Mis-yar : Nikah Mut’ah, Temporal Az-Zawaj Al-Muaqqat, dan ‘Urfi

ketetapan hukum terdapat satu perkara dan bukan sesuatu itu sendiri. Dalam masalah ini al-Ashlu adalah Mut’ah atau firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 24. b. عﺮﻔﻟا: yaitu cabang atau permasalahan yang biasanya merupakan fenomena baru. Sehingga belum terdapat ketetapan hukum secara Qat’i dalam nash syar’i, untuk mengetahui eksistensinya di hadapan hukum memerlukan upaya analisis tekstual atau kontekstual dengan menggunakan teori-teori hukum yang kedudukan sebagai furu’ yang memerlukan jawaban hukum. c. ﺔﻄﻟا: makna dari ‘illat diartikan sengat berfariasi, salah satunya yang di nasabkan kepada Gazali, bahwa ‘illat adalah sesuatu yang harus terdapat dalam hukum , dalam arti bahwa syara menjadikan sebagai alasan yang mendasar hukum tersebut lahir. Dalam konteks Mut’ah yang dianggap ‘illat pengharaman nikah ini adalah pembatasan waktu yang terdapat dan disebabkan dalam akad nikah, sebab tindakan memberikan batasan usia perkawinan dalam kalimat akad merupakan tindakan yang dilarang dalam Islam, sehingga Mut’ah bertentangan dengan tujuan dari pernikahan yang telah digariskan oleh syara. Dalam kaitannya dengan ‘illat sebagai sebuah alasan hukum keharaman Mut’ah, hal tersebut tidak ditemukan dalam Mis-yar, sebab nikah Mis-yar tidak secara defenitif dan tegas memberikan batasan usia pernikahan dalam kalimat akad. 29 d. ﻞﺻﻻا ﻢﻜﺣ: adalah ketetapan hukum yang telah ada terdapat sesuatu yang menjadi sandaran dalam Qiyas dalam hal ini adalah al-Ashlu, sehingga dapat diambil hipotesa atau Nahjah kesimpulan hukum yang diambil berdasarkan titik temu antara al-Ashlu dan al-Furu’ dalam kesamaan ‘illat yang ditemukan pada keduanya. Dari analisa tersebut diatas, maka Mis-yar tidak memiliki titik temu dengan Mut’ah dalam hal ‘illat, meskipun memiliki kesamaan pada poin tertentu yakni perkawinan. Ketika tidak ditemukan ‘illat dalam Qiyas maka kita tidak bisa menarik hipotesa hukum furu’ sebagaimana terdapat dalam al-Ashlu, sebab ini merupakan hal yang berbeda dan tidak diberikan oleh kaidah ushul fiqh, meng-Qiyas-kan sesuatu yang tidak memiliki kesamaan ‘illat adalah tidak dibenarkan “ ‘al-Qiyas Ma’a al- Fariq Bathilun”. 2. Nikah Temporal Pendapat jumhur tentang perkawinan yang membatasi waktu adalah Mut’ah meskipun menggunakan kalimat nikah atau zawaj. Ditentukan oleh Zufar salah satu ulama Hanfi, ia menegaskan bahwa Mut’ah haruslah menggunakan kalimat istimta dan memberikan batasan waktu. Sementara jika akad dilangsungkan memakai kalimat nakaha atau zawaja dan memberikan batasan waktu maka perkawinan 30 ini disebutnya dengan Azzawaj al-Muaqqat nikah Temporal. Status perkawinan ini sah dan bukan termasuk dalam Mut’ah. 44 Hal yang perlu digaris bawahi dari Mis-yar bahwa tidak memberikan batasan waktu dalam lafadz akad seperti yang terjadi dalam Mut’ah atau nikah Temporal. Akan tetapi Mis-yar memiliki kecendrungan kuat untuk terjadinya perpisahan antara istri dan suami, hanya saja dalam waktu yang tidak diketahui kapan majhulun. Ini berarti Mis-yar secara esensi juga memberikan batasan akan usia perkawinan, meskipun terbuka kemungkinan akan terus berlanjut namuan dalam probelitas yang kecil. 45 3. Nikah ‘Urfi Terminologi nikah Mis-yar memang harus diakui merupakan jenis perkawinan yang belum masyhur dikalangan masyarakat umum seperti ‘Urfi sehingga ada kalanya orang berpandangan bahwa Mis-yar adalah nama lain dari nikah ‘Urfi. Dalam pandangan ini sebenarnya hal ini tidak dibenarkan, namun juga tidak bisa disalahkan secara mutlak. Perbedaan yang terjadi antara Mis-yar dan ‘Urfi sangat jelas. Mis-yar adalah pernikahan yang sah dan tertulis menurut Undang-Undang formil pemerintahan. Hal ini dibenarkan oleh Qardlawi, bahwa nikah Mis-yar banyak terjadi di negara Saudi Arabia dan Uni Emirat, dan 44 As-Sarakhsyi, al-Mabsuth, IV, hal. 144. dan Wahbah Zuhaily, Fiqh Islam, h. 6611 45 Irfan Jauhari, “Nikah Mis-yar dan Hak Wanita Dalam Perkawinan, h. 68 31 pelakunya mendaftarkan secara resmi pernikahan ini kepada petugas pencatat perkawinan. 46 Namun memang ditemukan dalam beberapa kasus, terdapat pelaku nikah Mis-yar yang tidak mendaftarkan kepada petugas pencatat nikah secara resmi. Nikah ‘Urfin sendiri disuarakan oleh kebanyakan fuqaha dengan pernikahan yang haram, disebabkan pernikahan ini membahayakan posisi wanita yang lemah. Sehubungan dengan tidak tercatatnya perkawinan oleh petugas pencatat resmi, maka jika dikemudian hari terjadi permasalahan yang menyangkut pertikaian sengketa perkawinan, sulit kiranya pihak istri untuk melakukan pengaduan kepada lembaga Peradilan atau Qadli. 47 Alasan ini menjadi dasar utama haramnya nikah ‘Urfi di mata fuqaha kontemporer. Oleh karena itu penulis menarik satu kesamaan tujuan dari fuqaha yang mengatakan keharaman nikah ‘Urfi dengan Mis-yar, yaitu menjaga kemaslahatan dan hak-hak wanita dalam perkawinan dari keadaan yang membahayakan istri dan anak-anaknya. 46 Yusuf Qardlawi, Zawaj al-Misyar, h. 15 47 Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h. 52 32

E. Alasan Yang Mendasar Mis-yar

Kondisi seseorang dalam kehidupan menjadi hukum menikah relatif dan dilihat pada sebatas mana kebutuhan dan urgensi menikah. Ibnu Qudamah membagi kepada tiga katagori: Pertama: Adalah mereka yang kondisinya menghawatirkan akan membawanya kepada zina dan maksiat, orang tersebut maka diwajibkan untuk segerah menikah. Kedua: adalah mereka yang hidup dan aktifitasnya terjauh dari kencendrungan maksiat dan zina, maka ia disunnahkan untuk menikah. Ketiga: Adalah mereka yang tidak mampuh baik secara lahir atau batin, bentuk ketiga ini sebagian ulama menganjurkan untuk tidak menikah, dan sebagian menganjurkan untuk tetap menikah. Menikah memang merupakan salah satu solusi terhindar dari zina, sehingga membujang tabattul sepanjang hidup adalah kondisi yang dilarang oleh Rasul sebagaimana beliau pernah melarang Utsman Bin Madz’un. 48 Menikah tetap dianggap pilihan yang baik, meskipun secara finansial atau dalam memenuhi kewajiban lainnya masih terdapat kendala. Rasullah saw sendiri pernah mengawinkan seorang laki-laki yang tidak memiliki selain baju yang dikenakan, dan memberi maskawin hanya dengan cincin dari besi. Oleh karenanya dalam pandangan Qardlawi, pernikahan 48 Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Muslim, IX, h. 176. Ibn Hajar al- Atsqalani, Fathu al-Bary, Kairo: Maktabah Salafiayah, 1408 H, Juz IX, h. 118. 33 laki-laki dengan wanita yang datang kepadanya sewaktu-waktu siang atau malam adalah lebih baik dan utama dibandingkan hidup melanjang selamanya. 49 Gambaran akan kondisi ketika seseorang tidak mampuh untuk menjaga diri iffah, maka ketidak mampuan memenuhi kewajiban menjadi hal yang dikesampingkan sebab melihat dampak kerusakan yang lebih besar, sebagaimana kaidah ushuli: “ apabila bertemu dua mafsadah maka didahulukan mafsadah yang lebih kecil”. 49 Yusuf Qardlawi, Zawaj Mis-yar: Fenomena Baru Dalam Perjodohan Manusia, h. 39 34

BAB III GAMBARAN UMUM PROFIL DESA TUGU SELATAN KECAMATAN

CISARUA KABUPATEN BOGOR JAWA BARAT

A. Letak Geografis

1. Kondisi Fisik dan Wilayah

Desa Tugu Selatan merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor yang terdiri dari 7 tujuh Kepala Dusun, 17 tujuh belas Ketua Rukun Warga RW dan 43 empat puluh tiga Ketua Rukun Tetangga RT. 50 Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari lapangan, data Monografi Desa Tugu Selatan Tahun 2010 dimana luas wilayah sekitar 1.656.152,52 2 HaM sebagai berikut: Table 1 Luas Wilaya Desa Tugu Selatan Menurut Penggunaan No Wilayah Luas. 2 HaM 1 Pemukiman 177.200 2 HaM 2 Perkarangan 425.606 2 HaM 3 Pervilaan 531.118 2 HaM 4 Perladangan 50 2 HaM 50 Sumber data: Expose Kepala Desa Tugu Selatan Kec. Cisarua 2011 35