Penelitian Sejenis Terdahulu KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Martin Hammersley dalam West dan Turner 2009:75, mendukung adanya realisme yang tidak kentara yang menyatakan bahwa peneliti “memonitor berbagai asumsi dan inferensinya berdasarkan penilaian mereka”. Pada realisme yang tidak kentara ini Hammersley berpendapat bahwa penelitian dapat menemukan cara untuk menjadi cukup objektif. Dalam tradisi ini, peneliti percaya bahwa nilai-nilai sangat relevan dalam mengkaji komunikasi dan bahwa peneliti harus waspada terhadap nilai pribadinya dan ia harus menyatakannya secara jelas kepada pembacanya, karena niai-nilai akan secara alami masuk ke dalam penelitian. Peneliti- peneliti pada tradisi ini tidak terlalu mementingkan kontrol dan kemampuan untuk melakukan generalisasi ke banyak orang, melainkan mereka lebih tertarik untuk memberikan penjelasan yang kaya mengenai individu yang mereka teliti.

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Beberapa penelitian sejenis terdahulu juga pernah meneliti mengenai beberapa topik yang turut menjadi kajian dalam penelitian ini, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan referensi bagi peneliti. 1 Penelitian yang dilakukan oleh Mark S. Rosenbaum dengan judul “Exploring the Social Supportive Role of Third Places in Consumer’s Lives”, Illinois University Tahun 2006 menggunakan metodologi grounded theory. Penelitian ini menggambarkan bagaimana dan mengapa “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar menjadi bermakna dalam kehidupan para pelanggannya. Hasil penelitian menunjukkan Universitas Sumatera Utara bahwa beberapa pelanggan mendatangi kedai-kedai kopi dan bar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka, tetapi juga kebutuhan mereka akan persahabatan yang dapat memberikan dukungan secara emosional. Kebutuhan-kebutuhan seperti ini lazimnya hanya berlaku pada mereka dengan usia tua, dimana sering mengalami kerenggangan pada hubungan mereka. Oleh karena itu, para pelanggan bisa berpaling kepada sebuah “persahabatan komersial” mereka di “tempat ketiga” seperti kedai kopi dan bar untuk memperoleh dukungan. Atas dasar kebutuhan dan memberikan kepuasan tersendiri, maka “tempat ketiga” ini dapat dilihat sebagai tempat dari sisi praktis, tempat sebagai lokasi pertemuan dan tempat sebagai rumah. Data mengungkapkan bahwa dengan mengunjungi tempat-tempat tersebut secara rutin dapat membuat seseorang memperoleh peningkatan kualitas pada persahabatan, dukungan emosional dan loyalitas mereka. Gambaran ini pula yang akan dilihat oleh peneliti pada penelitian mengenai profesi wartawan dan warung kopi, bagaimana warung kopi dapat mendukung kebutuhan wartawan dari segi fisik maupun emosional. 2 Penelitian oleh Sue Robinson dan Cathy Deshano dengan judul “Citizen Journalists and Their Third Places” Tahun 2011 berusaha mengkaji apakah orang-orang yang terlibat dalam situs berita lokal dapat mencapai perasaan masyarakatnya terkait dengan adanya “tempat Universitas Sumatera Utara ketiga” bergaya Amerika, yakni sebuah istilah yang mengacu pada kedai kopi, perpustakaan dan tempat-tempat pertemuan masyarakat lainnya. Tulisan ini berpendapat bahwa beberapa orang yang disebut sebagai “jurnalis warga” berusaha meningkatkan pemenuhan kebutuhan mereka akan pemberdayaan informasi dan koneksi komunal lokal di saat mereka terlibat dalam situs berita lokal dan blog online. Penelitian ini juga turut menggali mengapa sebagian orang termotivasi meskipun bukan bagian dari kontributor situs-situs lokal tersebut. Empat hambatan yang ditemui adalah adanya persepsi penuh dari suatu kelompok sosial, otoritas atas informasi, kebingungan temporal dan ketidaknyamanan spasial antara dunia fisik dan virtual. Penelitian Sue Robinson dan Cathy Deshano ini melihat peran para jurnalis warga dalam pemberdayaan informasi di situs berita lokal melalui tempat-tempat seperti warung kopi, perpustakaan dan tempat pertemuan lain, sementara peneliti ingin melihat bukan pada jurnalis warga, melainkan profesi wartawan pada sebuah media yang juga mengunjungi warung-warung kopi. 3 Penelitian oleh En-Ying Lin dengan judul “Starbucks as the Third Place: Glimpses into Taiwan’s Consumer Culture and Lifestyles” tahun 2012 menemukan bahwa kedai kopi kelas dunia, Starbucks telah mendominasi konsumsi kopi pada masyarakat Taiwan, dimana Starbucks telah berfungsi sebagai “tempat ketiga” dalam kehidupan para konsumennya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Universitas Sumatera Utara mengeksplorasi faktor-faktor budaya pada konsumen serta hubungan gaya hidup dan konsumsi. Temuan menunjukkan bahwa dalam budaya konsumen, Starbucks telah mempengaruhi budaya percakapan dari mulut ke mulut di warung kopi, termasuk persoalan gaya hidup dan konsumsi kopi memiliki hubungan yang sangat signifikan. Jadi, faktor budaya disini perlu juga didalami dalam kaitannya dengan kebiasaan masyarakat tertentu mengunjungi warung kopi. 4 Anne P. Crick dalam sebuah penelitian di Tahun 2011 yang berjudul “New Third Places: Opportunities and Challenges” membahas fenomena “tempat ketiga” sebagai sebuah institusi yang menyediakan tempat bagi interaksi sosial di luar rumah dan kantor. Studi ini mengeksplorasi berbagai jenis “tempat ketiga” serta peluang dan tantangan yang ditawarkannya. Penelitian ini menyoroti pertumbuhan sebuah organisasi yang ingin mendapatkan keuntungan dari fenomena “tempat ketiga” dengan kesempatan untuk memperoleh keuntungan lebih lanju t, di samping juga turut menyoroti potensi “tempat ketiga” virtual dalam meningkatkan peluang bagi brand awareness pada penjualan produk dan jasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi baru lebih mementingkan faktor fleksibilitas dan kegembiraan diba ndingkan generasi lainnya. Bagi organisasi, “tempat ketiga” menciptakan peluang untuk interaksi sosial dan membangun komunitas dalam organisasi yang bermanfaat untuk menarik generasi yang berbeda dalam pemilihan “tempat ketiga” mereka. Universitas Sumatera Utara Penelitian ini mengkaji hal yang sama dengan peneliti, yakni persoalan warung kopi dalam menciptakan peluang untuk berinteraksi, namun berbeda pada aspek kajian yang mengarah pada segi pemasaran dari warung kopi itu sendiri, yakni pada bagaimana menciptakan brand awareness pada generasi muda. 5 Neeti Gupta dan Keith N. Hampton dalam sebuah penelitian berjudul “Grande Wi-Fi: Social Interaction in Wireless Coffee Shop” meneliti perihal interaksi dan komunitas masyarakat di warung kopi. Penelitian dilakukan di warung-warung kopi dengan fasilitas Wi-Fi gratis maupun berbayar di wilayah Boston dan Seattle. Penelitian dilakukan mulai dari Bulan Desember 2003 sampai dengan Bulan Maret 2004 dan menghabiskan 120 jam untuk mengobservasi warung-warung kopi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet digunakan oleh para pengguna di warung-warung kopi tersebut untuk lingkaran sosial yang lebih kecil, sebagian bahkan berdampak pada aktivitas interpersonal dan jaringan sosial mereka. Penelitian ini juga turut mendukung penelitian sebelumnya oleh Robert Putnam, yang mengidentifikasikan bahwa tren sosial yang semakin maju ini turut menambah nilai privatisme, yakni sebuah kecenderungan dimana orang-orang lebih memilih menghabiskan waktunya di rumah daripada di ruang-ruang publik atau tempat-tempat umum. Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa keberadaan teknologi baru seperti internet dan Wi-Fi juga turut mempengaruhi perilaku orang- Universitas Sumatera Utara orang di ruang-ruang publik, seperti warung kopi. Fasilitas Wi-Fi yang tersedia di warung-warung kopi turut memberikan kontribusi bagi masyarakat, jaringan sosial dan ikatan sosial yang menghubungkan manusia sebagai makhluk individu terhadap dukungan sosial di sekelilingnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Ada kelompok di warung kopi yang disebut sebagai “True Mobile” dan “Place Maker”. Kelompok “True Mobile” adalah kelompok orang- orang yang menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan fasilitas internet dan Wi-Fi selama berada di warung kopi, teknologi baru ini sebagai pendukung aktivitas mereka dalam bekerja demi meningkatkan produktivitasnya. Kelompok ini jarang sekali terlibat dalam sebuah interaksi dengan orang lain di sekitarnya, kecuali rekan sekerja yang duduk dengannya. Kelompok “Place Maker” adalah kelompok yang pergi ke warung kopi untuk sekedar bersantai dan mencari hiburan di waktu luang. Biasanya mereka pergi ke warung kopi yang sama setiap harinya, bertemu dan berkomunikasi secara tatap muka dengan orang- orang di sekelilingnya dan menggunakan teknologi baru hanya sebagai pengikat hubungan sosial mereka saja. Umumnya kedua kelompok ini menghabiskan waktu 30 menit di setiap kunjungannya ke warung- warung kopi dan sebagian dari mereka bisa menghabiskan waktu 4-5 jam dalam setiap kunjungannya. Penelitian ini membagi para pengunjung warung kopi ke dalam dua kategori berdasarkan intensitas penggunaan dan pemanfaatan fasilitas Universitas Sumatera Utara free Wi-Fi di warung kopi. Kategori ini nantinya dapat membantu peneliti mendapatkan gambaran masuk ke dalam kategori manakah dari informan dari peneliti. 6 Penelitian oleh Grant Blank dan Nicole Van Vooren yang berjudul “Camping Out in the Coffee Shop World: A Sociological Analysis of Coffee Shop Conventions”, American University menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi dan wawancara. Penelitian ini meneliti tentang orang-orang yang disebut sebagai “Campers” atau “orang-orang yang berkemah” di dunia warung kopi. Para “Campers” ini bersosialisasi dengan pola-pola yang diterapkan di warung kopi, mencakup beberapa kegiatan yang bervariasi seperti: membaca buku atau surat kabar, menggunakan komputer, bekerja dan lain sebagainya. Para “Campers” ini bisa saja datang sendiri ke warung kopi tanpa ditemani oleh siapapun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian orang merasa terpenuhi kebutuhan sosialnya dengan mengunjungi warung-warung kopi, sekalipun mereka pergi sendiri dan tidak terlibat percakapan dengan orang lain. Penelitian ini menggambarkan pengunjung warung kopi yang disebut sebagai “Campers” yang menikmati dunianya di warung kopi, dengan atau tanpa teman sekalipun. Menjadi suatu hal yang menarik mengetahui informan peneliti adalah bagian dari kategori ini atau bukan. Universitas Sumatera Utara 7 Fidagta Khoironi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta Tahun 2009 dengan judul “Ekspresi Keberagaman Komunitas Warung Kopi Blandongan di Yogyakarta” menemukan bahwa latar belakang terciptanya komunitas warung kopi di Yogyakarta berawal dari hadirnya warung kopi itu sendiri. Bercorak nuansa kedaerahan dan cita rasa tradisional ternyata tidak menggeser eksistensinya di tengah-tengah kompleksitas kehidupan budaya modern dengan produk-produk lain seperti: Cheers Coffee Shop, Coffee Break dan Starbucks Coffee Shop. Fanatisme pelanggan Blandongan atas dasar kesenangan dan kenyamanan, pada akhirnya menciptakan komunitas penikmat kopi di dalamnya. Pada awalnya ngopi hanyalah sebentuk aktivitas mengisi waktu luang, tempat untuk istirahat dari kepenatan. Namun kemudian ngopi menjadi sebuah gaya hidup. Komunitas lifestyle ini telah melahirkan sebuah subkultur baru yaitu komunitas Blandongan. Sebagai bagian dari kompleksitas kehidupan modern dalam kerangka spektrum global market pasar global, warung kopi Blandongan ternyata menciptakan kultur positif sekaligus negatif yang berimplikasi terhadap persepsi dan ekspresi komunitas di dalamnya. Blandongan memiliki banyak konsumen yang berasal dari berbagai jenis lapisan masyarakat. Sebagai ruang publik yang cukup fenomenal, keberadaan Blandongan menciptakan kultur pluralisme di dalam komunitas ini. Plural terhadap keanekaragaman budaya, status sosial, stratifikasi sosial, egalitaritas gender bahkan diferensiasi religi tidak berlaku disini, setiap orang bebas masuk ke dalamnya. Dari sini dapat dipahami bahwa Universitas Sumatera Utara kultur Blandongan memiliki kecenderungan nilai dan norma yang identik dengan budaya modern. Budaya yang senantiasa toleran terhadap berbagai perbedaan yang ada. Atas dasar ini, peneliti nantinya juga ingin melihat dalam fenomena warung kopi Aceh apakah terdapat komunitas-komunitas serupa dan bagaimana mereka berinteraksi di dalam komunitas tersebut. 8 Penelitian tentang “Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006” yang dilakukan oleh Riswan Amri, Universitas Hasanuddin menyimpulkan bahwa Warung Kopi Phoenam kini berkembang bukan hanya sebatas tempat menyediakan kopi, namun telah berubah wajah dengan menjadi rumah kedua bagi para pengusaha, pejabat pemerintah, aktivis, politisi dan lain sebagainya, dikarenakan menikmati kopi di Warung Kopi Phoenam mewakili banyak aktivitas mulai dari negosiasi bisnis, tukar pikiran dalam pekerjaan, reuni dengan teman lama, sampai dengan berbincang-bincang formal rapat dan sebagainya. Pengelola Warung Kopi Phoenam telah menyediakan fasilitas ruang terbuka dan ruang tertutup yang terbilang eksklusif VIP. Warung Kopi Phoenam juga telah bekerjasama dengan Radio Mercerius FM, yang menjadi mediator dalam acara talkshow di Warung Kopi Phoenam. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak berlandaskan pada budaya politik tradisional kini telah tergantikan oleh diskusi- diskusi ala Warung Kopi Phoenam yang berdasarkan pada mediasi media massa dan representasi tokoh-tokoh publik. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan hasil penelitian tersebut, nantinya peneliti ingin menggali lebih dalam pada penelitian mengenai wartawan dan warung kopi ini untuk melihat keunikan apa yang dimiliki oleh warung kopi Aceh yang tidak dimiliki oleh warung kopi lainnya serta meneliti apakah ada bentuk kerjasama yang dilakukan dengan media lokal Cth: radio dan mengadakan acara talkshow live di warung kopi dengan mengangkat topik-topik tertentu, sehingga terbuka ruang untuk berdiskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten di bidangnya. 9 Beberapa penelitian berikutnya yang menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yaitu penelitian yang dilakukan oleh Faya Praditya Ridwan, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang berjudul “Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh Member Program Wide Shot Metro TV dengan sub bab Studi Fenomenologi Mengenai Konstruksi Makna Citizen Journalism Oleh Member Program Wide Shot Metro TV di Bandung”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif member bergabung menjadi citizen journalist Wide Shot, pemaknaan member Wide Shot mengenai citizen journalism dan pengalaman komunikasi member selama menjadi citizen journalist Wide Shot. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dan dengan perspektif teori fenomenologi Schutz serta Teori Konstruksi Sosial atas realita Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teknik penelitian yang Universitas Sumatera Utara digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi, wawancara mendalam, analisis dokumen dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi makna citizen journalism oleh member program Wide Shot Metro TV diperoleh dari pengalaman dan pengetahuan baik sebelum maupun setelah bergabung dengan Wide Shot. Para member Wide Shot membangun makna citizen journalism berdasarkan motif, pemaknaan dan pengalaman mereka selama menjadi citizen journalist. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Motif yang dimiliki terdiri atas motif masa lalu motif-karena dan motif masa depan motif-untuk 2 Pemaknaan member mengenai citizen journalism yaitu peduli terhadap perkembangan negara, kepedulian terhadap sesama manusia dan bentuk eksistensi diri 3 Pengalaman member selama menjadi citizen journalist terdapat tiga bagian, yaitu pengalaman komunikasi antara member citizen journalist dengan narasumber, pengalaman suka dan pengalaman duka. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa setiap informan memiliki ke dua jenis motif yang disebutkan oleh Alfred Schutz yaitu “because motive” dan “in order motive” dengan porsi yang berbeda- beda. Berdasarkan hasil kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat “because motive” dan “in order motive” dari profesi wartawan sebagai pengunjung warung kopi. 10 Penelitian Reza Pahlevy, Atwar Bajari dan Agus Setiaman, yang berjudul “Konstruksi Makna Tato pada Anggota Komunitas Paguyuban Universitas Sumatera Utara Tattoo Bandung”, Jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, Bandung Tahun 2012 menuangkan analisis konstruksi makna dan realitas sosial tato pada anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung ke dalam model konstruksi makna. Peneliti menggunakan konsep fenomenologi transedental Husserl untuk melakukan analisis terhadap pembentukan makna secara mental pada ranah individu. Peneliti menggunakan fenomenologi Alfred Schutz untuk melakukan analisis terhadap faktor- faktor yang melatarbelakangi ketertarikan terhadap tato. Sedangkan untuk proses konstruksi makna dan realitas tato secara sosial, peneliti menggunakan konsep Berger dan Luckmann tentang konstruksi realitas secara sosial. Kesimpulan dari penelitian ini menjelaskan bahwa realitas makna tato menurut pandangan anggota Komunitas Paguyuban Tattoo Bandung, yaitu sebagai identitas, karya seni dan bisnis. Makna tato Sebagai identitas menunjukkan identitas mereka sebagai pencinta dan penggemar tato. Makna tato sebagai seni meliputi hobi, ekspresi, kreativitas dan gaya hidup. Sedangkan makna tato sebagai bisnis yaitu sumber penghasilan. Adapun faktor yang melatarbelakangi ketertarikan anggota komunitas Paguyuban Tattoo Bandung terhadap tato terbentuk dalam dua lingkup, yakni ranah individu dan ranah komunitas. Dalam ranah individu, ketertarikan mereka terhadap tato dilatarbelakangi oleh empat faktor, yaitu motivasi internal, motivasi eksternal, keterampilan dan tujuan. Sedangkan dalam ranah komunitas dilatarbelakangi oleh Universitas Sumatera Utara tiga faktor, yaitu orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan. Makna tato mengalami pergeseran dari dulu hingga saat ini, mulai dari kebudayaan tradisional, budaya populer, budaya tandingan, hingga konsumsi dan komersialisme. Di Indonesia tato sempat mendapat tanggapan yang negatif pada tahun 1980-an, namun saat ini penggunaan tato lebih kepada trend perkembangan fashion dan gaya hidup seseorang. Melalui kajian terdahulu ini peneliti ingin melihat proses pergeseran makna warung kopi melalui orientasi terdahulu, orientasi sekarang dan orientasi masa depan. 11 Penelitian Citra Abadi yang berjudul “Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita di Kota Bandung Studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Sosialita Bagi Kalangan Sosialita Di Kota Bandung”, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, Tahun 2013. Dalam kerangka ini, sosialita merupakan fenomena yang menjadi sebuah realitas. Kalangan sosialita tersebut memiliki makna tentang sosialita sesuai dengan pemahaman masing-masing. Untuk mengetahui makna tersebut, akan dilihat dari berbagai sub fokus pembahasan, mulai dari nilai sosial yang ada di lingkungan sosial mereka, motif menjadi sosialita, pesan artifaktual yang digunakan sebagai wujud pemaknaan sosialita dan pengalaman yang telah dilakukan sebagai seorang sosialita. Berdasarkan kajian terdahulu ini, peneliti ingin melihat lebih Universitas Sumatera Utara jauh tentang profesi wartawan dan keberadaannya di warung-warung kopi berdasarkan nilai sosial yang ada di lingkungannya, motif menjadi wartawan dan pengalamannya selama berada di warung kopi.

2.3. Teori Interaksionisme Simbolik