pengunjung warung kopi sebagai “Campers”, yakni “orang-orang yang
berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang
bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Kadang-kadang mereka bisa datang sendiri ke
warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya
dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain.
5.2. Wartawan dan Profesi
Informasi-informasi yang didapat dari para narasumber di warung kopi kemudian ditelusuri dengan turun langsung ke lapangan untuk melihat situasi
dan kondisi yang terjadi, mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, dari berbagai sumber berita baik dari lapangan maupun dari pihak-pihak terkait
sebagai bentuk konfirmasi. Kegiatan mengumpulkan informasi sebanyak- banyaknya seperti ini bertujuan agar informasi yang didapatkan nantinya
berimbang, proporsional dan tidak berat sebelah. Untuk itu dibutuhkan sebuah konfirmasi dari pihak-pihak yang terkait dengan sebuah
peristiwakejadian tertentu. Hal ini tentunya sejalan dengan Kode Etik Jurnalistik KEJ Persatuan Wartawan Indonesia PWI Pasal 1 yang berbunyi
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk”. Disamping itu, kegiatan
mengumpulkan berita sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber yang ada ini akan menghasilkan berita yang objektif, bukan berita bohong dan tidak
Universitas Sumatera Utara
mengada-ada, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Pasal 4, yang berbunyi “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan
cabul”. Begitu banyaknya informasi yang berkembang di warung kopi selalu
menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Perbincangan bisa melibatkan hanya orang-orang tertentu dalam satu meja saja, namun bisa juga melibatkan
hampir seluruh pelanggan di warung kopi. Adakalanya topik perbincangan bergerak seputar permasalahan sosial kemasyarakatan biasa, namun di lain
waktu juga bisa membicarakan berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi baik di tengah-tengah masyarakat maupun menyoroti kinerja pemerintah.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa fasilitas free Wi-Fi yang tersedia di warung kopi merupakan perangkat vital bagi pekerjaan wartawan,
termasuk bagi ketiga informan. Dengan adanya fasilitas ini, para wartawan bisa mencari informasi, berhubungan dengan wartawan lainnya dalam jarak
jauh, mengirim berita baik ke biro-biro daerah maupun pusat dan lain sebagainya. Rutinitas kegiatan media sendiri juga seringkali dilakukan di
warung-warung kopi, mulai dari rapat harian, diskusi setelah kembali dari lapangan dan diskusi-diskusi ringan lainnya.
Dalam pembentukan dan penulisan berita, secara sadar atau tidak sadar akan melibatkan nilai-nilai tertentu yang dimiliki wartawan atau media,
sehingga mustahil berita merupakan pencerminan realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena adanya cara pandang yang
berbeda. Oleh karena itu, berita bersifat subjektif karena saat melihat realitas wartawan atau media melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
Universitas Sumatera Utara
Namun dalam pandangan konstruksionis, perbedaan antara realitas yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap kesalahan, tetapi suatu kewajaran
karena berita adalah produk jurnalistik bukan representasi dari realitas. Profesi profession adalah penghargaan atas karya etika profesi berarti
suatu cabang ilmu yang secara sistematis merefleksikan moral yang melekat pada suatu profesi. Etika profesi juga dipahami sebagai nilai-nilai dan asas
moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu dan wajib dilaksanakan oleh pemegang profesi itu. Di Indonesia, wartawan adalah
sebuah profesi dan menjadi wartawan adalah pilihan profesional. Bagaimana wartawan mendefinisikan pekerjaannya akan mempengaruhi isi media yang
ia produksi. Dalam hal ini sekali lagi peneliti tekankan bahwa peneliti tidak melihat lebih jauh perihal isi media yang diproduksi oleh wartawan, namun
lebih kepada interaksi mereka selama berada di warung kopi dan bagaimana mereka memaknai warung kopi ini dalam kaitannya dengan tugas mereka
sebagai wartawan. Salah seorang informan yakni Zainal Bakri melihat profesi wartawan
atau jurnalis sebagai seseorang yang bertugas dan bekerja mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikannya secara cepat
kepada khalayak. Profesi wartawan harus dapat mencari berita demi memenuhi kebutuhan khalayak akan informasi. Hal ini sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 6 huruf a, yang menyebutkan bahwa “Pers Nasional melaksanakan peranannya dalam
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui”. Jadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dikemas sedemikian rupa dengan mempertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
fakta-fakta yang ada dalam hal ini bukan berita bohong karena masyarakat mempunyai hak untuk memperoleh informasi yang benar.
Keterlibatan ketiga informan dalam sebuah organisasi pers, Zainal Bakri pada Alianji Jurnalis Independen AJI, Hasan Basri pada Komite
Wartawan Reformasi Indonesia KWRI dan Jeffry Tamara pada Persatuan Wartawan Indonesia PWI ini berguna untuk mengaktualisasikan dirinya
dalam profesi kewartawanan, sebagaimana disampaikan oleh Ershad, Srimulyani, H., Supriadi, D., 2012:9.
Posisi wartawan di warung-warung kopi dalam menjalankan tugasnya juga berfungsi sebagai kontrol sosial, sebagaimana disebutkan pada Pasal 3
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang berbunyi: “Pers
Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial”. Kegiatan investigatif penyelidikan dilakukan terhadap
isu-isu tertentu khususnya yang menyangkut dengan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Dengan memberikan laporan-laporan investigasi yang tajam, diharapkan publik dapat memperoleh data dan fakta yang bermanfaat, sehingga dapat
mengontrol situasi di tengah-tengah masyarakat. Perihal kaitan antara profesi wartawan dan keberadaan mereka di
warung-warung kopi dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, ketiga informan pada dasarnya berpendapat bahwa warung kopi telah
berhasil menjalankan fungsi sebagai tempat berkomunikasi dan memperoleh informasi, sebagai sarana penghubung bagi para jurnalis dengan masyarakat,
mempersempit ruang untuk bertemu bagi masyarakat untuk menyampaikan
Universitas Sumatera Utara
informasi maupun keluhan-keluhannya kepada para jurnalis. Pandangan ketiga informan ini sejalan dengan Pasal 15 Ayat 2 huruf e Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang berbunyi, “Dewan pers
melaksanakan fungsi-fungsi diantaranya mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah”. Jadi meskipun di sebuah tempat seperti
warung kopi, fungsi tersebut tetap bisa berjalan. Dengan melihat kenyataan di lapangan bahwa warung kopi as a place
berfungsi sebagai tempat melepas penat setelah bekerja seharian, tempat bersantai dan mencari hiburan bagi wartawan, khususnya pada fokus
penelitian ini. Hal ini tampak ketika dari hasil wawancara ketiga informan mengatakan bahwa mereka mengunjungi warung-warung kopi hampir setiap
harinya dan daam setiap kunjungannya tersebut bisa menghabiskan waktu hingga paling lama 5 jam. Bahkan di setiap ada waktu luang, mereka
memanfaatkan waktu untuk mengunjungi warung kopi ini demi memenuhi kebutuhan mereka akan konsumsi kopi, disamping untuk bersantai dan
mencari hiburan. Di samping itu, temuan di lapangan menunjukkan bahwa warung kopi
as a public sphere juga berfungsi sebagai ruang publik di tengah-tengah masyarakat, terlebih lagi dengan keberadaan para wartawan disana. Para
wartawan, dengan kompetensi dan media yang mereka miliki masing-masing telah semakin membuka peluang berdiskusi di tengah-tengah anggota
masyarakat lainnya yang secara kebetulan berkunjung ke warung kopi untuk kemudian terlibat dalam sebuah diskusi dan perbincangan seputar
permasalahan sosial kemasyarakatan maupun permasalahan-permasalahan
Universitas Sumatera Utara
lainnya. Dari hasil wawancara dengan ketiga informan, didapatkan bahwa mereka pernah mendiskusikan perihal pemilu dan penyelewengan yang
terjadi terkait pemilu, tentang pendidikan dan penyalahgunaan wewenang maupun kekuasaan. Diskusi ini mereka lakukan secara bebas dan terbuka,
mengalir apa adanya, bahkan melibatkan hampir seluruh pengunjung warung kopi. Selain itu, topik-topik yang diangkat media baik televisi maupun koran
juga seringkali dibahas secara terbuka di warung kopi. Disini warung kopi dengan segala dinamikanya, telah membuka ruang
bagi munculnya ruang-ruang publik di tengah-tengah masyarakat, khususnya di Kota Lhokseumawe. Akses terhadap warung kopi yang
terbuka, membuat siapa saja bisa dengan mudah menemuinya, memasukinya bahkan terlibat dalam sebuah pembicaraan di dalamnya, tanpa
ada batasan dari pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini, semua pengunjung warung kopi bebas berbicara. Tidak ada satupun kontrol dari pihak tertentu
yang mendominasi apalagi sampai menekan. Namun demikian, menurut pengamatan peneliti, ada hal-hal yang tidak
didiskusikan secara bebas dan terbuka, misalnya pada beberapa kesempatan peneliti masih melihat sekumpulan wartawan pada sebuah meja berdiskusi
secara serius yang hanya melibatkan rekan-rekan satu meja mereka saja. Ada hal-
hal yang masih menjadi “rahasia” dikarenakan belum mendapat konfirmasi yang jelas dan pasti atau masih berupa isu, maka para wartawan
tidak serta-merta mendiskusikannya secara terbuka. Kompetensi yang dimiliki oleh para wartawan yang berada di warung kopi ini menjadi sangat
penting ketika diskusi-diskusi tersebut berlangsung. Pengetahuan, wawasan
Universitas Sumatera Utara
dan pengalaman yang dimilkinya dapat menjadi media konfirmasi dan pembelajaran bagi pengunjung lainnya. Hal ini dikarenakan oleh tidak semua
pengunjung memiliki pengetahuan yang memadai tentang suatu hal maupun permasalahan yang sedang berlangsung. Rutinitas para wartawan yang sering
bersentuhan langsung dengan berbagai pihak secara tidak langsung dapat memberikan gambaran terhadap sebuah permasalahan, bagi pengunjung
lainnya. Teuku Kemal Fasya sebagai informan kunci memiliki pendapat yang
serupa, yang mengatakan bahwa wartawan adalah kelas menengah, sama seperti aktivis LSM dan para akademisi, yang dapat membantu proses
transmisi ide, gagasan dan masukan dari grassroot akar rumput kepada kelas elit dalam hal ini penguasa. Meskipun ada begitu banyak profesi lainnya
yang juga bisa menjalankan fungsi ini, namun tampaknya belum begitu berdenyut. Sampai saat ini, profesi wartawanlah yang paling bisa diandalkan
untuk menjalankan fungsi ini sebagai bentuk demokratisasi publik. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers Pasal 2 yang berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah
satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”.
Selama melakukan kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas wartawan dalam mencari informasi di warung kopi, ketiga informan
mengatakan bahwa tidak pernah sekalipun mereka menerima berbagai bentuk ancaman maupun intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Bentuk ancaman
maupun intimidasi bahkan lebih sering didapat di lapangan. Hal ini turut
Universitas Sumatera Utara
mendukung kelancaran proses pencarian, pengumpulan dan pembuatan berita di lapangan.
Bagi ketiga informan, tanggung jawab terhadap Kode Etik Jurnalistik KEJ Persatuan Wartawan Indonesia PWI dalam kaitannya dengan
menjalankan tugas sebagai wartawan dan “berkantor” di warung kopi sudah semestinya dipedomani, meskipun pada kenyataannya bentuk implementasi
dari Kode Etik Jurnalistik KEJ ini tidak terlalu kelihatan di lapangan. Bagi mereka, selagi seorang wartawan bekerja dalam batas-batas wajar dan masih
dalam koridor ketentuan yang berlaku, maka dimanapun ia berkantor, di warung kopi sekalipun atau di tempat-tempat lain, maka itu berarti bahwa ia
sudah menjalankan prinsip-prinsip Kode Etik Jurnalistik KEJ. Sekalipun berkantor di warung kopi, bagi ketiga informan hal ini tidak akan
mempengaruhi produktifitasnya dalam bekerja. Di satu sisi, menurut Zainal Bakri, ia tidak memungkiri bahwa masih ada wartawan-wartawan yang
berperilaku menyimpang dari Kode Etik Jurnalistik KEJ tersebut. Warung kopi Aceh telah mengalami perkembangan dari waktu ke
waktu. Ada perbedaan antara warung kopi Aceh dulu dengan sekarang, dimana dulu orang-orang memanfaatkan meunasah mushalla sebagai tempat
rapat informal di masyarakat, namun sekarang warung kopi telah menyediakan hampir semua kebutuhan bermusyawarah, seperti suasana yang
nyaman, fasilitas free Wi-Fi, ruang rapat dan lain sebagainya. Perkembangan warung-warung kopi di Aceh, tak lepas dari pengaruh nilai yang ditularkan
dari berbagai negara maju di dunia. Negara-negara maju telah menularkan
Universitas Sumatera Utara
konsep warung kopi kelas modern yang kemudian menimbulkan kebiasaan mengunjungi warung kopi sebagai sebuah gaya hidup lifestyle.
Bagi ketiga informan, ada perbedaan yang jelas dapat dirasakan jika kita berkunjung ke warung kopi di Aceh, dimana kita bisa duduk berjam-jam
disana, berbincang dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan. Di warung kopi Aceh, siapapun bebas duduk berjam-jam, bahkan ketika ramai
pengunjung lain yang ingin masuk dan melihat tak ada lagi tempat yang tersedia, maka mereka akan beranjak pergi mencari warung kopi lain. Hal
inilah yang menjadi salah satu keunikan dari warung-warung kopi khas Aceh.
Dengan adanya nilai-nilai lokal yang berlaku di masyarakat Aceh, ada kecenderungan seperti adanya perasaan malu, jika pada jam-jam sholat tiba
kita masih duduk-duduk di warung kopi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan nilai lokal masyarakat Aceh yang masih kental dengan nilai-nilai Islami
dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam menjalankan tugas-tugas kewartawanan, disamping berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik KEJ Persatuan Wartawan Indonesia PWI, penting kiranya bagi
seorang wartawan untuk turut memperhatikan nilai lokal yang berlaku pada masyarakat sekitarnya. Pada penelitian ini, ketiga informan pun melihat
pentingnya memperhatikan nilai-nilai lokal dan karakteristik masyarakat Aceh itu sendiri. Dengan memahami karakter mereka dan tetap menjaga nilai-
nilai yang berlaku di dalamnya, maka mereka akan menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi wartawan. Karakteristik masyarakat Aceh yang senang
diajak berdiskusi dan bertukar pikiran, kadang-kadang sering terbentur
Universitas Sumatera Utara
dengan sifat mereka yang sedikit tertutup dan sulit membuka diri, mudah curiga terhadap orang baru dan menurut salah seorang informan yaitu Zainal
Bakri adalah hal yang wajar sebagai akibat dari tekanan konflik berkepanjangan di masa lalu.
Menjalankan kegiatan kewartawanan dengan tetap menjaga nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sekitar ini sejalan dengan apa yang disampaikan
pada Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yang berbunyi:
“Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Jadi, pers nasional dalam hal ini melalui para wartawannya dalam memberitakan sebuah peristiwa dan
opini, harus dapat menghormati norma-norma maupun nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat sekitarnya.
Seiring perkembangannya, warung kopi Aceh pun mengalami perubahan. Warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk minum kopi,
bersantai, melepas penat setelah seharian bekerja, namun lebih daripada itu, warung kopi telah menjelma menjadi sebuah ruang publik, dimana
masyarakat bisa berdiskusi tentang persoalan kemasyarakatan, wartawan bisa bertemu dengan narasumbernya membahas persoalan tertentu yang berkaitan
dengan kepentingan publik dan kritikan terhadap penguasa pemerintah, misalnya pada sebuah kesempatan Jeffry Tamara pernah mengatakan bahwa
informasi mengenai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi semasa pemilu juga dimuat sebagai berita di media. Seperti apa yang disampaikan
oleh Antropolog, Teuku Kemal Fasya bahwa warung kopi kini mencakup
Universitas Sumatera Utara
sebagai tempat untuk berkomunikasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan masyarakat terhadap sebuah ruang publik yang baru.
5.3. Wartawan dan Organisasi Media