Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi Dan Sumber Informasi Bagi Profesi Wartawan
TESIS
Oleh
NOVITAYANI 127045005
M A G I S T E R I L M U K O M U N I K A S I FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NOVITAYANI 127045005
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(3)
Judul Tesis : WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI
WARTAWAN Nama Mahasiswa : Novitayani Nomor PPokok : 127045005 Program Studi : Ilmu Komunikasi
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
(Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D) (Drs. Hendra Harahap, M.Si) NIP. 1951021987011001 NIP. 196710021994031002
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) NIP. 196704051990032002 NIP. 196805251992031002
(4)
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Telah diuji pada
Tanggal: 29 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D.
2. Drs. Hendra Harahap, M.Si.
3. Drs. Syafruddin Pohan, M.Si., Ph.D. 4. Drs. Safrin, M.Si.
(5)
PERNYATAAN
WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN
Dengan ini penulis menyatakan bahwa:
1. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara benar merupakan hasil karya peneliti sendiri. 2. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik di Universitas Sumatera Utara maupun di perguruan tinggi lain.
3. Tesis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Komisi Pembimbing dan masukan Tim Penguji.
4. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, 29 Agustus 2014 Penulis,
(6)
COFFEE SHOP AS COMMUNICATION MEDIA AND
AS A PLACE FOR SOURCE OF INFORMATION
FOR JOURNALISTS
ABSTRACT
This study, entitled "Coffee Shop as Communication Media and as a Place for Source of Information for Journalists", a qualitative study with a constructivist approach regarding construction of reality a coffee shop for journalists at Corner Coffee Shop, Lhokseumawe, Aceh. The objectives of this study is to determine the meaning of a coffee shop for journalists, to get to know the factors behind journalists presence at the coffee shop, to get to know the functions and role of the coffee shop for journalists.
The theories that are used as a guide in this study is Symbolic Interactionism, Phenomenology, Social Construction Theory, Interpersonal Communication, Facts, Mass Media, News, Journalists and Audiences seen from constructionist paradigm and Journalist Professionalism. Informants in this study were three people who worked as a journalist, one person is the additional informant and one person as key informant, which is an anthropologist. Data collection techiques in this study was in-depth interview, observation and documentation study, while data analysis techniques using an interactive model of Miles and Huberman through three concurrent activities: data reduction, data presentation and conclusion (verification).
The results showed that the coffee shop as a social reality interpreted as a center of information and media of communication appropriate to the journalist. The presence of journalists at a coffee shop motivated by motives, experiences and social values. The presence of journalists in coffee shops can support the roles and duties as searcher, collector and transmitter of public information, as well as a media which connects the grassroots level with the government. Coffee shop is not just a place to drink some coffee, a cozy place to refreshing and entertaining. Coffee shop has become a public space that can open up opportunities for people to discuss about social issues freely and openly.
(7)
WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN
SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi dan Sumber
Informasi Bagi Profesi Wartawan”, studi kualitatif dengan pendekatan konstruktivis mengenai konstruksi realitas warung kopi bagi profesi wartawan di Warung Kopi Corner Coffee, Kota Lhokseumawe. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna warung kopi bagi wartawan, mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi dan mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi profesi wartawan.
Teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Teori Konstruksi Sosial, Komunikasi Antar Pribadi, Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak dilihat dari Paradigma Konstruksionis serta Profesionalisme Wartawan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak tiga orang wartawan, satu orang informan tambahan perwakilan dari media dan satu orang informan kunci (key informant), yakni seorang Antropolog. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman melalui tiga kegiatan yang bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warung kopi sebagai realitas sosial dengan berbagai fasilitas yang disediakannya dimaknai sebagai pusat informasi dan sarana komunikasi yang memadai bagi profesi wartawan. Keberadaan wartawan di warung kopi dilatarbelakangi oleh motif, pengalaman dan nilai sosial yang dimilikinya. Keberadaan para wartawan di warung-warung kopi dapat mendukung peran dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan penyampai informasi publik, disamping sebagai perpanjangan tangan yang menghubungkan masyarakat akar rumput (grassroot) dengan pihak penguasa (pemerintah) sebagai bentuk demokratisasi publik. Warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi kopi, bersantai, mencari hiburan dan melepas lelah, namun telah menjadi sejenis ruang publik yang dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan sosial kemasyarakatan secara bebas dan terbuka.
(8)
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Lusiana Andriani Lubis, M.A., Ph.D, selaku Ketua Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Amir Purba, M.A., Ph.D, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.
5. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini.
6. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.
(9)
7. Bapak Drs. Safrin, M.Si, selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.
8. Kedua Orang Tua dan Keluarga yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Para Informan yang telah bekerjasama dengan baik dalam memberikan informasi yang dibutuhkan selama proses penelitian ini berlangsung. 10. Semua pihak yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi
maupun masalah teknis di lapangan selama menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan yang Maha Esa melindungi kita semua. Amin.
Medan, 29 Agustus 2014 Penulis,
(10)
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...iii
LEMBAR PERNYATAAN ...iv
ABSTRACT... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... viiii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Fokus Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Paradigma Penelitian ... 9
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu ... 13
2.3. Teori Interaksionisme Simbolik ... 26
2.4. Fenomenologi ... 28
2.5. Teori Konstruksi Sosial ... 32
2.6. Komunikasi Antar Pribadi ... 34
2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari Paradigma Kontruksionis ... 37
2.7.1. Fakta/peristiwa dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 38
2.7.2. Media massa dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 38
2.7.3. Berita dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 39
2.7.4. Wartawan dalam pandangan paradigma konstruksionis ... 40
2.8. Profesionalisme Wartawan ... 42
2.9. Kerangka Berpikir ... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian ... 50
3.2. Aspek Kajian ... 54
3.3. Subjek Penelitian ... 54
3.3.1. Lokasi penelitian ... 57
3.3.1.1. Gambaran umum ... 57
(11)
3.3.1.3. Kondisi demografi... 58
3.3.1.4. Warung Kopi Corner Coffee ... 59
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 60
3.5. Metode Analisis Data ... 63
3.6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 65
BAB IV TEMUAN PENELITIAN 4.1. Proses Penelitian ... 68
4.2. Temuan Penelitian ... 71
4.2.1. Informan 1: Zainal Bakri ... 72
4.2.2. Informan 2: Hasan Basri ... 97
4.2.3. Informan 3: Jeffry Tamara ... 104
4.2.4. Informan Tambahan: Saiful Bahri ... 110
4.2.5. Informan Kunci (Key Informant): Teuku Kemal Fasya ... 112
BAB V PEMBAHASAN 5.1. Wartawan dan Warung Kopi ... 121
5.2. Wartawan dan Profesi ... 133
5.3. Wartawan dan Organisasi Media ...143
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 152
6.2. Saran ... 153
DAFTAR PUSTAKA ... 155
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel Hal
3.1. Luas Wilayah Menurut Kecamatan Kota Lhokseumawe ... 58 3.2. Kepadatan Penduduk Kota Lhokseumawe ... 59 4.1. Kategorisasi Temuan Penelitian ... 118
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Dokumentasi penelitian 2. Pedoman wawancara
3. Transkrip wawancara dengan informan Zainal Bakri 4. Transkrip wawancara dengan informan Hasan Basri 5. Transkrip wawancara dengan informan Jeffry Tamara 6. Biodata
(15)
COFFEE SHOP AS COMMUNICATION MEDIA AND
AS A PLACE FOR SOURCE OF INFORMATION
FOR JOURNALISTS
ABSTRACT
This study, entitled "Coffee Shop as Communication Media and as a Place for Source of Information for Journalists", a qualitative study with a constructivist approach regarding construction of reality a coffee shop for journalists at Corner Coffee Shop, Lhokseumawe, Aceh. The objectives of this study is to determine the meaning of a coffee shop for journalists, to get to know the factors behind journalists presence at the coffee shop, to get to know the functions and role of the coffee shop for journalists.
The theories that are used as a guide in this study is Symbolic Interactionism, Phenomenology, Social Construction Theory, Interpersonal Communication, Facts, Mass Media, News, Journalists and Audiences seen from constructionist paradigm and Journalist Professionalism. Informants in this study were three people who worked as a journalist, one person is the additional informant and one person as key informant, which is an anthropologist. Data collection techiques in this study was in-depth interview, observation and documentation study, while data analysis techniques using an interactive model of Miles and Huberman through three concurrent activities: data reduction, data presentation and conclusion (verification).
The results showed that the coffee shop as a social reality interpreted as a center of information and media of communication appropriate to the journalist. The presence of journalists at a coffee shop motivated by motives, experiences and social values. The presence of journalists in coffee shops can support the roles and duties as searcher, collector and transmitter of public information, as well as a media which connects the grassroots level with the government. Coffee shop is not just a place to drink some coffee, a cozy place to refreshing and entertaining. Coffee shop has become a public space that can open up opportunities for people to discuss about social issues freely and openly.
(16)
WARUNG KOPI SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN
SUMBER INFORMASI BAGI PROFESI WARTAWAN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Warung Kopi Sebagai Sarana Komunikasi dan Sumber
Informasi Bagi Profesi Wartawan”, studi kualitatif dengan pendekatan konstruktivis mengenai konstruksi realitas warung kopi bagi profesi wartawan di Warung Kopi Corner Coffee, Kota Lhokseumawe. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna warung kopi bagi wartawan, mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi dan mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi profesi wartawan.
Teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Teori Konstruksi Sosial, Komunikasi Antar Pribadi, Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak dilihat dari Paradigma Konstruksionis serta Profesionalisme Wartawan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak tiga orang wartawan, satu orang informan tambahan perwakilan dari media dan satu orang informan kunci (key informant), yakni seorang Antropolog. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan wawancara mendalam, observasi dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman melalui tiga kegiatan yang bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (verifikasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa warung kopi sebagai realitas sosial dengan berbagai fasilitas yang disediakannya dimaknai sebagai pusat informasi dan sarana komunikasi yang memadai bagi profesi wartawan. Keberadaan wartawan di warung kopi dilatarbelakangi oleh motif, pengalaman dan nilai sosial yang dimilikinya. Keberadaan para wartawan di warung-warung kopi dapat mendukung peran dan tugasnya sebagai pencari, pengumpul dan penyampai informasi publik, disamping sebagai perpanjangan tangan yang menghubungkan masyarakat akar rumput (grassroot) dengan pihak penguasa (pemerintah) sebagai bentuk demokratisasi publik. Warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan akan konsumsi kopi, bersantai, mencari hiburan dan melepas lelah, namun telah menjadi sejenis ruang publik yang dapat membuka peluang bagi masyarakat untuk mendiskusikan permasalahan sosial kemasyarakatan secara bebas dan terbuka.
(17)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Warung kopi adalah tempat yang mudah dijumpai hampir di seluruh wilayah belahan dunia, mulai dari warung kopi tradisional sampai kepada warung kopi modern sekelas Starbucks. Kebiasaan minum kopi dan menghabiskan waktu di warung kopi sambil menikmati berbagai fasilitas yang tersedia seakan telah menjadi gaya hidup bagi berbagai kalangan dari berbagai profesi dan generasi di dunia. Dewasa ini, warung kopi tidak hanya menyediakan minuman kopi dengan cita rasa yang nikmat, namun juga berbagai fasilitas seperti free Wi-Fi, TV satelit, layar lebar untuk menonton pertandingan sepak bola dunia, ruang pertemuan, live music dan lain sebagainya.
Sejumlah penelitian di belahan dunia bahkan melihat fenomena warung kopi ini sebagai “tempat ketiga” setelah rumah dan kantor, sebagai sebuah institusi yang memungkinkan interaksi sosial terjadi di dalamnya. Di samping itu, pertumbuhan dari sebuah organisasipun melihat adanya keuntungan yang diperoleh dari fenomena “tempat ketiga” ini terhadap peluang dan keuntungan bagi hubungan sebuah organisasi dengan para karyawannya dalam melihat kebutuhan publik (Crick, 2011:63-77).
Starbucks sebagai warung kopi kelas dunia bahkan mendominasi konsumsi kopi di Taiwan dan melayani sebagai “tempat ketiga” bagi kehidupan para konsumennya. Penelitian menemukan bahwa dalam budaya
(18)
konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya minum kopi lebih daripada sekedar percakapan dari mulut ke mulut, melainkan telah menjadi gaya hidup dan memiliki hubungan yang signifikan dengan kegiatan mengkonsumsi kopi (Lin, 2012:119-128). Sementara Robinson dan Deshano (2011:642-657) melihat fenomena orang-orang yang terlibat dalam situs-situs berita lokal berusaha mencapai perasaan masyarakat dengan memanfaatkan “tempat
ketiga” khas Amerika yakni warung kopi, perpustakaan dan titik-titik
pertemuan masyarakat lainnya. Para jurnalis warga (citizen journalists) berupaya untuk memenuhi kebutuhannya akan pemberdayaan atas informasi dan koneksi komunal lokal dalam keterlibatannya terhadap situs berita lokal dan blog online.
Rosenbaum (2006:59-72) menggambarkan bagaimana dan mengapa
“tempat ketiga” seperti warung kopi dan bar menjadi bermakna dalam
kehidupan para pelanggannya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pelanggan mengunjungi “tempat ketiga” ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga memenuhi kebutuhan mereka akan persahabatan dan dukungan emosional. Kebutuhan-kebutuhan yang lazim dilakoni oleh para pelanggan berusia tua, yang sering mengalami kerenggangan pada hubungan sosial mereka. Oleh karena itu, pelanggan
tersebut bisa berpaling kepada “persahabatan komersial” mereka di “tempat
ketiga” untuk memperoleh dukungan penuh secara sosial. Beberapa penelitian tersebut menggambarkan betapa masyarakat hampir di seluruh belahan dunia sering memanfaatkan warung kopi sebagai bagian dari aktifitasnya sehari-hari.
(19)
Fenomena minum kopi dan menghabiskan waktu di warung kopi ini juga telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Berkembangnya warung-warung kopi dengan merk lokal di Indonesia pun kian marak dari tahun ke tahun. Di Aceh misalnya, kehadiran warung kopi di Aceh sangat terkait dengan sejarah perkembangan Aceh itu sendiri. Ketika Kesultanan Aceh berkembang, mereka kerap kali berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ottoman yang sekarang telah menjadi negara Turki. Bahkan hubungan dengan Turki ini sudah terjalin sejak pertengahan abad ke-16 (Said, 1981:182).
Orang Aceh berkumpul dan berinteraksi di warung kopi, awalnya lebih kepada untuk mempererat rasa persaudaraan. Warung kopi telah menjadi titik untuk bertemu bagi mereka yang suka berbincang, mulai dari soal seni, politik, bisnis, hingga topik lainnya. Teuku Kemal Fasya dalam Maryoto dan Muhammad (2011) melihat bahwa pengunjung warung kopi kini pun tak hanya didominasi oleh kaum pria dan para lanjut usia, kaum wanita dan para remaja juga kerap menghabiskan waktunya di warung kopi. Warung kopi kini semakin menjadi pilihan yang menarik untuk tempat berkomunikasi. Kini warung kopi identik dengan tempat yang nyaman, interior bagus, fasilitas free Wi-Fi, ruang rapat, televisi berlayar lebar untuk menonton pertandingan sepak bola, live music dan lain sebagainya, sehingga pengunjungnya merasa betah untuk berlama-lama di warung kopi. Fungsi warung kopi kini telah berubah dari tempat minum kopi menjadi sejenis ruang sosial, tempat tukar-menukar informasi.
(20)
Warung kopi pun kini tak lagi sekedar tempat minum kopi. Banyak peristiwa penting berawal dari sebuah meja warung kopi, seperti penggalangan dana bagi korban bencana, sosialisasi kebijakan aparatur
pemerintah seperti program “Saweu Keude Kupi (Pulang ke warung kopi)”
yang merupakan program Polda Aceh dalam mensosialisasikan program tertib lalu lintas dan sadar hukum, terbentuknya sebuah komunitas pers yang bernama Persatuan Wartawan Aceh (PWA) pada tanggal 15 Juni 2007 di warung kopi Caf Elit Jl. T. Hamzah Bendahara, Lhokseumawe oleh sejumlah wartawan, lahirnya Komunitas Wartawan Peduli Bencana (KWPB) pada awal tahun 2014 (YD, 2014) dan lain sebagainya.
Terjadinya beragam pemaknaan makna warung kopi yang ada pada saat ini, tidak terlepas dari bagaimana proses komunikasi itu terjadi. Hal ini erat kaitannya dengan konstruksi makna yang dibentuk oleh masyarakat dalam hal ini pelanggan warung kopi itu sendiri. Dalam sebuah penelitian, Citra Abadi (2013:3) menyebutkan bahwa:
“Dalam memaknai suatu hal, individu memerlukan suatu dasar yang dijadikan sebagai sebuah nilai dalam mendorong individu untuk mengkonstruksi sebuah makna. Dengan adanya nilai yang dijadikan sebagai pedoman untuk memaknai realitas, nilai tersebut akan mempengaruhi individu dalam bertindak ke depannya. Interpretasi yang dilakukan oleh individu, memunculkan sebuah motif dalam diri individu”
Motif seseorang untuk mengunjungi warung kopi pun tidaklah sama. Artinya tentu ada sebuah tujuan yang mereka inginkan ketika berada di sebuah warung kopi, apakah itu untuk dirinya sendiri ataukah untuk kepentingan lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Motif ini juga sangat mempengaruhi seseorang dalam memaknai realitas sosial di sekitarnya.
(21)
Berdasarkan hasil pra penelitian dalam bentuk observasi yang dilakukan terhadap para pengunjung di warung-warung kopi di Kota Lhokseumawe, peneliti mengamati bahwa ada begitu banyak pengunjung dari berbagai latar belakang yang berbeda mengunjungi warung kopi tersebut. Di beberapa warung kopi bahkan tampak dengan jelas sangat didominasi oleh kalangan-kalangan tertentu, seperti wartawan, PNS dan para mahasiswa. Pada penelitian ini peneliti memilih salah satu dari kelompok-kelompok dominan tersebut untuk menjadi fokus, yakni pada profesi wartawan saja. Hal ini dikarenakan kelompok profesi wartawan yang merupakan bagian dari pers ini memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi sangat penting untuk mewujudkan hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
Di samping itu, salah satu tanggung jawab media terhadap publik adalah membuka akses penuh ke berbagai sumber informasi. Masyarakat industri modern seperti saat ini membutuhkan informasi jauh lebih banyak daripada masa-masa sebelumnya. Kalaupun masyarakat tidak membutuhkan semua informasi yang ada, tersebarnya informasi akan memudahkan pemerintah menjalankan tugasnya (Rivers, W. L., Peterson, T. & Jensen, J., W., 2003:109). Media massa, seperti halnya pesan lisan dan isyarat, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi manusia. Pada hakikatnya, media adalah perpanjangan lidah dan tangan yang berjasa meningkatkan kapasitas manusia untuk mengembangkan struktur sosialnya (Rivers et al., 2003:27).
(22)
Salah satu syarat yang dituntut oleh masyarakat modern terhadap pers adalah media harus menyajikan “pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas”. Media dituntut untuk selalu akurat dan tidak boleh berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat. Hal yang berbeda terjadi dalam masyarakat sederhana, kebenaran akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain. Namun dalam masyarakat modern, isi media merupakan sumber informasi dominan, sehingga media lebih dituntut untuk menyajikan berita yang benar (Rivers et al., 2003:105). Demikian pula halnya dengan masyarakat Aceh yang masih tergolong ke dalam masyarakat sederhana, sehingga kebenaran masih akan dicari dengan cara membandingkan pemberitaan media dengan informasi dari sumber-sumber lain, dalam hal ini warung kopi.
Pada penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana keberadaan para wartawan di warung-warung kopi menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai wartawan dalam mencari, mengumpulkan dan menyampaikan informasi kepada khalayak melalui sebuah sarana, yaitu warung kopi. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 (tiga) orang wartawan dengan mempertimbangkan data jenuh (saturated data) yang diperoleh di lapangan.
Keberadaan wartawan di warung-warung kopi sambil menjalankan tugas dalam mencari informasi menurut peneliti sangat menarik untuk didalami, terlebih lagi karena belum banyak penelitian sebelumnya yang membahas tentang profesi wartawan dan warung kopi. Guna memperkaya
(23)
hasil penelitian, peneliti juga akan mewawancarai seorang informan perwakilan dari media dan Antropolog yang bertindak sebagai informan kunci yang akan memberikan gambaran secara menyeluruh perihal dinamika warung kopi Aceh secara umum dan kaitannya dengan profesi wartawan secara khusus.
1.2. Fokus Masalah
Berdasarkan data yang telah diperoleh peneliti dalam melakukan penelitian, maka peneliti menemukan fenomena dari realitas warung kopi bagi profesi wartawan, sehingga dapat menetapkan fokus pada penelitian ini yaitu pada bagaimana profesi wartawan memaknai realitas warung kopi di Warung Kopi Corner Coffee Kota Lhokseumawe?
1.3. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui makna warung kopi bagi wartawan.
2) Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan wartawan di warung kopi.
3) Mengetahui fungsi dan peran warung kopi bagi wartawan.
1.4. Manfaat Penelitian
1) Peneliti berharap penelitian ini berguna untuk menambah wawasan bagi peneliti baik dari segi teoritis maupun praktis tentang permasalahan yang berhubungan dengan realitas warung kopi dan proses komunikasi yang berlangsung di dalamnya. Dari segi keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah wawasan ilmiah di bidang Ilmu Komunikasi khususnya, terkait dengan pembentukan makna melalui
(24)
proses komunikasi dan interaksi sosial dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
2) Kegunaan praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan masukan bagi pembaca dalam memahami dan memandang realitas warung kopi sebagai sarana komunikasi. Selain itu, peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan konstribusi positif bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan keberadaan warung kopi sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Aceh dan bagi wartawan khususnya, sebagai pengumpul dan penyampai informasi bagi publik.
(25)
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008:A-13).
Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-14) melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi Fakta Sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh
(26)
konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat.
Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan bahwa Paradigma Definisi Sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Teori Tindakan, Interaksionisme Simbolik, Fenomenologi, Etnometodologi dan Eksistensialisme. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terus-menerus.
B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen.
Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam
(27)
fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya.
Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan interpretif/konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)
Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam situsasi (setting) keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/mengelola dunia sosial mereka. Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial.
(28)
Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas beberapa hal umum sebagai berikut. Secara ontologis, interpretivisme menuntut pendekatan holistik, menyeluruh: mengamati objek dalam konteks keseluruhan, tidak diparsialkan, tidak dieliminasi dalam variabel-variabel guna mendapat pemahaman lengkap apa adanya, karena objek tidak mekanistis melainkan humanistis. Secara epistimologis, interpretivisme menuntut menyatunya subjek dengan objek penelitian serta subjek pendukungnya, karenanya pula menuntut keterlibatan langsung peneliti di lapangan serta menghayati berprosesnya subjek pendukung penelitian. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008:59-61).
Penjelasan interpretif terkait dengan upaya untuk membantu pembentukan pemahaman. Penjelasan semacam ini mencoba untuk menemukan makna dari sebuah peristiwa atau praktik dengan menempatkannya dalam sebuah konteks sosial tertentu. Proses penjelasan semacam ini sama dengan proses penafsiran teks atau karya sastra. Teori-teori komunikasi dalam kelompok tradisi fenomenologis, semiotika dan sosiokultural bisa dikategorikan menggunakan model penjelasan interpretif ini (Sunarto, 2013:57).
(29)
Martin Hammersley dalam West dan Turner (2009:75), mendukung adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti
“memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian
mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti-peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti.
2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu
Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti.
1) Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul “Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan
(30)
bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh dukungan.
Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka “tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka. Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun emosional.
2) Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul “Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya “tempat
(31)
ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual.
Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga mengunjungi warung-warung kopi.
3) Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun 2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana
Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan
(32)
mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi.
4) Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul
“New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas
fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena “tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih lanjut, di samping juga turut menyoroti potensi “tempat ketiga” virtual dalam meningkatkan peluang bagi brand awareness pada penjualan produk dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi baru lebih mementingkan faktor fleksibilitas dan kegembiraan
dibandingkan generasi lainnya. Bagi organisasi, “tempat ketiga”
menciptakan peluang untuk interaksi sosial dan membangun komunitas dalam organisasi yang bermanfaat untuk menarik generasi yang berbeda dalam pemilihan “tempat ketiga” mereka.
(33)
Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand awareness pada generasi muda.
5) Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul “Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum.
Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa keberadaan teknologi baru seperti internet dan Wi-Fi juga turut mempengaruhi perilaku
(34)
orang-orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan “Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang-orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warung-warung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5 jam dalam setiap kunjungannya.
Penelitian ini membagi para pengunjung warung kopi ke dalam dua kategori berdasarkan intensitas penggunaan dan pemanfaatan fasilitas
(35)
free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari informan dari peneliti.
6) Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul “Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of
Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang disebut sebagai “Campers”atau “orang-orang yang berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain.
Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan atau tanpa teman sekalipun. Menjadi suatu hal yang menarik mengetahui informan peneliti adalah bagian dari kategori ini atau bukan.
(36)
7) Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop. Fanatisme pelanggan Blandongan atas dasar kesenangan dan kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan.
Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka spektrum global market (pasar global), warung kopi Blandongan ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi terhadap persepsi dan ekspresi komunitas di dalamnya. Blandongan memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini. Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini, setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa
(37)
kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di dalam komunitas tersebut.
8) Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006” yang dilakukan oleh Riswan Amri, Universitas Hasanuddin menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah, aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai dengan berbincang-bincang formal (rapat) dan sebagainya. Pengelola Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan ruang tertutup yang terbilang eksklusif (VIP).
Warung Kopi Phoenam juga telah bekerjasama dengan Radio Mercerius FM, yang menjadi mediator dalam acara talkshow di Warung Kopi Phoenam. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan pada budaya politik tradisional kini telah tergantikan oleh diskusi-diskusi ala Warung Kopi Phoenam yang berdasarkan pada mediasi media massa dan representasi tokoh-tokoh publik.
(38)
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal (Cth: radio) dan mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya.
9) Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang berjudul “Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh Member Program Wide Shot Metro TV dengan sub bab Studi Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh Member Program Wide Shot Metro TV di Bandung”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif member bergabung menjadi citizen journalist Wide Shot, pemaknaan member Wide Shot mengenai citizen journalism dan pengalaman komunikasi member selama menjadi citizen journalist Wide Shot. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dengan perspektif teori fenomenologi Schutz serta Teori Konstruksi Sosial atas realita Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teknik penelitian yang
(39)
digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu (motif-karena) dan motif masa depan (motif-untuk) (2) Pemaknaan member mengenai citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara, kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri (3) Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu “because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat “because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai pengunjung warung kopi.
10) Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiaman, yang berjudul “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban
(40)
Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Tahun 2012 menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas secara sosial.
Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato Sebagai identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi, kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh
(41)
tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.
Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan.
11) Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita di Kota Bandung (Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota
Bandung)”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Tahun 2013. Dalam kerangka ini, sosialita merupakan fenomena yang menjadi sebuah realitas. Kalangan sosialita tersebut memiliki makna tentang sosialita sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk mengetahui makna tersebut, akan dilihat dari berbagai sub fokus pembahasan, mulai dari nilai sosial yang ada di lingkungan sosial mereka, motif menjadi sosialita, pesan artifaktual yang digunakan sebagai wujud pemaknaan sosialita dan pengalaman yang telah dilakukan sebagai seorang sosialita. Berdasarkan kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat lebih
(42)
jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.
2.3. Teori Interaksionisme Simbolik
Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama (atau perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik) karena mereka secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan (Moleong, 2006:20).
Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat (2010:59) menyebutkan bahwa:
“Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda- tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama.”
(43)
Sunarto (2013:54) melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka. Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis Lal dalam Littlejohn dan Foss (2011:231) meringkaskan dasar-dasar pemikiran gerakan ini:
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka.
b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada susunan, sehingga terus berubah.
c. Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.
d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.
e. Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang dipertimbangkan dan diartikan.
f. Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Masyarakat (society) atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku-perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya dengan cara yang tepat (Littlejohn dan Foss, 2011:233). Teori Interaksi Simbolik ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam tradisi
(44)
sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial (Morissan dan Wardhany, 2009:39).
Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksi dengan yang lainnya) di tempat ia berada. Dalam mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi tersebut (Moleong, 2006:22).
2.4. Fenomenologi
Tradisi fenomenologis menekankan pada proses interpretasi, tetapi dalam cara yang sangat berbeda daripada yang dilakukan oleh Osgood. Teori Osgood-yang jelas-jelas didasarkan pada tradisi sosiopsikologis-melihat interpretasi sebagai sebuah proses intuitif, tidak sadar, kognitif dan berhubungan dengan perilaku. Sebaliknya, teori-teori fenomenologis melihat interpretasi sebagai sebuah proses pemahaman yang sadar dan hati-hati. Fenomenologi secara harfiah berarti penelitian tentang pengalaman sadar, dimana interpretasi mengambil peranan yang penting (Littlejohn dan Foss, 2011:192).
(45)
Fenomenologi menjadikan pengalaman sebenarnya sebagai data utama dalam memahami realitas. Apa yang diketahui seseorang adalah apa yang dialaminya. Stanley Deetz dalam Littlejohn dan Foss (2011:57), mengemukakan tiga prinsip dasar fenomenologi sebagai berikut:
1. Pengetahuan adalah kesadaran. Pengetahuan tidak disimpulkan dari pengalaman, namun ditemukan secara langsung dari pengalaman sadar.
2. Makna dari sesuatu terdiri atas potensi sesuatu itu pada hidup seseorang. Dengan kata lain, bagaimana Anda memandang suatu objek, bergantung pada makna objek itu bagi Anda.
3. Bahasa adalah “kendaraan makna” (vehicle meaning). Kita
mendapatkan pengalaman melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskan dunia kita.
Proses interpretasi merupakan hal yang sangat penting dan sentral dalam fenomenologi. Interpretasi adalah proses aktif pemberian makna dari suatu pengalaman. Menurut pemikiran fenomenologi, orang yang melakukan interpretasi (interpreter) mengalami suatu peristiwa atau situasi dan ia akan memberikan makna kepada setiap peristiwa atau situasi yang dialaminya. Dengan demikian, interpretasi akan terus berubah, bolak-balik, sepanjang hidup antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada setiap pengalaman baru (Morissan dan Wardhany, 2009:31-32). Jadi, dalam pandangan fenomenologi sesuatu yang tampak itu pasti bermakna menurut subjek yang menampakkan fenomena itu, karena setiap fenomena berasal dari kesadaran manusia sehingga sebuah fenomena pasti ada maknanya (Bungin, 2007: 3).
Dalam pandangan fenomenologist, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam
(46)
merupakan tindakan untuk mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Moleong, 2006:17).
Para fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Untuk paham fenomenologi sebagaimana diungkapkan Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari hakikat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran (Ikbar, 2012:65-66).
Tradisi fenomenologis memandang bahwa peran kepribadian dalam perilaku paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang, yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memperhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka. Oleh sebab itu, tradisi fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunia
(47)
secara subjektif, sensasi, perasaan dan fantasi yang terlibat adalah titik tolak
untuk meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai subjek (Surip, 2011:12).
Tim Fakultas Ilmu Sosial Ilmu dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro dalam Pramestaningtyas (2013:7) menulis bahwa fenomenologi mendeskripsikan pengalaman yang diperoleh secara langsung dan memahami perilaku sebagai sesuatu yang dipengaruhi fenomena pengalaman daripada realitas obyektif yang berasal dari luar diri individu. Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz mengemukakan bahwa orang secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan, tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz menjelaskan pengalaman indrawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu hanya ada begitu saja; obyek-obyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian-bagian, yang berbeda-beda dan individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu.
Menurut Schutz, fenomenologi adalah studi tentang pengetahuan yang datang dari kesadaran atau cara kita memahami sebuah obyek atau peristiwa melalui pengalaman sadar tentang obyek atau peristiwa tersebut. Sebuah fenomena adalah penampilan sebuah obyek, peristiwa atau kondisi dalam persepsi seseorang, jadi bersifat subjektif. Bagi Schutz dan pemahaman kaum fenomenologis, tugas utama analisis fenomenologis adalah merekonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang
(48)
mereka sendiri alami. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa sebagai anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi (Mulyana, 2008:63).
2.5. Teori Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189).
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:175).
Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain.
(49)
Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194).
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12).
Berger dan Luckmann dalam Yuningsih (2006:62) mengatakan bahwa dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri (social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau, ke masa kini dan menuju masa depan.
Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
(50)
mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.
Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3). Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita (sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan).
Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas.
2.6. Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Hampir setiap saat kita bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi. Dikarenakan manusia bisa menciptakan simbol-simbol, maka ia juga mampu mengkomunikasikan suatu niat, makna, keinginan atau maksud yang kompleks dan karena itu pula manusia bisa mengubah bentuk kehidupan sosialnya. Dengan demikian, komunikasi merupakan pendorong proses sosial,
(51)
yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. Tanpa komunikasi, manusia akan tetap pada pola primitif tanpa organisasi sosial (Rivers et al., 2003:33).
Sebagian besar kegiatan komunikasi berlangsung dalam situasi komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal). Komunikasi antar pribadi mempunyai berbagai macam manfaat. Melalui komunikasi antar pribadi kita dapat mengenal diri kita sendiri dan orang lain, kita dapat mengetahui dunia luar, bisa menjalin hubungan yang lebih bermakna, bisa memperoleh hiburan dan menghibur orang lain dan sebagainya. Menurut Abadi (1996:4) Komunikasi interpersonal dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) komunikasi tatap muka (face to face communication) antar pribadi dan (2) komunikasi tatap muka forum (assabled). Komunikasi tatap muka antar pribadi melibatkan sekurang-kurangnya dua orang, sedangkan komunikasi tatap muka forum melibatkan banyak orang yang berhimpun di suatu tempat.
Devito (2011:258) menjelaskan efektivitas komunikasi interpersonal dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yaitu:
1) Keterbukaan (openness), ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain, keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan.
2) Empati (empathy), ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kacamata orang lain.
(52)
3) Sikap mendukung (supportiveness), artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka.
4) Sikap positif (positiveness), ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama.
5) Kesetaraan (equality), ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi.
Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Contohnya kegiatan percakapan tatap muka, percakapan melalui telepon, surat-menyurat pribadi fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat-sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator (Bungin, 2008:32).
Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem (2012:15), menyebutkan bahwa karakteristik komunikasi antar pribadi, yaitu:
1) Melibatkan paling sedikit dua orang. 2) Adanya umpan balik atau feedback. 3) Tidak harus tatap muka.
4) Tidak harus bertujuan.
5) Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.
6) Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata. 7) Dipengaruhi oleh konteks.
(53)
Hardjana (2003:90) dalam buku Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal menulis bahwa komunikasi interpersonal dengan masing-masing orang berbeda tingkat kedalaman komunikasinya, tingkat intensif dan tingkat ekstensifnya. Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang dinamis.
Fajar (2008:78) menyebutkan bahwa komunikasi antar pribadi dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai berikut:
1) Mengenal Diri Sendiri dan Orang Lain 2) Mengetahui Dunia Luar
3) Menciptakan dan Memelihara Hubungan Menjadi Bermakna 4) Mengubah Sikap dan Perilaku
5) Bermain dan Mencari Hiburan
Komunikasi merupakan pendorong proses sosial, yang ditentukan oleh akumulasi, pertukaran dan penyebaran pengetahuan. John Dewey dalam Rivers et al. (2003:33), mengatakan bahwa masyarakat manusia bertahan berkat adanya komunikasi. Dengan komunikasi, manusia melakukan berbagai penyesuaian diri yang diperlukan dan memenuhi berbagai kebutuhan dan tuntutan yang ada sehingga masyarakat manusia tidak tercerai-berai. Melalui komunikasi pula manusia mempertahankan institusi-institusi sosial berikut segenap nilai dan norma perilaku, tidak hanya dari hari ke hari, namun juga dari generasi ke generasi.
2.7. Fakta, Media Massa, Berita, Wartawan dan Khalayak Dilihat dari Paradigma Kontruksionis
Paradigma konstruksionis mempunyai penilaian sendiri dalam melihat fakta/peristiwa, media massa, wartawan dan berita.
(1)
10. Apakah Anda selalu pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya?
Jawab: Tergantung cita rasa kopinya, kenyamanan dan tempat parkirnya mudah atau tidak.
11. Sebagai wartawan, bagaimana Anda melihat fungsi warung kopi saat ini? Jawab: Adanya fasilitas free Wi-Fi sangat membantu tugas-tugas kami
sebagai wartawan.
12. Dalam kaitannya dengan tugas wartawan, bagaimana cara Anda mencari informasi di warung kopi?
Jawab: Narasumber mungkin saja kita temukan di warung kopi, tapi data yang akurat tetap ada di lapangan, jadi kita tetap harus terjun ke lapangan.
13. Apakah ada diantara topik-topik tersebut yang menginspirasi Anda untuk kemudian mengangkatnya sebagai sebuah berita di media?
Jawab: Ya, ada.
14. Bagaimana Anda menyeleksi informasi yang berkembang di warung kopi untuk diangkat menadi berita? Mengingat ada banyak sekali informasi yang berkembang di warung kopi?
Jawab: Tergantung sumber informasinya. Jika sumber informasinya adalah seseorang yang kredibel, dapat dipercaya dan mengetahui persis kejadian tersebut, maka kemungkinan besar informasi tersebut benar. Misalnya informasi yang datang dari mulut seorang Camat, yang tahu persis keadaan di wilayahnya, maka informasi tersebut dapat dipastikan mendekati kebenaran. Namun jika informasi datang dari seseorang di jalanan yang kita belum tahu asal-usulnya, bisa jadi informasi tersebut belum tentu benar.
15. Adakah informasi di warung kopi yang Anda angkat menjadi berita itu kemudian menjadi headline di media Anda?
Jawab: Ya, ada.
16. Apakah ada hambatan dan berbagai bentuk ancaman yang Anda alami dalam proses komunikasi dan pencarian informasi di warung kopi?
Jawab: Tidak ada.
17. Bagaimana Anda melihat wartawan dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers?
Jawab: Ya memang sudah seharusnya wartawan menjalankan tugasnya dengan tetap berpedoman pada Undang-Undang tersebut.
18. Bagaimana pendapat Anda tentang profesionalisme seorang wartawan? Jawab: Seorang wartawan harus mengutamakan profesional kerjanya.
(2)
19. Bagaimana pendapat Anda tentang kaitan antara profesi wartawan dan keberadaan mereka di warung-warung kopi dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers?
Jawab: Ya tidak masalah ya wartawan berkumpul dan bekerja di warung kopi.
20. Bagaimana wartawan menjalankan tugas dalam kaitannya dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)?
Jawab: ya tetap harus memegang teguh Kode Etik Jurnalistik sebagai wartawan. ada etika-etika yang harus dipedomani dalam menjalankan tugas.
21. Bagaimana pendapat Anda tentang warung kopi Aceh dan dalam kaitannya dengan nilai lokal masyarakat Aceh?
Jawab: Masyarakat Aceh sudah sejak dulu akrab dengan warung kopi. Kesehariannya tidak bisa lepas dari minum kopi di warung-warung kopi.
22. Apa keunikan warung kopi Aceh menurut Anda?
Jawab: Kita bisa duduk berjam-jam di warung kopi, santai, berlama-lama disana.
23. Apakah ada pengalaman menarik Anda yang terkait dengan warung kopi? Jawab: pengalaman menarik ketika kita bisa bertemu dengan siapa saja yang
kita butuhkan dan mereka ada di warung kopi. Mau ketemu dengan agen mobil ada, mau ketemu dengan pebisnis apa saja juga ada. 24. Bagaimana Anda menjalankan tugas-tugas kewartawanan dengan tetap
menjaga nilai lokal yang berlaku bagi masyarakat Aceh??
Jawab: Ya kita tetap harus memperhatikan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat Aceh. biasanya wartawan sudah memahami itu.
25. Bagaimanakah Prosedur Operasional Standar dari media tempat Anda bekerja?
Jawab: Bekerja sesuai aturan dan melakukan kegiatan peliputan sebagaimana ketentuan media tempat kita bekerja.
26. Bagaimana bentuk kerjasama yang dilakukan dalam media?
Jawab: Kami bekerja biasanya suka membagi kegiatan peliputan dengan sesama rekan wartawan dalam satu media, jadi ada yang pergi peliputan ke suatu tempat dan yang lainnya ke tempat yang lain, dengan koordinasi tentunya.
(3)
LAMPIRAN 5
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan 3 : Jeffry Tamara
Pekerjaan : Wartawan Harian Realitas
1. Bagaimana pandangan Anda tentang warung kopi Aceh pada masa dahulu dan sekarang?
Jawab: Semakin kesini semakin maju, bahkan terlihat perbedaan yang sangat jelas ketika melihat warung-warung kopi yang ada di kampung dan di daerah perkotaan. Tampak perbedaan dari segi suasana, cara penyajian dan pelayanannya.
2. Seberapa sering Anda ke warung kopi?
Jawab: Setiap hari, kadang ke warung kopi Ulee Kareng, kadang-kadang ke Corner Coffee.
3. Berapa lama Anda berada di warung kopi?
Jawab: Paling cepat 2 jam, paling lama bisa 4 sampai 5 jam. 4. Dengan siapa sajakah Anda ke warung kopi?
Jawab: Rekan wartawan dari berbagai media 5. Apa saja yang Anda lakukan di warung kopi?
Jawab: Minum kopi pastinya, duduk-duduk, bekerja, mengirim berita, memanfaatkan fasilitas internet gratis
6. Fasilitas apa saja yang Anda manfaatkan di warung kopi? Jawab: Internet gratis
7. Topik apa yang dominan Anda bicarakan di warung kopi? Jawab: Seputar peliputan, kerjaan
8. Menurut Anda, mengapa orang memilih warung kopi sebagai tempat untuk berkumpul?
Jawab: Suasananya asyik aja, nyaman
9. Apakah Anda memanfaatkan warung kopi untuk tujuan tertentu? Jawab: Iya, untuk bekerja dan bersantai
10. Apakah Anda selalu pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya? Jawab: Rata-rata iya.
(4)
11. Sebagai wartawan, bagaimana Anda melihat fungsi warung kopi saat ini? Jawab: Sudah bagus, meskipun masih ada beberapa warung kopi yang
fasilitasnya belum oke, tapi sejauh ini di warung kopi yang saya kunjungi sudah okelah.
12. Dalam kaitannya dengan tugas wartawan, bagaimana cara Anda mencari informasi di warung kopi?
Jawab: Pernah pada beberapa kesempatan saya janjian dengan narasumber misalnya di warung kopi. Warung kopi itu tempat berkumpulnya masyarakat dari berbagai kalangan. Jadi mudah untuk menemui siapa saja disana.
13. Apakah ada diantara topik-topik tersebut yang menginspirasi Anda untuk kemudian mengangkatnya sebagai sebuah berita di media?
Jawab: Pernah ada, biasanya topik pemilu, topik soal pendidikan
14. Bagaimana Anda menyeleksi informasi yang berkembang di warung kopi untuk diangkat menjadi berita? Mengingat ada banyak sekali informasi yang berkembang di warung kopi?
Jawab: Biasanya kita lihat dulu informasinya tentang apa. Seperti yang sudah saya katakan, ada topik-topik yang memang menarik dan bisa diangkat untuk menjadi berita maka kita angkat.
15. Adakah informasi di warung kopi yang Anda angkat menjadi berita itu kemudian menjadi headline di media Anda?
Jawab: Ya, ada. Misalnya tentang penyimpangan-penyimpangan yang terjadi semasa pemilu.
16. Apakah ada hambatan dan berbagai bentuk ancaman yang Anda alami dalam proses komunikasi dan pencarian informasi di warung kopi?
Jawab: Tidak ada.
17. Bagaimana Anda melihat wartawan dalam menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers?
Jawab: Wartawan bekerja memang dilindungi oleh hukum, jadi dimanapun ia bekerja maka tidak menjadi masalah, sekalipun di warung kopi. 18. Bagaimana pendapat Anda tentang profesionalisme seorang wartawan?
Jawab: Ya wartawan harus menjunjung tinggi profesionalismenya dalam bekerja.
19. Bagaimana pendapat Anda tentang kaitan antara profesi wartawan dan keberadaan mereka di warung-warung kopi dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers?
(5)
Jawab: Tiap hari harus dilakukan dan dipedomani. Jadi kita sebagai wartawan juga diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik, untuk membekali para wartawan.
21. Bagaimana pendapat Anda tentang warung kopi Aceh dan dalam kaitannya dengan nilai lokal masyarakat Aceh?
Jawab: Ya, pasti itu harus kita perhatikan, tidak ada masalah dengan itu. 22. Apa keunikan warung kopi Aceh menurut Anda?
Jawab: Cita rasa kopinya, fasilitasnya, dan kita bisa duduk berlama-lama disana.
23. Apakah ada pengalaman menarik Anda yang terkait dengan warung kopi? Jawab: Banyak ya, misalnya ketika kita bisa bertemu dengan beragam orang
dengan berbagai latar belakang, bisa membuka koneksi baru dan lain sebagainya, sangat menarik.
24. Bagaimanakah Prosedur Operasional Standar dari media tempat Anda bekerja?
Jawab: Aturan pasti ada ya, tapi tidak terlalu ketat dan kaku. Asal kita mampu menjalankan tugas dan pekerjaan sebagai wartawan ya sudah cukup memenuhi standar kerja dari media kita.
25. Bagaimana bentuk kerjasama yang dilakukan dalam media?
Jawab: Kami sesama rekan wartawan dari media yang sama sering berkoordinasi dalam melakukan peliputan, pemilihan peristiwa apa yang mau diliput, sehingga terjalin sebuah kerjasama yang baik dalam satu media.
(6)
BIODATA PENELITI
Nama Lengkap : Novitayani
Panggilan : Novi
Tempat/Tgl. Lahir : Lhokseumawe, 06 November 1982
Alamat (Medan) : Jl. Abdul Hakim, Perumahan Taman Kampus Indah No.8 Alamat (Aceh) : Jl. Kenari No.5, Uteun Bayi, Lhokseumawe, Aceh
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Lhokseumawe Golongan Darah : “O”
Hobi : Membaca, memasak, menonton film
Status : Menikah
e-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan:
1. Taman Indria (TK) Tamansiswa PT. Arun NGL Co. (Tamat Tahun 1989) 2. Taman Muda (SD) Tamansiswa PT. Arun NGL Co. (Tamat Tahun 1995) 3. Taman Dewasa (SMP) Tamansiswa PT. Arun NGL Co. (Tamat Tahun 1998) 4. Taman Madya (SMA) Tamansiswa PT. Arun NGL Co. (Tamat Tahun 2001) 5. Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi FISIP USU (Tamat Tahun 2005) 6. Magister Ilmu Komunikasi FISIP USU (Tahun 2012 - 2014)