapusan kesalahan Geen schulduitsluitingsgronden Keinen schuldausschiesungsgrunde.
133
Bagaikan sebuah gedung bertumpu pada fundamennya, demikian pula halnya pidana bertumpu pada kesalahan. Karena kesalahan, pidana menjadi sah. Dengan
perkataan lain, kesalahan adalah dasar yang mengesahkan pidana. Untuk dapat dipidananya kejahatan, adanya kesengajaan atau sekurang-kurangnya kealpaan
mutlak disyaratkan. Jadi, kesengajaan atau kealpaan merupakan keharusan untuk dapat menyimpulkan adanya kesalahan. Selanjutnya, ketentuan-ketentuan seperti
pasal 44 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; tidak mampu bertanggung jawab; Pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; daya paksa psikis; Pasal 49
ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; perintah jabatan tanpa wewenang, hanya dapat dimengerti melalui asas kesalahan dan merupakan penerapan konkret.
134
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa kesalahan selalu hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, melakukan sesuatu yang seharusnya tidak
dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Ditinjau secara
133
Bambang Poernomo, Perkembangan Adaptasi Sanksi Pidana dalam Lingkup Asas Hukum Pidana Indonesia, Makalah dalam Seminar tentang Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Jakarta:
BPHN, 2004, hal. 3. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain. Lihat Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana,
Jakarta: Aksara Baru, hal. 78 dalam M. Hamdan, Putusan Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup: Suatu Ananlisis tentang Putusan MARI No. 826KPid.Sus2010, disampaikan dalam acara
Eksaminasi Putusan Pengadilan tentang Kasus Tindak Pidana Lingkungan Hidup pada tanggal 31 Oktober 2013, Medan: Kerjsama USU dan Kementerian Lingkungan Hidup, hal. 5-6
134
Akhirnya, diingatkan akan Putusan Susu dan Air yang terkenal. HR 14-02-1916, dimana Hoge Raad dengan tegas menimbang bahwa dalam hukum pidana juga mengenai pelanggaran
berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” meskipun segera harus ditambahkan bahwa Hoge Raad mengartikan kesalahan di sini dalam arti sempit sebagai kesengajaankealpaan, D. Schaffmeister, N.
Keijzer, dan E.PH. Sutorius, Op. Cit, hal. 79
Universitas Sumatera Utara
seksama, kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dalam arti kata yang
sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan orang ini tidak hanya tidak patut secara objektif, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya.
Dapat dicela itu pada dasarnya bukan inti, melainkan akibat dari kesalahan. Akan tetapi, karena relasi perbuatan dan pelakunya itu selalu membawa celaan, maka
orang dapat menamakan kesalahan itu sebagai “dapat dicela”. Kalau dirangkumkan, akan menjadi “tiada pidana tanpa kesalahan berarti bahwa untuk pemidanaan tidak
hanya disyaratkan bahwa seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut itu dapat dicelakan kepadanya.
135
Sebelum membahas bentuk-bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan sebagai bagian khusus dari rumusan delik, perlu diketahui bahwa di dalam literatur
hukum pidana, istilah kesalahan mempunyai dua arti yang masing-masing berbeda jangkauan dan isinya, yaitu:
a. Pengertian kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya
perbuatan di samping sifat melawan hukum. Dalam hal ini, kesalahan didefinisikan sebagai sifat dapat dicela. Sifat dapat dicela dalam arti ini
digunakan kalau kita berbicara tentang “tanpa sila” atau tentang alasan-alasan penghapus pidana.
b. Pengertian kesalahan dipakai juga untuk bagian khusus rumusan delik yaitu
sebagai sinonim dari sifat tidak berhati-hati, misalnya Pasal 359 Kitab Undang-
135
Ibid. hal. 80
Universitas Sumatera Utara
Undang Hukum Pidana yang menyebutkan “Karena kesalahannyakealpaannya, menyebabkan matinya orang lain”.
Sekalipun mirip, kealpaan di sini tidak dipakai dalam arti yang pertama. sehingga bukan sebagai sifat yang dapat dicela, melainkan sebagai sifat kurang
berhati-hati. Lazimnya untuk pengertian kesalahan dalam arti sempit ini digunakan kealpaan.
b. Dolus Kesengajaan
Apabila di dalam perumusan delik dijumpai kata dolus sengajaopzet, segera muncul sejumlah pertanyaan berkenaan dengan ruang lingkup makna dan daya
jangkauannya, satu dengan yang lain karena di dalam undang-undang pengertian ini tidak didefinisikan. Memorie van Toelichting adalah memori penjelasan yang
memberikan ragam pengertian, juga faktor lain dari delik yang berpengaruh terhadap pemahaman konsep ini. Berkenaan dengan ruang lingkupnya, Memorie van
Toelichting mengajarkan bahwa cara penempatannya dalam ketentuan pidana akan menentukan relasi pengertian ini terhadap unsur delik lainnya, apa yang mengikuti
kata ini akan dipengaruhi olehnya, sebagai semacam kesepakatan antara pembuat undang-undang dengan pelaksana undang-undang, akibatnya dan unsur dari delik.
136
Dolus tersebut tidak perlu ditujukan pada sifat terlarang dari perbuatan. Selain itu, undang-undang tidak menuntut adanya “kesengajaan dengan niat jahat” boos
opzetdolus malus. Berkenaan dengan substansi, pertama sekali harus mengkaitkan dengan perbuatantindakan terhadap mana kehendak kita tertuju dan yang akibat serta
136
Jan Remmelink, Op. Cit, hal. 151-152
Universitas Sumatera Utara
situasi yang melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Di dalam dolus, sebab itu terkandung elemen volitief kehendak dan intelektual pengetahuan volonte et
connaissance, tindakan dengan sengaja selalu willen dikehendaki dan wetens disadari atau diketahui. Menghendaki atau berkehendak willens lebih dari semata
menginginkan dan berharap. Teori kehendak dikemukakan oleh von Hippel. Menurut von Hippel kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak
menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan itu.
137
Dengan kata lain, dapat dikatakan sengaja apabila suatu perbuatan itu dikehendaki, dan akibat perbuatan itu benar-benar
menjadi maksud dari perbuatan yang dilakukan. Sedangkan mengetahui wetens dapat dipersandingkan dengan mengerti, memahami, menyadari sesuatu.
138
Adapun pembagian jenis sengaja yang secara tradisional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud Opzet als oogmerk
Bentuk sengaja sebagai maksud adalah bentuk yang paling sederhana. Maka perlu disebut disini pengertian sengaja sebagai maksud seperti yang dikemukakan
oleh Vos yang mengatakan sengaja sebagai maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah melakukan perbuatannya apabila pembuat
mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi. Dalam praktek, bentuk sengaja inilah yang paling mudah dibuktikan, dengan melihat kenyataan-kenyataan
137
Leden Marpaung, Op. Cit, hal. 14
138
Jan Remmelink, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
yang terjadi. Apabila seseorang menembak orang lain dan senjatanya ditujukan ke arah jantung atau kepala orang itu, maka dapat disimpulkan oleh hakim bahwa
pembuat sengaja sebagai maksud menghilangkan nyawa orang tersebut. dalam dakwaan penuntut umum, sering dikemukakan bahwa terdakwa mengarahkan
senjatanya ke bagian tubuh korban yang sangat berbahaya bagi nyawanya, seperti jatung, kepala dan leher, kemudian disertai dengan kenyataan-kenyataan yang
diambil dari visum et repertum. Misalnya dalam visum et repertum ditulis oleh dokter bahwa terdapat tiga buah luka di jantung korban akibat tusukan benda tajam yang
mematikan dia, disertai dengan keterangan saksi yang melihat terdakwa menikam korban dari jarak yang sangat dekat mengarah ke dadanya beberapa kali, akan
membuat hakim berkesimpulan bahwa terjadi pembunuhan dengan sengaja sebagai maksud.
139
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti Opzet als zekerheidsbewustzijn
140
Bentuk kesengajaan dengan keinsyafan pasti diberikan contoh yang sangat terkenal yaitu kasus Thomas van Bremenhaven, sebagai Thomas van Bremerhaven
berlayar ke Southamton dan meminta asuransi yang sangat tinggi di sana. Ia memasang dinamit, supaya kapal itu tenggelam di laut lepas. Motifnya ialah
menerima uang asuransi. Kesengajaannya adalah menenggelamkan kapal itu. Jika orang yang berlayar dengan kapal itu mati tenggelam, maka itu adalah sengaja
139
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 2008, hal. 116-117
140
Ibid. Andi Hamzah menggunakan istilah sengaja dengan kesadaran tetang kepastian opzet met bewustheid van zekerheid of noodzakelijkheid
Universitas Sumatera Utara
dengan kepastian. Memang secara teoritis ada kemungkinan orang-orang itu ditolong seluruhnya, tetapi pembuat tidaklah berpikir ke arah itu.
Hal tersebut dapat dikatakan bahwa sengaja dengan kepastian terjadi itu pembuat yakin bahwa akibat yang tidak dimaksudkannya tidak akan tercapai tanpa
terjadinya akibat yang tidak dimaksud. Penenggelaman kapal itu sengaja sebagai maksud tidak akan terjadi tanpa matinya para penumpang yang tidak dimaksud itu.
Kematian para penumpang merupakan kepastian terjadi jika kapal ditenggelamkan dengan dinamit di laut lepas.
Menurut teori kehendak, apabila pembuat juga menghendaki akibat atau hal- hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat
digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dieelakkan terjadinya maka orang itu melakukan sengaja dengan keinsyafan pasti. Menurut teori membayangkan,
apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan,
maka orang itu melakukan sengaja dengan keinsyafan pasti.
141
3. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan dolus eventualis
142
Menurut Jan Remmelink, dolus atau kesengajaan dianggap ada bilamana pelaku untuk dirinya sendiri telah memutuskan bahwa ia menghendaki tindakannya
itu, sekalipun akibat yang tidak dikehendaki melekat pada tindakan itu. Jika
141
Ibid, hal. 118
142
Andi Hamzah menyebutkan kesengajaan dengan keinsyafan pasti dengan sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn. Penulis lain seperti
Noyon-Langemeijer, Jongkers dan lain-lain menyamakan sengaja bentuk ini dengan “sengaja dengan kesadaran kemungkinan terjadi” Opzet met mogelijkheidsbewustzijn atau disebut juga dengan sengaja
bersyarat voorwaardelijk opzat atau dolus eventualis.
Universitas Sumatera Utara
kemudian ternyata ia tetap menghendaki munculnya akibat tersebut ketimbang membatalkan niatnya semula, dalam arti menerima penuh konsekuensi tindakannya,
maka dapat dikatakan bahwa kesengajaannya juga ditujukan pada akibat tersebut.
143
Hal di ataslah yang membedakan bentuk kesengajaan ini, juga disebut dengan istilah kontroversial, dolus eventualis kesengajaan bersyarat dengan culpa lata
yang dilakukan dengan sadar. Bentuk yang terakhir disebut bilamana pelaku betul memikirkan kemungkinan munculnya akibat lain dari tindakannya, namun
kemudian tetap melakukannya karena tidak percaya bahwa kemungkinan itu akan muncul dan tidak akan melakukannya seandainya kemungkinan tersebut dianggapnya
sebagai sesuatu hal yang pasti akan terjadi. Ilustrasi dari ini adalah pengemudi mobil dengan kecepatan tinggi
mengemudikan kendaraannya di jalan padat untuk mengejar kereta api. Di kepalanya mungkin terbersit adanya kemungkinan bahwa tindakannya itu dapat menyebabkan
kecelakaan bagi orang lain. Namun, pikiran ini sirna oleh pertimbangan bahwa ia sudah sering melakukan hal yang sama tanpa terjadi apa-apa, bahwa arus lalu lintas
cukup lancar dan diatur dengan baik, dan bahwa selagi lalu lintas padat semua orang pasti akan lebih hati-hati, dan sebagainya. Jika kemudian dia ternyata menabrak orang
lain, maka dalam hal ini dapat dikatakan adanya culpa yang disadari. Jika ia mengemudikan kendaraannya sedemikian cepat karena dikejar polisi dan memiliki
maksud meloloskan diri dari kejaran polisi tersebut, maka bila terjadi kecelakaan lalu lintas, dapat dikatakan adanya kesengajaan pada pihak pelaku. Kemungkinan akan
143
Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 155
Universitas Sumatera Utara
munculnya akibat demikian harus diandaikan telah diterima dengan sendirinya oleh pelaku, biaya yang harus ia tanggung, asalkan saja ia sendiri lolos. Bukanlah
kemunculan akibat tersebut yang bersifat menentukan bagi pertanyaan dolus atau culpa, karena dalam kasus demikian keduanya muncul setara. Apa yang perlu
diperhatikan adalah justru situasi danatau kesadaran fisik dari pelaku pada saat kejadian. Untuk dolus eventualis, unsur kehendak sepenuhnya ada, namun elemen
mengetahui weten hanya terbatas pada kesadaran akan kemungkinan terjadinya akibat yang sebenarnya tidak dikehendaki. Dalam culpa yang dilakukan dengan
kesadaran disadari unsur mengetahui sama seperti pada dolus eventualis sedang yang sama sekali tidak ada adalah unsur menghendaki willen. Perbedaan ini
sedemikian besarnya sehingga menjustifikasi pengenaan pidana yang lebih berat pada yang satu ketimbang pada bentuk lainnya. Kesulitan akan muncul dalam pembuktian.
Persoalan yang akan selalu muncul berkenaan dengan pembuktian tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kesadaran pelaku. Tetapi, bagaimanapun juga, hal
ini bukanlah alasan untuk mengabaikan pembedaan di atas dan dengan mengabaikan penuansaan tingkat kesadaran akan kemungkinan niscaya, dengan kepastian tinggi,
dan seterusnya menarik garis antar dolus dan culpa. Sebaliknya kesulitan pembuktian yang disinggung di atas dapat menjelaskan mengapa dalam hal delik-
delik culpa terjadi perubahan penetapan ancaman pidana. Pada awal mula, pembuat undang-undang menghendaki ditetapkannya bagi delik culpa, sebagai pidana
perampasan kemerdekaan, ancaman pidana kurungan hechtenis saja. Namun demikian, delik culpa yang lebih serius kemudian juga sebagai alternatif diancam
Universitas Sumatera Utara
dengan pidana penjara, sebagian sebagai reaksi terhadap kesulitan pembuktian, dan sebagian lagi karena tidak ada penerimaan umum akan kriteria pembedaan dolus dan
culpa.
144
Penyebutan dolus eventualis bagi bentuk kesengajaan di atas bukanlah tanpa kesulitan, terutama karena dapat memunculkan salah pengertian. Bentuk kesengajaan
itu sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai bersyarat, kesengajaan ini tidaklah ada atau tergantung pada munculnya akibat, kesengajaan tersebut ada, terlepas dari
apakah akibat yang tidak dikehendaki muncul atau tidak. Pada yang bersifat bersyarat eventual bukan dolus itu sendiri melainkan akibatnya.
c. Culpa Kelalaian
Menurut doktrin yang telah di jelaskan sebelumnya, schuld yang sering diterjemahkan dengan kesalahan terdiri atas kesengajaan dan kealpaan. Kedua hal
tersebut dibedakan, kesengajaan adalah dikehendaki sementara kealpaan adalah tidak dikehendaki. Umumnya para pakar sependapat bahwa kealpaan adalah bentuk
kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan. Itulah sebabnya ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan kealpaan lebih ringan.
145
Memorie van Toelichting dapat dijumpai penjelasan mengenai pengertian culpa yang mengatakan bahwa culpa itu merupakan kebalikan secara murni dari
opzet di satu pihak dan kebalikan dari kebetulan di pihak lain. Mengenai pengertian tersebut, van Bemmelen menyatakan culpa merupakan suatu rumusan tentang schuld
144
Ibid. hal. 156
145
Leden Marpaung, Ibid. hal. 25
Universitas Sumatera Utara
dalam arti kekuranghati-hatian atau tentang onbewuste schuld. Si pelaku tidak mengetahui bahwa suatu keadaan itu ada, dan ketidaktahuannya itu disebabkan
karena ia kurang hati-hati atau karena ia acuh tak acuh. Seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di dalam melakukan perbuatan
apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin dapat diberikan. Oleh karena itu menurut
Simons, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-masing yaitu tidak ada kehati-hatian dan kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul.
146
Pada dasarnya, di samping perumusan delik yang menuntut adanya dolus yang samar maupun tegas, di dalam perundang-undangan juga akan ditemukan ketentuan
pidana yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan karena kesalahan schuld, culpa: kesalahan, kealpaan. Tatkala merujuk pada tuntutan culpa
perundang-undangan kerap merujuk pada pengertian kurang hati-hati onachtzaamheid. Tatkala di satu sisi telah dikaji tingkat kesalahan yang pasti
dirujuk oleh culpa, maka hal yang sama tidak dapat secara tegas dikatakan tentang ragam culpa yang dibahas tersebut. Tidak jelas apakah tingkat kesalahan tersebut
juga dituntut oleh atau dalam ragam culpa tersebut. Namun, pada prinsipnya dapat dinyatakan bahwa ide dasar yang terkandung di dalamnya hendaknya ada culpa
dalam tingkat apapun juga dalam hal di atas harus berlaku sekalipun tidak sekaligus dinyatakan bahwa batas minimum bagi rumusan kesalahan ini harus selalu sama.
147
146
P.A.F. Lamintang, Op. Cit, hal. 336
147
Jan Remmelink, Op.Cit, hal. 173-174
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya, kealpaan culpa dapat dilihat dari sudut kesadarannya bewustheid. Untuk culpa ini dibedakan atas kealpaan dengan kesadaran bewuste
schuld dan kealpaan tanpa kesadaran onbewuste schuld. Dalam kealpaan dengan kesadaran, pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat,
tetapi walaupun pelaku berusaha untuk mencegah, akibat tersebut timbul juga. Sedangkan dalam kealpaan tanpa kesadaran, pelaku tidak membayangkan atau
menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbul suatu akibat.
Selain bentuk kealpaan tersebut, ada juga pakar yang membedakan kealpaan yang dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka gradasi kealpaan
dapat dibedakan menjadi apa yang disebut dengan culpa lata dan kealpaan yang dilakukan secara ringan yang disebut dengan culpa levis.
148
Untuk mengetahui adanya culpa lata atau tidak disyaratkan adanya kekurangwaspadaan onvoorzichtigheid. Untuk membedakan adanya culpa levis dan
culpa lata, disyaratkan perbandingan yaitu tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku dan tindakan pelaku terhadap tindakan lain dari golongan
pelaku. Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang sekategori atau satu golongan dengan seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama maka
tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya, apabila tindakan orang tersebut berbeda, maka orang tersebut termasuk kategori tidak berhati-hati dan
termasuk dalam gradasi kealpaan berat culpa lata.
148
Leden Marpaung, Op. Cit, hal. 26-27
Universitas Sumatera Utara
3. Kemampuan Bertanggung jawab dalam Hukum Pidana