Wartawan dan Warung Kopi

BAB V PEMBAHASAN

Dalam melakukan analisis data dan pembahasan, peneliti membagi lingkup penelitian menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah wartawan dan warung kopi, dimana di dalamnya terdapat aspek-aspek kajian yang ingin didalami berupa kegiatan wartawan dalam mencari berita news hunting, mengumpulkan berita news gathering dan membuat berita news making khususnya dalam konteks warung kopi. Bagian kedua adalah wartawan dan profesi, dimana di dalamnya terdapat aspek-aspek kajian yang ingin didalami berupa implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam hubungannya dengan kegiatan wartawan di warung kopi, Kode Etik Jurnalistik KEJ Persatuan Wartawan Indonesia PWI dan nilai lokal masyarakat Aceh. Bagian ketiga adalah wartawan dan organisasi media, dimana didalamnya membahas perihal Standard Operating Procedures SOP atau Prosedur Operasi Standar dari organisasi media. Kesemua bagian ini membahas profesi wartawan dalam kaitannya dengan warung kopi.

5.1. Wartawan dan Warung Kopi

Wartawan atau jurnalis merupakan orang yang bertugas atau bekerja untuk mencari, mengumpulkan, memilih, mengolah berita dan menyajikannya secara cepat kepada khalayak luas yang dapat dilakukan melalui media cetak atau media elektronik. Menurut pandangan konstruksionis, wartawan bukan hanya melaporkan fakta, memberitakan atau mentransfer apa yang dilihatnya di lapangan, melainkan wartawan juga 121 Universitas Sumatera Utara mendefinisikan peristiwa dan secara aktif membentuknya. Setiap berita yang disajikan dalam sebuah media tidak terlepas dari peran serta dari jurnalis yang melakukan proses pengumpulan berita. Dari temuan di lapangan tampak bahwa proses wartawan mencari berita bisa dilakukan di warung kopi, baik itu dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di warung kopi seperti televisi, koran, percakapan dari mulut ke mulut dengan sesama pengunjung warung kopi maupun rekan wartawan sampai dengan menggunakan fasilitas free Wi-Fi yang tersedia. Dari jawaban ketiga informan, jelas terlihat bahwa ketiganya sangat bergantung kepada fasilitas free Wi-Fi yang tersedia di warung kopi, karena fasilitas tersebut merupakan perangkat vital sebagai pendukung kerja mereka. Disini tampak bahwa sumber-sumber informasi bagi seorang wartawan bisa berasal dari mana saja selama berada di warung kopi. Kegiatan mengumpulkan berita selanjutnya dilakukan dengan turun ke lapangan untuk melihat kondisi dan fakta yang sebenarnya terjadi, sementara kegiatan membuat berita sangat tergantung dengan nilai berita yang dimiliki oleh sebuah informasi dan tingkat kemudahan dalam mengolahnya. Topik- topik yang diangkat juga memiliki nilai tersendiri bagi sebuah berita. Menurut Eriyanto 2002:28, dalam melakukan tugasnya, wartawan sebetulnya bukan hanya mengambil realitas yang sebenarnya, tapi juga membentuk berita: ia menguraikan, mengurutkan, mengonstruksi peristiwa demi peristiwa, sumber demi sumber, serta membentuk citra dan berita tertentu. Saat meliput satu peristiwa dan menuliskannya, ia secara sengaja atau tidak menggunakan dimensi perseptualnya. Dengan begitu realitas yang Universitas Sumatera Utara berserakan dipahami dan ditulis dengan melibatkan konsepsi yang mau tidak mau sulit dilepaskan dari unsur subjektivitas. Apa yang kemudian tersaji dan muncul sebagai berita, pada dasarnya adalah hasil olahan dan konstruksi wartawan. Sebagai konsekuensinya, realitas yang dihasilkan bersifat subjektif. Pada penelitian ini peneliti tidak meneliti lebih jauh perihal berita yang dibentuk oleh wartawan berdasarkan konstruksi perseptualnya, namun lebih kepada keinginan peneliti untuk melihat bagaimana profesi wartawan yang berada di warung-warung kopi ini melihat atau memaknai warung kopi dalam konsep mereka secara pribadi sejalan dengan tugas dan fungsi mereka sebagai insan pers. Ada tiga pengaruh penting atas isi media yang bersumber pada faktor personalitas wartawan, sebagaimana ditulis oleh Shoemaker dalam Yasak 2010, yakni latar belakang pendidikan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya serta orientasi profesional atau tujuan ketika seseorang memilih pekerjaannya sebagai wartawan. Hal ini sejalan dengan temuan di lapangan sewaktu peneliti melakukan penelitian dan wawancara mendalam terhadap ketiga informan. Latar belakang pendidikan, kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh ketiga informan serta orientasi profesional atau tujuan ketika informan memutuskan untuk menjadi wartawan di sebuah media turut mempengaruhinya dalam menulis sebuah berita. Cara pandang informan dalam memilih informasi mana yang paling layak diangkat untuk menjadi sebuah berita juga dipengaruhi oleh faktor personalitas yang dimilikinya. Universitas Sumatera Utara Realita di lapangan pada dasarnya adalah sebuah kejadian yang ada, berupa fakta, namun dikemas melalui pandangan subjektif para informan. Latar belakang pribadi seperti pendidikan, pengetahuan dan pengalaman informan di bidang jurnalistik menjadi bagian dari faktor personalitas wartawan yang memiliki pengaruh penting terhadap isi media. Latar belakang pribadi inilah yang kemudian disebut sebagai konteks sosial wartawan sebagaimana disebutkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Teori Konstruksi Sosialnya. Dalam perspektif Teori Komunikasi Antar Pribadi, agar pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi dapat diterima dan dimengerti oleh komunikan lawan bicara, maka efektivitas komunikasi antar pribadi dapat dinilai dalam lima kualitas umum yang dipertimbangkan, yakni keterbukaan openness, empati empathy, sikap mendukung supportiveness, sikap positif positiveness dan kesetaraan equality. Dari hasil pengamatan dan wawancara mendalam terhadap ketiga informan yakni Zainal Bakri, Hasan Basri dan Jeffry Tamara tampak dengan jelas bahwa proses komunikasi yang dilakukan oleh ketiganya selama berada di warung kopi baik itu dengan sesama rekan wartawan maupun dengan pengunjung warung kopi lainnya dan narasumber mereka, termasuk dalam konteks komunikasi antar pribadi baik yang sifatnya tatap muka face to face communication antar pribadi dengan rekan wartawan, pengunjung warung kopi, pemilik warung kopi, maupun tatap muka forum dengan sejumlah besar pengunjung warung kopi lainnya. Universitas Sumatera Utara Adanya keterbukaan openness, tampak pada sikap ketiga informan yang dapat menerima masukan dari orang lain serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain dalam sebuah diskusi di warung kopi misalnya atau ketika mewawancarai narasumber mereka di warung kopi. Dengan keterbukaan, maka komunikasi antar pribadi dapat berlangsung dengan adil, transparan, dua arah dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkomunikasi. Kejadian yang mendukung poin ini misalnya ketika pada beberapa kesempatan Zainal Bakri misalnya bertemu dengan Kepala Desa yang baru saja menjumpai Walikota atau Bupati di kantor mereka dan kebetulan singgah di warung kopi, kemudian karena mengetahui bahwa Zainal adalah seorang wartawan merekapun menyampaikan keluhan perihal situasi di desa mereka. Komunikasi Zainal dengan dengan sesama rekan wartawan juga termasuk ke dalam konteks antar pribadi. Tidak hanya dengan narasumber mereka, namun proses komunikasi antar sesama pengunjung di warung kopi juga termasuk ke dalam konteks komunikasi antar pribadi. Adanya sikap empati empathy, yakni kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain dan dapat memahami suatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kaca mata orang lain. Hal ini tampak pada sikap Zainal Bakri yang menanggapi keluhan dari Kepala Desa perihal persoalan di desa mereka, turut merasakan bahwa apa yang disampaikan adalah masalah dan tanggung jawabnya juga sebagai bagian dari sebuah masyarakat yang besar. Universitas Sumatera Utara Sikap mendukung supportiveness berarti masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Sikap positif positiveness ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku, antara lain: menghargai orang lain, berpikiran positif terhadap orang lain, tidak menaruh curiga secara berlebihan, meyakini pentingnya orang lain, memberikan pujian dan penghargaan serta komitmen menjalin kerjasama. Kesetaraan equality menggambarkan sebuah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga dan saling memerlukan, dengan perilaku: menempatkan diri setara dengan orang lain, menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda, mengakui pentingnya kehadiran orang lain, tidak memaksa kehendak, komunikasi dua arah, saling memerlukan, suasana komunikasi akrab dan nyaman. Kelima kualitas umum ini terdapat dalam konteks komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh ketiga informan dengan sesama rekan wartawan, dengan Kepala Desa yang berkunjung ke warung kopi, dengan pelayan warung kopi dan dengan pengunjung warung kopi lainnya. Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan, terlihat bahwa proses komunikasi dan interaksi yang dilakukan oleh ketiga informan termasuk ke dalam konteks komunikasi antar pribadi, karena menggambarkan karakteristik sebagaimana yang disebutkan oleh Richard L. Weaver dalam Budyatna dan Ganiem 2012:15, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1 Melibatkan paling sedikit dua orang; antara ketiga informan dengan rekan kerja sesama wartawan, dengan pengunjung lain, maupun dengan Kepala Desa yang berkomunikasi dengannya maupun dengan narasumber. 2 Adanya umpan balik atau feedback; sangat jelas bahwa ketiga informan dalam komunikasi interaksinya mendapatkan umpan balik atau feedback secara langsung dan seketika, karena berhadap-hadapan. 3 Tidak harus tatap muka; kadang-kadang ketiga informan juga melakukan komunikasi antar pribadi yang sifatnya tidak tatap muka, misalnya melalui internet secara online di warung kopi dengan rekan-rekan media dalam jarak jauh. 4 Tidak harus bertujuan; dalam hal ini adakalanya komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh ketiga informan di warung kopi kadang-kadang memang tidak bertujuan khusus, hanya sekedar berkomunikasi untuk menjalin hubungan sosial saja atau sekedar mencari hiburan. 5 Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect; misalnya saja dengan adanya komunikasi antar pribadi yang dilakukan dapat memberikan rasa nyaman, tenang dan memberikan kepuasan tersendiri bagi ketiga informan. 6 Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata; komunikasi antar pribadi dapat juga menggunakan isyarat, senyuman, anggukan, gelengan kepala, gestur bahasa tubuh dan ekspresi wajah. 7 Dipengaruhi oleh konteks; komunikasi antar pribadi dipengaruhi oleh konteks dalam hal ini konteks jasmaniah, konteks psikologis dan konteks kultural misalnya. Jadi keadaan, pikiran dan budaya yang dipegang oleh informan Universitas Sumatera Utara juga dapat mempengaruhi komunikasi antar pribadi yang dilakukannya di warung kopi. Adapun kaitannya dengan tugas seorang wartawan dalam mencari, mengumpulkan dan membuat berita, warung kopi telah menjadi sebuah sarana berdiskusi dan berkomunikasi yang nyaman dan memadai bagi ketiga informan. Beragam masalah yang ditemui di lapangan, kemudian didiskusikan di warung kopi, misalnya soal angle, karena pada dasarnya informasi yang didapat di lapangan pada umumnya sama, maka media yang berbeda baik cetak maupun elektronik kemudian mendiskusikan bagaimana mengemasnya secara berbeda pula. Di warung kopi ini juga para wartawan bisa bertemu masyarakat dari latar belakang yang berbeda, yang terkadang kemudian bisa menjadi salah satu narasumber baginya. Keberadaan kalangan tertentu di warung-warung kopi tertentu juga mempermudah wartawan untuk menemui orang yang dibutuhkannya sebagai narasumber. Dari hasil penelitian, maka peneliti dapat menginterpretasikan bahwa motif ketiga informan sebagai wartawan mengunjungi warung kopi turut dipengaruhi oleh kognisi atau pengetahuannya tentang makna warung kopi. Motif Zainal Bakri, Hasan Basri dan Jeffry Tamara mengunjungi warung kopi misalnya dapat dilihat dari apa yang disebut Alfred Schutz melalui perspektif fenomenologinya sebagai because motives motif karena dan in order motives motif untuk. Motif “karena” adalah karena Zainal Bakri sebagai wartawan dari media televisi misalnya, tidak memiliki kantor, sehingga dipilihlah warung kopi sebagai tempat untuk berkantor. Sedangkan motif “untuk” adalah untuk bekerja, untuk bersantai dan untuk menikmati kopi. Hal Universitas Sumatera Utara ini senada dengan pendapat Saiful Bahri, seorang wartawan yang juga Ketua Aliansi Jurnalis Indpenden AJI Kota Lhokseumawe, perwakilan dari organisasi media. Sementara Hasan Basri dan Jeffry Tamara sebagai wartawan media cetak memilih warung kopi sebagai tempat bekerja bukan karena tidak memiliki kantor, tetapi lebih kepada suasana dan fasilitas yang ditawarkan di warung kopi. Motif seseorang mengunjungi warung kopi juga didukung oleh pendapat Teuku Kemal Fasya, seorang Antropolog dari Universitas Negeri Malikussaleh Unimal Lhokseumawe. Menurutnya, perkembangan warung kopi ini sangat dipengaruhi oleh adanya kebutuhan masyarakat terhadap ruang publik yang baru, selain ruang publik tradisional dan ruang publik kegiatan sosial. Untuk itu masyarakat kemudian berupaya memperluas ruang- ruang publik ini. Ruang-ruang publik lama dengan segmentasi yang sangat terbatas dan fasilitas seadanya dirasa belum cukup memenuhi kebutuhan masyarakat di zaman serba modern seperti saat ini. Di beberapa daerah di Aceh bahkan bermunculan warung-warung kopi favorit dengan segmentasi bagi kalangan tertentu, seperti kontraktor, polisiintel, aktivis LSM, mantan politikus, aktivis mahasiswa dan lain sebagainya. Jika dilihat melalui perspektif Teori Interaksionisme Simbolik, bahwa pengalaman manusia ditengahi oleh penafsiran. Objek, orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan untuk mereka. Artinya, melalui interaksi maka seseorang membentuk sebuah pengertian. Dalam hal ini, melalui interaksi di warung kopi, ketiga informan membentuk penafsiran mereka tentang realitas warung Universitas Sumatera Utara kopi. Mereka yang dalam situasi tertentu, secara teratur berhubungan dan mengalami pengalaman bersama seringkali mengembangkan definisi secara bersama-sama pula. Jadi, orang-orang yang berada di warung kopi, berinteraksi di dalamnya, menikmati fasilitas dan pelayanan yang sama, cenderung menghasilkan pengertian yang sama pula terhadap warung kopi. Demikian pula halnya dengan ketiga informan yang ditemui peneliti di lapangan. Jawaban-jawaban yang mereka berikan cenderung menggambarkan suatu keadaan yang nyaris serupa dan memiliki pendapat yang tak jauh berbeda satu sama lain. Prinsip-prinsip fenomenologi melihat bahwa keberadaan dan pengalaman peneliti di warung kopi dalam memaknai situasi dan peristiwa selama berada di warung kopi untuk kemudian menginterpretasikan maknanya akan terus berubah antara pengalaman dengan makna yang diberikan kepada setiap pengalaman baru. Dari temuan penelitian, peneliti menginterpretasikan bahwa ketiga informan memiliki konsep tersendiri mengenai warung kopi tentunya sesuai dengan pengalaman mereka masing- masing. Dalam kaitannya dengan fasilitas free Wi-Fi yang tersedia di warung kopi ini, maka kita juga dapat mengacu pada kajian terdahulu oleh Neeti Gupta dan Keith N. Hampton yang berjudul “Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” yang menemukan bahwa tren sosial berkunjung ke warung-warung kopi dan memanfaatkan fasilitas internet disana, bagi sebagian orang berdampak pada aktivitas interpersonal dan jaringan sosial mereka serta bagi sebagian orang lainnya justru turut memberi Universitas Sumatera Utara andil bagi munculnya nilai privatisme, yakni kecenderungan dimana orang- orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang- ruang publik atau tempat-tempat umum. Hal berbeda kemudian menjadi temuan dalam penelitian ini, dimana peneliti justru menemukan hal sebaliknya. Perkembangan tren berkunjung ke warung kopi telah mengikis nilai privatisme tersebut, dimana orang-orang justru lebih senang menghabiskan waktunya untuk berdiskusi di warung kopi daripada di rumah, seperti yang dilakukan oleh ketiga informan dengan rekan-rekan wartawan lainnya. Jadi, para informan disini melihat warung kopi sebagai satu paket, dimana selain menyediakan cita rasa kopi yang nikmat, juga fasilitas yang memadai serta hubungan sosial yang bisa terjalin dengan baik. Ketika Neeti Gupta dan Keith N. Hampton membagi pelanggan warung kopi ke dalam dua kategori, yakni “True Mobile” dan “Place Maker”. Kategori “True Mobile” diperuntukkan bagi mereka yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya dan biasanya jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang duduk dengannya, sedangkan kategori “Place Maker” adalah kelompok mereka yang pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang- orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai pengikat hubungan sosial mereka saja. Universitas Sumatera Utara Dari hasil penelitian, maka peneliti melihat bahwa ketiga informan termasuk ke dalam kedua kategori tersebut, atau bisa dikatakan merupakan kombinasi diantara keduanya, baik itu “True Mobile” maupun “Place Maker”. Hal ini dikarenakan ketiga informan adalah orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi dan memanfaatkannya sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya, namun sedikit bertentangan dengan pernyataan bahwa kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali dengan rekan sekerja yang duduk dengannya. Pada kenyataannya ketiga informan justru sangat sering terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya. Pada waktu-waktu tertentu, ketiga informan juga berkunjung ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang, datang ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi tatap muka dengan orang-orang di sekelilingnya. Jadi mereka bisa tetap memanfaatkan fasilitas internet untuk bekerja ataupun untuk kebutuhan lainnya sekaligus tetap menjaga interaksi dan hubungan sosial dengan sesama pengunjung lainnya. Kebiasaan informan Zainal Bakri yang datang ke warung kopi untuk sekedar membaca koran, minum kopi maupun bertemu dan berdiskusi dengan rekan-rekannya sampai dengan melakukan rutinitas pekerjaan sebagai wartawan turut didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul “Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of Coffee Shop Conventions” yang menyebut para Universitas Sumatera Utara pengunjung warung kopi sebagai “Campers”, yakni “orang-orang yang berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Kadang-kadang mereka bisa datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain.

5.2. Wartawan dan Profesi