jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi
wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.
2.3. Teori Interaksionisme Simbolik
Pendekatan Interaksionisme Simbolik oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer berasumsi bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh
penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Penafsiran
bukanlah tindakan bebas dan bukan pula ditentukan oleh kekuatan manusia atau bukan. Melalui interaksi seseorang membentuk pengertian. Orang
dalam situasi tertentu sering mengembangkan definisi bersama atau perspektif bersama dalam bahasa interaksi simbolik karena mereka secara
teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama, masalah dan latar belakang, tetapi kesepakatan tidak merupakan keharusan Moleong,
2006:20. Para ahli perspektif interaksionisme simbolik melihat bahwa individu
adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Afdjani dan Soemirat 2010:59
menyebutkan bahwa: “Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda- tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang
digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata pesan verbal,
perilaku nonverbal dan objek yang disepakati bersama.
”
Universitas Sumatera Utara
Sunarto 2013:54 melalui tulisannya menyatakan bahwa aspek ontologis Ilmu Komunikasi tidak hanya tanda atau simbol saja, tapi juga
makna yang muncul dalam proses transaksi diantara para partisipan pengguna simbol tesebut untuk memuaskan tujuan-tujuan mereka.
Interaksionisme Simbolik, berfokus pada cara-cara manusia membentuk makna dan susunan dalam masyarakat melalui percakapan. Barbara Ballis
Lal dalam Littlejohn dan Foss 2011:231 meringkaskan dasar-dasar pemikiran gerakan ini:
a. Manusia membuat keputusan dan bertindak sesuai dengan
pemahaman subjektif mereka terhadap situasi ketika mereka menemukan diri mereka.
b. Kehidupan sosial terdiri dari proses-proses interaksi daripada
susunan, sehingga terus berubah. c.
Manusia memahami pengalaman mereka melalui makna-makna yang ditemukan dalam simbol-simbol dari kelompok utama
mereka dan bahasa merupakan bagian penting dalam kehidupan sosial.
d. Dunia terbentuk dari objek-objek sosial yang memiliki nama dan
makna yang ditentukan secara sosial. e.
Tindakan manusia didasarkan pada penafsiran mereka, dimana objek dan tindakan yang berhubungan dalam situasi yang
dipertimbangkan dan diartikan. f.
Diri seseorang merupakan sebuah objek yang signifikan dan layaknya semua objek sosial, dikenalkan melalui interaksi sosial
dengan orang lain.
Masyarakat society atau kehidupan kelompok, terdiri atas perilaku- perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerjasama manusia mengharuskan
kita untuk memahami maksud orang lain yang juga mengharuskan kita mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi, kerjasama terdiri
dari “membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya dengan cara yang tepat Littlejohn dan Foss, 2011:233. Teori Interaksi
Simbolik ini memiliki pengaruh yang sangat penting dalam tradisi
Universitas Sumatera Utara
sosiokultural karena teori ini berangkat dari ide bahwa struktur sosial dan makna diciptakan dan dipelihara dalam interaksi sosial Morissan dan
Wardhany, 2009:39. Bagian lainnya yang penting dari Teori Interaksionisme Simbolik ialah
konstrak atau definisi tentang diri. Diri tidak dilihat sebagai yang berada dalam individu seperti “aku” atau kebutuhan yang teratur, motivasi dan
norma serta nilai dari dalam. Diri adalah definisi yang diciptakan orang melalui interaksi dengan yang lainnya di tempat ia berada. Dalam
mengkonstrak atau mendefinisikan “aku”, manusia mencoba melihat dirinya sebagai orang lain, melihatnya dengan jalan menafsirkan tindakan dan isyarat
yang diarahkan kepada mereka dan dengan jalan menempatkan dirinya dalam peranan orang lain. Jadi, diri itu juga merupakan konstrak sosial, yaitu hasil
persepsi seseorang terhadap dirinya dan kemudian mengembangkan definisi melalui proses interaksi tersebut Moleong, 2006:22.
2.4. Fenomenologi