9. Mengenai Wadah Tunggal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun
2004 pada Pasal 82 hanya menyebutkan notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi
33
, sedangkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tertulis dengan jelas wadah tunggal yang dimaksud adalah Ikatan Notaris Indonesia INI
34
, sehingga Organisasi di luar Ikatan Notaris Indonesia tidak diakui eksistensinya.
B. Perjanjian Secara Umum
Perjanjian dapat berarti segala bentuk kesepakatan yang dibuat oleh minimum dua pihak yang mana perjanjian tersebut bisa tertulis dan bisa tidak tertulis. Perjanjian
bisa dibuat oleh siapa saja, termasuk dan tidak terbatas pihak lembaga formal. lembaga formal tersebut adalah bank. Pada intinya, walaupun dibuat pihak lembaga
formal, tetap ada yang disebut dengan asas. kebebasan berkontrak. Menurut Treitel, kebebasan berkontrak atau “freedom of contract” digunakan
untuk merujuk kepada dua asas umum general principle. Asas umum yang pertama
33
Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris: 1.
Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. 2.
Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
34
Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris:
1. Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
2. Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah Ikatan Notaris Indonesia.
3. Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan satu-satunya wadah profesi
Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.
4. Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris. 5.
Ketentuan mengenai penetapan, pembinaan, dan pengawasan Organisasi Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.”
Universitas Sumatera Utara
mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak”. Asas ini merupakan asas umum yang bersifat
universal. ”Asas kebebasan berkontrak merupakan asas dalam hukum perjanjian yang dikenal hampir semua sistem hukum.
35
Asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak.
Jadi ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa
pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para
pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka
perjanjian yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis.
Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk
35
Asas kebebasan berkontrak dalam sistem common law dikenal dengan istilah freedom of contract atau liberty of contract, apabila dibandingkan dengan pernyataan Hardijan Rusli : asas kebebasan
berkontrak dikenal juga dengan istilah Laissez Faire yang pengertiannya seperti diterangkan oleh Jessel M.R. dalam kasus Printing and Numerical Registering Co. vs Sampson 1875 LR Eq. 462 pada
465, yaitu men of full age and understanding shall have the utmost liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntarily entered inti shall be held sacred and enforced by the
courts...you are not lightly to interfere with this freedom of contract Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993:38. Lihat juga Ridwan
Khairandy “istilah kebebasan berkontrak dalam sistem common law adalah freedom of contract atau liberty of contract Ridwan Khairandy, Pengaruh Paradigma Kebebasan Berkontrak Terhadap Teori
Hukum Kontrak Klasik dan Pergeserannya, tidak dipublikasikan, 2003 hal. 49
Universitas Sumatera Utara
setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak
dapat dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak masih mempunyai batas.
Ada hal menarik yang dapat dilihat, biasanya perjanjian dibuat dengan kesepakatan yang isinya dirumuskan oleh kedua belah pihak, tetapi perjanjian dengan
bank biasanya dibuat dalam standar baku. Istilah perjanjian baku sebenarnya berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman ciri standar kontrak ialah:
36
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat.
2. Masyarakat debitur sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian 3.
Terdororng oleh kebutuhannya debitur terpakasa menerima perjanjian itu 4.
Bentuk tertentu tertulis 5.
Dipersiapkan secara massal dan kolektif. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut
36
H. Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, 2004, hal 22
Universitas Sumatera Utara
Munir Fuadi adalah Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali sudah tercetak boilerplate dalam bentuk-
bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif
tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya
sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat
sebelah. Dalam melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan
pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk
menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses klausul eksemsi dalam
perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan umum public interest.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak
yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal
dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh
Universitas Sumatera Utara
hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum, dari pihak
pembuat peraturan perundang-undangan legislature terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku
yang timbul dari kebutuhan bisnis.
C. Pengaturan Hukum Perjanjian Kredit dalam Perbankan