apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
179
Pada kasus tindak pidana perdagangan orang dengan terdakwa Andreas Ginting alias Ucok, Majelis Hakim menimbang bahwa setelah mempertimbangkan
segala sesuatunya ternyata tidak didapati hal-hal yang dapat menghapuskan hukuman terdakwa atau alasan yang dapat menghilangkan pertanggungjawaban pidana atas diri
terdakwa, karenanya terdakwa haruslah dinyatakan bersalah dan dihukum.
180
6. Analisis Mengenai Gugatan Restitusi pada Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1554Pid.B2012PN.Mdn
Pada putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1554Pid.B2012PN.Mdn, Majelis hakim yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang dengan
terdakwa Andreas Ginting Alias Ucok, memidana terdakwa dengan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp. 120.000.000.- subsidair 2 bulan kurungan.
Serta mengabulkan tuntutangugatan hak restitusi yang diajukan oleh Enong Suliyani Ibu kandung korban sebahagian. Dalam tuntutangugatan hak restitusi, Majelis
Hakim menghukum terdakwa membayar ganti kerugian kepada Enong Suliyani Ibu kandung korban sebesar Rp. 64.700.000.- enam puluh empat juta tujuh ratus ribu
rupiah. Menurut Elisabeth Juniarti, kasus Andreas Ginting itu dijadikan test case
dalam kasus trafficking karena karena semenjak Undang-Undang Trafficking di
179
M. Hamdan, Loc.Cit.
180
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Medan, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
sahkan dari tahun 2007, selama hampir 6 tahun dilaksanakan, tapi selama ini belum terlihat kasus trafficking yang dipenuhi hak restitusinya. Sebelumnya, hanya ada 1
satu kasus trafficking yang dikabulkan gugatan restitusnya yaitu kasus trafficking yang ada di lampung. Sehingga, Tim Advokasi mencoba mengajukan gugatan
restitusi. Dalam pengajuan gugatan hak restitusi korban Lisna ditangani oleh beberapa instansi yaitu Yayasan Pusaka Indonesia, Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Sumatera Utara, dan P2TP2A sebagai shelter bekerja sama juga dengan Badan pemberdayaan perempuan Provinsi
Jawa Barat. Yang menjadi tuntutan antara lain mengenai gaji yang tidak dibayar, biaya menghadirkan orang tua korban dan saksi, serta kerugian lainnya baik kerugian
materiil maupun immaterial.
181
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan Tim Advokasi Korban dalam mengajukan gugatan restutusi terhadap terdakwa adalah:
182
a. Bahwa restitusi yang dimaksud adalah ganti kerugian sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 angka 13 menegaskan: restitusi adalah
pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil danatau
kerugian immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya;
181
Wawancara dengan Elisabeth Juniarti, Ketua Divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia, pada hari Selasa, 12 Agustus 2014
182
Tim Advokasi Trafficking Anak P2TP2A Provinsi Sumatera Utara, Gugatan Hak Restitusi Terhadap Anak Korban Trafficking an. Lisna Widiyanti Terdakwa Andreas Ginting No. 02TIM
ADVOKASIX2012, Medan, 15 Oktober 2012
Universitas Sumatera Utara
b. Bahwa Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Pasal 48 ayat 1 yaitu: “Bahwa setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dan
ayat 2 “Bahwa restitusi sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 berupa ganti kerugian atas :
1 Kehilangan kekayaan atau penghasilan;
2 Penderitaan;
3 Biaya untuk tindakan perawatan medis danatau psikologis, danatau
4 Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
c. Bahwa di dalam penjelasan Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 48 ayat 2, yang dimaksud dengan kerugian lain adalah kehilangan harta milik, biaya transportasi
dasar, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.
d. Bahwa di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban menegaskan Pasal 7 ayat 1 berbunyi: “Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa: 1
Hak atas kompensasi dan kasus pelanggaran terhadap kasus hak asasi manusia yang berat;
2 Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku
tindak pidana;
Universitas Sumatera Utara
e. Bahwa Peraturan Pemerintah RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi Restitusi dan Bantuan kepada saksi dan korban, sesuai Pasal 1 ayat 5 berbunyi: “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau
keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. f.
Bahwa berdasarkan Surat Kesepakatan antara, yaitu: 1 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, 2 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 3
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 4 Kepolisian Negara Republik Indonesia, 5 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia, 6 Perhimpunan Advokat Indonesia tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan. Menyebutkan di dalam Pasal 2. Maksud
Kesepakatan Bersama ini untuk meningkatkan kordinasi dan kerja sama dalam penguatan penegakan hukum, melalui pengintegrasian perspektif HAM dan
Gender dan Pasal 3 menegaskan Kesepakatan Bersama ini bertujuan tercapainya persepsi dalam penanganan korban tindak kekerasan, tercapainya penguatan
kelembagaan dalam penanganan korban tindak kekerasan. g.
Bahwa mengingat Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, tentang Penanganan Korban
Kekerasan Terhadap Anak serta Tindak Pidana Perdagangan Orang No. 35924- IIBPKHPP dan No. 224PPAKBII2012, di Bandung, tanggal 17 Februari
2012. Pasal 2 ayat 1 maksud perjanjian kerja sama ini adalah untuk menjalin
Universitas Sumatera Utara
kerja sama yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam upaya kerja sama penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak
serta tindak pidana perdagangan orang yang dialami warga Jawa Barat di Sumatera Utara serta warga Sumatera Utara di Jawa Barat. Tujuan perjanjian
kerja sama ini adalah untuk melaksanakan upaya pencegahan, penanganan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dan tindak pidana
perdagangan orang. Berdasarkan regulasi tersebut, maka Tim Advokasi Korban mengajukan hak
restitusi terhadap korban an. Lisna Widiyanti dengan kerugian materiil yang dialami korban sebesar Rp. 49.700.000.- empat puluh Sembilan juta tujuh ratus ribu rupiah.
Selain kerugian material, korban juga mengalami kerugian immaterial. Dengan ini korban menuntut ganti kerugian immaterial atas penderitaan psikis korban sebesar
Rp. 30.000.000.- tiga puluh juta rupiah atas penderitaan direnggutnya mahkota korban secara paksa tanpa memperdulikan korban yang masih di bawah umur.
Sehingga, total kerugian korban adalah Rp. 79.700.000.-. Menurut laporan penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Klinik Hukum
Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pusaka Indonesia dalam Perkara Pidana Reg. No. 1554Pid.B2012PN.Mdn, Majelis Hakim
dalam pertimbangan hukumnya telah menggunakan Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang serta Pasal 98 jo. 197 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sehingga memberi peluang kepada penasehat hukum korban untuk
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonangugatan restitusi dalam perkara pidana yang sedang berlangsung. Restitusi yang dikabulkan oleh hakim berdasarkan Pasal 1 angka 13
Undang-undang No. 21 Tahun 2007 berupa ganti kerugian atas kehilangan harta kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya perawatan medis danatau psikologis
dan kerugian lain sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang. Akibatnya, tuntutan restitusi berupa penggantian biaya pengacara korban sebesar Rp.
15.000.000.- tidak dikabulkan. Majelis Hakim mengabulkan sebagian dari tuntutangugatan restitusi yang diajukan Penasehat Hukum Korban sebesar Rp.
64.700.000.- tetapi hakim tetapi hakim tidak memberikan subsider jika terpidana tidak bisa melaksanakan putusan restitusi maka tidak ada hukuman pengganti badan
yang harus dilaksanakan terpidana.
183
Menurut Azmiati Zuliah, restitusi pada kasus tindak pidana perdagangan orang dengan terdakwa Andreas Ginting alias Ucok tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Karena, pengajuan restitusi yang dimajukan pada saat proses di pengadilan atas usul dari hakim dan tim pengacara mengajukan permohonan gugatan berbeda
dengan kasus di Lampung. Restitusi yang dikabulkan di Pengadilan Negeri Tanjung Karang Lampung, berjalan karena pengajuan gugatan restitusi sudah dimasukkan
oleh Pendamping Anak saat proses di kepolisian.
184
183
Tim Penulis Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara FH-USU dan Pusaka Indonesia PI-Medan, Laporan Penelitian Kajian tentang Hak Restitusi
dan Perlindungan Hukum Anak dan Perempuan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Sumatera Utara, hal. 92-93
184
Wawancara dengan Azmiati Zuliah, Kordinator PUSPA-PKPA Pusat Pengaduan Anak- Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, pada Rabu, 13 Agustus 2014
Universitas Sumatera Utara
Menurut Azmiati Zuliah, terdapat 3 hal yang menyebabkan putusan restitusi dalam perkara dengan terdakwa Andreas Ginting alias Ucok tidak berjalan, yaitu:
185
1 Penjelasan Pasal 48 ayat 1 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut
umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang
diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Namun, ini tidak dilakukan oleh penyidik maupun jaksa. Sementara
pengajuan dilakukan oleh tim pengacara korban pada saat proses di pengadilan atas saran hakim, bukan pada saat proses di kepolisian;
2 Pasal 48 ayat 5 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan. Namun, dalam kasus ini, harta yang dimiliki
Andreas Ginting tidak diketahui kepemilikannya dan itu tidak ada diupayakan oleh jaksa untuk mengetahui dan mendapatkannya, seharusnya itu dapat
dilakukan. Namun, yang menjadi masalah jaksa tidak dapat melakukan eksekusi harta yang dimiliki oleh pelaku karena di dalam undang-undang tidak diatur
secara tegas atau wajib. Dalam Pasal 50 ayat 3 hanya memberi kewenangan
185
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
jaksa untuk menyita harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari ketua pengadilan bila restitusi tidak dibayar oleh pelaku, sementara harta yang akan
dieksekusi tidak ada wujudnya baik harta bergerak maupun harta tidak bergerak. 3
Pasal 50 ayat 4 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan jika pelaku tidak mampu
membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 satu tahun. Hukuman pidana pengganti sudah tepat, tetapi dengan maksimal 1
satu tahun pidana kurungan pengganti dianggap terlalu ringan. Ketentuan ini seharusnya diubah disesuaikan dengan jumlah kerugian yang diderita korban.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderungan pihak pelaku untuk menjalani pidana kurungan dari pada harus membayar uang restitusi karena
pidana kurungan yang tidak lama. Mungkin saja nilai restitusinya sangat besar dan untuk menghindari itu, maka pihak terpidana akan memilih menjalankan
pidana kurungan selama 1 satu tahun dan kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur. Restitusi seharusnya tidak dapat diganti dengan
pidana kurungan karena bertentangan dengan semangat Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang itu
sendiri yang ingin memberikan perlindungan kepada korban dalam bentuk ganti rugi secara finansial. Apabila pidana pengganti diterapkan, maka korban tidak
mendapatkan ganti rugi atau kompensasi secara materiil danatau immaterial atas penderitaannya.
Universitas Sumatera Utara
B. Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87Pid.B2012PN.Jpr
Kasus eksploitasi ekonomiseksual anak yang digunakan dalam tesis ini
diambil dari Putusan Pengadilan Negeri Jayapura Nomor: 87Pid.B2012PN.Jpr. 1. Posisi kasus
Hermin Mangiwa alias Mama Mangiwa merupakan pemilik Cafe Karaoke dan Bar Waena I Jalan Gelanggang Expo Waena Distrik Heram Kodya Jayapura. Berawal
pada hari kamis tanggal 20 Oktober 2011 di Kota Palopo. Saksi korban Deviyanti Pudin alias Dede dan Saksi Korban Rospiani Supriadi alias Vivi didatangi oleh Meta
dan saksi Nur Devi alias Adel alias Cinta, menawarkan untuk bekerja di Jayapura dengan mengatakan bahwa mau tidak kerja di karaokean yang gajinya lumayan.
Kemudian, saksi korban Devianti Pudin berkata bahwa korban mau. Kemudian Meta mengenalkan saksi korban Devianti Pudin kepada Nur Devi yang kemudian
mengatakan kalau saksi korban mau ikut saja, kalau tidak juga tidak dipaksa, karena pekerjaannya hanya mendampingi tamu saja dan tidak lebih dari itu. Lalu, nanti umur
saksi korban yang baru 15 tahun ditambah agar bisa kerja. kemudian saksi korban mengiyakan ajakan tersebut.
Beberapa waktu kemudian saksi korban Rospiani Supriyadi alas Vivi juga ditawari pekerjaan di Jayapura oleh Siti Nelam Cahya alias Nelam yang sebelumnya
juga setuju untuk berangkat ke Jayapura yang mengatakan bahwa nanti saksi Nur Devi yang akan menghubunginya untuk menjelaskan mengenai pekerjaan di
Jayapura. Kemudian, Nur Devi menghubungi saksi korban Rospiani Supriyadi dan mengatakan bahwa pekerjaannya sebagai karyawan karoke yaitu menemani tamu
Universitas Sumatera Utara
untuk minum dan berkaroke dan akan digaji sebesar Rp. 1.500.000.- satu juta lima ratus ribu rupiah sedangkan biaya ke Jayapura akan ditanggung olehnya.
Setelah korban setuju, pada hari minggu tanggal 23 Oktober 2011, saksi korban Devianti Pudin dan Rospiani Supriyadi dan saksi Siti Nelam berangkat dari
kota Palopo menuju Jayapura. Sesampainya di Makassar karena tengah malam, akhirnya mereka memutuskan menginap dan baru pada keesokan harinya yaitu pada
hari senin tanggal 24 Oktober 2011 pukul 10.00 WIT berangkat menuju Jayapura menggunakan pesawat Merpati Airlines dan kemudian pada pukul 16.30 WIT tiba di
Jayapura yang ternyata sudah ditunggu oleh terdakwa Hermin Mangiwa di Bandar Udara Sentani Jayapura lalu langsung menuju terdakwa yaitu di Cafe Karoke dan Bar
Waena I Jalan Gelanggang Expo Waena Distrik Heram Kota Jayapura. Kemudian terdakwa meminta ketiganya untuk mengisi biodata untuk proses pembuatan KTP,
namun terdakwa dengan sengaja tidak meminta tanda pengenal ataupun tanda lulus sekolah yang menerangkan tempat dan tanggal lahir para saksi korban sehingga
terdakwa menghiraukan kenyataan bahwa para saksi korban masih di bawah umur dan belum memenuhi syarat untuk bekerja dan menganggap para saksi korban sudah
cukup umur. Setelah beristirahat selama 5 lima hari dikarenakan ketiganya masih dalam
proses pembuatan KTP yang diurus sendiri oleh terdakwa baru kemudian pada tanggal 29 Oktober 2011 setelah KTP terbit untuk ketiganya, baru terdakwa
mengumpulkan ketiganya di ruang tamu dan menjelaskan tentang pekerjaan yang akan diberikan lalu terdakwa menyodorkan surat kontrak kerja dan menyuruh
Universitas Sumatera Utara
ketiganya untuk menandatangani surat kontrak kerja tersebut namun tidak dengan sebelumnya mempersilahkan ketiganya untuk membaca dan memahami isi dari surat
kontrak kerja tersebut. Akhirnya dengan desakan terdakwa, ketiganya menandatangani surat kontrak tersebut. Sebelum ketiganya menandatangani kontak
tersebut, terdakwa hanya menjelaskan bahwa adanya kontrak kerja tesebut maka ketiganya selama tiga bulan tidak boleh keluar dari lingkungan Cafe Karaoke dan Bar
Waena Permai I. Tanggal 29 Oktober kedua saksi korban Devianti Pudin dan Rospiani
Supriyadi dan saksi Siti Nelam Cahya mulai bekerja di Cafe Karaoke dan Bar milik terdakwa. Selama 8 delapan hari bekerja dari pukul 19.00 WIT sampai dengan
pukul 01.00 WIT. Kemudian, kedua saksi korban menyadari setelah menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang dibayangkan yaitu bekerja sampai larut
malam dan menemani para tamu yang sering menciumi badan dan bibir serta meraba- raba tubuh mereka berdua.
Akibat tidak tahan dengan pekerjaan tersebut, saksi korban Rospiani Supriyadi kemudian bercerita kepada kedua orang tuanya di kampung halamannya di
Kota Palopo. Mendengar kabar tersebut kemudian orang tua saksi korban menghubungi keluarganya di Jayapura yaitu saksi Rismawati yang adalah seorang
anggota kepolisian. Pada tanggal 5 November 2011 saksi Rismawati bersama temannya masuk ke dalam Cafe dan meminta terdakwa untuk mengeluarkan kedua
saksi korban dan melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resort Kota Jayapura untuk diproses lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
2. Argumentasi hukum para pihak